Catatan Baraobira Hari-9, PROGRAM PERTAMA: KELAS MEMBACA
6 hari sudah kami menjalani masa
KKN di Anggai. Setelah 5 hari pertama yang penuh dengan agenda baronda – srawung, jalan-jalan,
observasi, tibalah juga hari Senin, hari dimana program kerja pertama kami akan
dimulai. Satu-satunya program yang akan kami laksanakan hari ini adalah:
program pemberantasan buta huruf atau kelas membaca.
Selidik demi selidik, cerita demi
cerita, masih cukup banyak anak-anak Anggai yang belum bisa membaca sampai
mereka duduk di kelas 5 atau 6 SD. Tentu hal ini jadi sebuah keprihatinan besar
yang menguatkan sebuah asumsi: kualitas pendidikan di Indonesia Timur memang
tidak sebaik kualitas pendidikan di Indonesia Barat.
Muncul sedikit rasa penasaran
akan kebenaran informasi ini,
“Bang Rusdi, kalau anak kelas 5
SD belum bisa membaca, bagaimana mungkin dia bisa naik kelas?”, tanya saya pada
Abang yang juga tokoh pendidikan dari Anggai ini.
“Ya bagaimana lagi, kalau dia
tidak dinaikkan nanti dia malah tara
mau sekolah” jawab Bang Rusdi.
“Iya juga ya”, tanggap saya
singkat. Sebenarnya jika dipikir baik-baik, kebijakan untuk menghapuskan
sistem ‘tinggal kelas’ di SD adalah sebuah kebijakan yang bagus. Di
Finlandia juga tidak ada siswa sekolah dasar yang tidak naik kelas. Selama 6
tahun bersekolah, siswa-siswa Finlandia bahkan tidak dinilai dengan angka
sedikitpun. Raport siswa disana berisi dengan narasi perkembangan siswa didik
yang ditulis gurunya. Dengan kata lain, kedekatan emosional antara siswa dan
guru adalah hal yang lebih diperhatikan dibanding kapasitas intelektual masing-masing individu.
Maka, pertanyaan yang penting dalam hal pendidikan sebenarnya bukan sekedar pertanyaan "Apakah guru sudah bisa membuat anak jadi pintar?" tetapi juga “Apakah guru memiliki kedekatan emosional dengan muridnya?".
Terkait pertanyaan kedua jika diaktualisasikan dengan konteks pendidikan di Anggai, saya meragukan adanya kedekatan
emosional tersebut setelah seorang guru pernah bercerita, “Kalau mengajar
di Timur harus keras. Kalau tidak keras, siswa akan kurang ajar. Pukul kalau perlu pukul”.
Saya adalah orang yang tidak menyukai kekerasan fisik sekecil apapun. Waktu kecil, saya pernah sekali dipukul ayah karena nakal. Rasa takut saat melihatnya, rasa sakit saat menerimanya, dan rasa marah setelahnya masih terekam dengan sangat jelas sampai sekarang. Dipukul hanya perlu waktu 2 detik, melupakannya perlu mati dulu, atau amnesia. Apalagi jika dipukul orang tua - saya rasa guru juga.
-------------------------------------------------------------------
Pukul satu siang tim Baraobira telah
berkumpul di rumah Mama Nas - mama piara Tabah dan Devina - untuk mengadakan
rapat sub-unit. Kami memang telah sepakat untuk mengadakan rapat rutin 2 hari
sekali dengan sistem rolling tempat,
artinya lokasi rapat akan berpindah dari satu rumah keluarga piara ke rumah
keluarga piara lain. Hal ini kami lakukan supaya kami bisa dekat dengan
semua mama papa piara yang ada. Selain itu, kami sengaja memilih
melakukan rapat di siang hari, kenapa? Karena malam hari adalah waktunya untuk mayeng atau bersosialisasi dengan
pemuda-pemudi seumuran.
“Lha nek wengi dewe malah rapat, njuk kapan dolanne? Anggai ki lek awan
sepi tur puanass jee (Nah kalau malam hari kita malah rapat, kapan mainnya?
Kalau siang Anggai itu sepi dan panas lho)”.
Semua hadir di rapat sub-unit
yang agendanya membahas program of
the week dan menguliti persiapan kelas belajar membaca sore ini.
Seperti biasa, sebelum salam
pembuka keluar dari mulut Kormasit maka perkumpulan 8 perempuan dan 5 lelaki
ini akan menunaikan sebuah ritual rutinan: Pergunjingan Ramadhan.
“Hee, Umar piye e kabare? (Eh,Umar bagaimana kabarnya?)” tanya
Baba mencoba membuka topik dengan menanyakan satu anggota tim yang belum sampai juga di Anggai.
