bagus panuntun

berubah!


Ia lebih dikenal sebagai penerjemah dan pengamat karya-karya sastra Amerika Latin. Karya-karya terjemahannya bisa diakses dengan mudah di kanal blognya hingga lewat buku-buku yang sudah diterbitkan oleh berbagai penerbit. Termasuk oleh Marjin Kiri, penerbitan yang ia kelola sejak tahun 2005 dan dikenal luas salah satu penerbit Indonesia terbaik yang menerbitkan puluhan kajian kritis di bidang sosial-politik, budaya, ekonomi, sejarah, maupun sastra.

Meski lebih terkenal sebagai aktivis di dunia perbukuan, di penghujung tahun ini, ia dipercaya menjadi juri di Festival Film Dokumenter (FFD), Yogyakarta. Bersama dengan Anna Har (direktur Freedom Film Fest) dan Sandeep Ray (dosen University of Wisconsin), ia didapuk untuk menjadi juri pada kategori film dokumenter panjang (feature length documentary).

Pada pagelaran FFD hari kedua, tepatnya 11 Desember 2017, saya bertemu dengannya di depan Taman Budaya Yogyakarta. Kami mengobrol selama kurang lebih 30 menit. Sambil minum kopi rempah, ia bercerita terkait keterlibatannya dalam FFD 2017, komentarnya tentang ekosistem film dokumenter di Indonesia, hingga harapan-harapannya terhadap perfilman Indonesia yang seringkali paradoksal: menggantung di antara rasa optimis dan pesimis.
Berikut wawancara lengkapnya:

Anda kan lebih dikenal sebagai penerjemah dan penerbit, Bung. Bagaimana Bung kemudian dipercaya menjadi juri FFD?

Saya sendiri tentunya kurang tahu pertimbangan panitia, tapi begini: sebelum dikenal sebagai penerjemah dan penerbit, bagaimanapun lingkaran saya tidak jauh-jauh dari seni visual dan film. Saya ikut mendirikan Ruangrupa dan meski sudah lama saya tidak aktif, tapi sempat beberapa kali menulis untuk perhelatan OK Video mereka—mungkin pameran seni video dan media baru yang pertama dan paling rutin di Indonesia. Lalu seorang kawan lama saya yang juga salah satu pendiri Ruangrupa, Hafiz, mendirikan Forum Lenteng dan menggelar Arkipel, festival film eksperimental dan dokumenter di Jakarta. Di Arikipel saya dipercaya mengurasi film-film tentang Amerika Latin, karena sangat berkaitan dengan fokus dan minat saya. Saya juga dua kali diminta menjadi juri kompetisi di Arkipel. Di FFD juga sebenarnya sudah kedua kalinya saya menjadi juri. Yang pertama kali tahun 2015. Mungkin mereka puas dengan pertimbangan-pertimbangan dan penilaian saya. (tertawa)

Saya sering membaca blog Bung Ronny, sastraalibi.blogspot.com. Bung sebenarnya cukup sering mengulas tentang film, khususnya film-film Amerika Latin. Jadi sebenarnya Bung sudah lama ya mengkaji dan menyukai film?

Tentu. Saya akan heran kalau ada orang nggak suka film. Terlepas dari apa yang ditontonnya, saya pikir semua orang suka film sebagaimana semua orang juga menyukai musik.

Dari 43 film dokumenter panjang yang masuk FFD, kriteria apa yang digunakan untuk menyaring lima besar?

Kalau untuk soal ini saya kurang tahu karena tim juri hanya diserahi 5 besar film untuk dinilai. Sementara 43 film sebelumnya sudah diseleksi oleh tim kurasi.

Tidak ada film Indonesia yang masuk 5 besar. Ada komentar?

Ini juga menjadi pertanyaaan dan keheranan awal para juri. Tapi panitia menegaskan kalau memang tahun ini tim kurasi menganggap tidak ada film dari Indonesia yang layak masuk. Aku pikir ini justru bagus untuk menjaga integritas festival ini. Seleksi di festival ini tidak seperti Piala Dunia yang meloloskan begitu saja tuan rumah hanya karena ia tuan rumah. Jadi dalam satu hal FFD sebenarnya lebih berintegritas daripada Piala Dunia. (tertawa)

Kriteria film dokumenter seperti apa yang diharapkan juri?

Kurator atau tim sebelumnya telah menyerahkan kepada kami kriteria apa yang harus dinilai. Misalnya kepaduan teknik, riset, plot dasar, pengembangan ide, dan sebagainya. Aku pikir dari pengalamanku sebagai penerbit buku non-fiksi, film dokumenter itu pada prinsipnya seperti buku non-fiksi. Ia harus mengedepankan fakta meskipun cara narasinya boleh memakai berbagai teknik.
Teknik narasi akan terus berkembang dan perkembangannya sangat terasa di FFD tahun ini. Kalau dibandingkan pengalamanku dua tahun lalu, cara-cara bercerita di film-film tahun ini sangat berbeda dengan film dua tahun lalu yang bisa dibilang masih konvensional.

Misalnya tahun ini ada film dokumenter tentang seorang fotografer Jerman karya sutradara Prancis yang dibuat dengan dialog-dialog imajiner seperti di fiksi, meskipun yang ia narasikan itu hal-hal yang aktual.

Film dokumenter kerap identik dengan advokasi. Seberapa penting advokasi dalam sebuah film dokumenter? Haruskah film dokumenter mengadvokasikan suatu isu?

