Aku, kau tahu, adalah militan rendah hati yang bahkan bisa menunjukkan laku hidup teladan baik dalam urusan publik maupun pribadi.
Upacara itu seharusnya dimulai tepat pukul 9, tapi aku sudah berada di lapangan sejak pukul 7.30. Sejujurnya, aku akan senang jika Sekjen Serikat Buruh menyadari bahwa aku sudah berada di sana sebelum seorangpun datang : siap memberi hormat pada bendera merah yang berkibar, menyeka debu yang menempel di foto pemimpin abadi kita—yang terbunuh secara biadab oleh para iblis kaum imperialis dan antek-anteknya—, atau bahkan mengelap kursi sandar yang nanti akan diduduki bokong revolusioner Presiden Komite Pusat Partai Tunggal, Presiden Republik Kongo, Kepala Negara, Pimpinan Dewan Menteri, Komandan Tertinggi Militer, kawan seperjuangan cumsuksesor pemimpin abadi kita—yang terbunuh oleh para pengecut.
Bagaimana jika Tuan Sekjen tidak menyadarinya? Tidak, aku tetap tidak akan kesal ; Pada dasarnya, aku datang paling awal karena aku memang seorang militan sejati. Lagipula, aku juga akan mendaftarkan diri ke Partai. Oh ya, tentu saja, aku sangat setuju dengan pernyataan di berita radio bahwa upacara ini merupakan peristiwa bersejarah.
Ah ! Aku tahu, aku belum menceritakan padamu peristiwa bersejarah ini. Sial ! Aku memang tidak pernah bisa menyampaikan pikiranku secara rapi dan saintifik seperti yang diharapkan revolusi kita dengan dialektikanya. Tapi baiklah, akan kumulai.
Kau tentu paham bahwa untuk mengalahkan imperialisme internasional dan antek-anteknya, kita harus mempunyai pola pembangunan yang berdikari dan sentralistik (aku mempelajari istilah-istilah ini penuh penghayatan karena untuk menjadi anggota Partai, kami akan ditanyai berbagai hal untuk memastikan apakah kami benar-benar komunis dan paham betul Marxisme-Leninisme). Saat ini, untuk menerapkan pembangunan otonomik—maksudku sentralistik, kita harus menumpas kaum borjuis demokratis—maaf, maksudku borjuis birokratis (maaf, aku belajar terlalu banyak istilah dalam waktu sangat singkat sampai semua campur-aduk di kepalaku). Untuk itu, diperlukan para pekerja pabrik yang kompeten dan benar-benar merah.
Dengan segala kerendahan hati, aku berpikir bahwa aku adalah seorang yang kompeten, karena bagaimanapun aku telah bekerja selama lebih dari 10 tahun sebagai penjaga pabrik —bahkan meskipun hanya digaji 15.000 Francs Congo per bulan setelah bekerja selama itu. Selama sepuluh tahun itu, tidak ada satupun kasus pencurian terjadi baik siang atau malam. Tentu saja pernah ada beberapa kasus penggelapan. Pabrik bahkan sempat tutup selama setahun karena Direktur lama, si borjuis otokritis—maaf maksudku borjuis birokratis, terbukti menggelapkan 2.300.000 francs lebih 70 sen. Uang itu seharusnya akan digunakan untuk membeli mesin baru dan suku cadang pabrik. Tapi Direktur lama malah menggunakannya untuk membangun villa di tepi pantai.
Akan tetapi partai pembaharu kita, dengan penuh pertimbangan, telah mengambil beberapa tindakan. Saat ini, ia tak lagi dijadikan direktur di sini. Ia hanya direktur di salah satu sub-cabang di kota lain. Meskipun demikian, atas dasar kemanusiaan, Partai tidak menyita villa miliknya (ia punya 10 anak yang malang. Dan ia keponakan dari wakil ketua serikat buruh kami).
Sebenarnya aku pernah dihukum satu tahun penjara. Tapi aku mendapat amnesti tepat di hari pelantikan Presiden—yang berjasa menata ulang demokrasi sekaligus membebaskan beberapa tahanan politik yang tertangkap saat kudeta terakhir (terjadi jauh hari sebelum takdir baik membawa pemimpin kita naik tampuk kekuasaan). Aku juga sudah mengganti sepenuhnya 3 kaleng sarden—salah satunya sudah basi—, yang dulu aku “pinjam” karena tak ada makanan apapun di rumah untuk anak-anakku,
Ah, sepertinya aku bicara melantur. Jadi intinya, aku bercerita bahwa sudah terbukti selama 10 tahun ketika aku menjadi penjaga pabrik, tidak ada satupun pencurian di pabrik kami. Bagiku, itu cukup jelas membuktikan bahwa aku orang yang kompeten. Selanjutnya tinggal apakah aku benar-benar merah atau tidak.
Awalnya, saat serikat meminta kami menjadi merah, aku tidak paham apakah mereka sedang bicara tentang warna baju atau warna kulit. Kau tahu, aku hanya jebolan kelas satu SD dan aku tidak selalu paham istilah-istilah rumit dunia politik. Meskipun demikian, setelah cukup berpikir, aku tidak lagi menganggap merah sebagai warna kulit. Karena berdasarkan apa yang kupelajari di kelas malam—yang sering aku ikuti untuk memperbesar kesempatanku menjadi direktur—hanya orang Indian—maksudku Indian Amerika bukan orang India—yang punya kulit merah. Dan kita tak akan menemukan makhluk jenis itu di tanah ini.
Jadi aku berpikir: tak diragukan lagi kalau merah yang dimaksud merujuk pada warna pakaian. Sampai di sini, aku jelaskan padamu bahwa sebutan orang Indian sebenarnya bermula dari kedunguan seorang Eropasentris bernama Christoper Colombus yang berlayar ke Barat untuk menemukan India demi meningkatkan keuntungan kapitalis dan monopoli perdagangan borjuis birokratis, sebelum akhirnya malah kesasar di Amerika dan suku Indiannya.
Jadi sudah jelas, ini pasti tentang warna pakaian. Karena bagaimanapun, akan sangat rasis jika warna kulit atau asal suku menjadi prasyarat seseorang masuk Partai.
Selama sebulan penuh, aku pun hanya berpakaian merah. Aku berangkat ke pabrik dengan kemeja merah, celana merah, syal merah, hanya sepatuku yang berwarna marun karena aku tidak dapat menemukan yang merah. Saat Sekjen Serikat kami, anggota Komite Pusat Partai, datang dan berkeliling pabrik untuk melakukan peninjauan, aku selalu berlagak sedang mengelap ingusku dengan kacu merah terang supaya ia sadar bahwa semua yang ada padaku adalah merah.
Di negara kita, Badan Intelijen Negara, maksudku CIA atau KGB kita, seringkali menggunakan wanita bermoral bejat untuk menggali informasi dari orang-orang yang sedang diawasi negara. Dari situlah, setiap kali aku menemukan wanita yang aku pikir sedang jadi mata-mata negara, aku berusaha melakukan apapun supaya bisa tidur dengannya sambil cari-cari akal supaya bisa melucuti pakaianku di bawah cahaya terang, agar ia melihat kancutku yang bahkan berwarna merah ! Ah ya, aku mengibulinya bukan karena aku kurang ajar atau tidak bermoral tapi ini murni pengorbanan demi revolusi dan segala kemerahannya !
Sekali waktu, aku bahkan pernah berhasil mempunyai mata berwarna merah setelah menenggak beberapa gelas anggur sambil memaparkan mataku pada kepulan asap rokok. Semua yang ada padaku adalah merah. Aku bahkan mengecat sepedaku menjadi merah.
Sejujurnya, aku tidak tahu kenapa mereka begitu mementingkan warna merah. Secara pribadi, aku lebih suka warna hijau yang mengingatkan pada hutan, atau biru turkis langit yang menenangkan tubuh dan pikiran setelah hari yang melelahkan. Tapi tentu saja, aku juga menyukai merah menyala bunga flamboyan ketika tiba-tiba mekar di penghujung kemarau—atau tepatnya di awal musim hujan. Tapi bunga ini pun menjadi cantik karena ia merekahkan warna suram monoton yang menjadi ciri abadi hutan tropis. Dan tentu saja, ia indah karena hanya muncul sesaat.
Tapi, mari singkirkan subjongtivitas—maksudku subyektivitas— dan mari menilai segala hal dengan objektif. Saat itu, sangat penting untuk menyukai warna merah. Karena jika aku terindikasi dengan warna tersebut, ditambah kompetensi pribadiku, aku akan terpilih menjadi direktur baru pabrik. Kau tentu tahu, gajiku akan naik dari 15.000 menjadi 300.000 francs per bulan! Ah, tapi dengarkan ya, persoalan uang sama sekali tidak menarik perhatianku. Aku adalah seorang militan yang rendah hati, teladan, dan sederhana!
Selama sebulan ketika aku merah, atau setidaknya percaya kalau aku merah, aku menyadari adanya senyum sembunyi-sembunyi, kedipan mata, dan bisik-bisik seperti ejekan tiap kali aku lewat. Juga pertanyaan-pertanyaan aneh dan tebak-tebakan seperti “Orang-orang apa yang matanya merah, berguling di atas sepeda merah, hayoo?”, yang sepertinya ditujukan untuk mengolok-olokku!
Aku sangat marah sampai wajahku merah ketika menyadari bahwa ternyata menjadi merah tidak ada hubungannya sama sekali dengan warna pakaian. Menjadi merah artinya merah sejak dalam hati. Jadi, sepanjang waktu ketika aku menjadi makhluk imbesil dan goblok itu, mereka diam saja dan membiarkanku melakukannya! Mereka pasti syirik padaku. Itu pasti! Tapi aku katakan pada mereka, aku akan membeli omongan mereka tepat di hari ketika aku yang merah dan kompeten ini terpilih menjadi Direktur baru mereka.
Menjadi merah artinya merah sejak dalam hati. Aku kira ini idiot karena semua orang punya hati merah dan darah kita pun juga merah. Bahkan darah para reaksioner borjuis teokritis, ah, maksudku borjuis otokritis, ah bukan, maksudku borjuis birokratis itu juga merah. (Maaf, sekali lagi maaf, aku kelelahan dan pikiranku kacau balau setelah tak tidur semalaman).
