Catatan Baraobira hari-8, TAMBANG EMAS ANGGAI
“Bagus
mau pergi ke tambang? Boleh, kenapa tidak? Kapan?” jawab papa dengan lugas –
seperti biasa orang Maluku berbicara.
“Secepatnya
papa. Kan sekarang kegiatan masih kosong. Kalau besok saja papa? Ini kebetulan dosen pembimbing juga ada di Anggai, nanti kita ajak Ibu Dosen juga. Boleh?”,
“Ajak
sudah.. jadi besok kita berangkat pagi saja. Jam 9 boleh?”,
“Siap
papa”, dan tanpa menunggu lama, saya segera mengabarkan kepada Bu Wawien dan
teman-teman tentang rencana pergi ke tambang. Bu Wawien, dosen pembimbing
kami dari fakultas biologi, saya pikir akan sangat tertarik atas ajakan ini.
--------------------------------------------------------------------------
Pagi
ini cerah sekali, terlampau cerah malah. Cakrawala tampak biru bersih, hampir
tak ada gumpalan awan-awan terlihat. Matahari bersinar dengan beringas dan amat menyengat.
“Baguslah,
setidaknya rencana pergi ke tambang tidak batal karena hujan” pikir saya menghibur diri di
hari yang baru berlalu sepertiganya ini.
Satu
persatu anggota tim mulai datang ke rumah. Bu Wawien datang bersama dengan Ismi
dan Hasta. Haviz juga datang pagi sebelum angka menunjuk jam 9. Sepertinya
Haviz, Ismi, dan Hasta adalah yang paling bersemangat menyambut rencana ini.
Maklum, mereka baru sampai di Obi kemarin setelah singgah di Bacan menunggu
kedatangan Bu Wawien.
“Bagus,
papa mau ke lokasi dulu ya? Nanti ngoni berangkat sama Usdi”, kata papa Haji.
Sepertinya ia menyadari kalau kami tak akan tepat berangkat pukul 9. Papa juga
ada urusan di tambangnya, ia tak bisa menunggu berlama-lama.
“Saya,
papa ! Tarapa berangkat dulu saja” jawab saya dengan santai pada papa Haji.
Akhirnya
Bang Rusdi juga tiba di rumah, menyusul Gilang, Baba, Destya, Gita, Istin,
Resti, Tabah, dan Devina. Hampir semuanya membawa topi. Semua sadar akan panasnya pagi ini, belum lagi hari ini masih ramadhan.
“Bang
Rusdi ! Sudah bakumpul semua ini. Berangkat sekarang, boleh?”,
“Boleh.
Kuat jalan 2 kilo?” tantang Bang Rusdi sambil nyengir.
“Iii..
meremehkan tenaga Jawa ini. Siap abang, hino madagi (Mari
jalan) !”,
Dan
kami pun mulai melangkahkan kaki, setapak demi setapak menjauhi pemukiman
Anggai dan mulai masuk ke area perkebunan yang becek. Beberapa hari kemarin Anggai memang sempat diguyur hujan. Kami mulai melewati jalan yang
diapit kebun kelapa di kanan kirinya, pemandangan masih terlihat menyegarkan dengan nyiur dedaunan yang meneduhkan.
Berulang kali kami berpapasan dengan orang-orang yang akan maupun baru pulang
dari tambang. Usia mereka beragam, mulai dari anak-anak kecil hingga
orang-orang dewasa.
Jalan Menuju Tambang |
“Nah,
kalian lihat. Itu di bawah tebing yang ada rumah-rumahannya itu. Itu sudah lokasi tambang” terang Bang Rusdi sambil menunjuk sebuah bukit hijau yang di tebingnya
terdapat banyak rumah-rumahan kayu beratap terpal.
“Itu
kan di dekat rumah-rumahan itu ada lobang tambang untuk ambil tanah rep (tanah
yang mengandung emas). Itu lobang tambang depe (dia punya) dalam bisa lebih
dari 30 meter”, tambah Bang Rusdi.
Tebing di samping tambang |
Udara
terasa semakin kering ketika kami akhirnya sampai di depan lokasi
tambang. Kami segera disambut dengan deru mesin tromol yang bersahut-sahutan.
Suara mesin pengolah emas ini tak pelak membuat cuaca jadi semakin sumpek dan
panas.
Lahan
di area pertambangan nampak amat gersang. Di atas tanah yang kering
inilah, berdiri rumah-rumah kayu milik para bos tambang. Di bawah atap-atap
seng rumah kayu ini, segala aktivitas pengolahan emas berlangsung, mulai dari
proses menghaluskan tanah rep dengan palu, proses pemisahan tanah dan emas di
dalam mesin tromol, hingga proses pembakaran hasil gilingan mesin tromol untuk
mendapat hasil emas murni.
