Catatan Baraobira Hari-6, MAMA PAPA PIARA

Waktu selalu memberi jeda demi pergantian euforia. Ada tempo yang harus turun setelah perjamuan. Ada masa reses yang tak boleh dilewatkan.

Hari ini tak ada agenda resmi. Setelah penyambutan panjang yang penuh kesan, kami punya waktu tiga hari menuju program pertama: Kelas Membaca.

Untuk 3 hari yang senggang, masing-masing dari kami menerjemahkan kesenggangan ini dengan caranya sendiri. Kalau saya, saya ingin lebih dekat dengan mama papa piara.

Apa itu mama papa piara?

Mama papa piara adalah keluarga yang akan mengasuh, mengurus, hingga menjaga kami selama kami berada di lokasi KKN. Mereka orang yang sudi menerima dua anak muda baru (asing) tinggal dalam rumahnya: menyediakan kamar lengkap dengan segala instrumen menuju mimpi, memasakkan nasi lengkap dengan lauk penuh nutrisi.

Kita tak bisa menilai kadar keikhlasan seseorang, tapi yang jelas keluarga mama papa piara tidak pernah diberitahu apa yang akan mereka dapatkan setelah merawat kami selama hampir dua bulan. Apa yang didapat kalau bukan hari-hari yang merepotkan?

Saya tinggal di rumah Papa Haji Sami. Di awal perjumpaan, saya masih memanggilnya bapak, namun hanya butuh 1 hari sampai akhirnya saya dan Danan telah memanggil Haji Sami dengan panggilan “Papa”.

Papa Haji adalah seorang keturunan asli suku Tobelo-Galela, suku asal Maluku Utara yang menjadi suku mayoritas di Desa Anggai. Dulu papa biasa bekerja di tambang emas Anggai, namun setelah pulang haji di tahun 2015 bisnis emasnya kurang lancar. Papa pun kini lebih sibuk berkebun, menunggu cengkih yang sebentar lagi panen. Papa juga punya kebun kelapa dan kebun pala yang sudah banyak berbuah.

“Tambang emasnya sudah kosong bapak ?”

“Masih, tapi mesin tromol sedang service. Semoga setelah lebaran papa bisa mulai lagi”.

Papa di usianya yang kepala lima telah dikaruniai tujuh orang anak, dua laki-laki, dan lima perempuan. Hanya saja kedua anak laki-lakinya telah meninggal.

“Sekarang sudah ada Bagus dan Danan, jadi papa su ada dua anak laki-laki lagi”, ujar papa kemarin sambil tertawa kecil.

Sekarang papa Haji tinggal bersama Mama Haji dan dua anak perempuannya: Kak Atik dan Onco. Kak Atik adalah perempuan yang satu tahun lebih tua dari saya. Di usianya yang menginjak 23, ia baru saja selesai semester empat kebidanan di sebuah kampus swasta di Jogja. Kak Atik adalah cerminan perempuan timur yang tidak bisa pelan kalau bicara. Kak Atik mudah akrab dengan saya dan Danan.

Sedang Onco, dia adalah anak bungsu papa mama haji yang kini baru kelas 2 SMA. Onco sangat  pemalu. Danan berkali-kali memperingatkan Onco supaya tidak malu pada kami.

“Eee.. Onco, sini makan bareng kakak. Tara usah malu-malu. Sini duduk !”

“Iyo Onco, bagaimana, harusnya kan kakak yang malu bukan kamu yang malu. Bagaimana kamu malu di rumah sendiri?”, tambah saya. Onco lalu tertawa dan ikut makan dengan saya dan Danan.

Bagaimana dengan mama haji? Mama Haji sangat baik pada anak piaranya. Mama selalu membangunkan saya dan Danan yang sudah 2 pagi tidak mempan oleh alarm HP. Selain itu, mama suka menawarkan teh atau kopi kepada kami. Sependek ini, hal yang paling saya tahu dari Mama Haji adalah: Masakannya sangat enak.

Mengapa kata “haji” selalu tersemat di belakang panggilan mereka?

"Abang haji !"

"Bapak haji !", "Ibu haji !"

"Tua haji (Paman) !" 

"Tete haji (Kakek) !", "Nene haji (Nenek)"

Ini adalah persoalan kultur budaya. Semua orang yang pernah ke tanah suci akan mendapat kehormatan yang tinggi di mata masyarakat Anggai. Nama “haji” kemudian tak hanya tersemat pada nama yang tertulis, tapi juga nama yang terucap.

Nama “haji” memang sangat istimewa. Papa Haji Sami bahkan memiliki panggilan sayang pada Mama Haji dengan sebutan “haji”.

Ya. Begitu memang. “Haji”.

“Hajiii... mana Bagus? Su waktu batal puasa. Dia kosong?”, teriak papa pada mama, menanyakan saya yang tak nampak di meja makan.

Ini terjadi saat buka puasa pertama di Desa Anggai 2 hari lalu. Saat itu saya terlalu asyik baronda bersama Bang Rusdi, Destya, Devina, Apoy, Jovi, dan Ongri sampai tak sadar matahari telah terbenam dan adzan maghrib telah berkumandang.

“Ih abang, saya pulang dulu e. Tara enak kalau tara buka puasa di rumah”, pamit saya pada Bang Rusdi.