Dalam pandanganku secara pribadi, setiap seniman harus punya sikap terhadap suatu isu. Apakah itu dengan serta merta tercermin secara lugas atau disampaikan secara lebih subtil dalam sebuah karya, itu persoalan berbeda dan pilihan masing-masing. Seperti tadi kubilang, film dokumenter itu seperti buku non-fiksi. Ada buku-buku yang dibuat untuk proses advokasi, bahkan propaganda dan agitasi. Ada pula yang ditulis dengan maksud kritis tapi ditulis dengan cara ilmiah dan lebih dingin. Itu adalah pilihan yang bisa diambil. Tapi apakah setiap dokumenter harus mengadvokasikan sesuatu? Saya pikir nggak. Tapi punya sikap terhadap permasalahan sosial itu sangat penting.

Tiga film dokumenter rekomendasi Bung?

Aku akan bilang Battle of Chile, dokumenter tentang masa-masa usaha penumbangan Allende oleh Pinochet. Patricio Guzmán merekam semua kejadian itu. Aku pikir penting untuk ditonton karena banyak yang bisa terungkap dari situ terkait banyak hal, bukan hanya soal gerakan kiri.
Terkait dengan FFD kali ini dan karenanya bisa ditonton langsung, coba tonton film-film Mark Rappaport dalam retrospeksinya.

Aku harus kasih contoh Indonesia ya. Mungkin ini bukan yang terbaik tapi isunya sangat penting untuk ditonton. Tanah Mama, film tentang perjuangan perempuan Papua untuk bisa mempunyai tanah sendiri. Meskipun isunya spesifik perempuan Papua, tapi aku pikir film ini perlu ditonton masyarakat patriarkis di mana saja.

Bicara soal ekosistem perfilman dokumenter, saat ini nampaknya masyarakat Indonesia masih sulit untuk mengakses film dokumenter. Televisi Indonesia yang menyiarkan film dokumenter juga belum banyak.

Aku pikir ini terjadi juga di kesenian lain. Baik teater, buku, dan lain sebagainya. Tapi kan festival semakin marak ya. Kita sekarang harus berpikir bahwa masyarakat itu semakin kompleks dan besar. Jadi kurasa kita tidak perlu meratap ketika film kita hanya ditonton 20-30 orang di satu kota. Memang dalam hitung-hitungan bisnis akan terlihat menyedihkan, tapi minat orang semakin beragam dan ketika bioskop mainstream tidak bisa mewadahi itu ya kita juga tidak perlu menuntut mereka untuk itu. Teknologi juga makin maju, manfaatkan. Kemampuan dan kesempatan untuk membikin acara-acara (festival) macam ini juga makin semudah.

Penonton yang lebih banyak dan luas sebenarnya juga bisa berusaha dijangkau dengan misalnya Youtube. Tapi aku pernah meriset tentang ini, ternyata media alternatif seperti internet yang dulu diyakini akan membuat karya semakin mudah tersebar ternyata ya tidak semulus yang dikira. Logika selera pasar tetap ada. Misalnya, beberapa video performing art yang pernah diunggah di youtube ternyata jumlah penontonnya jauh lebih sedikit dibanding video tutorial atau vlog-vlog seleb tertentu.

Sekarang kita bicara perfilman Indonesia secara umum ya. Di masyarakat kita, film terlihat jauh lebih popular dibanding karya sastra. Tapi mengapa buku tentang kritik film lebih susah dicari dibanding buku tentang kritik sastra?

Kritikus film kita tampaknya memang masih sedikit ya, pendidikan dan kajian khususnya di perguruan tinggi juga sangat terbatas. Dan ketika masuk di zaman sekarang ini, posisi mereka sudah langsung diambil alih oleh internet, karena ulasan di internet lebih cepat memberi efek popularitas ke filmnya sendiri dan kepada persepsi penonton juga. Buku kritik film jadi susah.

Di tahun 2017, nampaknya ada hawa positif dari perfilman Indonesia. Dapat kita lihat dari banyaknya film Indonesia yang dianggap sebagai film bermutu. Sebut saja Marlina, Turah, Posesif. Apakah ini pertanda bahwa perfilman kita sedang menuju arah yang baik?

Saya suka mengutip Gramsci bahwa kita perlu bersikap optimis dalam berkarya dan pesimis dalam berpikir. Kalau kita berbuat dan berkarya terus, menghasilkan karya-karya bagus sambil memperbaiki apa yang kita anggap kurang bagus –baik di film, buku, dll—saya percaya hasilnya pada akhirnya akan terlihat juga. Harapan dan pandangan optimisnya sih, maraknya film Indonesia belakangan dan larisnya film Indonesia juga akan berpengaruh ke film-film independen juga. Akan banyak investor yang tertarik untuk membiayai film-film kita.

Pertanyaan terakhir. Saya mengamati bahwa film-film bioskop India sangat berani menghadirkan realita sosial-politik dengan sangat gamblang. Sebut saja bagaimana film India berani menghadirkan sosok polisi yang korup, polisi yang dikendalikan mafia, dan sebagainya. Sementara di film Indonesia, polisi dan politikus selalu ditampilkan sebagai sosok yang baik. Apa pendapat Bung Ronny tentang sensor-sensor seperti ini?

Aku selalu menjawab bahwa semua permasalahan sosial kita ini berpangkal dari ‘65. Ketika orang tanya kenapa ilmu sosial kita terbatas seperti ini, kenapa film kita seperti ini, kenapa politik kita seperti ini, kenapa di India bisa begitu, kadang jawabannya bermuara ke pokok soal yang sama.
Sejak ‘65 semua gerakan kritis kita sudah habis, digantikan oleh para pengabdi rezim yang efeknya masih terasa sampai sekarang, termasuk ke para filmmaker. Nggak mudah untuk menghapus tabu-tabu yang diturunkan bertahun-tahun ke filmmaker kita. Filmmaker kita dari dulu dibatasi tentang apa yang boleh tampil dan apa yang nggak.