“Masih sakit dia di Bacan.
Kemarin waktu sakit tiba-tiba minta dicarikan kelapa muda... Waduh... susah...”,
jawab Haviz sambil menyeringaikan tawa khasnya – tertawa tapi mingkem.
“Haahaa.... Astaghfirullah, ana
kancane lara kok malah ngguyu (Astaghfirullah, teman sedang sakit malah kita tertawakan)”, balas Tabah lepas tertawa.
“Heh.. Sudah, ayo ndang mulai, kok
malah menggunjing? Tapi kok enak yo?, hehehe..”, kata Kormasit Danan dan ia pun
segera memulai rapatnya.
“Oke, kita mulai membahas kelas
belajar membaca dulu karena program ini akan mulai dua jam lagi. Silahkan
kepada penanggung jawab, Mas Bagus, untuk segera melaporkan persiapannya”,
perintah Danan pada saya.
“Jadi untuk persiapannya, tadi
saya dan Baba telah pergi ke dua masjid Anggai untuk mengumumkan jika sore ini
akan ada kelas membaca untuk anak SD. Kami juga telah meminta izin kepada guru
SD Inpres Anggai untuk meminjamkan satu kelasnya untuk kegiatan belajar nanti
sore. Akan tetapi, sejujurnya saya belum memiliki gambaran mengenai berapa anak
yang nanti sore akan ikut. Pun saya belum tahu apakah benar sebagian besar anak
belum bisa membaca. Maka...sepertinya sore ini kita perlu banyak improve dan
harus mampu membaca keadaan”.
Saya menghela nafas sejenak. Andaikan
ada kopi di depan saya, pasti saya akan segera menyeruputnya. Tapi ini masih
puasa.
“Jadi intinya begini, pertama
acara untuk sore hari ini adalah perkenalan kakak mahasiswa dengan anak-anak.
Kedua, kalau ada materi, maka materi yang akan diajarkan adalah tes kemampuan
membaca dasar, jadi kita akan mengajari anak-anak untuk bernyanyi lagu ABCD
dulu. Ketiga, baru itu yang saya siapkan. Seperti apa berjalannya kelas nanti
tergantung pada kemampuan adaptasi kita.
Untuk itu, mohon bantuan kepada teman-teman untuk bisa datang di kelas pertama
sore hari ini”.
“Dresscode nanti sore apa mas?
Perlu pakai almamater nggak?” tanya Tabah melanjutkan pembahasan.
“Hasyah, ra usah almamater-almamateran. Sak penak’e dewe-dewe wae. Yo
nggowo kartu identitas wae rapopo (Tidak usah pakai almamater segala. Bebas
pakai pakaian senyaman kalian saja. Bawa kartu identitas sudah cukup)”, jawab
saya.
Tanpa berlarut-larut, rapat pun
dilanjutkan dengan membahas program-program lain khususnya yang akan
dilaksanakan minggu ini. “Ya, selain program pendidikan, minggu ini sepertinya
kita akan disibukkan dengan persiapan perayaan lebaran....bla...bla..bla”
terang kormasit Danan, dan rapat pun segera dikhatamkan.
-------------------------------------------------------------------
Sore ini saya memakai kaos oblong
Baraobira dan seperti biasanya memilih pakai celana pendek. Saya berangkat ke
tempat mengajar sambil membawa gitar. Pokok’e lek kelase garing, arek-arek
dijak nyanyi wae, hha.
Muncul sedikit rasa was-was.
Bagaimana kalau kelasnya sepi? Bagaimana kalau tidak ada yang datang? Bagaimana
kalau anak-anaknya nakal dan tambeng? Bagaimana kalau kami membosankan?
Cih, rasa takut memang lebih
sering muncul dari imaji yang tak berdasar. Sudah lah, laksanakan saja apa yang
sudah direncanakan ! Kata Tan, "Seorang revolusioner bukanlah
seorang pendiam dan penakut. Ia harus keluar dari ketakutan atas
ketidakpercayaan kemampuan dirinya".
Kami pun mulai masuk dan membersihkan kelas yang sebentar
lagi akan dipakai. Satu dua tiga anak mulai
berdatangan. Mereka datang dengan ragam modelnya masing-masing, ada yang
memakai setelan Boy-Reva, ada yang memakai jersey sepakbola, ada juga yang
datang dengan seragam merah hati lengkap. Perlahan-lahan jumlah mereka semakin
banyak. Lagak-lagu mereka masih terlihat malu-malu, beberapa penasaran
memandang kami dengan tajam lalu segera mlengos
ketika kami balik memandang, beberapa ada yang melihat kami sambil
cengar-cengir tidak jelas, beberapa ada yang hanya nginjen dari luar kelas.
