Catatan Baraobira Hari-10, BAHAS BAHASA: NGOHITO ERGO SUM
Hari ini hari Selasa. Tak terasa
kami sudah seminggu berada di Anggai. Waktu terasa cepat juga disini,
rasanya baru kemarin saya sampai di Anggai dan mengenal keluarga Papa Haji.
Sekarang, setelah merepotkan mereka selama 7 hari, saya dan Danan pun
menjadi semakin dekat dengan mama papa. Waktu berbuka puasa adalah anugrah
karena di waktu inilah kami bisa berceloteh dengan puluh senda gurau yang
multitopik. Papa dan Mama Haji adalah tipe orang yang suka sekali bercerita. Mereka akan bercerita
perihal apa saja yang sedang terlintas di kepalanya. Mama Haji misalnya, Mama
bercerita bahwa 3 bulan lalu mama hampir saja meregang nyawa saat terjadi musibah
longsor di dalam lobang tambang. Mama yang kala itu sedang bekerja mencari batu
rep – perempuan di Anggai biasa melakukan ini – bersama 2 perempuan lain harus
tertimpa longsor di dalam lobang dan terjebak selama hampir setengah jam. 1
orang meninggal dalam musibah ini, sedang mama haji terluka parah. Ia koma dan dirawat seminggu di rumah sakit Laiwui.
Papa Haji juga suka bercerita.
Seringkali ia menceritakan pengalamannya kala berada di tanah suci Mekkah.
“Di mekkah sana, papa sudah
ketemu orang dari seluruh dunia. Orang Afrika, Cina, Inggris, Bangladesh.
Mana saja ada. Kalau sudah bertemu dengan orang dari seluruh dunia disana, kita
sudah tara bisa sombong. Semuanya mau yang badan besar, mau yang badan kecil, mau yang
kulit hitam, mau yang kulit putih, semuanya sama-sama terlihat lemah dan mau mati. Ya
tinggal Allah yang menentukan kita selamat atau tidak”, kata Papa menceritakan
pengalaman spiritualnya saat tawaf. (Bahwa Haji akan
menghilangkan arogansi manusia, ini persis seperti apa yang
disampaikan Malcolm dalam film biografi Malcolm X yang diperankan Danzel
Washington).
Selain betah bercerita, mama papa
juga suka mengajari kami bahasa Galela. Tentu saya yang paling antusias dalam hal
ini.
“Papa, kalau mandi bahasa
Galela-nya apa papa?”
“Mahosi. Ngohito mahosi, saya mau mandi”.
“Kalau makan?”
“Odo. Kalau minum, udo.
Ngohito odo, saya mau makan. Ngohito
udo, saya mau minum”,
“Ngohito udo gopoa, papa (saya mau minum kelapa muda, papa)”,
“Lang, pete di kebung (besok petik di kebun)”,
“Saya, papa !”,
Setiap kosa kata baru yang saya
dapat, ia tak boleh lalai untuk dicatat. Setidaknya,
kita perlu menghafal kosa kata yang seringkali muncul dalam perbincangan
sehari-hari.
Maidu = Tidur
Mahosi = Mandi
Madagi = Jalan
Liho = Pulang
Nao = Ikan
Bole = Pisang
Fofoki = Terong
Bahasa menurut Doktor
Sudaryanto memiliki fungsi utama untuk memelihara kerja sama. Sepertinya teori dari mantan
ketua jurusan Sastra Prancis UGM ini banyak benarnya juga. Kalau kita berada di
Indonesia Timur - di Anggai, coba jangan ragu untuk mengatakan, satu saja bahasa Galela di depan
para mama. Misalnya ketika seorang mama memanggil kita untuk makan.
“Bagus, mari makang dulu di rumah
mama?”
“Boloka mama (Sudah mama)”
“Boloka (Beneran sudah) ???”
“Saya mama, boloka, punuka (Iya mama. Sudah, kenyang)”.
“Haa...haa... Su jadi orang
Galela eeeee....”, teriak mama sambil terbahak lantang. Kalau para mama
Maluku sedang tertawa, jangan harap keanggunan laksmi
jelita terpancar dari wajahnya. Saat tertawa, kepala mereka akan maju 10 cm kedepan, mulut mereka akan terbuka lebar-lebar lalu langit-langit mulut mereka yang merah karena pinang akan terlihat dengan jelas, “Haaa..haaaa......”.
Tapi jangan salah, kalau mama
sudah terbahak melihat kita berbahasa Galela, sudah pasti kedekatan emosional
akan terjalin cepat. Tarada lagi Maluku yang keras, sekonyong-konyong mereka akan jadi Maluku
yang ramah lagi jenaka.
Bahasa lokal... Tak perlu jauh-jauh menguasainya. Dengan menunjukkan kemauan belajar saja, maka
keberadaan kita akan diakui oleh warga. Ini persis seperti kredo legendaris: Ngohito
Ergo Sum, Aku Mau maka Aku Ada.