Atmosfer kering nan tandus makin terasa dengan tak nampaknya pepohonan hijau besar di
kanan kiri rumah-rumah tambang. Jumlah pohon disini tidak banyak, kecuali pohon-pohon
kangkung yang tumbuh dengan liar dan subur. Kangkung-kangkung yang gemuk
merambat ini ternyata berfungsi untuk menyerap limbah merkuri yang ada di di
genangan-genangan air sekitar tambang. Kangkung-kangkung ini bukan cuma tumbuh
gemuk subur, tapi dari pohonnya bermekaran bunga-bunga yang berwarna putih
keunguan. Tak tahu mengapa, saya merasa bunga-bunga itu terlihat cantik. Tapi
semakin bunga itu terlihat cantik, justru semakin besar perasaan nelangsa yang
timbul. Betapa ironis, makin suburnya bunga itu berarti makin banyak pula
kandungan racun merkuri yang ada di dalam air - yang nantinya akan mengalir
ke sungai jua !
“Kita
naik ke atas dulu ya, sambil cari tempat buat istirahat” ajak Bang Rusdi yang
melihat ekspresi kelelahan di muka kami. Kami pun berjalan dan singgah sejenak
untuk duduk di salah satu rumah tambang.
“Ya
Allah, panas tenan. Puasa meneh”, keluh Resti sambil menyeka keringat yang
mengucur di keningnya.
“Ada
yang bawa aqua nggak?” tanya Devina,
“Ini
saya bawa, minum aja Devina” jawab Bu Wawien sambil memberikan sebotol aqua
ukuran 600 ml pada Devina.
“Maaf
aku minum dulu ya temen-temen, haus banget, sumpah ! Maaf ya buat yang puasa,”
ujar Devina dan ia pun segera meneguk segelas air yang terlihat terlampau segar
itu.
“Bagus
nggak mau minum? Minum aja nggak papa kok”, tawar bu Wawien, kali ini pada saya.
“Wadoh... tidak usah Bu Wawien, saya masih kuat !”
“Lho,
Bagus puasa to? Astaghfirullah maaf.. Bu Wawien kira kamu itu nggak puasa”,
kata Bu Wawien sambil tertawa geli.
“Saya suku minoritas, tapi agama mayoritas bu, hehehe...” canda saya.
Tambang
emas Anggai ditemukan pada tahun 1996. Sejak awal ditemukannya hingga sekarang,
tambang ini tidak dikelola oleh negara maupun perusahaan tertentu. Hal ini
membuat tambang Anggai berjalan dengan status ilegal atau PETI (Pertambangan
Emas Tanpa Izin). Kabarnya, tahun ini pemerintah Halmahera Selatan berencana
meresmikan tambang ini dengan status resmi “Tambang Rakyat” - sebagaimana
masyarakat Anggai biasa menyebut tambang ini.
Dalam
praktiknya, tambang seluas hampir 100 hA ini memang tidak dikelola oleh
perusahaan besar, namun dikelola oleh para bos-bos tambang yang memiliki mesin
tromol. Di tambang ini, lebih dari 100 bos tambang beroperasi. Mereka
mempekerjakan banyak penambang dari berbagai wilayah, seperti Obi, Bacan,
Makian, dan Manado. Beberapa buruh tambang bahkan memiliki KTP Jawa.
“Kenapa
disebut tambang rakyat abang? Apa karena tambang ini dikelola oleh Pemerintah
Desa Anggai kah?” tanya saya pada Bang Rusdi, penasaran.
“Bukan
oleh Pemerintah Desa Anggai, tapi sebagian besar bos tambang maupun yang jadi
buruh disini kan rakyat Anggai sendiri. Jadi disebut dengan tambang rakyat”
jawab Bang Rusdi.
“Oh,
saya pikir disebut tambang rakyat karena seberapapun hasil tambang, nanti akan
dibagi rata untuk rakyat Anggai”,
“Hee..
tarada begitu. Yang jelas sejak ada tambang ini, perekonomian rakyat memang jelas meningkat”, tambah Bang Rusdi dan ia terlihat semakin tahu banyak hal tentang tambang ini.
Proses
penambangan emas disini dimulai dengan menggali lobang vertikal hingga
kedalaman 30 meter. Selanjutnya diambillah tanah rep yaitu tanah yang
mengandung bijih emas. Proses selanjutnya disebut dengan amalgamasi. Batu yang
telah dikumpulkan, kemudian ditumbuk menggunakan palu sampai berukuran
pasir atau krikil. Batuan halus yang sudah ditumbuk tersebut kemudian digiling
lagi di dalam mesin tromol bersama dengan merkuri atau air perak. Proses
penggilingan di dalam tromol memakan waktu 5 jam. Hasil olahan tromol ini
selanjutnya akan diperas dengan kain parasut hingga hasilnya telah berupa emas
mentah. Emas mentah masih memiliki kandungan air perak. Untuk memisahkan
kandungan air perak tersebut, dilakukan proses terakhir yaitu pembakaran. Sisa
pembakaran itulah yang nantinya akan berbentuk emas murni.
