Catatan Baraobira Hari-11, ENCANG-ENCING NYAK BABE !!! INILAH KISAH PERJUANGAN 2 MAHASISWA UGM MENUJU TANJUNG AIRMANGGA

Poster oprec KKN selalu berisi tentang pemandangan. Menjadi wajar jika kemudian imajinasi muda-mudi KKN dipenuhi oleh gunung atau pantai. Ketika kami telah tiba di lokasi, tak pelak muncul segala upaya untuk mewujudkan daya khayal ini: Mencerap sebanyak-banyaknya pemandangan Obi.

Tak ada yang salah dengan orang yang suka plesir. Plesir - sebagai upaya manusia untuk berpaling sejenak dari rutinitasnya yang banal -, adalah bukan sekedar human act (tindakan manusiawi) tetapi juga humanis act (tindakan memanusiakan manusia). Plesir bukan pelarian, karena plesir selalu diiringi niatan untuk kembali dan melanjutkan dunianya yang penuh tanggung jawab. Maka, di tengah masa KKN yang mulai penuh dengan program inilah, muncul satu kehendak untuk mencuri-curi waktu supaya diri ini bisa plesir.

Danan adalah teman pertama yang saya ajak untuk menjalankan rencana ini. Sebagai teman serumah, teman sekamar, sekaligus teman seranjang (sayang kami tidak homo) tentu cukup ilmiah jika dia adalah orang yang paling sering saya ajak diskusi. Ya, perihal apapun yang bisa kami lakukan selama berada di bumi KKN. Dan beginilah pillowtalk singkat kami malam tadi:

“Nan, jarene Bang Al yo nan, ningkene ono tempat apik nan (Al, kata Bang Al disini ada tempat bagus lho)”,

“Obi ki wis apik kabeh (Obi sudah bagus semua)”,

“Yo ora. Iki anti mainstream, soale udu ning Anggai udu ning Sambiki. Tur iki pantai pasir putih. (Bukan begitu. Ini beda karena bukan di Anggai bukan juga di Sambiki. Terus ini pantai pasir putih lho).”,

“Bajigur, ning Laiwui? (Di Laiwui?)”,

“Hudu... Ning Airmangga, kampung sebelah kae lho sing jarene mbien wis tau konflik karo Anggai (Bukan. Di Airmangga, kampung sebelah yang kabarnya pernah konflik dengan Anggai”,

“Hooh po, adoh ora e? (Beneran? Jauh kah?)”,

“Jarene bang Al sih paling 20 menit nganggo motor. Piye? Nyilih motore papa Haji ayo?(Kata Bang Al sih sekitar 20 menit pakai motor. Gimana? Kita pinjam motor Papa Haji) ”,

“Yo ayo, meh kapan? (Ayo, mau kapan?)

“Sesok isuk lah, bar saur langsung cus mangkat ben biso ndelok sunrise. Piye? (Besok pagi setelah sahur langsung berangkat. Supaya bisa lihat sunrise) 

“Sip, meh ngajak sopo wae? (Sip, mau ajak siapa saja?)

“Wis dewe sik wae. Anggap wae iki survey sik sadurunge bareng-bareng. Tur lek ngajak liyane: siji kesuwen, loro ribet, telu akhire ora sido (Kita dulu saja. Anggap saja ini survey sebelum ajak yang lain. Lagian kalau kita ajak yang lain, pertama: lama, kedua: ribet, ketiga: akhirnya batal”,

Mantap dah”,

Dan akhirnya Danan pun meminjam motor beat putih biru milik Papa Haji. Motor yang hampir tidak ada remnya ini – rem belakang kosong, rem depan tidak makan - akan jadi tunggangan kami menuju Tanjung Airmangga, Desa Airmangga.

-------------------------------------------------------------------------

Kami terbangun pukul 5 kurang seperempat. Beruntung kami tidak sedang berada di Jawa. Kalau di Jawa, kami sudah harus menjalani puasa tanpa nasi sahur sesuappun. Masih ada 15 menit untuk menyantap nasi ikang lodi – sejenis ikan pindang tapi kecil – yang sudah disiapkan mama haji di atas meja makan.

Saya tak sempat membasuh muka. Sesegera mungkin saya meneguk air putih 2 gelas lalu menyantap nasi ikang yang sudah dingin ini. Sahur ini hanya ada saya dan Danan. Mama papa haji sepertinya sudah melakukannya jam 3 tadi - usai ibadah marathon menonton serial India-Turki.

