Catatan Baraobira Hari-3, TAHI KAMBING DI PULAU BACAN
“Percayalah nan, daripada ke
Singapore, perjalanan ke Obi ini jauh lebih menakjubkan. Ke Singapore mah tidak beda dengan pergi ke Jakarta”, kalimat ini saya
katakan kepada Danan, kormasit tim KKN Desa Anggai, ketika kami sedang berada
di kapal menuju Pulau Bacan. Bukan berlebihan, saya sungguh takjub akan suasana
malam ini. Saya berada di bagian buritan kapal. Hembusan angin malam dari atas
sini terasa cukup kencang, tetapi masih terasa lembut. Angin laut timur memang
tidak dingin menusuk, malah ia terasa menyegarkan. Barangkali karena cuaca malam
ini memang sedang cerah.
Ah ya, di malam hari, pulau
Ternate terlihat sangat terang berkat ribuan kerlap-kerlip lelampu tepi kota.
Berbeda dengan Ternate yang gemerlap, pulau Tidore yang ada di sebelahnya justru
terlihat misterius. Tak banyak lampu yang terangi malam harinya. Terlihat pulau
ini hanya diisi oleh beberapa kampung yang jarak antar kampungnya mungkin
berpuluh-puluh kilometer. Dimana letak kilau Tidore? Mungkin ada dibaliknya.
Entahlah...
Kapal terasa semakin cepat, kekuatannya
memecah ombak menjadi buih-buih air yang beriak. Saat saya mulai tercenung,
tiba-tiba bunyi intro sebuah lagu terdengar dari sound system dek yang disetel
dengan volume amat keras. Aih, speaker
superbass ini memunculkan irama musik pop 80-an, dengan slow beat yang
menggantung, yang kemudian diikuti oleh suara vokal dengan echo yang sedikit
terlampau tebal:
Dingin di malam ini
Sandiri beta di dalam kamar ini...
Harusnya malam ini
Ale ada disini
Batamang beta
Gantikan bantal polo ini
Asyik... ternyata para crew kapal
sedang berkaraoke lagu Ambon, saudara ! Kemudian, tak ada lain yang bisa saya
lakukan selain tertawa melihat banyak penumpang ternyata hafal lagu ini. Mereka
ikut bernyanyi bersama abang crew bertopi hitam yang dengan khidmatnya – sambil
memejamkan mata- melantunkan lagu ini dengan fals.
Harusnya malam ini
Ale ada disini
Batamang beta
Gantikan bantal polo ini
Tak terasa saya telah ikut hafal reff lagu ini...
-----------------------------------------------------------------------------
Kami sampai di pelabuhan Babang, Bacan, pukul 5 kurang
seperempat pagi. Seluruh tim Baraobira tidak ada yang bangun untuk sahur karena
tertidur kelelahan. Konon, imsyak disini baru dimulai pukul 5 pagi. Kekononan
ini tak saya sia-siakan, saya segera meneguk air mineral yang saya minta entah
dari siapa.
Sepertinya saya telah cukup istirahat. Ketika tersadar dari
tidur, tubuh ini terasa cukup segar. Kami pun mencari tas dan barang bawaan
kami masing-masing untuk dibawa turun dari kapal.
Pintu kapal pun dibuka, puluhan porter masuk ke dalam kapal
siap menawarkan jasa angkut untuk
barang-barang penumpang. Sahut menyahut dengan volume suara yang lantang
langsung membuat kami tersadar, kami sedang berada di Indonesia Timur !
Porter di pelabuhan Babang ternyata banyak yang masih muda.
Para juvenil timur ini banyak yang berbadan besar dan tegap. Salah satu dari mereka kemudian mendekat ke arah rombongan kami:
“Asli mana abang? Mau kemana? Butuh bantuan?”,
“Dari Jogja abang. Ada tugas kuliah, KKN di Obi. Tidak usah,
mau bawa sendiri saja”, saya menjawab abang porter ini sambil tersenyum,
berharap abang porter tidak memaksa untuk mengangkut barang-barang kami (seperti banyak saya temui di Jawa).