Ada juga arogansi kekuasaan yang belum terhapus. Persoalannya, kita nggak pernah seperti revolusi Prancis yang bisa memenggal raja. Begitu raja dipenggal, orang-orang biasa akhirnya bisa melihat bahwa kekuasaan bisa dirobohkan. Pasca ’98, Soeharto itu bisa disebut lolos sebenarnya karena tak pernah ditetapkan sebagai penjahat. Akhirnya kekuasaan ya masih saja arogan.



Abd Al Malik, seorang rapper, penulis, sekaligus sutradara Prancis keturunan Kongo, dalam bukunya Qu’Allah bénisse la France (2007) pernah berujar jika Prancis diibaratkan sebagai sebuah teater, maka orang-orang Afrika adalah figuran di dalamnya. Sebagai figuran, orang-orang Afrika bukan sekadar tak mampu menggerakkan cerita, namun sekaligus berada di kasta terendah dalam “teater kehidupan” Prancis.
Perandaian tersebut nampaknya ia tandaskan untuk mewakili situasi sosial yang dialami warga keturunan Afrika di Prancis saat ini. Dibanding pendatang lain yang  berasal dari Eropa, Asia, atau Amerika, orang-orang Afrika adalah kelompok yang paling sering mendapat tekanan dari masyarakat Prancis. Mereka tak bisa lepas dari stereotip negatif seperti kelompok terbelakang, pelaku pencopetan-pemerkosaan, hingga penyebar berbagai paham radikal. Oleh sebab stereotip tersebut, para keturunan Afrika hitam pun hampir selalu dianggap sebagai kelompok penuh mudarat bagi si “tuan rumah”.
Membincangkan imigran Afrika di Prancis, membuat saya mengingat salah satu film dokumenter yang tahun lalu saya tonton di Festival Film Dokumenter Yogyakarya berjudul Conter Sa Vie(2015). Film berdurasi 30 menit garapan Héloïse Dériaz, mahasiswi Antropologi asal Swiss ini, berkisah tentang Catherine, seorang perempuan asal Afrika Sub-Sahara/Afrika Hitam yang berprofesi sebagai pendongeng dan tinggal di Prancis.
Film ini bagi saya cukup berkesan karena seperti mengajak kita mempertanyakan kembali anggapan tentang imigran Afrika yang melulu negatif, mala, beban bagi Prancis.
Dalam film tersebut, Catherine dihadirkan sebagai sosok yang terbiasa diundang ke berbagai sekolah dan institusi untuk menceritakan kisah-kisah khayali dari Afrika kepada bocah-bocah Prancis. Namun, Catherine tak sekadar menganggap dongeng sebagai sumber mata pencaharian. Baginya, dongeng adalah jalan hidup. Ia percaya dongeng adalah hal yang dibutuhkan manusia karena ujarnya “la conte c’est magique, la conte c’est humaniste”. “Dongeng itu magis, dongeng itu humanis”. Berpijak dari keyakinannya tersebut, ia pun berkenan mendongeng untuk siapa saja. Termasuk di sebuah sekolah dasar yang semua muridnya bocah kulit putih.
Conter Sa Vie seperti menghadirkan Catherine sebagai penanda simbolik yang menunjukkan bahwa Afrika nyatanya masih berfaedah bagi Prancis. Melalui film ini, kita akan melihat Catherine yang  seringkali diundang ke suatu sekolah untuk mendongeng, dan dari dongeng-dongengnya lah diharapkan terbentuk karakter positif bagi generasi baru Prancis.
Kisah Catherine sebenarnya menarik sekaligus menggelitik jika dikaitkan dengan konteks relasi Prancis-Afrika hari ini. Salah satu wacana yang kerap muncul tentang mengapa Prancis kurang menyukai para imigran  adalah karena imigran mempunyai budaya berbeda yang berbanding terbalik dengan budaya mereka. Budaya Afrika tak pernah bisa lepas dari sesuatu yang dianggap kuno: mitos, dongeng, sihir. Sementara Prancis justru dikenal sebagai negara yang sangat kekeuh dalam meyakini nilai-nilai modernitas. Bagi masyarakat Prancis, narasi ilmiah selalu punya tempat lebih tinggi dibanding narasi mitos. Dalam taraf yang lebih ekstrim, bahkan tak jarang orang Prancis mempercayai diktum modernitas: “percayalah hanya pada yang objektif dan empirik”.
Akan tetapi melalui film ini, kita tahu bahwa Prancis nyatanya masih membutuhkan dongeng-dongeng untuk mendidik generasi mereka. Dongeng-dongeng Afrika. Yang tak melulu objektif apalagi empirik, namun penuh mitos dan rapalan mantra.

