Catatan Baraobira Hari-5, MALAM PERKENALAN: MENYULUT BARA OBIRA
“Teman-teman, di awal-awal KKN
ini jangan dulu pikirkan soal program. Tugas awal kita adalah bersosialisasi
dengan masyarakat. Jangan segan untuk menyapa orang di jalan. Kalau berjalan
jangan bergerombol, orang sini tidak suka lihat kita bergerombol”, ujar Kormasit
Danan yang memulai pagi pertama di Anggai dengan rapat singkat di muka balai
desa.
“Danan, saya sarankan kita harus
jalan-jalan dulu ke Sambiki supaya kita juga tahu rumah teman-teman kita yang
ada disana. Siapa tahu kita butuh kordinasi mendadak kan mudah carinya”, saran saya kepada Kormasit Danan,
teman-teman yang lain ikut mengangguk.
“Oke, sepakat. Mumpung masih
selo, setelah ini kita jalan-jalan ke Sambiki, nanti dilanjutkan dengan
keliling Anggai. Sekali lagi, jangan bergerombol”, kormasit mengulangi instruksi ini untuk kedua kalinya.
Sesuai titah kormasit, kami pun
mulai berjalan tanpa bergerombol menuju Desa Sambiki, desa yang tepat berada di
sebelah barat Desa Anggai. Belum sampai 100 meter berjalan, Bang Rusdi tiba-tiba
menyapa kami, “Hei, mau pergi kemana kalian?”,
“Ke Sangkibi bang, alias Sambiki.
Mau jalan-jalan dan kordinasi dengan anak-anak yang ada disana”.
“Oke, saya ikut baronda. Disini
kalau jalan-jalan, orang bilangnya baronda”, ujar Bang Rusdi yang langsung ikut
bergabung. Karena sudah ada bang Rusdi, kami pun akhirnya bergerombol mengikuti Bang Rusdi,
menempatkan diri sebagai sekelompok baru yang ditemani seorang guide.
“Permisi bapak...”,
“Mari mama...”,
Kami tak henti-henti menyapa orang-orang
yang bertatap di tepi jalan. Sekali-kali mereka bertanya siapa kami dan dalam
hajatan apa kami sampai di Obi. Kami pun menjawab satu persatu pertanyaan
dengan santai dan tenang.
“Kami mahasiswa dari UGM Jogja
mama... Mau KKN atau Kuliah Kerja Nyata disini”,
“2 tahun lalu disini juga ada
yang KKN dari Unkhair (Universitas Khairun) Ternate. Tapi kalian, jauh sekali
e dari Jawa kesini...Semoga betah di Pulau Obi e”, ujar seorang mama yang kami
temui di jalan.
“Nanti malam, akan ada perkenalan
mahasiswa dengan warga. Datang saja ngoni (kalian) ke Balai Desa”, Bang Rusdi
tiba-tiba memotong pembicaraan kami.
“Haa, serius nanti malam bang?”,
kami justru kaget dengan perkataan Bang Rusdi. Kami memang sudah berencana akan
mengadakan malam perkenalan dan presentasi program, tapi bukan malam ini.
“Iya nanti malam. Tara usah
terlalu lama, warga juga sudah ingin kenal dengan kalian”.
“Eee.. ini tokoh pendidikan satu ini, sukanya
semaunya sendiri e. Iii..abang ini”, ujar Gilang sembari menepuk pundak Bang
Rusdi. Gilang, kormanit berambut kribo ini memang paling mudah akrab dengan
orang-orang Anggai. Gaya bahasanya yang ceplas-ceplos cenderung kasar ternyata
sangat cocok dengan budaya bergaul di Indonesia Timur. Tak ayal, Gilang pun
berani memanggil bang Rusdi dengan sebutan “Tokoh Pendidikan”, bentuk panggilan
yang menandakan keakraban. Penting dicatat, Bang Rusdi ini memang tokoh
pendidikan Desa Anggai yang menggagas berdirinya SMK pertama di desa
Anggai-Sambiki, yaitu SMK Peduli Bangsa. (Akan ada catatan khusus membahas Sekolah Peduli Bangsa)
“Eee...sudah, persiapkan saja
buat nanti malam. Jangan lambat. Orang timur tara suka lambat-lambat. Saya
sudah kordinasi dengan Desa”, jawab Bang Rusdi sambil tertawa, sepertinya ia
puas mengerjai kami.