Akhirnya setelah berkali-kali mengamati dan bertanya—Presiden Mao pernah berkata ia yang tak berani bicara tak punya kesempatan untuk bertanya—aku mengerti bahwa menjadi merah berarti menjadi seorang militan, komunis Marxis-Leninis sejati. Kau tentu percaya, aku tak ingin kalau posisi Direktur membuatku terlena meskipun hanya sedikit. Naik gaji 15.000 menjadi 300.000 per bulan bagiku tak ada artinya. Hidup mewah, perempuan cantik, mobil Alfa Romeo atau Triumph dengan dua jok dan kap terbuka seperti milik Kamerad Menteri Proganda dan Ideologi bukan tujuan utamaku. Baiklah, mari perjelas sekarang bahwa aku benar-benar seorang militan yang jujur, sederhana, dan rendah hati. Uang dan kekayaan materil bukanlah motivasi utamaku.
Dengan kerendahan hati seorang militan, aku ceritakan juga padamu—kau boleh menanyakannya pada teman-teman buruhku—dahulu aku adalah orang yang berprinsip teguh pada keimanan. Pembela agama.
Di negeri ini, orang percaya adanya makhluk jahat bernama penyihir. Ia muncul di malam hari dalam wujud burung hantu atau hewan aneh seperti bunglon atau kura-kura untuk membunuh manusia dengan melahap jiwanya. Untuk melindungi diri dari kekuatan jahat itu, kita memerlukan penangkal seperti gigi macan kumbang, cakar macan tutul, atau jimat-jimat yang dijual para pedagang asal Senegal. Mereka bilang itu adalah tameng.
Sekarang kuyakinkan padamu bahwa sejak Partai melarang praktik-praktik okultisme dan fetisisme, aku tak percaya lagi pada jimat-jimat itu. Aku bahkan menentang konsep Tuhan karena agama adalah wiski, anggur, ganja, candu bagi manusia. Awalnya memang sangat berat untuk tidak lagi percaya Tuhan. Karena bagaimanapun, Tuhan telah banyak menolongku saat momen-momen berat dalam hidup. Tapi aku harus memilih dan aku sudah memastikan pilihanku.
Sejak itu, aku bergantung pada simbol-simbol Partai untuk melindungi diri: Di atas kemeja merahku, kupasang lencana bergambar wajah pendiri Partai kita. Di atas slebor depan sepeda merahku, kupampang foto warna Pemimpin Besar Revolusi, Presiden kita sekarang. Sementara di slebor belakang, kutempelkan logo bersejarah Partai dengan pacul-arit saling menyilang dan sepasang daun palem berwarna kuning. Dengan pelindungku yang sekarang, aku yakin setan manapun tidak akan berani menggodaku. Jiwaku kini benar-benar bersih, percayalah padaku bahwa uang dan kekayaan materil sama sekali bukan motivasi utamaku.
Aku kemudian memutuskan untuk mempelajari berbagai istilah Marx-Engels dan mendaftarkan diri ke Partai. Terlepas dari segala kerendahan hatiku, aku harus mengakui bahwa aku diberkati kecerdasan yang sedikit di atas rata-rata karena meskipun aku hanya jebolan SD, aku mampu menguasai terminologi-terminologi Partai dalam waktu seminggu saja: setiap hari aku mendengar semua omongan jurnalis di radio dan televisi karena di sini, seperti yang pernah dijelaskan Kamerad Menteri Informasi dan Agitasi, jurnalis hadir bukan untuk memberi informasi apalagi menganalisis peristiwa sesuai apa yang mereka rasakan. Mereka hanyalah bagian dari proganda negara, atau dengan kata lain: burung beo Partai.
Aku mempelajari semua jargon Partai dengan sepenuh hati. Aku paham betul semboyan-semboyan yang tertulis di dinding-dinding kota seperti “Hidup adalah produksi sebanyak-sebanyaknya”, “Atas nama revolusi, sensor adalah bagian dari perjuangan”. Oh ya biar aku ingatkan: Hal yang paling penting sebenarnya bukanlah memahami apa yang ingin disampaikan kalimat itu, tetapi memilah salah satu frasa siap-pakai tersebut di waktu yang tepat untuk memperingatkan atau bahkan membungkam mulut lawanmu. Katakan pada seseorang misalnya “Kamerad, sikap Anda sungguh menghambat revolusi” dan ia akan gemetaran membayangkan tentara atau intelijen negara melemparnya ke jurang atau sumur.
Aku juga mempelajari banyak istilah baru dan percayalah, sungguh tidak gampang memahami apa yang sebenarnya ingin mereka katakan. Misalnya, perlu waktu lama bagiku untuk memahami apa artinya menjadi borjuis birokratis. Pada awalnya, aku mengira bahwa menjadi borjuis birokratis merupakan hal bagus. Kami harus menjadi seperti mereka kalau ingin hidup nyaman. Aku mengira begitu karena para penyiar radio selalu mengatakan bahwa borjuis birokratis adalah orang yang sering mengendarai mobil mewah, punya setidaknya satu villa, menyimpan banyak uang, dsb, dsb. Yang membuatku bingung, semua menteri, pimpinan politik, anggota komite pusat Partai Tunggal pasti punya mobil mewah yang Full-AC. Istri dan anak-anak mereka tidak pernah tahu rasanya terpanggang matahari saat menunggu bus yang tidak jelas jadwalnya demi pergi ke pasar atau sekolah. Selain itu, mereka juga sering minum sampanye, lebih suka minuman impor daripada lokal, dsb, dsb.
Jadi, aku mengira bahwa semua pimpinan revolusioner kita adalah borjuis birokratis. Dan oleh karena itu, tentu saja aku ingin jadi seperti mereka.
Tapi tidak berselang lama, mereka menjelaskan bahwa menjadi borjuis birokratis adalah laku tercela. Akhirnya, berkat kecerdasanku, aku bisa memecahkan persoalan rumit ini dengan mudah. Jika kamu mendapati di depanmu dua orang yang masing-masing punya mobil mewah, villa megah, makan malam sambil minum sampanye, dsb, dsb, begini metode jitu untuk membedakannya: ia yang jadi anggota Partai Tunggal adalah sosok revolusioner. Semua yang mereka punya hanyalah basis material untuk meringankan beban dan tanggung jawab mereka. Sementara ia yang bukan anggota partai sudah pasti sebaliknya. Mereka borjuis birokratis, komprador, lintah darat, tukang curi hak rakyat.
Dari waktu ke waktu, semua istilah, jargon, dan semboyan yang aku pelajari menjadi seperti traffic jam. Berdesakan dan macet di kepalaku. Tapi apalah arti kepala pusing dan kliyengan kalau untuk naik gaji 285.000 per bulan?
Akan tetapi, aku begitu terkejut ketika mendengar nama direktur baru dan yang muncul bukan namaku! Ia bahkan bukan pekerja sini! Mereka benar-benar telah memilih orang bodoh, percayalah! Setelah berbulan-bulan mengumumkan bahwa calon direktur baru adalah pekerja pabrik yang merah dan kompeten, mereka sekonyong-konyong memilih seorang entah-siapa yang mereka sebut proletar hanya karena ia anak petani dan anggota Partai. Taik! Aku juga anak petani! Kami semua anak petani atau setidaknya buruh tani Afrika!
Oh sebentar, kau jangan mengira kalau aku cemburu karena tidak dipilih. Tidak, tidak. Aku tidak bohong. Beberapa saat setelah kekecewaanku, aku bisa memahami kalau Partai punya alasan tersendiri. Orang yang kompeten tidak selalu ia yang paham betul siapa Presidennya, tapi ia yang lahir dari etnis yang sama dengan Presiden. Ia pasti akan lebih kompeten.
Jadi, aku sudah membuktikan ketulusanku yang revolusioner dan hatiku yang bersih ini dengan berada di lapangan sejak 7.30 untuk menghadiri upacara pelantikan Direktur Baru. Upacara yang baru akan dimulai pukul 9.
Ah, sepertinya aku terlalu banyak mendongeng tentangku dan lupa bercerita soal upacara.
Upacara ini sangat bersejarah karena tak hanya melantik seorang direktur baru tapi juga menunjukkan bahwa revolusi berkaitan erat dengan kelancaran industrinya. Tuan Presiden, Pimpinan Komite Pusat Partai, Pimpinan Dewan Menteri, Komandan Tertinggi Militer akan hadir secara langsung di depan semua kekuatan bangsa.
Yang pertama datang saat itu adalah para profesor. Aku tidak tahu apakah mereka termasuk borjuis komodor, maksudku borjuis komprador. Yang jelas, mereka mengenakan toga berwarna biru dan merah anggur. Mereka kelihatan seperti ikan asin yang dijemur. Para profesor adalah orang-orang yang dulunya sangat aku kagumi. Tapi kini kekagumanku berkurang sejak melihat mereka dipermalukan aktivis mahasiswa di depan umum (dalam sebuah acara penyambutan mahasiswa). Aktivis mahasiswa itu dalam orasinya menyebut mereka sebagai kelas mapan dengan ide-ide yang sangat borju. Saat itu, tak ada satupun dari profesor itu yang berani bereaksi. Aku jadi tahu, para profesor itu tak ada bedanya dengan yang lain. Enggan bersuara. Seperti kami para buruh dan petani, mereka hanya mengulang-ulang slogan yang itu-itu saja. Seperti kami juga, mereka hanya memikirkan perut sendiri.
Ah maaf, sebenarnya aku tidak sungguh-sungguh menghakimi mereka karena aku paham, bahwa untuk menjadi merah sejati, kami perlu melewati jalan berliku dan harus menjadi seorang tak berwarna dulu.
Para profesor itu jadi kering dan gosong, terpanggang teriknya matahari negara tropis. Tidak ada kursi untuk mereka. Memang, hanya ada beberapa kursi di bawah tenda yang disediakan khusus untuk para undangan dari kalangan teratas.
Para buruh mulai berdatangan dengan bis yang sudah disiapkan pemerintah. Bagaimanapun mereka adalah kekuatan bangsa, para proletar pejuang revolusi. Aku pun segera menihilkan keraguanku sebagai bagian dari kelas pekerja. Selanjutnya, datang pula para perempuan dari gerakan revolusioner, anggota asosiasi pemakaman revolusioner, dsb, dsb. Singkatnya, semua pihak yang disebut sebagai tonggak kekuatan bangsa berkumpul.