“Ini minum gopoa dulu”, jawab Bang Rusdi sambil menunjuk kelapa muda yang baru saja dipetiknya.

Adakah yang kuasa menahan godaan kelapa muda di waktu berbuka? Gopoa ! Air paling menyegarkan kedua di dunia ! (Setelah zam-zam).

Akhirnya saya pun memilih berbuka dengan gopoa, menunda kemesraan berbuka bersama keluarga.

“Setelah ini saya segera pulang dan minta maaf lah”, pikir saya.

Bodohnya, saya tak memikirkan nasib Ongri, Apoy, dan Jovi yang rumahnya di Sambiki. Mau tak mau, harus ada yang mengantar mereka pulang. Tidak mungkin saya biarkan mereka berjalan menempuh 4 km di bawah langit yang gelap? Belum lagi cerita dunia malam Anggai-Sambiki yang dihuni para penikmat cap tikus, atau sial-sial bisa saja malah bersua dengan suwanggi (semacam kuntilanak).

“Danan, dimana Bagus?”, tanya papa haji pada Danan yang sudah siap menyeruput es cukur yang segar.

“Tara tau papa. Tadi sama Bang Rusdi”, jawab Danan.

“Danan jangan makan dulu. Cari Bagus ke rumah Usdi”.

Akibat kekurangajaran saya, akhirnya Danan harus menunda saat berbuka dan mencari saya kesana-kemari. Hingga hampir pukul 7, Danan tak kunjung juga menemukan saya dan akhirnya kembali pulang.

“Assalamualaikum...”, akhirnya saya pulang dari Sambiki pukul 7 dan segera masuk rumah, menuju ke dapur mencari mama papa. Saya harus segera meminta maaf karena tidak buka di rumah !

Sayangnya, rumah sedang kosong dan hanya ada Danan yang tengah duduk menikmati es cukur.

“Gus, ndek mau digolek papa haji (Gus, tadi dicari papa haji)”,

Wah ngapura nan, aku bar nganter Ongri Apoy Jovi ning Sambiki (Maaf nan, saya baru mengantar Ongri Apoy Jovi pulang Sambiki)”,

“Mangan sik, luwe. Aku mau kon nggolek kowe sik. Lek dhurung ketemu, ra entuk mangan ning papa (Makan dulu, lapar nih. saya tadi harus cari kamu dulu. Kalau belum ketemu, papa belum kasih izin makan)”,

“Lha saiki papa haji nangdi nan? Bajigur.. ra kepenak iki aku karo Papa. Lek karo kowe sih biasa wae (Sekarang papa dimana nan? Sial, saya tidak enak hati sama papa. Kalau sama kamu sih biasa saja)”.

Mangkat tarawih kayane (Sepertinya berangkat tarawih)”.

Melewatkan buka pertama bersama mama papa adalah penyesalan pertama yang saya rasakan setelah tiba di Obi. Buka puasa pertama di Anggai menjadi pembelajaran yang mahal: Kita perlu menghargai waktu keluarga yang mungkin tidak akan sebanyak waktu program kerja.


Rumah Papa Haji
Papa Haji

-----------------------------------------------------------------------------

Waktu selalu memberi jeda demi pergantian euforia. Ada tempo yang harus turun setelah perjamuan. Ada masa reses yang tak boleh dilewatkan.

Kami punya waktu tiga hari menuju program pertama: Kelas Membaca.

Di hari pertama kesenggangan ini, saya menghabiskan hari dengan pergi ke kebun papa haji. Bersama Gilang, Danan, Baba, Devina, Bang Rusdi dan tentu saja Papa Haji, kami berjalan menuju kebun yang berjarak sekitar 2 km dari rumah.

Kebun yang hari ini kami jelajah adalah kebun kelapa: kebun Igo, kebun gopoa. Igo itu kelapa tua, kalau gopoa: kelapa muda.

2 hari lalu sebelum kami pergi kesini, saya berpapasan dengan papa haji di depan rumah samping timur masjid. Papa Haji tengah berbalut busana muslim: peci putih bersih, baju koko coklat bermotif hitam dan emas, sarung warna coklat yang rapi, dan berkalung sajadah hijau.

“Bagus, darimana tadi tidak buka di rumah?”

“Maaf papa, baru antar teman ke Sambiki. Maaf papa ya, tadi tara izin dulu”. Saya menjawab dengan penuh perasaan bersalah.

“Kalau mau pergi tara apa-apa, yang penting odo (makan) dulu di rumah, nanti pergi lagi boleh. Kata Danang, tadi Bagus di rumah Usdi?”

“Saya, papa. Tadi dari kebun petik kelapa”.

“Suka kelapa?”.

“Suka sekali papa. Maaf tadi lupa waktu saat di kebun”.

“Kalau suka kelapa, besok ke papa punya kebun saja. Hantam, makan semuanya boleh, asalkan kuat”.

Alih-alih mendapat murka, papa haji justru mengajak saya ke kebunnya. Dan hasilnya: hari ini kami membawa 12 gopoa segar dari kebun papa.

24 Juni 2016


Menuju Papa Pe Kebun

Papa Haji

Baba: Kok enak dev, ra puasa?



Share:

0 komentar