Waktu 15 menit sebelum Imsak berlalu dengan hening. Ruang makan sangat sunyi jika saja tak terdengar suara tang-ting dari tubrukan sendok-piring. Kami masih mengantuk sehingga sama-sama malas bicara. Baru setelah kami selesai makan dan menyentuh air kran untuk asah-asah, muncullah energi untuk mulai bersuara.

“Piye mas, sido ra? (Gimana mas, jadi nggak?) tanya Danan,

“Pingin turu meneh sakjane. Mengko ono ngecat masjid barang karo cah IPMA (Aku pingin tidur lagi sebenarnya. Nanti juga masih ada agenda ngecat masjid sama mahasiswa Anggai),

“Njuk piye? (Jadi?) tanyanya lagi,

“Yo tetep mangkat. Lek aku ngomong mending turu soale kowe yo mesti setuju,hehe... (Tetap berangkat. Kalau aku bilang mending tidur, kamu pasti setuju, hehe)”,

“Yo wis, tur mumpung ra udan (Ya sudahlah, mumpung tidak hujan juga)”,

Danan pun menuju ruang TV, mencari kunci motor yang biasanya papa taruh di atas almari kayu panjang. Sesuai dugaan, papa memang menaruhnya disitu.

Saya kembali masuk ke kamar, menyiapkan beberapa peralatan yang perlu dibawa. Sweeter biru saya pakai, kamera Nikon milik Gilang saya kalungkan, lalu handphone... Saya biarkan tergeletak di atas kasur. Buat apa hape wingki-wingki di tempat kosong signal.

Sesuai rencana yang telah disusun dengan matang, kami sudah keluar rumah sebelum pukul setengah 6. Saya cukup tercengang. Pukul setengah 6 disini ternyata mirip pukul 5 di Jawa. Langit masih gelap, binar bulan masih terang. Namun, gairah untuk tak melewatkan momentum matahari terbit membuat kami sepakat untuk tak menunda lagi pemberangkatan.

Motor beat biru putih pun saya starter. “Ngeeengg...” Ia masih bisa dihidupkan dengan starter tangan. Alhamdulillah...

Semenjak berada di Anggai, saya menemukan bahwa 90 persen motor disini sudah tidak lagi dalam kondisi normal – kalau tidak mau disebut bodol. Setidaknya, ada 2 spek yang mencirikan spesifikasi motor à la Anggai: pertama, ia harus diselah. Kedua: ia hanya punya satu rem. Beruntung motor papa haji hanya punya spesifikasi yang kedua.

Saya dan Danan pun memulai perjalanan menuju Airmangga. Saya berada di depan, sedang Danan membonceng. Anggai masih sangat sepi. Belum ada hiruk pikuk sama sekali. Tak ada orang berolahraga, tak ada orang menyapu teras, tak ada orang membawa parang - menuju kebun. Yang ada hanya puluhan ekor kambing yang masih tidur di teras-teras rumah. Ah, tidak. Sial. Ternyata kambing-kambing ini juga tidur di tengah jalan. “Tin...tin...” saya memencet klakson berkali-kali supaya kambing-kambing ini menepi. “Tin...tin...tin”, jadah ! mereka terbangun tapi diam saja. Haduh...haduh... “Tin...tin...tin.......”, dengan terpaksa saya menekan rem depan. Jancuuuk......

Motor kami ngepot dan akhirnya kami tergelincir. Kambing-kambing itu bengong melihat kami tertindih motor papa haji.

“Asuuu... turu do sepenake dewe, diklakson ra gelem minggir. Bejo ki alon nan. Piye kowe rapopo? (Ini anjing tidur semaunya sendiri. Diklakson diam saja. Untung kita pelan nan. Kamu baik-baik saja?), tanya saya pada Danan sambil mengangkat motor yang terkapar.

“Wedhus taek, aku rapopo mas. Lah kowe piye? (Kambing bodoh. Aku baik-baik saja mas. Nah situ?), jawab Danan sambil mengibaskan debu jalan yang menempel di kaos merah “Jogja Atletik”-nya.

“Rapopo nan. Jempole tok lecet sithik. Bejo ra ono wong weruh... Wedhus goblook..wedhus goblok !! (Aman nan, cuma jempolnya lecet sedikit. Untung nggak ada orang lihat. Kambing bodoh !!) ”, dan sejurus kemudian saya geli sendiri mengingat kambing-kambing tadi. Mereka dengan lugunya hanya diam menatap saat kami hampir terjungkal.

Apa yang sudah diniatkan, harus tetap dilanjutkan. Unstoppable ! Kami pun sepakat melanjutkan perjalanan. Motor kami masih baik-baik saja. Setelah 3 menit beristirahat dan tuntas menertawakan kesialan, kami lanjut naik motor menuju Desa Sebelah.