Dalam tempo seminggu ini, saya
belajar bahasa Galela dengan siapa saja yang bisa saya ajak. Tentu, mama
papa haji adalah duo mentor utama. Selain mereka, saya juga belajar pada Bang Rusdi, atau Abang-abang IPMA. Sesekali saya juga belajar bahasa dengan anak-anak SD, misalnya dengan As - anak Mama Nas - dan dengan Wilda - Anak Papa Sukri
“Ngohito majobo ko dahu (Saya mau pergi ke bawah)”,
“Ngohito tagi ka dara (Saya mau pergi ke darat)”,
“Ngohito tagi ko lao (Saya mau pergi ke laut)”.
"Ayo, tirukan kita kak Bagus......", seru mereka.
As, Wilda, dan Matsuyama |
Sayangnya belajar bahasa Galela
dengan anak-anak SD bukanlah cara yang ampuh dan efektif. Mereka tidak menguasai banyak kosa kata, bahkan untuk sekedar menjelaskan kata ganti kepemilikan (my, your, his, her, etc). Misalnya mereka tidak tahu kalau bahasa Galela 'kelapa milik saya' adalah 'ai igo' (my coconut).
Bahasa Galela seperti
banyak bahasa daerah lainnya, punya akar permasalahan kontemporer yang sama: Ia
semakin ditinggalkan generasi mudanya. Di Anggai, kita bisa dengan mudah
mendengar percakapan bahasa Galela dari obrolan orang tua. Tapi anak SD bercakap Galela? Kosong....
Saya pikir ada bertimbun faktor
yang jadi alasan mengapa bahasa Galela semakin ditinggalkan. Pertama, faktor dominasi
budaya mayoritas, yaitu dominasi bahasa Indonesia. Hari ini, bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling sering mereka dengar, entah dari jagat nyata entah dari layar kaca. Bahkan, di lingkungan keluarga pun para orang tua lebih memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percapakan utama. Kedua faktor politik. Kebijakan
pendidikan era kini semakin abai terhadap konten muatan lokal (Mulok). 2 faktor ini saja sudah menyiratkan bahwa generasi muda yang sekarang hampir tak mendapat kesempatan untuk belajar bahasa daerahnya baik di lingkungan formal maupun informal. Dan jika ada faktor ketiga, bahasa Galela bahkan bisa saja mengalami kepunahan: Galela tidak punya karya sastra,
kamus, dan sistem aksara yang sudah dipustakakan. (Mari esok kita selidiki dulu!)
Ih, selalu timbul rasa sedih
ketika menyadari bahasa daerah semakin ditinggalkan generasi mudanya. Saya pernah
menulis ini di blog: Mereka yang belajar bahasa asing cenderung jadi tertarik pada budaya
kontemporer , sedang mereka yang belajar
bahasa daerah cenderung jadi tertarik pada budaya masa lampau (dari tempat asal bahasa tersebut). Ini memang sekadar asumsi berdasarkan pengamatan pribadi pada kebanyakan mahasiswa baru di kampus ilmu budaya: Maba (Mahasiswa baru) sastra Prancis sering
mendadak jadi modis – bukan filosofis, maba Sastra Jepang sering mendadak jadi otaku –
bukan zen, maba sastra inggris sering mendadak jadi Top 40 (Haha) – bukan sastrawi. Ya, kebanyakan dari mereka yang belajar bahasa asing akan lebih tertarik pada budaya kontemporer yang sedang hits di negara asal bahasa. Berbeda dengan maba sastra nusantara, alih-alih jadi metroseksual ala muda-mudi Jogja masa kini, kebanyakan dari mereka malah tiba-tiba jadi tertarik pada hal mistis, wayangis, kratonis. Mereka yang belajar bahasa daerah, cenderung jadi tertarik pada budaya lampau – dan budaya lampau lebih sering ditampilkan pada budata yang luhur. Itulah mengapa pada akhirnya generasi yang belajar bahasa daerah lah yang akan lebih paham - dan peduli - akan identitas bangsanya sendiri (mereka lebih berbudaya).
Suatu sore saat acara buka
bersama tim Baraobira dengan masyarakat Anggai, seorang mama yang akrab
dipanggil Mama Chuck Norris – karena tidak bisa diam -, mengajak saya belajar bahasa Galela,
“Bagus, kaka cantik, kalau orang
Anggai bilang perempuang cantik itu: mi daloha. Coba tirukan ‘mi daloha...’ ”
“Mi Daloha mama !!!”
“Mantappp... Kalau laki-laki
ganteng, itu wi daloha. Coba tirukan,
‘wi daloha....’ ”
“Wi dalo....ha..”,
“Haa..haa.. mantap bagus !. Kalau
bagus mi daloha atau wi daloha?”
“Wi daloha mama...”,
“Bukang, Bagus mi daloha... haa..haa...”
“Ehe..ehe.. tarada mama, saya wi daloha”.
“Tapi ya Bagus, kalau disini
orang ganteng sama cantik juga bisa dibilang birahi”
“Birahi mama? Iii.. itu tara baik kalau diucapkan di Jawa”
“Iyo...birahi, artinya cantik, atau ganteng. Sekarang mama tanya,
kalau wi daloha artinya?”
“Laki-laki ganteng mama”,
“Mantappp.. Kalau mi daloha?”
“Perempuang cantik mama”,
“Mantappp.. Kalau mi birahi?”
“Perempuang birahi mama...”
NB: Jangan lupa belajar misuh.
28 Juni 2016
3 komentar