“Oke, boleh dah. Siappp...”,
sambut kormasit Danan mengamini perkataan Bang Rusdi.
Dalam baronda hari ini, saya
lebih sibuk mengabadikan puluh momentum yang ada di Anggai-Sambiki. Memotret
rumah-rumah, anak-anak yang sedang bermain, hingga pepohonan yang saya temui di
tepi jalan. Saya yakin, jika esok saya telah kembali ke Jawa, pasti akan ada
banyak tanya tentang hal-hal tersebut,
”Rumah-rumahnya masih adat ya?”,
“Orangnya hitam-hitam dan keriting ya?”,
“Tinggal di pedalaman ya?”,
Pertanyaan-pertanyaan yang
bermuara dari asumsi-asumsi banal tentang timur ini sebaiknya tak sekedar
dijawab dengan cerita, tetapi juga dengan tangkapan mata kamera.
Pohon kelapa disini punya tinggi dua kali pohon kelapa di Jogja |
Speaker TOA Masjid Anggai
berbunyi, “Pengumuman kepada seluruh masyarakat Desa Anggai. Sebentar malam
sehabis tarawih, akan ada perkenalan dengan mahasiswa KKN dari UGM, Jogja.
Kepada seluruh masyarakat Desa Anggai untuk bisa datang ke Kantor Desa”.
“Wih, wangun tenan... Diumumke
lewat masjid nan (Wih keren sekali, diumumkan lewat masjid nan) !”, ujar
saya kepada Danan yang sedang menikmati menu buka puasanya, ada nasi ikang plus
es cukur.
“Bajigur, berarti akeh sing teka iki. Mantap dah, kudu sangar ! (Berarti
ada banyak orang datang nih. Mantap dah, presentasi kita harus keren !) ”. Kormasit Danan terlihat bersemangat
menyambut malam perkenalan dan presentasi yang akan berlangsung 2 jam lagi.
“Mengko alur presentasine meh piye nan? (Nanti alur presentasinya
mau bagaimana nan?)”
“Mengko aku sing bukak sik. Terus perkenalan masing-masing anggota.
Njuk mengko aku presentasi sing bidang pertanian dan teknik, Gita sing bidang
kesehatan, njuk kowe sing pendidikan mas (Nanti saya yang akan memberikan
sambutan pembuka, dilanjutkan perkenalan masing-masing anggota. Lalu saya akan
presentasi bidang pertanian, perikanan dan teknik, Gita di bidang kesehatan,
dan kamu bidang pendidikan mas)”.
“Siap bos !”...
-----------------------------------------------------------------------------
Kursi-kursi plastik berwarna
hijau telah disusun rapi melingkar, pelataran balai desa yang luasnya tak lebih
dari satu lapangan badminton ini pun mulai didatangi oleh warga Anggai satu
persatu.
12 anggota tim telah datang
berkumpul dan siap untuk memperkenalkan dirinya masing-masing. Malam ini,
hampir seluruh anggota Baraobira memilih memakai kaos oblong dengan celana atau panjang, plus beralas kaki swallow. Tak ada yang memakai almamater. Sejak awal, kami seia sekata untuk tampil seegaliter-egaliternya. Hal ini pun didukung Bang
Rusdi, abang yang sedari kemarin paling banyak membantu kami.
Beberapa orang Anggai yang sudah
saya kenal pun datang satu persatu dan menyalami kami. Selain Bang Rusdi, ada
bang Komar, kepala pemuda desa Anggai. Bang Yamin, seorang guru muda SMA. Dan Bang Arman, pemuda Marxist desa Anggai yang tadi malam berkenalan dengan saya.
Arman : “Mas Bagus ikut organisasi eksternal?”