Belum 10 menit kami berjalan, tiba-tiba motor yang kami tunggangi mati sendiri. “Brrmmmm...rmmm...rmm..jedd..”.

Suasana sunyi senyap. Langit masih gelap. Kami terhenti di jembatan perbatasan Anggai-Airmangga yang jauh dari pemukiman. Sialnya, jembatan ini kondang dengan mitologi paling horor yang ada di Anggai: Hantu Nenek Cuci Usus.

Kami terdiam. Danan berbisik ke telinga saya, “Taek”.

Hantu Nenek Cuci Usus adalah hantu yang sering menampakkan dirinya di sungai yang tepat berada di bawah jembatan kayu perbatasan Anggai-Airmangga. Konon, nenek berambut putih ini sering terlihat sedang membasuh usus yang ia keluarkan dari perutnya sendiri. Nenek ini tak segan menolehkan wajahnya ke warga yang sedang lewat. Sesekali ia menundukkan kepalanya seperti orang jawa memberi hormat. Sesekali ia juga tertawa memperlihatkan giginya yang hitam. Konon, nenek ini masih sering menampakkan dirinya karena dendam pada orang-orang yang dulu meracuninya. 16 tahun lalu, saat konflik horisontal antara pemeluk Agama Islam dan Protestan terjadi di Anggai – yang membuat Desa Anggai pecah menjadi Anggai-Airmangga,  nenek ini diracun oleh puluhan warga karena terkenal dengan ilmu sihirnya. Sampai hari ini, warga Anggai masih percaya bahwa nenek ini masih hidup. Ia tinggal di Airmangga, berbaur bersama warga – dengan wujud manusia biasa. Ketika membicarakan nenek ini, kaki kita dilarang menyentuh tanah atau nenek itu bisa mendengar pembicaraan kita. (Saya juga menulis ini sambil duduk jegang).

“Nan..nan, asu nan. Motore ra iso distater (Nan, nan, motornya nggak bisa distarter nan)”, kata saya pada Danan sambil memencet starter tangan berkali-kali. Ih, siapa yang bisa tenang di tengah jalan sepi, gelap, dan jauh dari pemukiman ini? Saya mengamati situasi di kanan kiri. Beruntung yang terlihat hanya rimbun pepohonan yang melambai.

“Jal diselah jal mas ! (Coba diselah mas !)”,

“Hooh hooh sek ! (Iya, iya sebentar !)”,

Puji Tuhan Gusti Allah, setelah mencoba nyelah beberapa kali, akhirnya motor pun bisa hidup kembali. Danan segera naik ke boncengan. Saya segera tancap gas. Berupaya segera menjauh dari tempat dedemit ini. Beruntung...kami tidak berjumpa dengan nenek. Haha..

Apa yang ingin kami capai, sepertinya akan segera terwujud. Kami telah sampai di bibir pemukiman Desa Airmangga. Airmangga terlihat bersih dan rapi. Tak ada sampah di kanan kiri jalan. Tak ada sampah mengambang di selokan. Semua rumah terlihat asri dengan bunga-bungaan yang ditanam di pekarangan. Selain terlihat lebih bersih dari Anggai dan Sambiki, ada satu hal lagi yang menjadi pembeda dari desa ini: Anjing ! Ya, jika jalanan Anggai-Sambiki dipenuhi oleh kambing, maka jalanan Airmangga dipenuhi oleh anjing. Mafhum, sebab 100 persen masyarakat disini adalah pemeluk agama Protestan.

Desa Airmangga


Asu kabeh !

Kami pun berjalan lurus terus kedepan. Kurang 1 kilometer dari bibir pemukiman, sudah ada pertigaan yang salah satu cabangnya menuju Tanjung Airmangga. Karena ini kunjungan pertama kami, kami pun tak tau arah mana yang benar. Kami memutuskan untuk bertanya pada warga. Beruntung, kami bertemu dengan beberapa anak kecil yang entah kenapa sudah bangun sepagi ini. Mereka menunjukkan bahwa kami musti belok kiri menuju jalan setapak dan berlanjut lurus sekitar 500 meter. Yeah, akhirnya sebentar lagi kami sampai.

Tapi, belum 500 meter motor melaju, motor tiba-tiba mati kembali. Sial, motor ini mati dengan tersendat-sendat, yang artinya besar kemungkinan motor ini kehabisan bensin. Kami coba starter tangan, kami selah berkali-kali, tetap saja motor mati. Sampai kami memutuskan untuk mendorongnya saja sampai Tanjung Airmangga.