Sementara itu, waktu sudah menunjukkan pukul 10.15. Upacara seharusnya dimulai pukul 9 tepat. Tapi kau tentu paham bahwa Afrika punya budaya jam karet. Untuk itu, kita tak boleh terburu-buru.
Para buruh yang kelelahan mulai merebahkan diri di atas rumput, berteduh di bawah pohon palm atau pisang kipas yang ada di sekitar lapangan. Para anggota asosiasi pemakaman berteduh di dalam mobil van hitam mereka. Setiap orang punya caranya masing-masing untuk menghindar dari panas dan meredakan kaki yang pegal… kecuali para profesor. Mereka khawatir kalau martabat mereka sebagai elit dan intelektual negara anjlok. Mereka tetap berdiri, membiarkan dirinya terpanggang matahari katulistiwa, dengan peluh bercucuran di balik toga tebalnya.
Sementara itu, aku mencoba menyempil di bawah tenda tamu undangan, seolah-olah sedang merapikan kursi dan bendera di depannya. Pokoknya, aku membuat diriku kelihatan berguna.
Pukul 10.45, mobil Kamerad Sekjen Partai Tunggal datang, diikuti dua motor kumbang. Percayalah, aku adalah orang pertama yang bertepuk tangan. Sementara orang lain, bahkan direktur baru yang untuknyalah upacara ini diadakan, bertepuk tangan setelah aku melakukannya. Lebih hebatnya lagi, aku berinisiatif menjadi orang pertama yang mendekati mobilnya. Berkat pengalamanku sebagai penjaga pabrik selama 10 tahun dan pengetahuanku yang khatam soal urusan penjagaan, aku sigap membukakan pintu untuknya. Dan fotografer jurnal revolusioner Partai—yang hanya mengabarkan berita-berita kebenaran—mengambil foto kami berkali-kali karena mengira aku adalah orang penting.
Saat itu, aku bisa dengan mudah menyalami tangan Kamerad Sekjen, yaitu saat fotografer sedang memotret kami. Tapi percayalah militan jujur dan rendah hati ini: aku melakukan ini bukan untuk diriku sendiri. Melainkan demi revolusi agar rakyat dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Kamerad Sekjen Partai, meski telah menduduki jabatan yang tinggi, tetap tidak segan berbaur dengan massa, dengan proletar tak jelas seperti kami.
Kamerad Sekjen lalu berjalan ke depan. Semua sudah siap dan kami masih menunggu pemimpin revolusioner kami datang.
Sirene menyala. Presiden sudah terlihat. Aba-aba dimulai. Semua bersiap dan bertepuk tangan ketika Presiden menuju tempat duduknya. Sebagai militan yang bermartabat dan kompeten, aku berada di dekat podium karena merasa harus bertanggung jawab menyiapkan mikrofon—terutama mengatur tinggi rendahnya sesuai posisi pembicara. Panitia upacara sebenarnya hendak memberikan tugas ini pada tentara negara atau anggota intel, tapi akhirnya aku bisa meyakinkan ketua panitia untuk memberikan pekerjaan ini padauk. Bersama orang dalam, buruh teladan, sekaligus senior ini, semangat dan jiwa upacara pasti akan lebih terasa. Aku berhasil meyakinkannya dengan mudah karena dia orang yang paham kerjaan. Ia memang sempat ragu namun aku segera menyelipkan beberapa ribu francs untuknya. Bukan sebagai pelicin, tapi murni ucapan terima kasih karena sudah memberikan waktunya berdiskusi denganku. Aku sering memperhatikan bahwa di negara revolusioner ini, entah kenapa orang-orang akan lebih rajin bekerja jika ada sedikit pemberian.
Kau bertanya mengapa mengurus mikrofon bagiku sangat penting? Saat mengurus mikrofon, kita bisa menuju podium mendahului pembicara siapapun. Kita maju, menaik-turunkan mikrofon, dan jika perlu mengetesnya.
Bayangkan, di depanmu ada Presiden! Bahkan jika kita bisa memposisikan diri dengan baik, bukan tidak mungkin kita bisa berfoto dengannya. Bisa kau bayangkan berfoto dengan Yang Mulia Kamerad Presiden! Katakan padaku kalau ada cara lebih baik untuk mendapat perhatian darinya! Ini bukan sikap oportunis atau kelakuan yang anarko-profito-birokrato-situasionisto. Bayangkan kalau kau di posisiku: aku merah, aku kompeten, tak ada alasan lagi untuk mengabaikanku! Tapi bagaimana caranya? Betul. Menjadi militan! Ah, maksudku, jadi tukang mikrofon saja. Itu cara paling ampuh!
Selanjutnya sirine kembali berbunyi. Motor-motor kumbang masuk lapangan. Begitu juga dengan serombongan tantara bersenjata lengkap. Dari depan, samping, dan belakang. Ah, tentu kau tahu, Presiden kami sangat dicintai rakyatnya. Ia selalu bisa merasakan penderitaan rakyat. Ia layaknya apa yang dikatakan Presiden Mao Zedong: seperti tukang mancing di dalam air, ah bukan, seperti mata kail di dalam ikan, ah bukan, seperti air di dalam ikan, ah pokoknya semacam itulah.
Tentara bersenjata? Tentu saja mereka datang untuk memastikan agar para tentara bayaran kaum borjuis anarkis yang bersembunyi di seberang sungai dan di balik hutan itu tidak menyerang pemimpin-pemimpin kami dengan peluru kendali jarak jauh atau bom atomnya—senjata andalan kaum kapitalis-anarkis. Pengacau memang bisa datang kapan saja. Seperti suatu hari saat Sekjen Serikat berkunjung ke pabrik kami, salah satu temanku yang karena saking antusiasnya, mengangkat tangannya terlalu cepat untuk menyalaminya. Apa yang terjadi? Ia ditembak mati di tempat. Para tentara itu percaya bahwa temanku akan membunuh Pimpinan Serikat.
Seharusnya tentara kami yang terhormat bisa memaafkan temanku, karena bagaimanapun di setiap negara juga selalu ada perusuh, bahkan di dalam tubuh tentara atau polisi itu sendiri.
“Presiden datang, presiden datang, hidup Presiden!”.
Aku berdiri di dekat mikrofon. Tegak seperti pohon palem terjemur matahari. Dadaku membusung, siap menyambut revolusi! Presiden turun dari mobil marcedes putih enam pintu. Tinggi, besar, berkulit gelap, tampan, berkumis rapi, penuh wibawa, tipikal tentara pretorian.
Sang titisan revolusi, Presiden Rakyat, Presiden Republik, Presiden Negara, Presiden Partai, Presiden Komite Pusat, Komandan Militer Tertinggi, Presiden seumur hidup! Abad 20 adalah miliknya! Negara kita mungkin kecil, tapi pemimpin kita sungguh besar! Kita tak bisa membahas Prancis tanpa menyebut Napolen, Uni Soviet tanpa Lenin, Cina tanpa Mao. Begitu pula tak mungkin bicara Afrika tanpa menyebut nama pemimpin agung kita.
Presiden tepat berada di depanku: lengkap tulang-dagingnya. Aku sempat menatap poster raksasa yang memampang sosoknya sedang berjalan di tengah pasukan yang hormat kepadanya. Sementara itu, matanya jauh menatap ke depan, mengarah ke bintang merah di cakrawala. Ia seakan siap membawa rakyat menuju masa depan paling gemilang. Oh, air mata haru, penuh emosi, dan revolusioner meleleh di pipiku! Tuan Presiden berjalan penuh wibawa diiringi gemuruh tepuk tangan dan himne penyambutan. Ia menuju kursi sandar merah, meletakkan bokong Leninisnya, lalu menyilangkan kaki. Upacara siap dimulai! Waktu pukul 11.30.
Sekjen Serikat kami lalu maju ke podium. Aku bersiap untuk menurunkan posisi mikrofon, memutar kepala mikrofon sampai pas, mengeceknya dengan bersuara “ck..ck” sampai terdengar di seluruh lapangan, lalu mempersilahkan Tuan Sekjen naik.
Ia memulai pidatonya dengan seruan melawan tribalisme. Menurutku ini lucu karena baik Tuan Presiden, Sekjen Serikat, maupun Direktur baru pabrik berasal dari daerah dan suku yang sama. Aku bahkan yakin kalau seandainya saja aku berasal dari daerah dan suku yang sama dengan mereka, aku pasti terpilih sebagai direktur dengan gaji 300.000/bulan.
Sebenarnya sah-sah saja jika suatu negara didominasi orang-orang dari suku dan daerah yang sama dengan Presidennya. Karena ibarat kebun, beberapa sudut biasanya menghasilkan sayur dan buah yang lebih jempolan daripada sudut lain. Dulu ketika Presiden sebelumnya berasal dari provinsi yang sama denganku, sebagian besar pimpinan politik pun berasal dari suku yang sama denganku. Tapi kini keadaan berbalik. Dan itu normal.
Di Afrika, kau tentu paham, para penguasa akan ditampilkan seperti sosok jenius demi memoles citranya sekaligus suku atau daerah mana ia berasal.
Aku juga pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang revolusioner yang cerdas tiba-tiba bisa berubah menjadi seorang reaksioner bodoh. Begitu pula sebaliknya. Kejadian macam itu pernah terjadi di detik-detik menjelang kudeta.
Ah sepertinya aku sedang meracau. Mari kembali ke upacara.
Sekjen Serikat Buruh menutup pidatonya dengan teriakan:
“Hidup Presiden! Hidup Ketua Komite Pusat! Presiden Seumur Hidup! Seumur hidup! Sampai mati! Sampai mati, Tuan Presiden!”
Menyadari bahwa suaraku masih bisa tertangkap mikrofon, aku menyahut Kamerad Sekjen Serikat dengan keras:
-“Seumur hidup! Seumur hidup! Sampai mati, Tuan Presiden!
Dan semua orang, terutama anggota asosiasi pemakaman, mengulangi slogan itu dengan keras:
“Seumur hidup! Seumur hidup! Sampai mati, Tuan Presiden!”