Saya : “Tarada abang, Gilang yang ikut GMNI. Saya bergaul saja
dengan semua anak pergerakan”
Arman : “Saya ikut organisasi
Pembebasan di Ternate”
Saya :“Wih, kiri abang?”
Arman :“Kalau kata Marx itu, kapitalisme kan bekerja melalui tiga cara:
ekspoitasi, penyerapan nilai lebih, dan ............bla..bla..bla...............”,
Begitulah petikan percakapan
singkat saya tadi malam dengan Bang, eh Bung Arman, seorang mahasiswa Anggai yang
paham nglothok teori-teori
revolusioner Marxist. All hail Bung Arman !!!
Wih, ternyata Desa Anggai
memiliki pemuda-pemuda dengan pemikiran-pemikiran kiri revolusioner, sungguh
saya makin penasaran akan desa ini !
-----------------------------------------------------------------------------
Kembali ke acara perkenalan...
Mendekati pukul setengah 10, balai
desa telah dipenuhi oleh masyarakat Anggai. Para warga berdatangan mulai dari
anak-anak, kakak-kakak, mama papa, hingga nene tete.
Kami mulai duduk membaur bersama warga. Saya duduk di antara Bang Yamin, dan seorang abang muda
bernama Al-Khadrin. Selagi acara belum resmi dibuka, kami sempat berbincang
sejenak dan akhirnya saya tahu bahwa Bang Al adalah pemuda Anggai yang baru
saja lulus sarjana bidang Ilmu Pertanahan.
“Ih, disini banyak sarjana ya
abang ya?”, tanya saya pada Bang Al.
“Banyak, kebanyakan anak sini
kuliah di Ternate”, sambungnya singkat.
“Abang kenapa ambil ilmu tanah?
Ada permasalahan tanah di Anggai kah?”
“Iyo ada. Pencemaran tanah karena
limbah tambang emas. Pergerakan air dari tambang di dataran tinggi kan sampai
ke pemukiman yang ada di dataran rendah. Dampaknya mungkin akan terasa 20-30
tahun lagi. Tapi saya ambil ilmu tanah karena saya memang hobi kimia”.
Penjelasan dari Bang Al kemudian
memberikan pengetahuan baru pada saya mengenai desa Anggai. Desa ini ternyata memiliki
tambang emas yang sedikit banyak berdampak pada kehidupan masyarakat Anggai - baik dampak lingkungan maupun dampak sosial.
(Akan saya tulis di catatan depan)
Acara pun dimulai dengan prolog
dari Kepala Pemuda. Bang Komar yang malam ini memakai setelan jaket dan jeans biru, tampak tampil gagah dan
belia. Kepala pemuda ini memulai prolognya dengan mengucapkan permintaan maaf
karena Ompala Anggai tidak bisa hadir di malam perkenalan ini. Dari prolog yang
Bang Komar sampaikan, keluarlah sepatah kalimat – semacam adagium – yang
menjejak kesan di benak saya:
“Inti KKN itu ada 2: Bermasyarakatlah, baru bermanfaatlah”,
Luar biasa ! Sepatah kalimat itu sebaiknya
ditulis dengan tinta tebal, dipasang di tepi atas kaca kamar, lalu dibaca sambil bersuara
di tiap awal pergantian hari, supaya kita terus sadar: KKN bukan kegiatan formalitas untuk
mengejar jam program semata, namun wahana bagi kita untuk berlatih membaur
menjadi sederajat dengan masyarakat.
Kini tiba giliran kormasit Danan untuk memberi sambutan. Di sambutan malam ini, Danan mencoba menekankan bahwa
kami tim Baraobira datang tidak berbekal uang, tidak pula berbekal harta, hanya ilmu
seadanya yang semoga bisa memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat Anggai.
Kami pun memperkenalkan diri kami
satu-persatu. Ini bagian yang cukup saya suka. Gelak tawa mulai mengalir sejak warga Anggai suka memotong sesi perkenalan kami dengan celetukannya yang jenaka,
“Perkenalkan, nama saya Bagus....”,
“Kaka Bagus !!! Kaka cantik !!!”
teriak seorang mama berusia 40-an pada saya yang malam ini rambutnya terurai
lurus panjang.
