Catatan Baraobira Hari-7, PESAN DI BALIK ROMANTISME KONTER

Ketika Marx mengatakan bahwa agama adalah candu, Marx harus menanggung beban sejarah yang masih ia pikul sampai saat ini, 130 tahun lebih pasca kematiannya. Marx dituding sebagai penyebar paham atheist, Marx adalah iblis yang anti agama, pak brewok dekil yang tak percaya Tuhan. Parahnya, akibat dakwaan itu jutaan orang jadi enggan untuk mempelajari pemikirannya. Jangankan membaca teorinya tentang bagaimana cara kapitalis bekerja, berjuta-juta orang bahkan phobia akut mendengar namanya.

Apakah mengatakan agama adalah candu berarti seseorang pasti anti terhadap agama? Bagaimana seandainya saya mengatakan handphone adalah candu (dan smartphone adalah raja candu)? Apa saya akan dicap manusia primitif yang anti gawai dan kemajuan? Jika ngana mengatakan demikian, sebaiknya ngana segera mengambil 3 butir pil antimo dan tenggak dalam sekali waktu. Ngana sedang dalu alias mabuk berat.

Handphone adalah candu (dan smartphone adalah rajanya). Lalu kita mengenal istilah nomophobia, yaitu keadaan dimana seseorang merasa sangat gelisah ketika tidak ada handphone. Saya yakin bahwa 99% orang yang sedang membaca catatan ini adalah penderitanya. Pun perlu kau tahu, hal ini juga terjadi pada seluruh anggota tim Baraobira. Sayangnya, selama 40 hari kedepan kami akan tinggal di tempat yang jaringan signalnya setengah mati. Ini berarti bahwa kita akan kehilangan sebuah fungsi utama dari adanya handphone: komunikasi jarak jauh. Apalah arti handphone jika ia tak bisa untuk telfon? Sama saja kita hanya menggenggam gamebot polichrome kan?

Hari-hari awal di Anggai pun dilalui dengan perasaan yang gelisah dan kelusah-kelusuh. Ketika Kormanit Gilang survey di bulan April lalu, ia mengabarkan bahwa Anggai memiliki jaringan kartu telkomsel. Tapi faktanya berbeda ketika kami telah tiba di desa: tak ada satupun signal yang menyangkut. Kau bisa berusaha mengangkat tangan kirimu ke langit sambil menggenggam hp, kau bisa saja memberi grenjeng rokok supaya penangkap signal hp mu bisa terupgrade (oleh energi sugesti), tapi di Anggai? Semua hanya sia-sia, percuma....

---------------------------------------------------------------

Entah siapa yang pertama mendapat kabar ini, bahwa Anggai ternyata memiliki satu-satunya tempat yang menyediakan sinyal handphone stabil. Tempat itu masyhur disebut konter.

Mulanya, saya membayangkan konter adalah warung tempat jual pulsa – yang dicat warna merah, yang entah bagaimana di warung pulsa ini kita bisa mendapat sinyal handphone yang kuat. Saya membayangkan konter sebagai warung tempat pemuda Anggai berkumpul: ngopi, gitaran, main kartu. Lalu siapa yang sudah bosan akan mlipir untuk mulai menelfon nona kesayangan.

Konter yang saya bayangkan ternyata sangat berbeda dengan konter yang sebenarnya. Konter sejatinya adalah sepetak daratan yang menjorok ke laut – atau tanjung – yang terletak di ujung barat desa, tempat perbatasan Anggai-Sambiki. Bibir laut konter berhadapan langsung dengan Pulau Madopolo,  pulau berdirinya tower utama telkomsel di kepulauan Obi, itulah mengapa di tempat ini kita bisa mendapat sececah sinyal yang terpancar dari utara Obi.

Ada pemandangan unik setiap kali saya baronda kesini. Seringkali, terlihat banyak – lebih dari 10 - orang yang sedang sibuk dengan telfon genggamnya, menelpon di tempat pilihannya masing-masing: berdiri di atas jembatan kayu, duduk di bawah pohon, atau berjongkok di bawah rumah panggung.  Tepian laut ini jadi tempat orang-orang melepas rindu lewat suara, entah dengan sanak famili atau dengan kekasih di seberang sana.

Selain jadi tempat bersemayam para Cupid, konter sepertinya juga jadi tempat bermukimnya Mikail. Konter adalah padang rezeki. Ia jadi harapan masyarakat Anggai untuk tetap memperlancar roda bisnisnya. Banyak orang sengaja datang kesini untuk menelfon si mitra bisnis yang ada di Madopolo, Ternate, sampai Manado.