Aku memperhatikan jika para profesor tidak ikut berteriak. Mereka mungkin cemburu padaku. Seorang jebolan SD dan buruh pabrik rendahan, tapi justru paling kencang meneriakkan slogan. Tapi sepertinya, mereka juga kelihatan bingung. Seperti tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Sebenarnya aku tahu, profesor-profesor itu begitu membenciku yang sangat mencintai negara ini. Buktinya? Suatu hari pabrik mengadakan lomba puisi untuk memperingati hari wafat Bapak Bangsa, Presiden lama kita. Aku menulis dan membacakan puisi itu dengan begitu khidmat. Ini puisi terbaik yang pernah kubuat. Aku bacakan beberapa bagiannya:
O kematian abadi
Jatuhlah, agar mati
Kaum kapitalis-imperialis!
Kami divisi 5
Merah dan revolusioner
Siap mendukung seratus tahun
Rencana 3 Tahun
Pembangunan ekonomi sentralistik…
Bukankah indah sekali citra, alegori, dan rima diksi “abadi” dan “mati” yang bertemu di akhir frasa tapi punya makna saling bertentangan? Sayangnya, para profesor yang menjadi juri enggan melihat itu semua. Syair-syairku ditolak. Jadi aku sama sekali tak terkejut kalau hari itu mereka tidak mengapresiasi teriakanku.
Aku justru terkejut ketika Kamerad Sekjen melempar lirikan geram padaku. Padahal, aku hanya mengulang slogan yang ia terakkan. Ia tiba-tiba merebut mikrofon dan berteriak dengan sangat keras sampai pengeras suara seperti mau jebol.
“Hidup Presiden! Seumur hidup, Presiden! Seumur hidup!”
Di situlah aku paham kesalahanku. Aku harus berteriak dua kali lebih keras supaya kesalahanku tadi terlupakan.
“Hidup presiden! Sampai mati! Abadi, Presiden!”.
Akhirnya kamerad Sekjen turun podium. Ia memberiku senyuman yang tegang. Aku kira aku selamat. Bagaimanapun, segala hal memang perlu terukur dengan tepat, termasuk semangat revolusi.
Lalu tiba giliran Direktur baru berbicara. Ia terus menyanjung revolusi dan Presiden. Ia menekankan pada para buruh untuk 8 jam bekerja, bukan 8 jam di tempat kerja. Ujarnya, siapa yang tidak bekerja keras tidak layak mendapat upah.
Dalam hati kecilku, aku juga sepakat denganmu. Aku juga akan menyanjung habis-habisan revolusi jika aku ketiban posisi direktur sepertimu. Tapi aku punya pertanyaan. Apa pendapatmu tentang upah yang sering telat 2 sampai 3 bulan? Apakah para buruh ini juga tak punya hak untuk segera dibayar upahnya? Ngomong-ngomong, dengan gajimu yang 300.000 per bulan—belum termasuk kompensasi, kau tentu tidak akan tahu seperti apa rasanya saat upah yang cuma 15.000 telat sementara di rumahmu ada 6 anak! Tentu saja, aku tidak ingin berlarut-larut memikirkan soal ini. Aku hanya membayangkan apakah seekor anjing tidur, kaum imperialis cacat, atau penganut animisme tidak dapat berpikir lebih jauh dirimu, Kamerad Direktur?
Aku jadi ingat perkataan Kamerad Lenin yang mengutip ide saintifik Marx-Engels: Ide-ide sesat lebih baik dimusnahkan sebelum terlanjur diyakini. Itulah kenapa aku setuju untuk memberangus jurnal atau surat-surat kabar yang tidak sepemikiran dengan negara. Aku sepenuhnya sepakat dengan Partai saat komisi sensornya melarang para penulis dan penyair menerbitkan sesuatu yang belum diizinkan.
Kamerad Direktur akhirnya menutup pidatonya dengan memekikkan slogan-slogan anti-imperialisme, anti-borjuis akrobatik, dan anti-tembakau yang menurutnya mengancam negara.
Lalu tibalah kami pada acara yang paling ditunggu.
Pemimpin revolusi, pemimpin rakyat, Lenin dari Afrika, maju ke podium. Aku mempersiapkan mikrofon, mengaturnya sesuai tinggi Tuan Presiden. Aku mengecek kembali suara mikrofon. “Ck..Ck”. Suara bergema melalui speaker. Semua siap dan keadaan baik-baik saja. Aku membungkuk untuk mempersilahkannya maju, namun dengan gerakan yang sengaja kuperlambat. Semoga aku bisa terlihat setidaknya di satu atau dua foto yang diambil para jurnalis. Kemudian saat aku turun dari podium, bersamaan dengan kaki kananku yang baru saja menapak tanah, tiba-tiba terdengar ledakan.
Meski cuma jebolan SD, tapi aku paham budaya modern. Jadi, aku bisa menceritakan dengan rinci apa yang terjadi hari itu, bahkan sejelas “gerakan lambat” dalam teknik sinematografi – orang Inggris menyebutnya flickback..backflik..blackflash, atau apalah. Jadi, begini kronologinya:
Saat ledakan itu terjadi, semua tentara langsung menjatuhkan diri ke tanah, tiarap. Mereka tidak berusaha melindungi warga sipil yang ketakutan padahal mereka berjumlah sepuluh dan bersenjata lengkap. Saat dibutuhkan untuk mengejar dan menangkap pelaku peledakan, mereka tiba-tiba kehilangan seluruh kegarangannya. Sungguh tidak benar apa yang mereka ceritakan tentang taktik serangan penetrasi. Saat itu mereka hanya panik dan ketakutan.
Sementara itu para profesor juga tak berbuat apapun. Aku melihat salah seorang profesor kimia. Ia yang berkacamata hitam bundar dan berjenggot tebal, malah menunduk, menutupi diri dengan toga tebalnya. Ia terjatuh, lalu mencoba berdiri lagi. Jatuh lagi, lalu kehilangan topi dan dan kacamatanya. Saat akhirnya bisa berdiri lagi, ia langsung mencopot toganya dan berlari seperti pendeta yang mencopot jubah karena takut dikejar setan. Ia ketakutan setengah mati.
Lalu, apa yang aku lakukan?
Kau tahu, saat aku berusaha menjadi merah, aku mengambil kursus bela diri dan tarung jarak dekat. Saat itu aku punya ambisi menjadi anggota Pasukan Pengamanan Presiden. Di hidupku yang singkat ini, aku selalu punya mimpi yang tinggi. Meskipun hari ini, aku hanya menjadi penjaga pabrik pupuk kandang.
Jadi saat ledakan terjadi dan aku melihat semua orang lari tunggang langgang, darahku langsung bergejolak. Revolusioner! Kulupakan hidupku. Revolusioner! Kulupakan istriku! Revolusioner! Kulupakan enam anakku—3 di antaranya masih balita. Presiden masih di sana, sendirian, nampak panik, ragu memilih antara martabatnya sebagai panglima tentara sekaligus kepala negara atau segera tiarap untuk menyelamatkan diri. Ia mungkin ingin seperti Presiden De Gaulle yang tetap berdiri di depan Katedral Notre-Dame saat terjadi demo mahasiswa di Paris—aku menonton adegan itu minggu lalu di Lembaga Kongo-Prancis, karena tidak ada film tentang Kamerad Lenin atau Revolusi Rusia di sana).
Kukatakan padamu. Aku melihat mata Tuan Presiden dan seandainya ada alat pengukur ketakutan, maka aku yakin skalanya pasti nol. Zero. Aku berharap ia hidup di zaman orang-orang miskin begitu cemas dan takut pada para politikus yang duduk nyaman di ruang Full-AC, tapi bisa mengirim sniper di pagi buta untuk siapapun yang dituduh makar tanpa perlu barang bukti. Tapi memang benar, orang-orang paling kuat selalu punya alasan untuk berani. Lagipula, ia sudah punya cukup tentara pelindung di sisinya untuk tidak merasa takut. Tapi hati-hati, jangan salah menginterpretasikan omonganku. Kalaupun Tuan Presiden takut, ia bukan takut untuk dirinya sendiri melainkan untuk revolusi. Karena jika ia mati, siapa yang akan memimpin revolusi kita meraih kemenangan?
Presiden masih berdiri di sana. Sendiri. Ia ingin berteriak “Pasukan !!!” tapi para tentara justru berkerumun menunduk di tanah atau sembunyi di balik kursi. Ia akhirnya berteriak “Lindungi saya !!!” tetapi semua orang yang seharusnya melindungi pemimpinnya malah lari ketakutan. Aku satu-satunya orang yang masih berada di situ dan kesadaran revolusionerku menuntutku untuk rela mengorbankan tubuhku demi revolusi: aku mendekat ke arah Presiden untuk melindunginya.
Yang mengejutkan, ia justru mencoba mundur sambil menarik pelatuk pistolnya. Namun saat ia bergerak, kakinya tersangkut kabel mikrofon dan membuatnya hilang keseimbangan. Saat ia mencoba meraih kain merah penutup podium, kain merah itu justru tertarik dan Presiden kami terpelanting dengan mendaratkan lebih dulu bokongnya yang revolusioner dan aku yakin: merah.
Yang tak kuduga, podium itu ikut jatuh ke arahku, membuatku terperosok, dan jatuh tepat di atas tubuh Presiden. Betapa intimnya kami saat itu. Tubuh kami bertumpukan: tubuh seorang penjaga pabrik pupuk dengan tubuh penjaga revolusi. Berdua, aku membayangkan kami akan menjaga dan membawa negara ini ke puncak kebahagiaannya.
Saat itulah para tentara tersadar dan hendak segera menembakku. Namun mereka urung melakukannya karena takut salah sasaran. Mereka kemudian menarikku dan menghajarku dengan pantofel, tongkat, popor senjata, dan entah apa lagi.
Tulang pelipisku remuk. Aku tak sadarkan diri. Saat mendusin, aku sudah berada di ruang penyiksaan. Mereka menginvestigasiku dengan menyetrumku hingga ujung pelir. Pukul 3 pagi, mereka membawa 15 orang dan menanyakan apakah aku mengenalnya. Sungguh, aku sama sekali tak kenal mereka, tapi karena fisikku sudah tak punya kekuatan sama sekali, aku terpaksa mengatakan bahwa mereka adalah bawahanku. 15 orang itu kemudian langsung ditembak setelah sempat dibawa ke radio untuk mengakui kesalahannya. Para investigator itu lalu menggantungku terbalik dengan kaki terikat di atas dan kepala di bawah. Sementara di depanku radio tetap menyala.
