Catatan Baraobira Hari-4, SAMBUTAN OMPALA ANGGAI-SAMBIKI

“Besok pagi, adik-adik harus sudah berada di pelabuhan Kupal sebelum jam 8 pagi. Tiket kapal sudah saya pesankan. Saya tidak mau adik-adik tinggal lama di pesanggrahan ini, saya malu sekali rasanya kalau kalian lebih lama tinggal disini” – Pak Nur Kamarullah, 21 Juni 2016

Manusia boleh merencanakan, tapi akhirnya Tuhan lah yang menentukan. Agenda dua hari di Pulau Bacan akhirnya terpaksa batal akibat tragedi kandhang kambing yang terjadi kemarin. Secara mendadak, Pak Nur mengabarkan bahwa ia telah memesan tiket untuk Tim Baraobira supaya bisa berangkat hari ini, 22 Juni 2016, menyeberang menuju Pulau Obi. Bukan hanya memesankan tiket, beliau bahkan membayarkan tiket untuk kami ber-22. Terima kasih Pak Nur...

Ya, 22 anggota tim akan menyusul Gilang, Danan, dan Gatot yang sudah terlebih dahulu tiba di Pulau Obi. Sedangkan 4 anggota lainnya masih singgah di Pulau Bacan untuk menunggu kedatangan Dosen Pembimbing Lapangan yang akan menyusul 2 hari lagi. Tenang saja, mereka tidak menginap di pesanggrahan bau nan angker itu, mereka kabarnya akan mencari penginapan untuk mereka tinggal disana. Sampai jumpa Umar, Haviz, Ismi, dan Hasta !

---------------------------------------------------------

“Wih, hujannya kok air ya”, kata Gita, mahasiswi D4 Kebidanan yang “masyhur” akan tutur katanya yang receh dan nirmakna. Candaan aneh ini ia katakan sambil menengadahkan tangannya keluar dari jendela kapal yang baru kami tumpangi.

Kami su sampai di Pulau Obi !

Cuaca sedang mendung dan gerimis ketika kami tiba di Pelabuhan Jikotamo. Dari atas kapal, kami bisa melihat Gilang, Danan, dan Gatot sedang bergerimis ria sambil menunggu kami turun.

Kami segera turun dan menjejakkan kaki di Pulau Obi. Apa yang terlihat menarik dari Pulau ini? Ih, banyak sekali orang Tiongkok disini ! Siapa mereka? Sedang apa disini? Pertanyaan ini harus segera mendapat jawaban besok.

“Bagaimana perjalanannya?”, tanya salah seorang abang yang ikut bersama Gilang, Danan, dan Gatot.

“Hujan deras, ombak besar bang. Pusing di kapal, jadi tadi semuanya tidur...”, jawab saya. Berbeda dengan perjalanan laut Ternate-Bacan yang syahdu, perjalanan Bacan-Obi justru harus dilalui dengan ombak laut yang besar. Saya sempat mual dan hampir mabuk, tapi beruntung saya segera tertidur dan tidak sampai muntah.

Abang yang baru saja bertanya pada saya ini bernama Abang Rusdi. Ia mengaku selalu berkordinasi dengan Gilang perihal keberangkatan kami ke Pulau Obi. Selain Bang Rusdi, kami juga disambut oleh Abang Man alias Paman. Paman kabarnya adalah orang yang tahun lalu banyak membantu tim KKN Pulau Obi ketika bertugas di Laiwui dan Jikotamo.

“Ya, selamat sore adik-adik. Selamat datang di Pulau Obi. Sebentar, kita akan berangkat menuju Desa Sambiki dan Anggai, tempat adik-adik semua akan mengabdi. Nanti kita akan berangkat menggunakan Otto. Tahu apa itu Otto? Otto itu mobil. Setelah ini, kita akan berkunjung ke rumah Ompala Sambiki dulu, baru kemudian kita akan menuju Anggai. Apa itu Ompala? Ompala itu artinya Kepala Desa. Jadi adik-adik boleh segera mengemas barangnya dan menaruhnya di atas mobil pick-up, lalu segera masuk ke Otto yang sudah dipersiapkan”, terang Paman, mengajak kami untuk segera berangkat.



Pelabuhan Jikotamo/Laiwui
----------------------------------------------------------------------------

Saya suka Indonesia Timur karena para sopir Otto menyetel sound system mobil mereka dengan amat keras. Dengan sound superbassnya, mereka menerabas jalan off-road Laiwui-Sambiki dengan sungguh nikmatnya.

Dari jarak 100 meter lebih pun, saya yakin alunan lagu Oplosan dari Otto ini bisa terdengar dengan amat jelas. 