Melalui
sistem pengolahan emas ini, tambang emas Anggai masih terus berproduksi sampai sekarang dan
menjadikan tambang ini sebagai tempat utama mata pencaharian sebagian besar
warga Anggai.
Pada
kunjungannya hari ini, Bu Wawien ternyata sengaja membawa alat pengecek keasaman air atau
pH meter. Tentu saja Bu Dosen tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melakukan
sebuah riset kecil: memeriksa tingkat keasaman air di area tambang.
Sambil
berjongkok, Bu Dosen pun mencelupkan pH meter digitalnya ke dalam air di salah satu kolam penampungan limbah merkuri. Air di dalam kolam ini berwarna
coklat dan bertekstur pekat. Ketika terkena sorotan sinar matahari, air ini
akan mengeluarkan kilau-kilau perak berkilatan. Kilauan itu ternyata
berasal dari sisa-sisa merkuri yang masih berada di dalam kolam.
"pH
di dalam kolam ini adalah 5,5 ya adik-adik. Ini sudah cukup berbahaya karena
sudah di bawah angka 6 dan nantinya air ini juga akan mengalir ke sungai. Perlu
ada penanganan khusus, misalnya memperketat proses penyaringan merkuri sebelum
air benar-benar lepas ke aliran sungai. Selain itu, kita juga bisa menanam
tumbuh-tumbuhan yang mampu menyerap logam berat merkuri. Tumbuhan itu misalnya
kangkung air atau eceng gondok. Disini sebenarnya sudah ada kangkung air, tapi
sebenarnya kalau eceng gondok relatif mampu menyerap merkuri lebih
banyak", terang Bu Wawien, dalam wajahnya tersirat sedikit keprihatinan akan tambang ini.
Kami
pun berjalan lagi menyusuri sudut demi sudut lokasi tambang. Kami sempat terhenti sejenak, terhenyak oleh sebuah pemandangan yang begitu mencolok mata mengiris hati. Di depan kami, seorang bocah
laki-laki usia 6 tahunan, terlihat sedang asyik bermain di dalam kolam genangan air limbah. Bocah itu berendam dalam lumpur coklat pekat sambil
mencari sisa-sisa air perak padat yang masih tergenang di dalamnya. Air perak
itu kemudian ia ambil dengan jempol dan telunjuknya, ia pelintir sampai bulat
dan ia pandang lekat dengan kedua bola matanya. Seorang bocah
wanita seumuran yang hanya memakai singlet lusuh kemudian menyusul bocah lanang
itu. Bocah berambut merah kering ini kemudian ikut bermain bersamanya, mengumpulkan
butir-butir merkuri dan menaruhnya di atas telapak tangan. Ia kemudian asyik menggoyang-goyangkan tangannya supaya butir merkuri diatasnya ikut bergerak seperti air di
atas daun talas.
"Adik,
tidak boleh bermain disitu. Berbahaya lho", bujuk Bu Wawien sambil mendekat pada dua
bocah. Mereka tak acuh, hanya menatap kami sejenak lalu segera mengalihkan
pandangannya lagi. Bocah ini saya
kira adalah anak-anak pekerja tambang. Bagi mereka, tambang ini adalah sebuah
taman bermain, dengan kilau-kilau merkurinya, dengan sumur yang airnya mereka minum dan dipakai mandi, dengan tong-tong mesin tromol yang biasa
mereka pukul untuk tabuhan. Tak ada rasa khawatir akan bahaya zat merkuri yang konon
jadi zat perusak epidermis kulit, perusak jaringan syaraf, hingga pemicu kanker.
Kisah tak berakhir sampai disini. Di salah satu kolam penampung
lain, pH meter justru tiba-tiba tidak berfungsi alias tidak bisa membaca tingkat
keasaman air limbah.
“Lho, kok bisa alatnya mati bu?” tanya anak-anak melihat
kejanggalan ini.
“Ini berarti pHnya sudah di bawah
angka 1 sehingga pH meter digital ini tidak bisa membacanya. Berarti ini sudah
sangat-sangat asam adik-adik. Ini mungkin karena air di dalam kolam ini tidak sekedar
mengandung merkuri saja, tetapi juga sianida”, terang Bu Wawien. Di beberapa rumah
tambang, emas memang tidak hanya diolah menggunakan mesin tromol. Ia juga diolah menggunakan tong-tong sianida supaya emas yang dihasilkan bisa berjumlah lebih banyak.