48 jam kemudian, tim investigasi menemukan fakta bahwa ledakan kemarin terjadi karena letusan ban taksi merk Renault 4. Dan seperti yang disampaikan di radio oleh Komisaris Pemerintah yang menjadi Pimpinan Pengadilan Revolusioner Luar Biasa: tidak ada korban jiwa.
Tapi, siapa yang menyuruh taksi itu melintas di sana berbarengan dengan naiknya Presiden ke podium? Mengapa ledakan itu terjadi tepat saat Presiden siap berpidato? Bagaimana mungkin sebuah paku berkarat, tak bernyawa, tak punya kehendak bebas, bisa tergeletak tepat di bawah sisi kiri ban belakang mobil yang memang sudah aus, kecuali seseorang sengaja menempatkannya?
Bukankah sudah jelas bahwa tujuan operasi peledakan ban ini adalah membuat kekacauan untuk menjatuhkan Pemimpin revolusioner kita?
Bagaimana mungkin tak ada konspirasi, sementara salah satu perempuan yang ada di taksi itu bersikeras tidak mau mengakui bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Padahal, para tentara sudah menelanjangi, menyisir tubuhnya, dan menemukan tahi lalat setebal satu setengah mili di bokong kanannya. (Aku sengaja menekankan kata “kanan”, mengingat para tentara itu berteriak pada si perempuan kalau posisi tahi lalatnya menunjukkan keberpihakan politiknya”)
Lagipula, mengapa seorang penjaga pabrik tiba-tiba pindah haluan menjadi tukang mikrofon? Mengapa ia datang ke upacara dua jam lebih awal dengan sepeda yang baru dicat biru? (Kamerad, biru adalah warna kanan karena istilah “darah biru” merujuk pada kalangan bangsawan feodal Eropa!) Mengapa pula pagi itu ia menyapa semua orang? (yang salah satunya ia temui di ruang interogasi dan kini sudah ditembak mati). Mengapa ia mengaku sudah mengenalnya selama lebih dari dua puluh tahun? Mengapa pula di antara buku-bukunya, ditemukan buku-buku tentang konstitusi Prancis, konstitusi Amerika, dan koleksi artikel tentang sistem aparteid Afrika Selatan? Apakah ia punya hasrat terpendam untuk menerapkan rezim macam itu di sini? Semua pertanyaan itu terus dan terus berjejalan di kepalaku.
Aku tak tahu lagi sedang berada dimana. Lejar, lapar, kulit tubuhku hancur setelah semalaman direndam dalam tong berisi air cuka-garam. Aku mohon, Tuan Presiden Komisi Investigasi, katakan apa lagi yang harus kuakui, apa yang ingin kau dengar dariku. Sebutkan lagi nama yang harus kuakui sebagai temanku. Aku bersedia mengatakan apapun, menandatangani dokumen apapun demi pengampunan. Meskipun aku militan yang rendah hati, jujur, dan teladan, tapi aku punya batas. Aku tak sanggup lagi.
Judul Asli: La cérémonie
Penulis: Emmanuel Boundzéki Dongala
Bahasa sumber: Prancis
Buku sumber: Kumpulan Cerpen Jazz et Vin de Palme
Emmanuel Boundzéki Dongala, lahir 14 Juli 1941, adalah seorang Profesor kimia cum sastrawan Kongo. Cerpen La cérémonie ditulis sebagai kritik keras sekaligus olok-olok terhadap rezim Marxist-Leninist otoritarian yang sempat berkuasa di Kongo sejak 1963-1992. Karya-karya Dongala sempat dilarang beredar di negaranya sendiri dan membuatnya harus terusir dan menjadi eksil di Amerika.
Salah satu karya Emmanuel Boundzéki Dongala yang berjudul Photo de groupe au bord du fleuve (2010) meraih penghargaan Prix Ahmadou-Kourouma, yaitu penghargaan sastra bergengsi untuk penulis francophone dari kawasan Afrika hitam. Selain itu, novel lainnya yang berjudul Johnny Chien Méchant (2002), yang bercerita tentang perang sipil Liberia yang melibatkan anak-anak, telah diadaptasi menjadi sebuah film berjudul sama oleh Jean-Stéphane Sauvaire pada tahun 2008.
1.
Ini kali kedua saya ke Semarang untuk menemui Deborah. Yang pertama bulan Agustus lalu saat saya masih jadi mas-mas biasa yang sedikit perhatian banyak capernya. Sementara yang kedua ini saya sudah jadi pacar yang sedikit ketemu banyak kangennya. Jarak kami terbentang Subang-Semarang. Jadi belum tentu sebulan sekali bisa tatap muka.
Untuk menemuinya pun tidak pernah semudah menjentikkan abu rokok ke tanah. Misalnya di usaha kali ini, saya harus menjadi penumpang gelap dari Stasiun Tegal sampai Semarang.
Kronologinya begini. Saya berangkat ke Semarang menggunakan kereta Tawang Jaya yang sebenarnya punya rute Subang-Semarang. Hanya saja tiket langsungan tersebut sudah habis. Saya hanya mendapat tiket sampai stasiun Tegal, salah satu stasiun yang dilewati jika pergi dari Subang ke Semarang. Alhasil sedari Stasiun Tegal, saya harus mengungsi di kantin sambil waspada jangan sampai dicurigai satpam.
Kronologinya begini. Saya berangkat ke Semarang menggunakan kereta Tawang Jaya yang sebenarnya punya rute Subang-Semarang. Hanya saja tiket langsungan tersebut sudah habis. Saya hanya mendapat tiket sampai stasiun Tegal, salah satu stasiun yang dilewati jika pergi dari Subang ke Semarang. Alhasil sedari Stasiun Tegal, saya harus mengungsi di kantin sambil waspada jangan sampai dicurigai satpam.
Baiklah, saya paham. Ini agak kurang ajar. Tapi sesekali menjadi pacar yang baik jauh lebih penting daripada jadi warga negara teladan.
2.
Ini akhir pekan. Seharusnya kami bisa jalan-jalan menyusuri Semarang bagian utara atau menuju perbatasan Ungaran yang dingin. Tapi tidak dengan Sabtu ini. Deborah punya kedai yang menjual makanan khas Palembang dan Manado. Ia harus menjaganya hampir setiap hari kecuali Selasa.
Lagipula ia punya Ibu yang melarangnya pacaran. Jadi, mana mungkin kami pamit main berdua, di hari kerja pula?
Supaya aman, hari ini saya datang ke rumahnya tidak sebagai pacar, tapi sebagai pelanggan Take One, nama kedai miliknya. Saya pikir ini strategi jitu. Sebab, pembeli adalah raja. Setidak setuju apapun Ibunya melarang kami pacaran, ia hampir tak mungkin melarang saya mengisi perut di kedai anaknya. Toh saya punya rencana iblis: kalau sampai kena semprot, saya akan memberi poin bintang satu untuk kedai ini, menulis ulasan panjang tentang buruknya pelayanan, dan mengirim jarkoman whatsapp tentang ulah-ulah buruk pemilik Take One.
Apa saya tega melakukannya? Tentu saja.
Tapi boong.
3.
Mungkin ini pertama kalinya ada pelanggan kedai yang duduk di kursi yang sama sedari 12 siang sampai 9 malam.
Makanan pertama yang saya pesan adalah tekwan, makanan berkuah khas Palembang yang disajikan dalam mangkuk seperti soto. Sajian utama tekwan adalah bola-bola adonan terbuat dari ikan dan daging tapioka yang disiram kuah udang dan ditaburi irisan daun bawang, sledri, bawang goreng, dan yang paling unik: irisan bengkoang. Rasa gurihnya unik sekaligus menyegarkan. Jika kapan-kapan saya datang lagi ke sini bersama teman, tentu saya akan merekomendasikan menu ini.
Selain tekwan, saya juga memesan tahu gejrot yang sedari lama sudah sangat ingin saya cicipi. Tahu gejrot sebenarnya hanya tahu goreng biasa yang kemudian digeprek. Tapi tahu ini dilumuri kecap asin dengan irisan cabe hijau dan bawang merah yang bikin menggiurkan bahkan sebelum dimakan. Dan benar pula, tahu gejrot di sini maknyus sekali.
Untuk minumnya, saya memilih lemon squash. Kebanyakan minuman di sini adalah minuman dari buah segar. Saya kira makanan macam tekwan, tahu gejrot, pempek, kapal selam, bubur manado, dan beberapa menu lain yang tersedia di Take One memang lebih cocok disandingkan dengan minuman segar dibanding kopi atau susu.
Sembari melahap makanan yang sudah datang, saya mulai memperhatikan sudut demi sudut kedai ini. Meja kasir. Tempat Deborah duduk dan bekerja dari siang sampai malam. Di sana, ia hampir tak pernah bisa lepas dari laptopnya, yang selain ia pakai untuk mencatat pemasukan-pengeluaran, juga untuk twitteran, fangirling BTS, sesekali nonton film. Di sebelah meja kasir, ada satu bilik kecil tempat 3 karyawan Take One meracik minuman. Saya sempat memperhatikan interaksi kecil antara mereka dengan Deborah, si Ibu Bos, yang terasa egaliter karena mereka tak bisa saling bercakap kecuali dengan cengengesan. Sementara sudut lain hanya ada meja kayu dan kursi plastik biasa yang diapit dinding coklat muda dan beberapa kipas angin, juga foto-foto menu makanan, yang kalau diromantisir seperti apapun, juga tak ada faedahnya.
Lalu Ibu Bos datang. Duduk di sebelah saya. Mau ngapain?