Ternyata porter muda justru balik tersenyum dan menanggapi
kalimat saya dengan ramah,
“Ih, jauh sekali e dari Jawa. Tahun lalu juga ada anak UGM
yang KKN di Bacan”. Ketika ia mengatakan hal tersebut, beberapa porter muda
lain menoleh ke arah kami. Mereka ikut mengarahkan senyumnya. Tak lama kemudian
semua porter itu telah pergi untuk mencari penumpang lain yang butuh jasanya.
“Ih, keren ya ! Mereka nggak maksa, nggak kayak di Jawa.
Kalau kita bilang nggak, mereka ya langsung cari penumpang lain. Padahal
orangnya keras, tapi baik-baik ya..”, ujar Apoy mencoba menarik kesimpulan dari
kejadian yang singkat tadi.
Kami turun mengangkut barang-barang kami. Anggota laki-laki banyak membantu mengangkat barang-barang milik perempuan - yang beban-bebannya jauh
lebih berat. Setelah semua barang
terkumpul di area luar kapal, ternyata kami sudah dijemput oleh sebuah bus yang disediakan oleh Dinas Pariwisata Halmahera Selatan.
“Kita mau kemana gil?” tanya saya pada Gilang, kormanit
Baraobira.
“Mau ke pesanggrahan dulu”, jawab Gilang dan ia kemudian
menyampaikan instruksi ke semua teman-teman,
“Selamat pagi teman-teman. Setelah ini, kita akan menuju ke
Pesanggrahan yang disediakan pemda Halsel. Nanti, kita akan singgah dulu di
Bacan 2 hari. Jadi, kita baru akan naik kapal ke Obi 2 hari setelah ini.
Sekarang periksa barang masing-masing dan segera naik bus ya”.
-----------------------------------------------------------------------------
Perjalanan di bus diwarnai dengan
candaan bahasa Ambon – yang semalam baru kita dengar di kapal.
“Beta... ingin berdua dengan ale... diantara daun... gugur......”
“Ale ale ale ale lagi, rindu
rindu rindu lagi, ah bete beta, aiya iya iya...”
“Krincing-krincing”, gemerincing
receh bersahutan dengan tawa kami yang begitu lepas. Sepertinya suasana syahdu
nan gembira di kapal berhasil memberi energi positif pada tim kami.
Setelah kurang lebih 40 menit
perjalanan, tibalah kami di pesanggrahan yang kami tuju. Pesanggrahan ini
adalah rumah yang akan kami gunakan untuk menginap selama 2 malam. Tempat ini
sudah dipesan oleh kormanit Gilang jauh-jauh hari sebelum keberangkatan kami ke
Obi. Gilang yang berkordinasi dengan pemda Halsel meminta disediakan satu rumah
saja supaya tim kami bisa mengambil jeda sejenak setelah perjalanan yang
melelahkan selama lebih dari 36 jam. Selain alasan kelelahan, praktis ada satu
alasan lain mengapa kormanit Gilang meminta kepada pemerintah daerah untuk
menyediakan satu pesanggrahan ini: sampai detik ini kami belum mendapatkan
kepastian 100% mengenai siapa mama papa piara kami. Untuk itu, Gilang bersama 2
kormasit yaitu Danan dan Gatot akan berangkat dulu ke Pulau Obi untuk
memastikan siapa saja para mama papa piara. Sembari menunggu kepastian
tersebut, anggota tim Baraobira lain yang berjumlah 26 diharap untuk singgah
dulu di Bacan untuk rehat mengisi energi sejenak.
Turun dari bus, ternyata kami
belum bisa langsung masuk ke pesanggrahan. Pesanggrahan yang modelnya mirip model rumah perumahan satu lantai ini masih terkunci. Selain itu belum tampak perwakilan pemda Halsel yang
menyambut kami. Saya mencoba berpikir positif, santai saja lah, barangkali setengah jam lagi akan ada
perwakilan Pemda yang datang.
Bak gaung bersambut, tak lama
kemudian datanglah Pak Nur Kamarullah. Pak Nur adalah anggota dinas Pariwisata
Kabupaten Halsel yang pagi ini mendapat tugas untuk menengok kami. Begitu turun
dari mobil, beliau langsung memperkenalkan dirinya dengan ramah. Beliau
bercerita bahwa beliau pun pernah merasakan kuliah di Jogja bahkan merasakan
KKN disana. Menyadari bahwa kami terlihat cukup kelelahan, beliau akhirnya
segera menyelesaikan ceritanya dan memberikan kunci pintu pesanggrahan.