Tawa pun menyeruak..
Tawa lain juga tumpah saat Nila
memperkenalkan dirinya dengan volume gaya timur,
“Perkenalkan nama saya Nila !!!
Sudah mirip orang timur kah???”, tanyanya sambil berteriak.
-----------------------------------------------------------------------------
PRESENTASI PROGRAM
Lepas memperkenalkan diri satu
persatu, tibalah saatnya untuk mempresentasikan program-program kerja tim
Baraobira.
Kormasit Danan memulai
presentasinya,
“Pada kesempatan ini saya ingin
memperkenalkan program-program kami khususnya di bidang pertanian, perikanan dan
teknik. Pertama, ada pengolahan daun cengkih menjadi minyak gosok atsiri.
Kedua, pengolahan batok kelapa menjadi briket. Ketiga, pengolahan buah pala
menjadi selai. Keempat, pengolahan ikan menjadi nugget dan abon. Kelima pengadaan
panel surya untuk desa. Keenam, penyuluhan manfaat pupuk kompos. Dan yang
ketujuh ini adalah program baru kami yaitu pembuatan tempat sampah umum.
Mengapa? Karena kami cukup prihatin dengan sampah di desa Anggai yang masih
dibuang di rawa dan di laut. Kalau ada tempat pembuangan umum, sampah bisa
dibuang di tempat lalu dibakar. Dampak lingkungannya ada, tapi cenderung lebih
kecil dibanding jika dibuang di rawa dan di laut. Ada pertanyaan?”.
“Mas Danang, bisa bikin gapura
desa kah? Kan kita belum punya gapura untuk batas desa. Sama tambah satu lagi,
denah desa e?” tanya Bang Komar.
“Kalau denah desa bisa, karena
kami punya Umar yang anak jurusan geografi. Tapi sejujurnya, kami tara mempersiapkan
program pembuatan benda fisik. Namun seandainya desa memiliki program pembuatan
gapura, kami siap membantu”.
“Iya... soal dana, nanti kan desa
yang pikirkan. Yang penting mahasiswa siap”, tambah Bang Komar,
“Boleh abang”, tutup Danan.
Kini giliran saya untuk
mempresentasikan program-program yang berhubungan dengan pendidikan.
“Bapak ibu, adik dan kakak, saya mendapat amanah
untuk bertanggung jawab di program-program pendidikan. Apa saja programnya?
Pertama, akan ada pembuatan taman baca atau perpustakaan. Kami telah menghimpun
buku selama kurang lebih 4 bulan dan terkumpul sekitar 500 buku, buku tersebut
kini sedang dalam proses pengiriman ke Pulau Obi. Kedua ada program pemberantasan
buta huruf, karena berdasarkan hasil survey atau penelitian kami, masih banyak
anak kelas 5 SD yang belum bisa membaca dan menulis. Ketiga, program belajar
bahasa Inggris untuk anak SMP dan SMA karena kabarnya di desa Anggai tarada
guru pengajar bahasa Inggris. Keempat, sosialisasi pentingnya kuliah, dan
kelima adalah pemutaran film atau layar tancap. Ada kritik dan saran?”
Seorang pemuda berkaos putih
langsung mengacungkan jarinya ke udara. Dengan suara yang lantang dan tegas dia
pun mulai menyampaikan pertanyaannya pada saya, dia adalah pemuda kiri Marxist
dari desa Anggai:
“Perkenalkan nama saya Arman
Sambari. Pertama, terima kasih untuk mahasiswa UGM yang telah memberikan
kesempatan untuk saya. Kedua, saya mengkritik karena mahasiswa tidak punya
program resolusi kongflik Anggai-Sambiki. Perlu saudara tahu, program ini
adalah program yang sebenarnya paling dibutuhkan oleh masyarakat. Torang perlu
mengubah paradigma berpikir mengenai kongflik Anggai-Sambiki. Kedua, untuk perpustakaan, jangan diisi dengan buku
ilmu-ilmu yang positivistik saja ! Jangan hanya matematika, fisika, biologi. Kita juga butuh buku sosial seperti buku Tan
Malaka, Soekarno, Haji Misbach, atau Engels. Ketiga, saya tidak setuju dengan
program layar tancap. Itu sangat tidak efektif dan kalian sudah terlalu banyak
program. Sekian dari saya, terima kasih”.