Ya seperti pada umumnya orang pacaran. Ngobrol, ghibah, tukar film, dan tak jarang cari-cari topik omongan yang rada dipaksakan. Lalu Zahira datang. Saya gembira bukan main melihat bocah belum genap setahun yang bola matanya hampir penuh ini. Juga raut tanpa ekspresinya yang bikin makin sayang. Di beberapa fotonya yang pernah saya lihat, Zahira ini mirip Roy Kiyoshi. Tapi begitu melihat langsung, ternyata mirip sekali. Zahira pergi, lalu kami tukar hadiah. Deborah memberi saya tanaman hias kecil berbentuk mirip mahkota nanas, saya memberinya boneka buroq. Lalu ia masuk rumah dan keluar membawa gitar. Jauh sebelum kami pacaran, saya sudah ngefans melihatnya main gitar sambil nyanyi di @kisumindi. Dulu saya selalu membayangkan kapan bisa gitaran bareng mbak ini dan angan-angan itu kesampaian juga hari ini. Kami menyanyi lagu Shallow yang direkam untuk dipamerkan di di instastory, lalu lanjut mendendangkan Cipta Bisa Dipasarkan di mana kami berbagi suara. Lagu kedua ini sebenarnya lebih asyik untuk direkam dan diunggah di instastory. Tapi saya kira akan jadi terlalu riya. Lebih baik kami sudahi bermain gitar dan mari menggerakkan kaki. Keluar sejenak dari Take One. Kami lalu masuk Sam Poo Kong lagi, tempat pertama kami kencan di Semarang. Di sana akhirnya kami bisa ngobrol lebih nyaman, selfie di depan patung Ceng Ho, dan beberapa kali lendotan. Halo, waktu pukul 7 malam. Mari kembali karena satu jam lagi kedai akan tutup. Sayang, malam itu kedai ramai sehingga ia lembur sampai jam 9. Padahal rencananya kami masih mau lanjut cari es krim, tapi mempertimbangkan hari yang mulai larut akhirnya kami cuma jalan 20-an meter untuk makan bubur kacang ijo.
Sudah setengah 11 malam. 10 jam lebih kami pacaran dan ini tandanya saya harus pulang. Sudah tak banyak omongan yang keluar. Kami lelah. Tapi entah kenapa saat mulai kucel dan kelelahan begini ia selalu kelihatan paling cantik. Cengengesannya ilang, berganti jadi senyum mengembang dengan mata menyipit. Ini senyum yang dulu saya lihat di Lasem saat kami pertama ketemu dan hendak pamitan. Juga suatu malam saat kami makan di Pecinan.
Tuhan, kalau boleh saya ingin sering-sering lihat senyum itu.
Semarang, 3 November 2018
1.
Seperti Roda Berputar adalah catatan yang ditulis esais idola saya, Almarhum Rusdi Mathari, ketika ia dirawat di rumah sakit selama setahun karena kanker ganas di tulang punggung dan lehernya.
Catatan ini mulai ditulis Cak Rusdi pada Desember 2016 ketika ia mulai menyadari ada tumor di tubuhnya. Selama setahun selanjutnya hingga menjelang akhir 2017, Cak Rusdi mencoba menulis catatan ini dengan gajet. Tangan kiri memegang gajet, jempol tangan kanan mengetik. Namun ada pula dua bab buku yang ditulis menjelang akhir 2017 ketika ia tak mampu lagi memegang gawai dan harus meminta orang lain untuk mengetikkan apa yang ia ceritakan.
Sampai ia wafat, buku ini memang tak bisa rampung. Tapi bagaimanapun, buku ini adalah memoar dari seorang yang semangat menulisnya tak pernah padam meski harapan tinggal setipis kabut di musim kemarau.
2.
Dalam catatan pembuka buku ini, Cak Rusdi menulis "Tidakkah selain kelahiran, salah satu perayaan terbesar manusia adalah kematian?".
Saya membaca catatan pembuka ini tadi pagi sebelum berangkat kantor dan mata saya berkaca-kaca ketika membaca paragraf terakhir di mana Cak Rusdi meminta maaf pada orang-orang yg pernah ia sakiti, bahkan untuk kesalahan-kesalahan sederhana seperti tidak membalas whatsapp atau mengangkat telfon. Ia mengaku tak bisa menebus kesalahan-kesalahan yang pernah ia perbuat namun ia tetap membutuhkan maaf itu agar ia bisa tenang merayakan hidupnya untuk mengakrabkan diri dengan sahabat-sahabat baru: tumor-tumor di tubuhnya.
Saya tak pernah membayangkan seorang selapang dada Cak Rusdi yang bisa menganggap tumor adalah sahabat: sesuatu yang harus ia kenal, dekati, bahkan anggap sebagai bagian dirinya sendiri.
3.
Saya duduk di kursi bisnis 8D kereta api Malabar Jogja-Bandung. Kereta berangkat pukul 23.30 dan saya ingin segera tidur. Sayang, tubuh ini menolak dilelapkan. Padahal saya sudah sengaja tak minum kopi.
Sepanjang satu jam pertama, saya gelisah karena tak bisa mengantuk atau bahkan merasa nyaman. Mungkin karena AC yang kurang dingin atau sandaran kursi yang hanya mundur 10 derajat. Akhirnya saya putuskan untuk kembali membaca buku ini.
Pada bab-bab berikutnya, Cak Rusdi menulis tentang pengalamannya di rumah sakit dengan nada-nada muram. Ia menceritakan betapa repotnya jadi pasien BPJS di negeri ini. Misalnya ketika ia harus ikut antrian mengular sejak subuh namun baru bisa diperiksa bakda Dzuhur. Bedebahnya, ia hanya bertemu dokter muda yang bahkan memeriksanya pun tidak. Dokter ini cuma membaca hasil periksa dari rumah sakit swasta sebelumnya dan langsung memberi rujukan supaya Cak Rusdi pergi ke rumah sakit provinsi.
Tapi itu belum seberapa dibanding apa yang Cak Rusdi alami di rumah sakit provinsi. Saat itu tulang punggung Cak Rusdi sudah mulai bengkok dan nyerinya makin parah. Namun di sana, Cak Rusdi hanya diperiksa dokter magang untuk kemudian dirujuk ke dokter ortopedi. Kabar biadabnya, ia baru bisa bertemu dokter ortopedi itu dua bulan kemudian karena jadwal yang padat dan antrian yang panjang.
Lewat catatan Cak Rusdi, kita tahu bahwa menjadi pasien BPJS itu ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga, keruntuhan genteng, kaki patah, jidat bocor, dan masih dilindas truk.
Saya kira pengalaman ini yang membuat Cak Rusdi menulis "Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal".
4.
Buku pertama Cak Rusdi yang saya baca adalah Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya, sebuah kisah sufi Madura. Buku ini sampai sekarang menjadi salah satu buku kesukaan saya. Saking berkesannya, buku ini bahkan jadi buku yang paling sering saya jadikan hadiah untuk teman-teman yang ulang tahun atau wisuda. Di buku ini, ia menghadirkan Cak Dlahom, orang gila yang bisa membuat kita cekakakan sekaligus menyadarkan kita kalau peradaban jauh lebih gila dari orang gila manapun. Jika pernah membaca buku ini, kita tentu tahu bahwa Cak Rusdi punya selera humor sangat tinggi.
Dalam Seperti Roda Berputar, Cak Rusdi pun tetap bisa menghadirkan kelucuan-kelucuan itu. Dan kelucuan itu ia temukan di tengah suasana yang suram, antah berantah, dan nyaris tanpa harapan. Di rumah sakit tempat ia akhirnya dirawat sampai menjelang meninggal, keadaan Cak Rusdi sudah semakin gawat. Kankernya makin menyebar, sekadar duduk sendiri saja tak bisa, bahkan ia harus dibantu orang lain ketika buang hajat. Tapi keadaan itu tak menyurutkan jiwa guyon-nya.
Kelucuan itu hadir misalnya saat ia menjawab pertanyaan seorang dokter dengan "Sir, Yes, Sir" untuk meniru gaya dokter-dokter junior yang entah mengapa selalu berkata begitu pada seniornya. Di salah satu tulisannya, ia juga memberi judul "Bye..bye..ICU" untuk ucapan selamat tinggal pada sebuah ruangan yang berhari-hari mempertemukannya dengan bau kematian. Ya, Cak Rusdi memang sempat mengalami pengalaman wingit di ICU ketika ia melihat pasien demi pasien menjemput takdir setiap harinya. Juga pasien sekarat yang tiba-tiba menoleh padanya sambil ngomong "nggak jadi" yang membuat saya merinding ketika membacanya. Ketika membaca judul "Bye-bye ICU" pada bab ini, saya membayangkan Cak Rusdi sedang mengucapkan kalimat itu dengan nada ngece. "Bye..bye..ICU, dadaaaaah"
Ujung waktu barangkali tak jauh lagi. Tapi hidup tak pernah kehabisan bahan untuk ditertawakan, begitu Cak?
Ujung waktu barangkali tak jauh lagi. Tapi hidup tak pernah kehabisan bahan untuk ditertawakan, begitu Cak?
5.
Ada satu fragmen dalam buku yang menceritakan seorang dokter yang mengatakan "Elu pingin mati?" pada Cak Rusdi. Ketika membaca bagian itu, saya merasa jengkel bukan main. Kalau saja saya di situ, saya ingin menggampar kepala dokter itu dengan tabung oksigen.
Saya mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa dekat dengan Cak Rusdi meskipun kami belum pernah ketemu. Barangkali rasa dekat ini muncul sejak pembacaaan saya pada Aleppo, kumpulan status facebook Cak Rusdi yang dibukukan penerbit EA. Dari buku tersebut, saya jadi mengenal kesukaan Cak Rusdi pada musik rock, ketekunannya sebagai wartawan, juga rasa cintanya pada anaknya si Voja. Buku ini membuat saya merasa sudah mengenal Cak Rusdi dalam waktu lama.
Kemarahan saya pada dokter bajingan tadi barangkali juga tak lepas dari perasaan dekat itu.
Ketika akhirnya Cak Rusdi menumpahkan emosinya pada si dokter dengan mengatakan "La, lu, la, lu, siapa Anda seenaknya memanggil saya 'elu?", saya merasa bangga bukan main. Saya merasa Cak Rusdi seolah mewakili semangat muda saya yang enggan jika harga diri kesenggol dan percaya bahwa orang keparat mesti diberi pelajaran.
Namun apa yang terjadi selanjutnya justru membuat saya merenung dan sadar bahwa saya masih belum banyak belajar darinya.