Mengontruksi Identitas Afrika Hitam

Bagi sebagian orang, Conter Sa Vie mungkin hanya film biografi tentang Catherine dan kesehariannya sebagai pendongeng. Namun, bagi saya Conter Sa Vie adalah film yang menghadirkan Catherine sebagai subjek yang tengah bersikap terhadap isu identitas. Terutama tentang isu relasi Prancis-Afrika. Sikap tersebut hadir melalui detil-detil film yang mungkin kurang diperhatikan sebagian penonton.
Dalam Conter Sa Vie, Catherine nampak selalu menggunakan atribut-atribut keafrikaan kemanapun ia pergi. Ia tak hanya nampak begitu percaya diri dengan gaya rambut kinky (keriting-mengembang) khas perempuan Afrika. Ia juga selalu memakai berbagai atribut warna terang mencolok, khususnya merah-kuning-hijau yang tentu berkorelasi dengan identitas Afrika Hitam sebagaimana sering kita lihat di warna bendera Ghana, Togo, Kamerun, Zimbabwe, dsb. Ketika mendongeng, Catherine juga menggunakan kostum mirip dukun Afrika dan tak jarang ia merapalkan mantra-mantra dengan bahasa Afrika.
Dalam salah satu narasi yang ia bawakan di bagian pembuka film, Catherine bahkan menyebut dirinya sebagai “Perempuan dari Selatan” yang bertemu Héloise, si sutradara asal Swiss, “Perempuan dari Utara”. Narasi ini seakan menjadi cara Catherine menarik batas tegas akan identitasnya sebagai orang selatan (Afrika), bukan orang utara (Eropa).
Melalui berbagai identitas Afrika yang ia tunjukan dengan gamblang dan berulang-ulang sepanjang film, kita dapat mengira bahwa Catherine sebenarnya adalah subjek yang secara sadar tengah mengkonstruksi identitasnya: Catherine memilih tetap menjadi seorang Afrika meski hidup di tengah masyarakat Prancis. Ia mewakili subjek yang disebut Molefi Kete Asante, seorang akademisi Afro-Amerika, sebagai Afrosentris. Dalam bukunya In my Father’s House (1992) Asente menyebut Afrosentris sebagai subjek yang percaya bahwa sejarah, mitologi, syair, cerita rakyat, dan berbagai kebudayaan Afrika memiliki semangat spiritual dan peradaban yang tinggi.

Alternatif Tindak Resistensi

Sampai di sini, saya kira kita dapat memaknai bahwa Conter Sa Vie bukan sekadar film biografis tentang perempuan Afrika yang mencintai dongeng saja. Conter Sa Vie sebenarnya adalah film yang menarasikan kisah seorang imigran yang tetap memilih mempertahankan identitas Afrikanya di tengah kondisi sosial yang begitu paradoksal.
Bagaimanapun, memilih tetap menjadi Afrika mempunyai satu konsekuensi besar. Semakin seorang imigran nampak sebagai Afrika, semakin ia akan terus terikat dengan rantai stereotip negatif pada dirinya.  Kondisi paradoksal ini lah yang pada akhirnya kerap membuat para imigran melakukan tindak resistensi.
Apakah Catherine juga melakukan resistensi?
Ada hubungan yang rumit antara tindak resistensi dengan stereotip negatif terhadap imigran Afrika. Resistensi sebenarnya merupakan wujud pelampiasan para imigran yang selama ini selalu mendapat dampak buruk akibat cara pandang orang kulit putih—yang seringkali menganggap mereka terbelakang dan tukang bikin onar. Dampak buruk tersebut misalnya terjadi dalam proses pencarian kerja. Di Prancis, selembar curriculum vitae dengan pas foto wajah berkulit gelap seringkali akan disingkirkan sebelum track record-nya dibaca. Singkat kata, para imigran selalu menjadi korban dari kekerasan budaya.
Pada titik seperti inilah, mereka melakukan resistensi supaya keberadaan mereka dapat diakui orang Prancis. Bentuk-bentuk resistensi tersebut bisa kita lihat misalnya dalam novel Qu’Allah benisse la France karya Abd Al Malik. Dalam salah satu sekuen novel tersebut, Abd Al Malik menceritakan gerombolan imigran Afrika di pinggiran kota Strasbourg yang memilih menjadi pencuri dengan menjadikan les blancs (orang kulit putih) sebagai target utama mereka. Di samping itu, mereka juga menjadi penjambret di tempat-tempat wisata, peminum alkohol tingkat dewa, hingga menjadi bandar narkoba, yang semua tindakan itu merupakan pelampiasan mereka terhadap snobisme orang Prancis.
Sayangnya, berbagai tindak resistensi tersebut justru kerapkali melanggengkan stereotip negatif tentang mereka. Alih-alih mendapat pengakuan dan makin disegani, mereka justru makin ditakuti. Akibatnya, dialog antar budaya seolah menjadi hal yang begitu sulit hadir di Prancis. Di sinilah Catherine seolah memberi sebuah alternatif tentang sebuah tindak resistensi. Resistensi baginya bukanlah membalas kekerasan dengan kekerasan lain. Untuk menunjukkan harkat, dignity-nya, kekerasan budaya tak bisa dilawan dengan kekerasan fisik. Bagi seorang Afrosentris, kekerasan budaya justru harus “dilawan” dengan budaya pula. Seperti ia melawan dengan dongeng: sekeping identitas Afrika yang syarat nilai kemanusiaan.
Tak terasa sudah tahun 2018. Artinya, setahun sudah saya menjadi pelapak buku online. Melapak buku pun dimulai dengan posisi keterhimpitan yang keparat. Januari tahun lalu, nasib hidup saya benar-benar kecut. Skripsi belum selesai, beasiswa negara tak lagi cair, ditambah saya harus keluar kerja. Maka dengan gaji terakhir yang bahkan kurang dari UMR Jogja, saya nekat menggunakan uang tersebut untuk mengulak buku dan memulai bisnis online melapak. Kelak saya akan memberi nama lapak buku saya dengan nama Warung Sastra.
Satu tahun menjadi pelapak buku, mau tak mau membuat saya berinteraksi dengan banyak pembaca. Dari sekian banyak interaksi inilah, saya menemukan dua persoalan dalam dunia literasi yang masih jarang didiskusikan. Pertama, orang-orang yang hanya membaca buku-buku Tere Liye. Kedua, orang-orang yang merasa tidak suka membaca buku. Demi dunia literasi yang makin bergairah, dua tipe manusia ini sesungguhnya adalah insan-insan yang perlu kita ruqyah supaya move on. Saya menceritakan pengalaman bertemu dua tipe manusia tersebut dan bagaimana usaha memperkenalkan bacaan-bacaan baru pada mereka.