Hari ini, agenda saya adalah mengadakan rapat membahas program pendidikan bersama Devina, Destya dan Apoy. Selesai rapat, kami pun menyempatkan diri untuk pergi ke konter bersama-sama. Sesampainya disana, kami segera sibuk dengan gawai masing-masing. Apoy dan Devina menelfon mamanya, Destya berkabar dengan teman spesialnya, sedang saya segera mengirim pesan pada dua orang yang sangat saya rindukan: Riris dan Mama.

C’est si dur de ne pas vous raconter tous ces histoires pendant tout ce temps..

Saya ingin sekali berkabar dengan Riris, melepaskan curahan hati, uneg-uneg, dan saling nguda rasa. Terlalu banyak hal baru yang belum saya ceritakan. Dia suka sekali mendengarkan celoteh tentang perbedaan adat budaya. Dan kecanggungan saya menghadapinya.

Jangan tanyakan bagaimana rindu saya pada mama di Jawa. Saya ingin sekali sekedar mengabarkan padanya bahwa Obi membuat saya bahagia: mama papa piara yang baik, makanan yang lezat, masyarakat yang partisipatif dan jenaka. Saya selalu kepikiran kalau dia sedang memikirkan saya.

Saya baru menyadari kalau nomor telkomsel saya ternyata tak bisa digunakan untuk menelfon ataupun menerima. Saya pikir penyebabnya adalah saya tidak meregistrasikan nomor konter tempat dimana kartu ini dibeli. Aih, sial !

Mau tak mau, saya harus meminjam handphone milik teman. Apoy masih berkisah dengan ibunya, Destya tak bisa lagi diganggu gugat, tinggal Devina yang sepertinya sudah usai bertelfon. Oh ya, saya suka sekali mendengar Devina bertelfon dengan mamanya. Mereka akan menggunakan bahasa Cina Hokian ketika bercakap. Fasih, fasih sekali. Dalam waktu sekejap, kita akan merasakan sensasi berada di tengah scene film Once Upon a Time in China.

Devina sepertinya teman KKN yang paling baik. Dia akan meminjamkan apapun yang bisa dia pinjamkan dengan tersenyum memperlihatkan seluruh giginya, dan tentu saja saat ia tersenyum matanya tak terlihat sedikitpun. Saya sipit, tapi tak sesipit dia.

Berkat Devina, saya pun dapat bersapa lagi dengan mereka...


Apoy dan Devina
Pemandangan Konter




---------------------------------------------------------------

Di tengah romantisme tanjung signal yang langka, tetap saja terselip rasa miris dan duka. Bagaimana mungkin masyarakat Obi harus tertinggal sejauh ini dalam hal teknologi dan informasi?

Obi adalah pulau yang luar biasa kaya, ia bahkan dijuluki sebagai dapurnya Halmahera. Bukan hanya dapur saya rasa, namun juga ladangnya. Pulau yang luasnya hampir sama dengan pulau Bali ini  memilik potensi sumber daya alam yang luar biasa: hutan, mutiara, nikel, emas, batubara. Sumber daya ini kemudian dijual oleh pemerintah kepada para investor hingga terjadilah eksploitasi alam yang luar biasa besarnya.

Hasil dari persetubuhan antara pemerintah dengan investor ini adalah tercatatnya Obi sebagai kecamatan yang memberikan APBD terbanyak untuk Kabupaten Halmahera Selatan, bahkan Maluku Utara !  Namun, apa dikata? Pulau pemasok terbesar APBD ini harus menerima kenyataan bahwa listrik disini belum 24 jam (sebagian wilayah di Obi Selatan belum mendapat pasokan listrik sama sekali), sinyal handphone masih barang mahal, apalagi sinyal internet.

Obi serba ketinggalan dalam hal teknologi informasi, juga dalam hal pembangunan dan pendidikan. Coba kau berkendara motor dari Kecamatan Laiwui menuju Anggai maka akan kau lewati Jalan Gunung Sikunde, jalanan naik, terjal berbatu, yang seringkali membuat warga tergelincir dan kepalanya bocor. Atau setidaknya, lihatlah Desa Sambiki yang hingga detik ini belum memiliki jalan beraspal (Seorang warga Sambiki bercerita bahwa tahun lalu aspal ditarik kembali oleh pemda karena permasalahan pemilu). Dalam hal pendidikan juga setali tiga uang. Silahkan lihat Desa Anggai-Sambiki yang hingga hari ini sangat kekurangan tenaga pengajar. Atau kalau ingin tambah miris lagi, mari bersua ke SMK Peduli Bangsa, SMK dengan jurusan Teknologi Informasi di tengah desa yang belum mengenal signal 3G.

Konter...
Tanjung Signal, Tanjung Harapan...
Dibalik romantismenya, tersirat pesan bahwa Obi sedang tidak baik-baik saja...

25 Juni 2016

Share:

0 komentar