“Wah, banyak mas yang datang”,
bisik Haviz pada saya yang sedang duduk bersandar di tembok kelas.
“Iya viz, Alhamdulillah banyak.
Kita suruh duduk melingkar dulu aja ya?”, jawab saya. Sepertinya telah
terkumpul sekitar 50 anak di kelas ini. Ada anak yang masih kecil. Kecil
sekali. Mungkin dia masih TK, atau barangkali malah belum sekolah. Raut
wajahnya masih terlalu lugu, belum terpengaruh virus sinetron anak jalanan yang
membuat seorang bocah mengalami fase peng-alay-an dini dan kehilangan
keluguannya. Banyak juga anak yang terlihat sudah duduk di kelas 5 atau 6 SD. Mereka tampak lebih dewasa dan suka bergerombol.
“Selamat sore adik-adik...
Adik-adik bisa duduk melingkar dulu ya...”, perintah saya dengan nada guru TK
memberi instruksi. Anak-anak ini pun segera menuruti perintah. Ada yang aneh,
pikir saya. Sepertinya anak-anak ini tidak terlampau liar seperti yang saya
bayangkan sebelumnya. Mereka justru terlihat malu-malu dan cenderung diam.
Setelah anak-anak mulai duduk
melingkar, sekarang giliran kakak-kakak mahasiswa yang menyusul duduk di antara mereka. Saya duduk di samping Wahyu, anak kelas 6 SD putra sulung
Papa Sukri, papa piara Resti dan Istin. Saya sudah mengenal bocah ini sejak
beberapa hari lalu dengan percakapan singkat yang rasanya sulit dilupakan.
“Hey, Wahyu. Kata orang-orang kau
pintar kah? Ranking berapa kau di kelas?”, tanya saya setelah mendengar dari
Gilang bahwa katanya Wahyu adalah bocah yang cerdas.
“Ranking 2 saja” jawab bocah
kelas 6 yang badannya kecil kurus dan pendek seperti anak kelas 2 SD ini.
“Eee, kenapa tara ranking satu?”
tanya saya lagi menggoda.
Dan Wahyu menjawab “Tara tau itu
guru, tara jelas memang dia”.
Haha.. Koplak arek iki !
Dan hari ini Wahyu kembali memperlihatkan
kecerdasannya. Adalah saat moment perkenalan tiba dan satu persatu
anak harus memperkenalkan dirinya kepada kakak-kakak mahasiswa. Anak-anak yang
jumlahnya lebih dari 50 ini harus menyebutkan nama lengkap, nama panggilan,
hobi, dan cita-citanya masing-masing. Moment ini ternyata tidak berjalan dengan
lancar seperti yang kami bayangkan. Beberapa anak malu saat mendapat giliran,
beberapa tidak tau apa hobinya, beberapa enggan menyebutkan cita-citanya
(padahal hanya berkisar pada guru, dokter, tentara, atau polisi).
Sejenak kemudian Wahyu mendadak
mendekat dan berbisik di telinga kanan saya,
“Kak Bagus. Ini lama pasti. Tapi tarapa
lah ya karena kelas pertama”, ujar Wahyu mengomentari moment perkenalan ini.
Saya pun tidak bisa tidak kaget mendengar komentarnya ini. Dari pendapatnya yang singkat ini,
saya melihat ia sudah bisa membaca konteks situasi yang ada di depan
matanya. Ia paham bahwa perkenalan ini akan berlangsung lama karena ada lebih dari 50 anak yang harus memperkenalkan diri masing-masing, itupun dengan kondisi malu-malu. Tapi lebih dari itu, ia paham bahwa kita harus memaklumi momentum yang memakan waktu lama ini, kenapa? Karena ini masih pertemuan pertama ! Pasca komentarnya ini, saya langsung percaya kalau tingkat
kecerdasan si Wahyu memang di atas rata-rata.
Sepakat? Atau saya
saja yang berlebihan?
-------------------------------------------------------------------
Tak banyak yang ingin saya
ceritakan dari kelas pertama ini. Kelas yang diikuti oleh 67 anak ini – yang tercatat
di buku presensi – berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Setelah
masing-masing anak dan mahasiswa berkenalan, mereka akhirnya dibagi menjadi 2 kelompok: kelompok anak kelas 1 sampai 3 SD dan kelompok anak kelas 4-6 SD.