“Kalau di Jawa nyetel musik sekeras ini, kita bisa dihajar massa”, ujar Danan kepada Abang Sopir berbadan besar yang bernama Bang Iron.

“Kalau disini, tarada yang marah. Tara usah punya sound kalau mau setel musik kecil-kecil”, tanggapnya sambil tertawa.

Perjalanan Laiwui-Sambiki berlalu dengan suka cita. Bukan hanya karena musik sound yang menghibur, tapi juga karena pemandangan di kanan kiri jalan yang amat elok. Di kanan jalan, terhampar bukit-bukit hijau yang dipenuhi pepohonan cengkih dan pala. Di kiri jalan, terbentang pemandangan bahari yang persis berada di sebelah sabana tempat sapi-sapi mengunyah rumput.








-----------------------------------------------------------------------------


Rumah pertama yang kami kunjungi di Pulau Obi adalah rumah Ompala desa Sambiki. Ompala Sambiki bernama Bapak Haerudin, beliau sudah menjabat sebagai Kepala Desa Sambiki selama dua periode. Ompala memiliki perawakan yang tidak terlalu besar, namun rahang keras khas orang Timur plus warna kulit yang hitam kecoklatan tampak memberi kesan gahar padanya. Ompala Khairrudin sepertinya tidak terlalu ekspresif, raut mukanya terlihat datar - cenderung kaku - ketika menyambut kedatangan kami. Sore ini Ompala memakai kemeja warna abu-abu dan memakai sarung biru sebagai setelannya. Beliau duduk di atas kursi sofa, sedang kami duduk lesehan menghadap Ompala.

Saya merasa kurang suka dengan cara Ompala menyambut tamu,

“Ih, seperti menghadap raja”, bisik saya kepada Danan yang duduk di samping saya. Ishh.. Tak sampai satu detik, saya sedikit menyesal mengatakan itu. Barangkali memang begini budaya di Indonesia Timur, seorang Ompala mungkin memang sangat dihormati, sehingga tidak sepatutnya saya mempermasalahkan hal sekecil ini untuk menuruti ego anti-feodalisme saya. Saya pikir, saya harus lebih bersabar dalam menilai apa yang saya temui di depan mata.

Setelah semua duduk dengan rapi, Kormanit Gilang kemudian membuka pertemuan sore ini dengan prolog yang lebih berbau formalitas.

“Terima kasih telah menyambut kami. Disini kami hendak mengabdi, semoga ilmu yang telah kami peroleh di kampus bisa bermanfaat untuk warga Sambiki.”

Kormanit Gilang selanjutnya sedikit menjelaskan tentang rencana program kerja yang akan kami lakukan di Pulau Obi,

“Program utama kami adalah sosialisasi pengolahan sumber daya alam yang terdapat di Sambiki dan Anggai, terutama pengolahan daun cengkih menjadi minyak atsiri dan pengolahan batok kelapa menjadi briket. Selain itu, akan ada program pendidikan, pengolahan hasil laut, dan lain-lain”.

Selepas Kormanit Gilang selesai menyampaikan kalimat pembukanya, tibalah giliran Ompala Sambiki yang kini memberi sambutan. Diawali dengan prolog berupa ucapan selamat datang dan ucapan terima kasih, Ompala selanjutnya justru sedikit menyinggung tentang keadaan sosial di Desa Sambiki dan Anggai.

“Desa Sambiki dan Anggai ini bertetangga, tetapi warganya tara akur. Sering terjadi perkelahian antar anak muda. Sebenarnya kalau saya sendiri tara punya masalah apa-apa. Saya menganggap semua adalah saudara. Tapi kalian tara usah terlalu memikirkan soal ini....”, cerita Ompala Sambiki, masih dengan wajah yang minim ekspresi.




Ompala Sambiki


-----------------------------------------------------------------------------

Tim Baraobira telah terbagi menjadi dua, yang separuh akan mengecap 40 hari di Desa Sambiki, sedang sisanya akan tinggal di Desa Anggai. Saya termasuk anggota Sub-Unit Desa Anggai.

Adzan maghrib telah berkumandang ketika kami (Tim Baraobira Sub-Unit Desa Anggai) bersama Bang Rusdi dan Paman tiba di rumah Ompala Anggai, Bapak Salamat Gorap. Ompala Anggai tinggal di rumah yang sangat sederhana. Rumah ompala berdinding kayu yang dicat dengan warna putih, lantainya tidak terbuat dari keramik melainkan semen yang diplester halus. Pintu rumah Ompala saat ini masih terbuka. Ketika pintu rumah orang Obi terbuka, artinya tamu boleh langsung masuk ke dalam rumah bahkan masuk hingga ke dapur – Hanya kamar yang tidak boleh disambangi.

