Catatan Baraobira hari-2, TERIK KOTA TERNATE DAN GUYON WATON MAS AZRI

Ukuran bus ini terlalu kecil. Sesaknya bus yang saya naiki membuat saya tertidur juga karena lelahnya duduk dengan ruang yang amat terbatas . Tak terasa waktu telah menunjuk angka tiga pagi. Ketika mata terbuka, kami telah tiba di pintu tol bandara Juanda. Timbul sedikit penyesalan, mengapa saya tidak terjaga dan melihat kota Surabaya? Sampai usia 21 ini saya belum pernah melihat secara langsung kota Surabaya. Surabaya justru lebih saya kenal lewat lagu-lagu Silam Pukau. Ah, Silam Pukau ! Lirik-liriknya selalu mampu menyendukan rasa dalam sekejap. Kesenduan yang menyayat dalam lagu Silam Pukau persis dengan kisah-kisah di Wonokromo dalam tetralogi Buru Pram (Wonokromo juga bagian Surabaya ya? Kesenduan Surabaya sungguh melegenda ya).

Jika mendengar kata pesawat, saya tiba-tiba teringat celetukan Al di Burjo Samiasih beberapa waktu lalu.

“Cuk, doakan aku selamat lah. Aku takut beneran naik pesawat”, ujarnya. Dalam ucapannya yang dibuat lugu itu, masing-masing dari kami membalasnya dengan tawa. Tak jarang kami malah semakin menakut-nakutinya, seperti halnya apa yang dilakukan Dape’

“Kamu naik Garuda to cuk? Segera tobat wae, garuda itu paling sering kecelakaan”,

Ucapan Dape’ disahut dengan tawa lepas, sedangkan Al kendati ikut tertawa tetap terlihat raut ketakutan di wajahnya.

Mengingat hal itu, saya sejujurnya ingin mengakui bahwa saya pun selalu ketakutan dalam setiap perjalanan berkendara. Bagi saya, perjalanan dengan moda transportasi apapun adalah waktu ketika diri dalam keadaan setengah mati. Ketika mengendarai motor dengan kecepatan diatas 70, kita mudah saja tergelincir dan jatuh. Ketika naik perahu, begitu mudah ombak liar menjungkir baliknya,lalu kita akan tenggelam. Ketika naik pesawat, siapa yang menjamin bahwa kita akan selamat dalam perjalanan 5 menit pertama? Kita begitu dekat dengan kematian ketika dalam perjalanan. Itulah mengapa setiap perjalanan tak bisa tidak harus diiringi dengan doa dan perasaan pasrah ikhlas.

Bismillahirahmanirrahim,

Perjalanan dengan pesawat pun dimulai pukul 6 pagi dari Juanda…

TIBA DI PULAU TERNATE

Saya belum pernah melihat pemandangan seperti ini ! Ternate ternyata adalah sebuah gunung yang terletak di tengah laut biru. Layaknya kebanyakan gunung, ia berbentuk seperti topi caping, mengerucut dari kaki ke puncaknya. Dari jendela si burung besi, saya bisa menyaksikan sebuah gunung besar yang hijau, yang di kakinya lah terlihat adanya peradaban. Peradaban itu adalah kota Ternate yang sebentar lagi akan saya jajaki !

Sriwijaya air yang kami tumpangi akhirnya selesai juga mengepakkan sayapnya di Bandara Sultan Babullah. Begitu sampai di Ternate, kami disambut oleh terik matahari timur yang begitu menyengat. Aih, ini lebih panas daripada matahari Jogja… Kulit tubuh yang masih lembab oleh dinginnya AC pesawat pun tak pelak kaget ketika harus menyesuaikan dengan udara yang kering dan panas ini.

Namun fokus pada panas Ternate bisa segera teralihkan oleh pemandangan bandara Sultan Babullah yang terletak tepat di tepi laut dan tepat pula di lereng gunung. Ya, bandara ini diapit oleh laut dan gunung sekaligus. Ia diapit oleh warna biru dan hijau ! Ternyata begini keindahan Pulau/Gunung Ternate.





Pulau/Gunung Ternate?

Di depan bandara, kami sudah dijemput oleh enam mobil. Saya tak tahu mobil-mobil ini akan membawa kami kemana, kabarnya ia akan membawa kami ke rumah saudara dari Umar, salah satu anggota tim KKN kami yang merupakan putra asli Ternate. Yang jelas, saya hanya ingin segera naik mobil: bukan sekedar untuk menghindari terik matahari yang menyengat, namun juga untuk melihat dari balik kaca seperti apa kota Ternate itu.