Pintu pesanggrahan pun dibuka,
saya sudah tidak sabar untuk segera menuju ke kamar dan segera menata barang
lalu merebahkan badan. Namun tanpa disangka, kami justru disambut oleh banyak sekali sampah-sampah berceceran di ruang tamu depan. Puluhan plastik makanan ringan,
kulit kacang, hingga kotoran tikus terlihat berdesakan dan berlomba ingin menjadi
yang paling kontras. Begitu kami masuk ke dalamnya, debu-debu coklat terlihat menempel di atas meja kaca. Debu-debu ini saya rasa kaget melihat ada manusia lagi
yang masuk ke ruang nyamannya. Ih, saya pikir rumah ini sudah berbulan-bulan,
barangkali satu tahun tidak dibersihkan !
Kami masih mencoba berpikir positif dengan pemandangan yang kacau ini.
“Mungkin KKN memang harus
prihatin sejak dari awal”, pikir saya.
Tak mau terlarut dalam suasana
yang pengap ini, kami segera membuka pintu lebar-lebar dan memasukkan semua barang
bawaan ke dalam pesanggrahan. Beberapa anak lelaki, termasuk saya membuka pintu
belakang dan melihat seperti apa bentuk pesanggrahan ini dari dalam.
Pesanggrahan ini ternyata cukup luas. Tepat didepan pintu yang baru saja kami
buka, terbentang koridor sepanjang 10 meter, di sepanjang koridor itu terdapat
6 pintu kamar yang semuanya masih tertutup rapat. Di sebelah barat koridor,
terdapat pendopo berukuran 3x3 meter yang dikelilingi oleh rumput-rumput liar
yang cukup tinggi.
“Mbeeeek”, ternyata ada dua ekor kambing sedang menyantap rumput-rumput di sekeliling pendopo. Seketika saat melihat kedatangan kami, kambing itu langsung kaget dan gelisah. Mereka berlari mencari jalan keluar supaya tidak berpapasan lagi dengan manusia yang asing ini.
“Mbeeeek”, ternyata ada dua ekor kambing sedang menyantap rumput-rumput di sekeliling pendopo. Seketika saat melihat kedatangan kami, kambing itu langsung kaget dan gelisah. Mereka berlari mencari jalan keluar supaya tidak berpapasan lagi dengan manusia yang asing ini.
“Oh shit !!!”,
“Taekkk !!!”,
“Mbelek !!!”
Kali ini dengan kesadaran yang
paling terang, saya katakan bahwa tiga kata diatas bukanlah suatu umpatan, namun ungkapan kesaksian atas realita yang
ada di depan mata kami: Pesanggrahan ini
penuh tahi kambing !
Sepanjang koridor, tahi-tahi
kambing yang binal itu berjajar dari yang lembek basah sampai yang kering
renyah. Di sela-sela rerumputan, tahi-tahi kambing lainnya saling berjejalan
berusaha menampakkan warnanya yang gelap (mengkilap). Yang paling menyedihkan adalah
keadaan pendopo : di atas lantainya terdapat banyak gelas dan piring kotor
yang di dalamnya tak luput dari penjajahan tahi-tahi kambing.
Semua berubah sejak tahi-tahi
kambing menyerang...
Kenangan sendu melagu di atas
kapal, candaan bahasa Ambon yang menggairahkan dalam sekejap berubah menjadi
kisah murung tentang bebauan feses yang menyebalkan.
Kisah belum selesai sampai
disini. Melihat pesanggrahan yang sangat kotor, kami segera berinisiatif –
daripada malah mengeluh - untuk segera menyucikan tempat singgah ini. Saya, Febri,
dan Ongri mencoba mencari sapu di sepanjang koridor, tapi tidak menemukan.
Kami kemudian menuju pintu yang ada di ujung utara koridor. Pintu ini ternyata menghubungkan koridor tempat kami berdiri dengan rumah bagian belakang yang jauh lebih luas dan berlantai dua.
Kami kemudian menuju pintu yang ada di ujung utara koridor. Pintu ini ternyata menghubungkan koridor tempat kami berdiri dengan rumah bagian belakang yang jauh lebih luas dan berlantai dua.