Saya sejujurnya tak banyak mengerti
perihal bahaya limbah tambang. Yang saya tahu, limbah ini berbahaya
dan dampaknya baru akan terasa setelah proses akumulasi yang mungkin akan
berlangsung berpuluh tahun. Belum lagi berdasarkan cerita yang saya dengar, proses pembuangan limbah di tambang ini ternyata belum dilakukan dengan baik. Air di kolam penampungan limbah seringkali banjir saat terjadi hujan besar. Luapan dari kolam penampungan ini lalu akan mengalir ke sungai yang airnya mengarah langsung ke laut - habitat ikan-ikan yang mungkin sering dikonsumsi warga.
Saya sempat berpikir, bahwa tema utama KKN kami yaitu pengolahan hasil alam di Anggai, sebenarnya tidak lebih penting jika dibandingkan upaya mengurangi dampak limbah tambang terhadap kualitas air atau tanah di Desa Anggai. Sayangnya, permasalahan tambang ini memang benar-benar baru kami tahu setelah kami tiba disini. Dengan sedikitnya informasi yang kami peroleh, sepertinya program mengatasi dampak limbah ini baru bisa terealisasi dengan baik jika ada tim KKN lagi tahun depan. Itupun jika kami membawa cukup informasi untuk tim KKN yang selanjutnya. Semoga di sisa hari yang masih cukup lama ini, kami bisa mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi perihal tambang dan dampaknya terhadap masyarakat.
Saya sempat berpikir, bahwa tema utama KKN kami yaitu pengolahan hasil alam di Anggai, sebenarnya tidak lebih penting jika dibandingkan upaya mengurangi dampak limbah tambang terhadap kualitas air atau tanah di Desa Anggai. Sayangnya, permasalahan tambang ini memang benar-benar baru kami tahu setelah kami tiba disini. Dengan sedikitnya informasi yang kami peroleh, sepertinya program mengatasi dampak limbah ini baru bisa terealisasi dengan baik jika ada tim KKN lagi tahun depan. Itupun jika kami membawa cukup informasi untuk tim KKN yang selanjutnya. Semoga di sisa hari yang masih cukup lama ini, kami bisa mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi perihal tambang dan dampaknya terhadap masyarakat.
Kami bertemu papa Haji setelah puas mengamati segala sudut lokasi tambang. Sedikit cerita, di area ini ternyata juga banyak terdapat warung dan toko yang menjual berbagai kebutuhan. Bukan hanya sekedar warung makan, kami juga menemukan adanya toko kelontong, toko peralatan sekolah, atau toko gerabah. Lokasi tambang sepertinya sudah mirip sebuah desa yang memiliki corak aktivitas dan budayanya sendiri.
Papa Haji kemudian menyuruh kami beristirahat di rumah kayunya yang berada di ujung selatan lokasi tambang. Setelah cukup beristirahat selama setengah jam, kami pun segera pamit pulang dan berharap segera sampai di rumah untuk bisa tidur panjang. Malam ini kami masih punya agenda: berbuka bersama warga. Semoga saya masih kuat menahan dahaga sampai adzan maghrib tiba.
Apa yang membekas dari tambang ini? Status tambang ini seolah berayun antara kesejahteraan dan kerusakan, antara harapan dan malapetaka, antara rezeki juga musibah, Yang jelas, dengan segala resikonya, aktivitas di tambang ini tak akan mungkin berhenti.
"Beruntung masih rakyat yang kelola. Jadi alamnya rusak, tapi rakyat masih dapat. Coba kalau sudah dijual sama negara, rakyat cuma dapat ampasnya", ujar seorang guru SMK yang sebenarnya juga punya mimpi bisa memperbaiki kondisi tambang ini.
Kalau ada penyakit, ia harus segera diobati.
26 Juni 2016
Papa Haji kemudian menyuruh kami beristirahat di rumah kayunya yang berada di ujung selatan lokasi tambang. Setelah cukup beristirahat selama setengah jam, kami pun segera pamit pulang dan berharap segera sampai di rumah untuk bisa tidur panjang. Malam ini kami masih punya agenda: berbuka bersama warga. Semoga saya masih kuat menahan dahaga sampai adzan maghrib tiba.
Apa yang membekas dari tambang ini? Status tambang ini seolah berayun antara kesejahteraan dan kerusakan, antara harapan dan malapetaka, antara rezeki juga musibah, Yang jelas, dengan segala resikonya, aktivitas di tambang ini tak akan mungkin berhenti.
"Beruntung masih rakyat yang kelola. Jadi alamnya rusak, tapi rakyat masih dapat. Coba kalau sudah dijual sama negara, rakyat cuma dapat ampasnya", ujar seorang guru SMK yang sebenarnya juga punya mimpi bisa memperbaiki kondisi tambang ini.
Kalau ada penyakit, ia harus segera diobati.
26 Juni 2016
Toko-toko di area tambang |
Selesai observasi tambang, maghribnya kami ikut buka bersama Warga Anggai |
1 komentar