Ternate ternyata adalah sebuah kota yang modern dan sudah sangat tersentuh oleh arus pembangunan. Sepanjang jalan, kita bisa melihat pertokoan, kantor-kantor jasa, bahkan mall. Ia tidak begitu berbeda dengan Sleman, hanya saja kota Ternate terlihat lebih rapi dan bersih. Arus lalu lintas disini masih belum padat. Ia tidak seperti Jogja apalagi Jakarta, yang begitu macat. Yang indah dari Ternate adalah, Kota Ternate benar-benar terletak di tepi laut. Jadi, kita bisa melihat sebuah kota yang rapi dan modern di samping kanan, dan hamparan laut biru di sisi lainnya.

CELETUKAN WATON AZRI

Ternate adalah perpaduan kota yang modern, gunung yang menjulang, dan laut yang menghampar. Pemandangan tipe ini baru sekali saya lihat, pun dengan teman-teman yang satu mobil dengan saya: Gatot, Azri, dan Febri. Hal ini membuat kami enggan tertidur meskipun badan sebenarnya sangat lelah.

Perjalanan ini pun diisi dengan candaan dan puluh komentar atas apapun yang kami temukan di depan mata,

“Wih..ada mall juga”

“Wih..banyak masjid gede ya”

“Ih, tukang cukurnya tetap orang Madura ya”, kata Azri.

Abang supir pun menyahut candaan kami dengan logat timurnya,

“Torang tidak percaya kalau cukur bukan sama orang Madura”,

Suasana pun menjadi cair berkat sikap kami yang seperti anak SD sedang berwisata.

Sampai akhirnya ketika kami mulai memasuki perkampungan, mobil kami harus terhenti karena seorang bocah perempuan yang bersepeda di tengah jalan.

“Piiip..Piip”, Abang Sopir memberi klaxon pada bocah tersebut.

 “Asik benar ya, sepedaan di tengah jalan”, sahut saya.

Semua masih berjalan normal, hingga tiba-tiba si Azri, kawan kami dari fakultas Biologi menyampaikan sebuah candaan tentang si bocah yang sungguh tidak intelek, alias telek...

Sambil tertawa dan nyengir si Azri berkata “Kayaknya ini standar pendidikan disini coy”,

Zingggg..... komentar Azri atas si bocah pesepeda itu sungguh diluar dugaan kami. Sebelum saya sempat memikirkan dimana letak cacatnya candaan ini, entah bagaimana suasana tiba-tiba sudah menjadi asing dan dingin. Dalam batin, saya berdoa semoga si abang sopir tidak tersinggung atas candaan yang mirip candaan Billy Saputra itu.

“Cuk, lek dihajar abang sopir yo modyar iki !”, batin saya.

Si Gatot langsung menginjak kaki Azri. Si Febri mungkin hendak sedikit menanggapi dan mencairkan suasana. Saya juga ingin mencoba tertawa.

Namun gagal... Semua terdiam dan suasana menjadi begitu awkward. Untuk pertama kalinya kami merasakan dingin yang menusuk di kota Ternate.

Zingggg... sisa perjalanan 10 menit terasa seperti 10 tahun. Beruntung si abang sopir tidak menanggapi candaan tadi, entah tidak dengar atau pura-pura tidak dengar.

------------------------------------------------------------------------------------------

“Bajilak, pekok tenan kowe jri...”, seru Gatot,

“Ati-ati lek guyon jri, ojo kemaki”, sahut saya sedikit jengkel. Saya pikir, secara nirsadar terselip  rasa superioritas barat atas timur dalam candaan ini. Hal yang sangat haram dilakukan oleh mahasiswa yang hendak terjun KKN.

“Wah..sori tenan mas, aku keceplosan”, balas Azri terlihat menyesali perbuatannya yang sporadis tadi.

Turun dari mobil, kami pun disambut oleh keluarga dari Umar. Mereka tinggal di sebuah perkampungan dekat pantai Falajava. Kami yang berjumlah 29 akhirnya dibagi dalam 3 rumah. Beruntung, khusus para laki-laki, kami diberikan penginapan supaya bisa istirahat dan mandi dengan nyaman. Ah ya, kami memang tak punya waktu banyak di Ternate. Ini sudah pukul 2 siang, dan nanti jam 9 malam kami harus sudah tiba di Pelabuhan Bastiong untuk melanjutkan perjalanan menuju Pulau Bacan.

Saya beristirahat sejenak di kamar penginapan yang sebelumnya telah dipesankan oleh Bibinya Umar. Rencananya, saya hendak tidur puas sampai waktu menjelang buka puasa.

Buka puasa???

Wih..wih.. saya baru ingat, saya kan sudah makan nasi ayam, teh hangat, dan puding strawberry di Sriwijaya Air tadi pagi.

“Duo sipit, menelan di udara”, tulis Ongri di status Linenya, menyairkan kisah Bagus dan Apoy, 2 sahabat musafirnya...

Ternate, 20 Juni 2016


Saya tidak jadi tidur. Akhirnya ngabuburit di Pantai Falajava, Ternate.



Azri yang pakai topi Baraobira. Hai cah waton ! Huehehe..


Share:

2 komentar