Tibalah kami di Tanjung Airmangga ! Tanjung yang masyhur akan kelembutan pasir putihnya dan biasa dikunjungi masyarakat Anggai untuk bersuka cita. Tanjung ini terletak di ujung timur desa Airmangga. Ujung, benar-benar ujung. Sehingga, tak ada lagi jalan yang terlihat di depan kami. Hanya tebing besar yang memisahkan daratan Airmangga dengan daratan di ujung lainnya.

Namun, setelah kami sampai dan sejenak mencoba mengatur kembali ritme nafas yang kelelahan, kami pun menyadari satu hal,

“Eh, nan... nan... Kok ora ono pasir putihe yo? Jarene Bang Al pasire putih ki? (Eh nan, kok nggak ada pasir putihnya ya? Kata Bang Al ada pasir putihnya tuh)”,

“Hooh yo. Opo pasire nangisor watu-watu iki yo? (Iya juga. Atau tertutup oleh batu-batu ini?) jawab Danan sambil menunjuk batu-batu krikil yang sedang kami injak.

“Yo biso wae sih. Iki mah udu pantai pasir putih iki. Pantai berkrikil lek iki...(Bisa jadi. Ini sih bukan pantai pasir putih, ini pantai berkrikil), dan saya mencoba mengambil beberapa krikil berharap menemukan pasir putih di bawahnya.

“Heh, ra ono pasire i? (Lho, nggak ada pasirnya kok?)”, tanya saya lagi.

“Wis rapopo mas. Sing penting wis tekan. Apik kok pemandangane. Najan sunrise e ra orange, tapi suasane asik. Banyune tenang (Sudah nggak apa-apa mas. Yang penting bisa sampai. Bagus kok pemandangannya meskipun sunrise nya tidak kelihatan orange. Tapi suasana asyik, airnya tenang)”, ujar Danan.

Dan memang, meskipun kami tak mendapat pemandangan seperti yang kami harapkan, namun tetap saja perlu diakui bahwa Tanjung Airmangga punya pemandangan yang enak ditatap. Terlebih saat matahari mulai naik dan air laut mulai tampak warna birunya. Pemandangan di tanjung ini tampak menyegarkan.

Belum 10 menit kami berada disini dan mengambil beberapa foto sebagai bukti laporan kunjungan – pada teman, Danan sudah menyambung lagi pembicaraannya:


Pemandangan saat kami sampai. Ini sudah jam 6 lewat 10.



Begini Tanjung Airmangga saat sudah terang.

“Aku kok ra tenang yo najan pemandanganne apik. Iki lho motore (Aku kok nggak tenang ya meskipun pemandangannya bagus. Ini lho motornya)”, keluhnya.

“Hooh i, aku yo njuk rabiso menikmati iki. Tur jam 8 motore meh dinggo Papa Haji lo nan.... (Iya ya, aku juga nggak bisa menikmati pemandangannya. Motornya mau dipakai papa haji lho jam 8)”,

“Wah hooh yo. Piye? Bali sek wae po? (Wah iya ya. Jadi, gimana? Kita pulang saja?)”,

Yo ayo... (Mari...)”,        

“Ndorong? (Kita dorong?)”,

“Yo piye meneh? (Mau gimana lagi?)”,

“Haa...haa... asuuuu....”,

Akhirnya setelah bersama menyerapah pagi yang jahat, kami sepakat untuk langsung pulang. Kali ini giliran Danan yang berada di depan: Memegang setang bukan menarik gas. Sedang saya di belakang: Mendorong motor bukan membonceng.

Kemudian belum 10 menit kami mendorong, kami harus terhenti lagi-lagi dengan terpaksa. Kali ini bukan karena kambing, bukan pula karena bensin.

Anjing !!! Kami dihadang 5 anjing yang tiba-tiba saling menyalak. 300 meter sebelum pemukiman warga. Di tepi tebing-tebing kapur yang ada di jalan setapak.

“Asuuu...”,

Entah bagaimana, anjing-anjing pekebun yang coklat hitam itu menggonggong berkali-kali dan makin mendekat pada kami. Saya dan Danan yang mungkin sama-sama belum pernah menyentuh anjing seumur hidup pun langsung gelagapan, tersara bara oleh rasa panik yang tak terhindarkan.

“Nan..nan, santai ojo melayu nan...”, bujuk saya. Padahal saya juga ingin lari.