BUKU-BUKU UNTUK ORANG-ORANG YANG HANYA MEMBACA KARYA TERE LIYE

Saya memulai langkah melapak buku dengan membuat sebuah akun dagang instagram. Akun tersebut dulunya belum bernama Warung Sastra. Kau boleh percaya atau tidak, tapi saat itu saya memberi nama akun tersebut dengan @jualbukutereliye. Haha.
Selain karena keisengan, pemilihan nama @jualbukutereliye sebenarnya merupakan bentuk kesinisan dan pelampiasan hasrat kurang ajar saya pada apapun yang sedang disukai banyak orang, misalnya Game of Thrones, es krim matcha, juga penulis bernama ganjil ini. Tidak seperti kesinisan saya pada GoT dan es krim matcha yang hampir tidak beralasan, kesinisan saya pada Tere Liye diawali dengan pengalaman membaca karyanya yang berjudul Rx King yang Digeber Tak Pernah Membenci Knalpot Bombongan—maaf, maksud saya Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Kisah cinta dalam novel tersebut benar-benar menye dan picisan. Hasilnya, ia sama-sama membosankannya dengan anak muda yang percaya indahnya pacaran setelah menikah.
Tak disangka, di bulan pertama saya menjual buku, saya mampu menjual lebih dari 30 eksemplar buku. Angka ini tentu tak buruk bagi seorang pelapak kelas newbie. Adapun lebih dari separuh buku tersebut adalah buku Tentang Kamu karya Tere Liye. Pada awalnya saya cukup bergembira.  Diawali dengan keisengan, ternyata berbuah hasil juga. Tapi setelah berpikir panjang, saya malah prihatin sendiri. Apakah penggemar Tere Liye memang sebanyak itu sampai akun instagram dengan nama semenjijikkan ini plus bermodal foto-foto dari google pun tetap mendapat jatah pembeli?
Saya pun mengingat pengalaman beberapa tahun belakangan. Saya telah berpuluh kali bertemu orang yang begitu memuja Tere Liye. Dan kesalnya, setiap kali kami mendiskusikan perihal sastra, ia akan selalu mengembalikan obrolannya ke karya-karya Tere Liye. Jangankan sastra, bahkan seandainya saya bicara tentang cawat Neptunus pun, barangkali ia akan kembali ke Tere Liye.
Akhirnya, saya pun memutuskan mengganti nama akun tersebut dan tidak lagi menjual karya-karya Tere Liye. Sebaliknya, saya memiliki misi untuk memberi alternatif bacaan baru pada para fans garis kerasnya. Tentu ada alasan lain yang lebih masuk akal di balik keputusan tersebut. Tetapi sebelum berlanjut ke situ, saya ingin memberikan beberapa rekomendasi buku yang sering saya berikan pada mereka:

1. RADEN MANDASIA PENCURI DAGING SAPI KARYA YUSI AVIANTO PAREANOM.


Buku tentang pengembaraan Raden Mandasia, Sungu Lembu, dan Loki Tua menuju kerajaan Giling Wesi. Mereka bertiga akan mengajak kita beradu maut di tempat-tempat yang mendebarkan: desa yang melarang penyebutan warna, samudra dengan badai terkejam, gurun pasir yang karena saking luasnya hanya dinamai ‘gurun’ saja, hingga kerajaan dengan penduduk paling kreatif dalam mengeksekusi hukuman mati.
Salah satu hal paling menakjubkan dalam novel ini adalah kemampuan Yusi Avianto Pareanom meminjam puluhan kisah epik: sejarah Majapahit, legenda Tangkuban Perahu, Rara Mendut, petualangan Sindbad, kisah Nabi Yunus, penyaliban Yesus, kecantikan Ratu Balqis, dan wabah black death, untuk melebur dalam satu kisah utuh yang menakjubkan.
2. TETRALOGI BURU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Minke, tokoh utama dalam novel ini, adalah seorang priyayi jawa yang berbakat dan menekuni dunia tulis menulis. Dengan bakatnya tersebut, ia berusaha membela kepentingan orang-orang yang tertindas di bawah kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Dalam mengasah bakat dan kesadaran politiknya, Minke disokong oleh “guru-gurunya” yang berlatar belakang beragam: Nyai Ontosoroh dari Jawa, Khouw Ah Soe dari China, Miriam de la Croix dari Prancis, bahkan Khommer yang berasal dari Belanda.
Tetralogi Buru adalah novel Indonesia pertama yang menceritakan proses bangkitnya kesadaran berbangsa. Novel ini menjadi bacaan wajib bagi kita untuk menelusuri kembali identitas Indonesia, identitas yang terbentuk oleh pengaruh berbagai bangsa.
3. ULID TAK INGIN KE MALAYSIA KARYA MAHFUD IKHWAN

Lerok, sebuah desa yang sebagian besar warganya berprofesi sebagai petani bengkoang dan penambang gamping, mengalami perubahan drastis sejak warganya mendapat tawaran kerja menjadi TKI di Malaysia. Semua orang merayakan Malaysia. Kecuali Ulid, seorang bocah cilik yang merasa teman-teman terdekatnya  dan Bapaknya sendiri telah direnggut oleh negeri tersebut.
Dari sekian banyak karya Mahfud Ikhwan, buku ini mungkin menjadi bukunya yang paling kurang terkenal. Padahal, buku ini dengan luar biasa mampu menceritakan perubahan corak sosial masyarakat Indonesia era orde baru dari sudut pandang yang segar. Uniknya lagi, isu yang nampaknya serius ini dinarasikan lewat kacamata seorang bocah cilik yang lugu, yang pada akhirnya membuat cerita menjadi nampak begitu jujur dan tidak tendensius.