3 hari setelah marah-marah, Cak Rusdi menjulurkan tangan dan meminta maaf terlebih dahulu pada Si Dokter. Si dokter bergeming. Tapi Cak Rusdi tidak mendongkol. Ia berujar bahwa kankernya adalah bagian dari takdir yang harus ia terima. Tumor di tubuhnya, adalah masalah antara ia dengan dirinya sendiri, bukan dengan orang lain.
Dari cerita ini saya belajar bahwa nasib terburuk pun tak seharusnya membuatmu merasa berhak mengumbar murka.
Tapi kali ini, saya tak yakin bisa melakukannya.
Dari cerita ini saya belajar bahwa nasib terburuk pun tak seharusnya membuatmu merasa berhak mengumbar murka.
Tapi kali ini, saya tak yakin bisa melakukannya.
Dalam Ngibul kali ini kita akan membahas novel Le Dernier Ami karya Tahar Ben Jelloun, sastrawan asal Maroko yang dikenal sebagai salah satu sastrawan terbesar Afrika Maghreb (Barat Daya) abad 20. Buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Sahabat Terakhir oleh Slamet P. Sinambela dan diterbitkan penerbit Basa-basi bulan lalu, Agustus 2018.
Bicara tentang Tahar Ben Jelloun tentu tidak bisa dipisahkan dari salah satu novelnya La Nuit Sacrée (Malam Keramat) yang meraih Prix Goncourt, penghargaan tertinggi untuk karya sastra berbahasa Prancis, tahun 1987 di mana karya tersebut kini telah diterjemahkan dalam 43 bahasa. Ia terkenal dengan karya-karyanya yang secara ekspresif berbicara tentang budaya Maroko, hak asasi manusia, identitas seksual, dan kegamangan identitas masyarakat pascakolonial.
Ben Jelloun sendiri dikenal sebagai salah seorang penulis sastra francophone. Apa itu sastra francophone? Sebelum melanjutkan tulisan ini, izinkan saya terlebih dahulu menjelaskan secara singkat definisi kata tersebut. Sebab, rencananya saya akan lebih sering menulis tentang karya-karya francophone di Ngibul-ngibul selanjutnya.
Jadi begini, sastra francophone adalah sebutan untuk menyebut salah satu khazanah sastra berbahasa Prancis, tetapi ditulis oleh pengarang dari luar Prancis. Biasanya, mereka adalah penulis yang berasal dari negara-negara bekas jajahan Prancis. Oleh sebab itu, tak jarang sastra francophone digolongkan sebagai sastra pasca kolonial. Dalam artian, sastra francophone mempermasalahkan persoalan bahwa meskipun penjajahan telah lama berlalu, namun trauma-trauma akibat penjajahan terus berlangsung hingga saat ini.
Meskipun istilah sastra francophone masih asing bagi sebagian besar orang Indonesia, namun sebenarnya khazanah sastra ini sudah masuk ke Indonesia sejak lama. Di antara para pengarang francophone yang karyanya pernah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia antara lain Jean Marie Gustave le Clezio asal Mauritius, Amin Maalouf asal Lebanon, dan tentu saja Tahar Ben Jelloun sendiri. Kibul sendiri pernah menerbitkan salah satu terjemahan cerpen dari penulis francophone asal Kongo, Emmanuel Dongala, dengan cerpennya yang berjudul Kereta Hantu.
Kembali ke novel Le Dernier Ami. Novel ini bersetting di Maroko penghujung 1950-an. Di tengah semangat perayaan pasca kemerdekaan atas Prancis, dua bocah, Ali dan Mamed bertemu di SMA Prancis (lycée français). Mamed adalah bocah yang kasar dan arogan, sementara Ali bocah yang naif lagi cupu. Suatu hari Mamed membela Ali yang dirundung teman-temannya karena berkulit putih dan dianggap mirip Yahudi. Semenjak itu mereka berteman, sering pergi bersama, mendiskusikan politik dan buku secara serampangan, dan terutama terobsesi pada obrolan tentang seks.
Pertemanan mereka terus berlanjut hingga 30 tahun selanjutnya, tak peduli Mamed kuliah di Prancis, Ali kuliah di Kanada. Mamed komunis dan kiri, Ali anak film dan seni. Mamed pergi di Swedia, Ali menetap di Maroko. Kedekatan mereka makin terikat erat ketika mereka sempat dijebloskan bersama ke penjara dan kamp militer paksa oleh rezim otoriter Raja Hassan II yang menuduh mereka sosok berbahaya bagi negara.
Kisah pertemanan Mamed dan Ali tersebut diceritakan melalui tiga sudut pandang: sudut pandang Ali, Mamed, dan seorang yang mengenal mereka bernama Ramon. Masing-masing narator menceritakan kisah yang sama namun dengan subjektivitas masing-masing dan dari situlah kita sebagai pembaca seperti diajak menambal sulam apa yang terselip di antara persahabatan mereka. Buku ini menunjukkan bahwa di sela pertemanan yang begitu intens dan seolah sempurna, selalu ada kata-kata yang tak tersampaikan di antara keduanya.
Menelanjangi Konsep Persahabatan
Apa kau punya seorang yang kepadanya kau lebih nyaman menceritakan perihal apapun ketimbang dengan pacar atau bahkan orang tuamu? Yang kepadanya misalnya kau berani terbuka soal berapa nominal hutang-hutangmu—atau bahkan hutang bapakmu. Bersamanya, kau bisa menceritakan apa saja mulai dari hal paling receh sampai yang paling privasi.
Hampir setiap orang saya kira punya setidaknya satu teman seperti itu. Dan dalam novel ini, pertemanan Ali-Mamed yang begitu eratnya tersebut dideskripsikan Ali sebagai berikut:
Kami memuji satu sama lain, kami saling memerlukan. Kami berdua saling mengakui ini dan kami bangga karenanya. Seperti aku, Mamed memilih persahabatan, ikatan yang kami pilih, ketimbang ikatan keluarga yang dipaksakanPertemanan Ali dan Mamed pada awalnya memang dinarasikan begitu mesra. Ketika muda, mereka pergi ke tempat pelacuran bersama. Beranjak dewasa, mereka disekap di kamp militer dan saling menyelamatkan nyawa masing-masing. Suatu kali, Ali tersedak dan hampir mati, Mamed berteriak sekencangnya sambil menangis sampai akhirnya dokter datang. Di waktu lain, giliran Ali yang menyelamatkan Mamed yang sekarat karena kram perut. Semalaman, Ali memijat perut Mamed agar ia tetap sadar diri.
– 75
Hingga akhirnya Mamed harus pindah ke Swedia, mereka tetap terbiasa saling bertelfon berjam-jam untuk membicarakan perihal apapun, mulai dari keluarga hingga gosip terbaru di kota asal mereka.
Kedekatan mereka bahkan menimbulkan kesan yang ganjil sampai membuat istri mereka masing-masing cemburu. Akan tetapi, di balik pertemanan yang nampaknya begitu erat, selalu ada hal-hal yang tak tersembunyi. Dan Ben Jelloun melalui Le Dernier Ami, seperti hendak menelanjangi apa-apa yang jarang sekali tersampaikan dalam sebuah pertemanan:
“Aku sering cemburu kepada Ali, karena dia lebih berbudaya daripada aku, karena dia berasal dari keluarga yang sebagian aristokrat……..Mengapa aku harus cemburu? Dia tidak terkenal, dia bukan professor kedokteran, bukan penulis hebatDalam sebuah pertemanan, seorang kadang merasa sedang memupuk kepercayaan, namun bisa jadi yang sebenarnya sedang ia pupuk adalah kecemburuan. Ben Jelloun melalui novel ini seolah hendak menunjukkan bahwa di balik senyum, doa, dan dukungan yang kerap kita lontarkan saat teman kita bercerita, selalu terbesit pikiran untuk tidak percaya, untuk mencurigainya, untuk membanding-bandingkannya. Kecemburuan pada seorang teman, bahkan seringkali berwujud nyinyiran macam ungkapan Mamed berikut:
– 141
Ali tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memamerkan latar belakang sastranya—atau lebih tepatnya untuk menunjukkan kekuranganku akan itu .Dalam novel ini, Ali memang dinarasikan sebagai sosok yang tekun membaca dan menonton film. Di bagian pertama ketika Ali menjadi narator, ia juga menyebut beberapa nama penulis dan sutradara beken macam Albert Camus, Frantz Fanon, Jean Genet, John Ford, atau Howard Hawks. Membaca dan menonton film sebenarnya merupakan hobi Ali sejak lama dan Mamed tahu betul soal ini.
-144
Namun siapa sangka bahwa diam-diam, setelah puluhan tahun berteman, Mamed masih menganggap hobinya Ali sebagai cara pamer saja?
Le Dernier Ami bagi saya seperti teman gibah yang asyik, yang di tengah obrolan tiba-tiba mengajukan beberapa pertanyaan yang mengganggu pikiran, dan kalian sebagai pembaca boleh turut menjawab pertanyaannya.
- Sebutkan 1 saja nama teman terdekatmu.
- Kapan terakhir kali ia menceritakan satu pencapaian dalam hidupnya?
- Pencapaian seperti apa itu?
- Menurutmu, apa tujuannya cerita padamu? Berbagi saja, memotivasi, atau biar kelihatan keren?
- Kerenan mana, dia apa kamu?
Isu Gender dan Nasionalisme di Maroko
Maroko adalah negara dengan kultur Islam yang kuat akibat pengaruh bangsa Berber yang hidup berabad-abad di wilayah ini. Dominasi Islam ini sempat tersisihkan menjadi dominasi Barat ketika Maroko menjadi daerah protektorat Prancis sejak 1912 hingga 1957.Pasca kemerdekaan, kultur Islam kembali menjadi kuat, namun di sisi lain Prancis juga masih menanamkan pengaruh yang cukup besar di antaranya dalam bidang budaya dan bahasa. Bahasa Prancis misalnya menurut OIF (Organisasi Internasional Francophonie) masih digunakan oleh 33 persen warga Maroko dan menjadi bahasa Internasional wajib yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Tahar Ben Jelloun adalah salah satu warga Maroko yang mendapat pengaruh besar dari budaya Prancis. Ia tak hanya sempat mengalami masa penjajahan Prancis dan mengenyam pendidikan bahasa ini, namun juga sempat tinggal di Paris sejak tahun 1971.