Saya mencoba menjawab saran Bung Arman sambil tersenyum kecil, “Terima kasih untuk
sarannya abang. Nanti akan kami pertimbangkan. Tapi khusus soal buku, tenang
saja karena kami juga membawa buku-buku sosial macam bukunya Tan, buku tentang
orde baru, dan buku-buku lain. Hehe... Tapi maaf kalau tidak lengkap, karena
buku ini merupakan buku sumbangan dari banyak orang. Jadi tidak semuanya: positivistik”.
Selepas saran dari Bung Arman
selesai saya tanggapi, Gilang pun mendekat pada saya dan berbisik,
“Bajilak gus, kata-katane abot (berat) tenan”.
“Hihihi.. gokil yo lang !”.
Adalah Gita, mbak calon bidan
yang mendapat kesempatan terakhir untuk memperkenalkan program-program bertema kesehatan.
Dengan suaranya yang cempreng medhok, Gita pun memulai presentasinya:
“Selamat malam. Semoga belum
bosan. Program kesehatan ini akan ada cek kesehatan gratis, posyandu, dan
penyuluhan bahaya narkoba. Apakah ada tambahan bapak ibu?”
Tak berlangsung lama, seorang
pemudi berhijab merah muda langsung menanggapi presentasi Gita. Suara kakak ini
ternyata lebih cempreng dan melengking dibanding Gita. Plus: Volumenya lebih
keras.
“Perkenalkan nama saya Ima. Saya
punya saran, bagaimana kalau diadakan juga penyuluhan tentang PMS”.
“PMS itu apa kakak?” tanya Danan.
“Yo Pra-Menstruation Syndrom nan”,
potong saya.
“Bukan, maksudnya Penyakit
Menular Seksual. Kenapa? Karena di Anggai ini sudah ada satu orang yang terkena
HIV. Disini banyak yang seks bebas. Jadi pemuda pemudi perlu tahu apa bahayanya
dan cara pencegahannya”.
“Interupsi bidan Irma..”, Bang
Komar tiba-tiba ikut ke dalam lingkaran lagi.
“Daripada repot sosialisasi,
lebih baik sebutkan saja siapa nama orang yang kena AIDS. Nanti langsung saja
kita lap-lap, kita usir dari sini”.
“Weeeee...” mendadak anak-anak
KKN langsung siap menyanggah saran Bang Komar.
“Eeee... tara bisa ! Ada perlindungan
undang-undangnya, kalau pengidap AIDS juga tidak boleh dijahati dan harus
dirahasiakan”, ujar Kak Ima dengan tegas.
“Hehe... Tapi kan bahaya untuk
generasi yang mendatang?”, sambung Bang Komar lagi.
“Cheee.. Bang Komar, kalau abang
tidak “pokkk” sembarangan kan tidak bakal tertular”, celetuk Gilang, dan “Hahahaa...”
semua pengunjung langsung tertawa mendengar nasihat Gilang pada Bang Komar.
Bang Komar bukannya marah, malah ikut tertawa geli atas jawaban dari Gilang itu.
Jam sudah hampir menunjuk angka dua belas, tapi tawa belum juga usai karena seorang bapak paruh baya ikut masuk berkomentar:
“Kita suntik saja supaya tidak
homoseksual lagi !!!”
xD xD xD ...
“Eeee...bapak...AIDS bukan cuma pada
homoseksual saja...”,
Malam ini saya lelah lejar karena
tawa. Akan tetapi perasaan saya bungah melihat semangat masyarakat Anggai dalam
menanggapi rencana program KKN yang kami sampaikan. Banyaknya kritik dan saran adalah
pemantik harapan akan partisipasi masyarakat pada program yang sebentar lagi
akan kami konkritkan.
Semua niat baik pasti akan
dilancarkan. Saatnya menyulut Bara Obira !
23 Juni 2016
2 komentar