Saya sebenarnya ingin menulis beberapa judul buku lain seperti Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan atau Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Nama-nama tersebut saya kira juga penting untuk dikenal anak-anak muda kita. Tetapi nampaknya, akan lebih penting jika saya melanjutkan penjelasan tentang keputusan tidak menjual buku Tere Liye.
Kebijakan Warung Sastra untuk tak lagi menjual karya Tere Liye sebetulnya tak sesederhana persoalan selera pribadi saja. Lebih dari itu, keputusan ini adalah bentuk perlawanan kecil terhadap permasalahan selera baca masyarakat yang dibentuk pasar. Kita tentu tahu, setiap kali masuk ke gramedia atau toko-toko buku besar lain, kita akan selalu melihat satu tempat, paling depan, paling strategis, di mana puluhan judul buku Tere Liye dipajang bertumpuk seolah merupakan buku terpenting umat manusia. Karya-karya Tere Liye bagi saya dijual overrated. Hal ini berujung pada terbentuknya selera baca masyarakat yang cenderung monoton.
Meskipun demikian, perlu kita akui bahwa karya-karya Tere Liye sebenarnya telah membuat banyak orang suka membaca. Maka, daripada hanya mencacat selera baca mereka, bukankah lebih baik jika kita menawarkan solusi dengan memperkenalkan bacaan-bacaan alternatif yang lebih segar dan bermutu?
Saya juga berpikir, apakah orang-orang seperti saya—yang baru membaca satu karyanya—berhak menghakimi seorang fans Tere Liye sebagai pembaca berselera rendah? Tentu saja tidak. Malah snob dan konyol kan?
Bagaimanapun, akan lebih baik jika kita memberi referensi-referensi baru bagi siapapun yang terjebak pada zona nyamannya. Sesudah itu, biarkan seseorang menilai sendiri adakah karya yang jauh lebih penting daripada karya yang diidolakan sebelumnya.

BUKU-BUKU UNTUK ORANG YANG MERASA TIDAK SUKA MEMBACA

Di zaman kiwari di mana informasi mengalir begitu deras dan hampir tak terkendali, kemampuan membaca adalah kebutuhan primer yang dibutuhkan setiap orang. Sebagai sebuah proses melatih diri untuk menangkap informasi secara utuh, kemampuan membaca selayaknya dimiliki siapapun demi menghindarkan diri dari mudarat hoax atau mal-interpretasi atas apa yang dibaca. Persoalannya, banyak sekali orang-orang di sekitar kita, bahkan yang paling dekat, yang merasa bahwa mereka tidak suka membaca.
Satu tahun terus berkutat dengan buku-buku memberi saya pengalaman baru dalam usaha membuat orang-orang terdekat saya menjadi suka membaca. Buku-buku di bawah ini adalah beberapa judul pilihan yang saya rekomendasikan:

1. PARA BAJINGAN YANG MENYENANGKAN KARYA PUTHUT EA

Buku karya Puthut EA ini merupakan memoar persabatan Puthut bersama lima teman kuliahnya yang hobi judi dan mabuk-mabukan. Mereka membuat sebuah komplotan bernama Jackpot Society yang merupakan plesetan dari judul film Dead Poets Society.
Para Bajingan yang Menyenangkan penuh dengan tokoh yang jauh dari konsep ideal seorang teladan. Mereka adalah para pendosa yang gemar misuh dan kerap melanggar norma-norma masyarakat. Persoalannya, semua tokoh di sini memiliki satu pandangan yang begitu kuat dalam menghargai persahabatan.
Saya pernah memberikan buku ini untuk adik saya sendiri. Adik saya adalah gambaran sejati seorang gondes nom-noman. Ia anak SMK jurusan otomotif yang sejak dulu tak suka belajar apalagi membaca, ranking 35 dari 36 siswa, hobi touring dan sesekali balap liar, bahkan sempat jadi anak reggae. Apa yang terjadi ketika saya memberikan buku tersebut? Ia menyelesaikan buku ini dalam waktu kurang dari sehari. Setelah itu, ia bahkan meminta saya untuk sering-sering memberikannya buku baru.
2. MERASA PINTAR BODOH SAJA TAK PUNYA KARYA RUSDI MATHARI