Akibat pengalaman tersebut, karya-karya Ben Jelloun turut menghadirkan permasalahan yang jamak dialami bangsa-bangsa francophone, yaitu persoalan identitas yang demikian kompleks. Hal ini akibat kehidupan mereka yang di satu sisi memiliki norma-norma tradisional Islam tetapi di sisi lain juga mengenal wacana à la Prancis yang identik dengan modernitas, terutama kebebasan dan kesetaraan. Dalam novel Le Dernier Ami, Ben Jelloun nampak mencoba mengungkapkan tarik-menarik identitas ini dengan turut mengungkap dua isu yaitu gender dan nasionalisme.
Gender Kelas Dua di Tengah Kultur Islam
Isu gender dalam novel ini bisa kita lihat sejak permulaan novel di mana Ben Jelloun menghadirkan sosok Ali dan Mamed sebagai pemuda yang tumbuh dengan nilai-nilai Islam tapi justru terobsesi dengan hal yang begitu tabu di lingkungannya, yaitu seks.Pada permulaan novel, diceritakan bahwa sekolah mereka sedang mengadakan piknik. Di tengah piknik itu, para murid SMA bermain tantangan jujur-jujuran, mungkin semacam game truth or dare, untuk menceritakan rahasia orang terdekatnya. Pada giliran Mamed, ia memilih mendeskripsikan Khadija, pacarnya di SMA sebagai berikut:
Dia berusia 18 tahun tapi masih perawan. Dia lebih memilih disodomi ketimbang meregangkan kakinyaKetika membeberkan keperawanan Khadija dan bagaimana mereka melakukan hubungan seks, Mamed menceritakan hal tersebut dengan penuh rasa bangga. Ia menganggap Khadija, sosok perempuan, sebagai objek yang sah-sah saja ia beberkan privasinya. Lebih parahnya, Mamed mengungkapkan hal tersebut di depan Khadija sendiri tanpa rasa bersalah. Namun Alih-alih marah dan melawan, Khadijah justru hanya bisa berlari dan menangis. Fragmen tersebut seperti mencerminkan fenomena sosial di Maroko di mana para lelaki bisa mengobjektivikasi perempuan semaunya sementara perempuan tak punya kemampuan untuk melawan.
– 16
Menariknya, adegan-adegan dan ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan tema seks dinarasikan Ben Jelloun dengan deskriptif dan sangat jelas. Fragmen-fragmen tentang masturbasi, penetrasi, hingga hubungan seksual di luar cara lazim diceritakan tanpa sensor. Padahal, novel ini bersetting di Maroko, negeri yang identik dengan citra Islam kuat. Di Maroko, obrolan tentang seks sudah pasti merupakan tema yang tabu. Lebih-lebih jika itu berbicara tentang tindakan sodomi atau anal seks.
Melalui fragmen-fragmen bertema adegan seksual yang dinarasikan dengan begitu detil dan gamblang, saya kira Ben Jelloun pertama-tama ingin menyingkap Maroko yang selalu menampilkan dirinya dengan citra Islam, namun sebenarnya mempunyai permasalahan akut dalam cara memandang perempuan, di mana perempuan masih dianggap sebagai gender kelas dua dan objek seksual . Sementara teknik penceritaan yang realis menjadi semacam pesan dari Ben Jelloun, bahwa permasalahan gender di Maroko sebaiknya tak lagi dibicarakan secara diam-diam. Ben Jelloun seperti mewakili sebagian masyarakat Maroko yang berharap bahwa ketidakadilan terhadap perempuan harus menjadi isu yang bisa dibicarakan secara terbuka.
Maroko adalah negara dengan isu kesenjangan gender yang mengkhawatirkan. Hingga hari ini, data dari World Economic Forum misalnya menunjukkan bahwa kesenjangan gender di Maroko berada di peringkat 136 dari 144 negara. Data tersebut dilihat dari keterlibatan perempuan dalam perpolitikan, kesempatan bekerja, kesehatan, dan tingkat pendidikan. Saat ini, perempuan Maroko masih kesulitan untuk mengakses Pendidikan. 58,6 persen perempuan masih buta huruf. Sementara itu hanya 26,9 persen perempuan yang mampu berkarir di dunia kerja. Perempuan Maroko selama ini terkungkung dalam norma-norma yang mengharuskan mereka untuk tetap tinggal di rumah, melayani laki-laki, dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Tahar Ben Jelloun, melalui novel ini saya kira hendak menyuarakan kritik yang cukup keras terhadap budaya patriarki sebagaimana nampak dalam kutipan di bawah ini:
Biasanya tidak ada hal tabu dalam pembicaraan kami, namun kami pasti memikirkan tentang lagu misoginis Bob Marley “No Woman No Cry”. Di Maroko, seperti semua orang tahu, prialah yang membuat wanita menangis. Mereka menangis dalam diam, wanita tidak berhak untuk protes.
(53)
Nasionalisme Maroko dan Kegamangan Identitas
Tahar Ben Jelloun dalam karya-karyanya seringkali menghadirkan tokoh-tokoh yang mengalami kebimbangan dan kegamangan dalam menemukan identitas dirinya. Hal ini juga turut ia hadirkan dalam Le Dernier Ami, terutama melalui sosok Mamed.Singkat cerita, setelah berkeluarga dan menjadi dokter yang sukses di Maroko, Mamed mendapat tawaran kerja di WHO di Stockholm, Swedia. Ia kemudian menerima pekerjaan tersebut dan berpisah dengan Ali.
Tiba di Swedia dari Maroko, hal pertama yang aku sadari adalah keheningan. Keheningan mereka, putihnya kulit mereka, mata mereka yang jernih, dan rasa hormat mereka pada peraturan, aku menemukan peradaban dalam setiap individu. Ini luar biasa!Kutipan di atas adalah ungkapan pertama yang dinyatakan Mamed ketika baru menjejakkan kaki di Swedia. Kutipan tersebut saya kira menunjukkan dengan cukup jelas bagaimana cara pandang sebagian besar masyarakat Timur terhadap Barat. Dalam kutipan tersebut, tertulis dengan jelas bahwa kekaguman Mamed terhadap Swedia tidak tertuju pada keheningan dan keteraturannya saja, tetapi ia juga terpesona pada ciri fisik orang-orang yang ia lihat, yaitu orang berkulit putih dengan mata yang jernih. Keterkejutan akan warna mata dan kulit tersebut adalah banalitas yang kerap terjadi pada masyarakat Timur yang mana selalu memandang segala hal yang berbau Barat sebagai sesuatu yang superior. Padahal kita tahu, warna kulit dan mata tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang Mamed sebut sebagai peradaban.
-137
Setelah setahun hidup di Swedia, Mamed menjadi orang yang hidupnya serba berkecukupan. Namun demikian, ia justru mulai merasa merindukan kembali Maroko. Ia tiba-tiba dipenuhi perasaan melankolis dan mengenang Maroko seperti tertulis pada kutipan di bawah ini:
Ini gila rasanya, tapi hal-hal yang paling kurindukan adalah hal-hal yang sebelumnya menggangguku:kebisingan mobil, teriakan pedagang jalanan, para teknisi yang mengotak-atik lift tanpa mau mengakui kalau sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, wanita yang menjual sayuran dari kebun mereka sendiri… Aku bahkan merindukan polisi di persimpangan yang bisa kami suap sekali-kali.. Aku bahkan merindukan para pengemis dan orang cacat di jalanan.Kutipan di atas nampaknya merupakan cara Ben Jelloun mendeskripsikan perasaan orang imigran Maroko yang kerap berada dalam kegamangan akan identitasnya yang kompleks. Mamed yang sudah lama tinggal di negara miskin dan kering kerontang sekaligus serba dibatasi oleh diktatorian berbalut norma agama, kemudian merasakan hidup di Swedia, yang ibarat oase, mampu memberikan kemakmuran, kenyamanan, dan kebebasan. Permasalahannya, dari situlah kegamangan justru muncul. Segala fasilitas dan kenyamanan yang Mamed dapatkan di Swedia justru mengingatkannya pada segala hal yang ada di tanah airnya, yang semuanya justru berbanding terbalik dengan yang ia miliki.
(139)
Di titik ini, Memed barangkali mengalami keterasingan total atau situasi yang disebut Hommi Bhabha sebagai situasi “beyond”, “neither a new horizon, neither a leaving behind the past”, “tidak ada harapan bagi masa depan, maupun masa lalu yang dapat menjadi pijakan”. Sebab, ia tidak bisa merasa menjadi orang Swedia, namun di sisi lain ia juga sadar bukan lagi orang Maroko.
Terkait permasalahan identitas ini, Ben Jelloun melalui Le Dernier Ami nampaknya menawarkan solusi tersendiri yaitu dengan menawarkan identitas ketiga yang disebut identitas “nomade”, yaitu identitas yang tidak terikat pada satu identitas tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan sikap Mamed setelah mengalami pendewasaan dan tinggal cukup lama di Swedia, di mana ia akhirnya mengkritik baik kebudayaan Barat maupun kebudayaan Timur dari negerinya sendiri.
Kepada Barat ia menuliskan “sebuah negara yang pernah menjajah negara lain tidak pernah bisa menjadi teladan (174)”, sementara di sisi lain ia juga mengkritik budaya Maroko dengan menulis “Islam fundamentalis itu bukan Islam. Itu omong kosong politik (154)” untuk mengkritik kondisi sosial politik di negaranya yang carut marut namun tersembunyi di balik topeng agama.
Referensi:
Ben Jelloun, Tahar, 2004. Le Dernier Ami, Paris: Editions du Seuil.
Ben Jelloun, Tahar. 2018. Sahabat Terakhir, Yogyakarta: Basabasi.
Brace, Richard M. 1964. Morocco, Algeria, Tunisia, a Spectrum Book. Prentice-Hall., Englewood Cliffs, New Jersey.
Combe, Dominique. 2010, Les Littératures francophones, questions, débats, polémiques, Presses Universitaires de France, Paris
Said, Edward. 2000. Reflections on Exile, Cambridge: Harvard University Press.
Shahab, Ali. 2012. Nasionalisme dalam Roman Les Yeux Baisses karya Tahar Ben Jelloun. Yogyakarta: UGM Press