Begitupun 13 mahasiswa dibagi
menjadi 2 kelompok tutor, kelompok tutor pertama bertanggung jawab pada
anak-anak kelas 1 sampai 3, kelompok tutor kedua bertanggung jawab pada
anak-anak kelas 4 sampai 6. Kelas banyak diisi dengan bermain dan bernyanyi. Selain menyanyikan lagu alfabet ABCD, kami juga menggubah lirik lagu Madu dan Racun untuk dijadikan lagu belajar membaca:
MADU: M-A MA, D-U DU
KAKI: K-A KA, K-I KI
MATA: M-A MA, T-A TA
SAPI: S-A SA, P-I PI
Mari Belajar Membaca
Bersama Kak Baraobira
MADU: M-A MA, D-U DU
KAKI: K-A KA, K-I KI
MATA: M-A MA, T-A TA
SAPI: S-A SA, P-I PI
Mari Belajar Membaca
Bersama Kak Baraobira
Sore ini saya mendapat jatah
untuk menjadi tutor anak-anak kelas 1-3. Adalah Ariel, Melati, Ava, dan Aswita yang jadi murid pertama saya.
Ariel? Ariel ternyata adalah anak dari Papa Menko, papa piara Gilang dan Baba. Namanya sama dengan nama
seorang vokalis, tapi Ariel yang ini sepertinya tidak punya bakat menjadi
vokalis. Pertama, ia pendiam. Kedua, ia pemalu. Ketiga, suaranya tidak terdengar
saat bernyanyi. Ariel kelas 2 SD, dia sudah hafal membaca alfabet huruf A-O.
Melati, lebih pemalu dari Ariel. Baru masuk SD tahun ini, jadi belum bisa membaca huruf. Mau menyanyi lagu ABCD, tapi hanya sampai huruf C.
Ava, gadis berambut panjang dan hitam manis. Akan menjawab jika ditanya. Ia kelas 3 SD, sudah bisa membaca dengan baik.
Aswita, gadis cilik berkulit
hitam, berambut keriting sebahu, sore ini memakai rok warna merah dan
putih. Ia sangat interaktif. Suaranya serak-serak basah, lucu. Ia paling
dominan di kelompok kecil ini, ia hafal huruf A-Z. Sudah paham ilmu mengeja
dasar, N-A NA, N-U NU, NANU...
Karena ada Ariel dan Melati yang
sangat pemalu, akhirnya saya tidak memfokuskan kelompok ini untuk belajar. Saya
mencoba banyak bercerita saja dengan mereka, juga bertanya mana rumah mereka, siapa
nama papa mamanya, atau suka warna apa. Sepertinya mereka butuh waktu untuk
bisa nyaman belajar dengan kami.
Waktu pun tak terasa telah
menunjukkan pukul setengah 6. Artinya, satu jam lagi kami akan berbuka puasa.
Kelompok kecil kami bubarkan dan anak-anak kembali dikumpulkan untuk membaca
doa penutup. Sebelum berdoa, kami meminta mereka untuk bernyanyi ABCD sekali lagi,
suara mereka kali ini lebih lantang daripada saat pertama tadi. Semoga energi
positif ini akan terus hidup sampai di hari akhir kami.
Selesai berdoa dan berfoto ria,
kami melakukan evaluasi singkat selama 5 menit. Dari pertemuan pertama yang akhirnya
kelar ini, setidaknya ada dua hal yang bisa kami simpulkan. Pertama, kemampuan
membaca anak-anak di Anggai tidak separah yang awalnya kami bayangkan. Saya
lihat sebagian besar kanak-kanak ini telah mengenal huruf dengan baik. Kalaupun
mereka belum lancar membaca, toh sebenarnya bukan masalah besar kan seorang
anak SD belum lancar membaca? Kedua, anak-anak tidak perlu diperintah dengan
keras supaya menuruti perintah. Mungkin karena ini masih pertemuan pertama dan
mereka masih malu-malu. Entah kalau besok.
Ah iya, satu hal lagi yang
penting dicatat hari ini: Ada perasaan lega yang tak terkira saat program kerja
pertama terlaksana. Kami yang dalam beberapa hari ini hanya klintang-klintung
keliling kampung, akhirnya merasa berguna juga setelah terlaksananya program
pertama.
“Kok rasane plong ya mbarang wis ana program (Rasanya lega ya
setelah ada program)”, ujar Danan.
Kelas membaca ini akan diadakan tiap 2 hari sekali, hari Senin dan Rabu. Di hari Selasa dan Kamis, kami
mengadakan kelas belajar bahasa Inggris untuk anak SMP dan SMA. Sedangkan di
hari Jumat, anak-anak akan diajak ngaji di TPA.
Program pendidikan memang akan (dan perlu) mendapat porsi yang banyak.
27 Juni 2016
0 komentar