“Kenapa yang harus dihormati hanya orang yang berhaji? Kenapa orang yang salat tidak dipanggil pak Salat? Orang yang puasa dipanggil Pak Puasa? Orang yang berzakat, Pak Zakat?” – Cak Dlahom (Halaman 137)”
Nasihat-nasihat Ã  la sufi yang seringkali terlalu menggurui, dalam buku ini justru disampaikan oleh Cak Dlahom, tokoh yang mirip orang gila. Hasilnya tentu berbeda dengan ceramah-ceramah yang seringkali sok bijak. Buku ini berisi kisah-kisah yang mengocok perut tapi juga menyentil nurani. Membaca buku ini juga mengajak kita merenungkan kembali praktik kita dalam beragama yang seringkali keminter.
Suatu hari, saya memaketkan buku ini pada adik piara saya—adik angkat ketika KKN—di Pulau Obi, Maluku Utara. Ia seorang gadis SMA yang tertarik pada ilmu agama. Ia misalnya selalu membaca Al-Qur’an setiap hari. 1 bulan setelah paket tersebut dikirim, adik piara saya menelfon dan bercerita telah membaca buku tersebut tiga kali. Kami bahkan mendiskusikan cerita-cerita mana yang paling kami sukai. Saya menyukai cerita  ketika Cak Dlahom menyampaikan filosofi garam di air telaga, adik piara saya menyukai cerita saat seluruh desa kebingungan melihat Cak Dlahom menangis berhari-hari di depan makam tetangga miskinnya. Setelah panjang lebar bercakap tentang buku ini, ia berkeluh tentang sesalnya tak pernah membaca cerita. “Kakak, kalau ada rezeki lagi, jang lupa kasi kirim adik buku lagi e!”, mintanya sambil tertawa kecil.
3. MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA AHMAD TOHARI

Dalam buku yang berisi 15 cerpen ini, Ahmad Tohari menceritakan pada kita tokoh-tokoh golongan bawah dengan segala lika-likunya menghadapi kerasnya hidup. Ia misalnya menceritakan tokoh pengemis yang buta, keluarga gelandangan yang tinggal di bekas toilet terminal, seorang lansia yang takut menyeberang jalan, hingga orang desa pelaku pesugihan.
Saya pernah memberikan buku ini pada seorang kawan lama yang kini menjadi buruh cuci mobil di Bekasi. Selang seminggu, ia menelfon saya. Kami pun membicarakan nasib sial tokoh-tokoh di buku ini yang kami bandingkan dengan nasib kami sendiri. Cerpen-cerpen Ahmad Tohari adalah refleksi dari kehidupan rakyat yang serakyat-rakyatnya. Bagi orang-orang yang sejak lahir hingga hari ini tak kunjung merasakan hidup yang mudah, cerpen-cerpen Ahmad Tohari seolah mengajak kita berdialog untuk saling merutuki nasib.

Ada beberapa hal yang selalu saya pertimbangkan sebelum memberikan buku pada seseorang. Pertama, saya melihat latar belakang mereka. Untuk orang seperti adik saya yang hidup di lingkungan geng remaja yang solid dan nakal, buku Para Bajingan yang Menyenangkan tentu akan lebih pas dibanding Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya atau Mata yang Enak Dipandang. Pun sebaliknya.
Kedua, saya melihat bagaimana gaya penulisan buku tersebut. Buku-buku yang telah saya sebut di atas, sebenarnya memiliki gaya penulisan yang mirip. Ketiganya dinarasikan dengan bahasa yang sederhana. Sebagian orang yang mengaku tidak suka membaca, sebenarnya adalah orang-orang yang kadung menganggap bahwa karya sastra adalah karya yang adiluhung. Sastra bagi mereka adalah melulu rangkaian kata yang ndakik dan berbelit-belit. Padahal, ada karya sastra seperti milik Puthut EA, Rusdi Mathari, atau Ahmad Tohari yang justru ditulis dalam bahasa keseharian yang biasa-biasa saja.
Ketiga, saya mesti memastikan bahwa buku-buku yang saya berikan adalah buku yang pernah saya baca. Melalui pengalaman tersebut, setidaknya saya dapat memastikan bahwa buku-buku yang saya berikan adalah buku-buku yang mengajak kita merenung. Selain itu, dengan sudah membacanya, kita juga bisa mendiskusikan isi buku ini untuk bertukar pikiran. Tentu setelah mereka selesai membaca.
Jika seorang gondes, gadis pelosok Maluku, atau seorang buruh cuci mobil saja bisa menyukai membaca, bukankah ini berarti bahwa membaca bisa disukai siapa saja? Saya sih malah percaya, sebenarnya tak ada orang yang tak suka membaca. Mereka hanya belum bertemu buku yang memperkenalkan mereka dengan asyiknya membaca saja.

Wonosobo, 7 Januari 2018

1.
Di sebuah kota yang dingin, kopi seharusnya menjadi teman yang intim bagi para penghuninya. Tapi tak demikian dengan Wonosobo. Di kota kecil yang terletak di lereng Sindoro-Sumbing ini, kopi masih jarang menghangatkan perbincangan di meja-meja keluarga.

Kopi memang kalah pamor dibanding teh yang sejak lama telah menjadi salah satu komoditas utama kota. Tapi tetap saja, faktanya seharusnya tak begini-begini amat: di sebuah desa bernama Slukatan, 4 dari 5 warga yang kami temui mengaku tak pernah mendengar nama Kopi Slukatan.

2.
Pada mulanya adalah perbincangan dengan seorang teman yang didaulat menjadi Duta Wisata Wonosobo. Saya bertanya adakah varietas kopi lokal yang ia tahu. Ia menjawab akan menanyakannya di grup whatsapp perkumpulan Duta Wisata. Tak sampai lima menit, ia memberi tiga nama. Pertama, kopi Bowongso dari kecamatan Kalikajar. Nama ini adalah yang paling jamak disebut sebagai produk kopi kebanggaan lokal. Kopi Bowongso sudah gampang ditemui di kafe-kafe yang mulai tumbuh di sekitar alun-alun kota. Kedua adalah Kopi Karangsari dari kecamatan Sapuran. Nama kopi ini baru pertama kali saya dengar. Tapi sebab letaknya yang terlalu jauh dari pusat kota, saya memilih sejenak mengabaikannya. Sementara nama yang ketiga adalah Kopi Slukatan. Ia berasal dari Kecamatan Mojotengah yang relatif lebih dekat karena bisa ditempuh kurang 1 jam dari pusat kota.