“Assalammualaikum...”, kami tetap mengucapkan salam kendati pintu sudah terbuka.

“Waalaikumsalam... Sudah buka puasa kah? Mari kita buka puasa dulu”, sambut Ompala sambil tersenyum. Ompala Anggai yang berbadan cukup gempal ini, malam ini memakai kemeja panjang warna coklat, bersarung merah, dan memakai songkok warna hitam motif putih. Berbeda dengan Ompala Sambiki yang tadi terlihat gahar, ompala Anggai terlihat lebih ramah dan proaktif.

Kami duduk lesehan diatas kelasa anyam yang di beberapa bagian ditumpuk dengan matras hijau bermotif gambar warna-warni. Sembari menunggu datangnya hidangan buka puasa, Kormanit Gilang kembali membuka acara penyambutan ini.

Setelah memberi sambutan singkat dan memperkenalkan masing-masing anggota yang ada di tempat, kami kemudian menunggu giliran Ompala untuk memberikan sambutannya. Sebelum memulai sambutannya, Ompala menyuruh kami untuk minum teh terlebih dahulu supaya puasa kami batal.

“Selamat datang di Desa Anggai. Karena sudah berada di Anggai, maka adik-adik harus belajar juga menjadi orang Anggai. Belajar bahasa orang Obi. Kalau tidak, bilang tara. Tarada, itu artinya tidak ada. Orang timur ini kalau bicara keras-keras, tapi bukan berarti hati kami juga keras. Torang punya hati lembut”, ujar Ompala disambut dengan tawa kami.

Saya pikir Ompala Anggai telah menyambut kami dengan ramah dan baik. Setelah hidangan sampai di depan kami, Ompala bahkan memperkenalkan nama-nama makanan yang akan kami lahap:

“Kalau disini setiap hari torang makan dengan Ikang (Ikan). Semoga cocok dengan masakan timur. Ini disini ada panada, sayuran dari jantung pisang. Ini rica pedas (sambal), jangan makan banyak-banyak dulu”.

Bak politik meja makan à la Jokowi, kami dari pihak mahasiswa maupun desa sama-sama memanfaatkan moment buka bersama ini sebagai ajang untuk mendekatkan diri. Sembari menyantap hidangan nasi ikang yang gurih pedas, kami menyempatkan diri untuk menjelaskan rencana program-program kami: Sosialisasi briket, minyak atsiri, pengadaan taman baca, hingga kelas bahasa Inggris. Paman selanjutnya menambahkan kalau masyarakat juga perlu diajari cara pembuatan selai pala. Bang Rusdi jarang bicara serius, dia lebih sering menasihati supaya kami tidak boleh malu-malu ketika berada di Indonesia Timur. Sedangkan Ompala menutup perbincangan akrab malam ini dengan menceritakan suasana yang tidak akur antara Desa Anggai dengan Desa Sambiki (Sepertinya persoalan ini benar-benar serius !)

Tak terasa sudah pukul setengah 8 malam, kami mengakhiri buka bersama yang mesra ini dengan berpamitan pada Ompala. Bang Rusdi selanjutnya mengantarkan kami pada mama papa pihara masing-masing.

Gita dan Destya tinggal di rumah seorang bidan. Cocok sekali saya pikir. Gita yang notabene adalah mahasiswa D4 kebidanan akan mendapat teman berbincang yang sebidang.

Resti dan Istin tinggal di rumah Bapak Sukri, Tabah dan Devina tinggal di rumah sebelahnya yaitu rumah Ibu Nas. Sedangkan Nila dan Rosa tinggal di rumah Ibu Arfah.

Gilang bersama Baba tinggal di rumah Bapak Menko. Saya suka sekali nama papanya Gilang dan Baba, Bapak Menko pasti orangnya sangar ! Saya sendiri tinggal bersama Kormasit Danan di rumah Bapak Sami.

“Assalammualaikum, kami Bagus dan Danan, mahasiswa UGM yang akan tinggal disini selama satu setengah bulan, bapak”,

“Haji Sami !”, balas papa pihara saya sambil menjabat tangan dengan erat dan mantap.

“Wih, bapak’e dewe haji nan... Kudu sregep tarawih iki (Wih, ayah kita seorang haji nan. Kita harus rajin tarawih nih)”.

“Wadaw....”, balas Danan.

22 Juni 2016


Ompala yang berkemeja coklat, di sebelah kanannya ada Bang Rusdi



Share:

0 komentar