Setelah pintu berhasil dibuka,
kami pun segera masuk ke sebuah aula yang luasnya sekitar 8x10 meter. Anehnya,
begitu kami masuk, hawa dingin dan lembab langsung menyeruak dari sekeliling aula
yang gelap ini. Aula ini saya yakin sudah lama tidak dibuka. Debu-debu tebal menempel di keramiknya yang putih, di bagian tengah terdapat sebuah meja makan
yang dikelilingi oleh kursi-kursi kayu yang tidak tertata rapi, lalu di sebelah
timur terdapat seonggok kursi tua yang memojok sendirian tepat
di depan sebuah pintu.
“Ih, siapa sih yang taruh kursi
itu di depan pintu?”, tanya Febri.
“Aku langsung merinding cuk liat
kursi itu”, bisik Ongri.
Dalam imajinasi saya, di kursi
itu sedang terduduk seorang kakek tua berambut putih, berwajah pucat dan
matanya sayu, memakai sarung tapi tidak berbaju. Ia termangu menatap kami dalam diam yang datar dan dingin...
Sepertinya ini efek nonton
Conjuring 2, hehehe...
Tanpa mau berlama-lama, kami pun
segera mengalihkan fokus dari pemandangan creepy seonggok kursi di pojokan itu.
Kami segera mencari air bersih demi
membilas kumpulan tahi-tahi. Tapi malang... Baik kamar mandi yang ada di lantai
satu maupun lantai 2, tidak ada satupun yang memiliki air mengalir. Di dalamnya
hanya ada airkeruh yang tergenang di dalam bak, dipenuhi
dengan kotoran cicak, tikus, dan ribuan uget-uget alias jentik
nyamuk.
Melihat hal ini, selanjutnya
tidak banyak hal lagi yang bisa kami lakukan. Kami tetap mencoba membersihkan
ruangan depan sebisanya, menyiram tahi-tahi di koridor dengan air seadanya,
lalu membersihkan debu yang ada dalam kamar dengan gebugan tangan semampunya.
Pada akhirnya, karena kelelahan para
laki-laki tetap tidur di kamar-kamar berdebu di dalam pesanggrahan. Terhitung
hanya ada dua kamar di lantai satu yang kami gunakan, sisanya begadang di ruang
depan. Selain itu, tidak ada yang mau tidur di kamar atas – setelah Febri
mengaku melihat kursi di lantai dua yang bergeser dan bergerak sendiri. Disisi
lain, para perempuan Baraobira tidak ada yang kuat menghirup dedebuan yang ada
di dalam pesanggrahan, mereka ber-16 akhirnya memutuskan beristirahat di Masjid
dekat pesanggrahan (Di malam hari, mereka juga memutuskan untuk menginap di
masjid ini).
Pada akhirnya Bacan yang kami
kenang pun bukan tentang indah pulaunya, bukan pula tentang kilau batunya,
namun tentang bebauannya. :)
Di tengah kekecewaan akan apa
yang terjadi hari ini, saya masih bisa bersyukur akan tiga hal yang terjadi di
Pulau Bacan:
1. Pak Nur Kamarullah - selaku bagian dari pemda - dengan
sangat ksatria meminta maaf dan mengaku menyesal atas apa yang terjadi hari
ini. Beliau mengakui bahwa semua ini disebabkan kurang baiknya kordinasi di
internal pemerintah sendiri (Semoga bisa jadi evaluasi untuk Pemda Halsel
supaya tim KKN lain tidak bernasib sama seperti kami).
2. Saya masih bisa menjelajah Pulau Bacan,
mengunjungi Pantai Dermaga Biru dan Air Terjun Bibinoi. Semua ini berkat
Joshua, kawan kami yang paling hobi berkeliaran. Dari hobinya berkeliaran, ia
mendapat kenalan seorang pendeta yang sangat baik. Pendeta itu kemudian
mengajak Joshua untuk mengexplore Bacan dengan mobil APV-nya. Joshua lalu mengajak
saya, Febri, Destya, dan Devina.
3. Suasana pesanggrahan yang kurang nyaman membuat
saya dan Jovi semangat berangkat masjid untuk jama’ahan.
21 Juni 2016
Setelah selesai bersih-bersih pesanggrahan, kami ikut keluarga pendeta untuk baronda/jalan-jalan. |
Dermaga Biru, Bacan |
Air Terjun Bibinoi |
0 komentar