“Wwuk !!!”, dan mereka kembali menyalak. Bukan "Guk" tapi "Wwuk !!!",

Sejenak 3 anjing lagi menyusul di belakangnya. Kali ini sepertinya anjing rumahan. 2 di antaranya berbulu putih dan menggemaskan.

Ada 8 anjing saudara-saudara ! Dan kami masih harus berjalan sekitar 300 meter untuk sampai di pemukiman warga.

Mereka semakin mendekat. Pelan-pelan akhirnya mereka tinggal 5 meter di depan kami. Saya mencoba mengambil batu, sambil ndredeg. Saya membayangkan mereka akan berlari, meloncat menerjang. Mereka menggonggong, mencabik-cabik sambil mencakar, sedang saya hanya bisa pasrah berteriak minta tolong sambil melindungi diri dengan dua tangan.

“HAYO ! WA !”, Danan yang berada di depan tiba-tiba mencoba menggertak mereka dengan menghentakkan kakinya ke tanah dan membungkukkan sedikit kepalanya.

Anjing-anjing itu sejenak terlihat ragu. Danan mengulangi gertakannya. "WAA !!" Mereka mundur selangkah lagi setiap kali Danan mengulangi gertakannya. Melihat gelagat ini, saya mulai meniru apa yang Danan lakukan. Hanya saja sambil menggenggam batu.

“HAYO ! HA !” tiru saya menghentakkan kaki ke tanah sambil mengacungkan kepel yang berisi batu sebesar apel. Anjing-anjing itu mundur. Menjauh dari kami.

“Yes..yes..yes.. asune wedi...”, ujar Danan sambil nyengir.

“GRRRR !” gertak saya sambil memasang wajah seganas-ganasnya, segarang-garangnya. Seperti Legolas menggertak para Orc, seperti Bratasena  menghadapi Kurawa, seperti Wong Fei Hung di depan cecunguk genk laut utara. Anjing-anjing itu lalu mundur dan berlari. Dalam hati, mulut ini rasanya ingin berteriak: “WACHAAAAAA !!!”

------------------------------------------------------------------------------

Erix Soekamti dalam salah satu tayangan vlognya pernah berkata “Coba-coba saja, siapa tahu penemuan”. Hari ini sepertinya Danan berhasil membuktikan apa yang sudah Erix sampaikan. Dalam situasi terpojok, tanpa daya tanpa senjata, ia mencoba melawan dengan mengeluarkan gertakan. The Power of Kepepet. Tak disangka tak dinyana, ia justru berhasil menemukan fakta: Manusia lebih menyeramkan daripada anjing

Kami akhirnya mendorong motor Papa Haji sampai di Anggai. Sebelumnya, kami telah mencoba mencari penjual bensin di Desa Airmangga. Ada, memang. Ada dua. Tapi stok habis semua. Dengan terpaksa, kami pun mengerahkan segala tenaga. Memeras peluh keringat, untuk 1 jam mendorong yang penuh hina.

Tulisan ini panjang dan melelahkan. Tapi percayalah, perjalanan kami jauh lebih melelahkan. Sesampainya di rumah, kami langsung tertidur. Kami baru terjaga lagi pukul 10 dan segera bangkit menuju Masjid Anggai yang sedang dicat oleh anak-anak IPMA (Ikatan Pelajar Mahasiswa Anggai). Di Masjid, kami bertemu Bang Al Khadrin yang sudah mulai mengecat sejak jam 9 pagi tadi.

“Eh, telat Mas Bagus?”, tanya Bang Al.

“Iyo bang. Maaf, ketiduran gara-gara capek”,

“Capek baru apa kah?”,

“Tadi itu, saya dan Danang jadi pergi ke Airmangga. Tapi sampai disana bensin motor habis. Tarada yang jual bensin. Kosong ! Jadi torang harus dorong motor itu dari Airmangga sampai rumah lagi”,

“Astaga... jalang?”

“Iyo.. jalang sambil dorong satu jam”,

“Hahahaa.. mantap. Bagaimana, Tanjung Airmangga, bagus tarada?”

“Bagus e. Tapi mana, tarada pasir putih abang?”, tanya saya meyakinkan bahwa Bang Al bafoya (berbohong).

“Ada... tapi harus jalang ke balik tebing dulu”,

“Iyakah?? Iii.. tadi kami cuma sampai di depan tebing”,

“Berarti itu cuma sampai tempat parkir......”, tutup Bang Al.

29 Juni 2016


Di balik tebing ini lah ternyata Tanjung Air Mangga yang sesungguhnya. Ini cuma parkiran !
Sosok Danan

Share:

0 komentar