Saya pun memutuskan untuk mengunjungi Desa Slukatan demi menyicipi kopi desa tersebut. Sebelumnya, saya berterima kasih pada teman-teman Duta Wisata. Nyatanya, Duta Wisata mampu memberi lebih banyak faedah dibanding sekadar menjadi among tamu di Pendopo Kota.

3.
Saya berangkat menuju Slukatan bersama tiga kawan saya, Indra, Dede, dan Dika. Kami pergi ke sana naik sepeda motor di mana Indra memandu di posisi paling depan. Jarak kota Wonosobo sampai Desa Slukatan sebenarnya tak jauh-jauh amat. Kira-kira 15 kilometer. Hanya saja, separuh dari jalur tersebut adalah jalan berbatu yang naik-turun. Yang aduhai, perjalanan menuju Slukatan akan diselingi oleh pemandangan-pemandangan yang menawan di kanan-kiri jalan. Setidaknya selama perjalanan, kita akan berjumpa dengan Sungai Serayu, hamparan sawah hijau berlatar Sindoro-Sumbing, hingga lembah Desa Slukatan yang hijau berbukit-bukit.




Sebenarnya hari itu kami sama sekali tak tahu di mana tepatnya kami bisa mendapat kopi Slukatan. Kami tak berbekal informasi tentang adakah semacam kedai kopi di sana atau siapa nama petani kopi yang bisa kami temui. Maka, ketika kami memasuki Desa Slukatan, kami memutuskan menyambangi dahulu Jembatan Gantung Slukatan yang beberapa kali muncul di akun instagram @wonosobohitz. Harapannya, di jembatan tersebut kami akan bertemu dengan seorang warga lokal yang tengah lewat atau sedang istirahat untuk bertanya-tanya tentang Kopi Slukatan.



Warga lokal pertama yang kami temui adalah juru parkir di area tersebut. Munculnya foto Jembatan Slukatan di akun-akun instagram populer ternyata membuat kunjungan ke desa ini cukup meningkat sehingga diputuskan bahwa desa memiliki juru parkir. Sayangnya sang juru parkir mengaku tak tahu sama sekali tentang Kopi Slukatan.

Kami kemudian menuju ke arah pemukiman warga di mana jalan masih tetap naik-turun berbatu namun pemandangan di sisi jalan tak lagi dihiasi oleh bukit-bukit melainkan rumah-rumah. Kami berhenti di depan sebuah warung sembako dan menanyakan perihal yang sama pada tiga orang Ibu-ibu yang tengah bertukar cerita.

“Bu, nuwun sewu, kalau mau cari kopi Slukatan dimana nggih ?”, tanya saya setelah turun dari motor.

“Kopi Slukatan? Kopi nggih kopi aja mas. Kalau kopi sih di sini ada. Kopi Kapal Api. Kapal Api oke!”, jawab seorang Ibu.

“Yawla. Yang oke RCTI bu”, batin saya, agak kesal.

Kami mulai merasa janggal dan meragukan keberadaan kopi Slukatan. Beruntung, kami kemudian berjumpa dengan seorang Bapak yang tengah menikmati udara segar lewat jendela kamarnya sembari ngerokok dan ngopi. Bapak itu memberi tahu kami tentang seorang petani kopi bernama Pak Parman.

“Mungkin Mas sedang cari Pak Parman. Silahkan balik arah ke arah masjid nanti ada jalan kecil di sebelah kanan. Masuk saja ke sana lalu turun sampai di rumah paling mentok”.



4.
Ruas jalan ke arah rumah Pak Suparman hanya selebar 1 meter dengan turunan yang cukup curam dan licin-berbatu. Rumahnya benar-benar berada di ujung pemukiman, berdiri sendiri dengan tenang dan bersahaja. Di depan rumah itu, kami bertemu dengan seorang lelaki paruh baya berbadan gempal yang nampaknya tengah bersiap berangkat ke kebun.


“Nuwun sewu Pak, bisa bertemu Pak Parman?”,

“Saya Pak Parman. Wah, dari mana ini? Ada apa nggih?”,

“Dari Wonosobo juga Pak. Ingin nyicipi kopi Slukatan”,

“Wah untung saya belum berangkat ngarit (mencari rumput)”, balasnya sambil tertawa lebar.


Ternyata tak ada kedai kopi di Slukatan. Yang ada hanyalah rumah sederhana berdinding kayu-berlantai tanah dengan pintu yang selalu terbuka lebar. Di dalam rumah itu, terdapat ornamen-ornamen khas warga Nahdlatul Ulama. Kaligrafi Surat Yaasin dari kulit hewan, foto para sesepuh kyai NU, hingga lukisan Baitul Makdis yang terpajang gagah di atas pagar. Kami disambut oleh pasangan Suami-Istri Pak Parman yang mempersilahkan kami duduk sembari menunggu mereka memasak air. Di depan kami sudah tersedia kudapan ceriping, peyek, dan kue kering.

Sekitar 10 menit kemudian, Pak Parman keluar dari dapur dengan membawa lima buah cangkir dan satu teko air mendidih. Tak lupa dibawanya pula sebungkus kopi bubuk Slukatan yang telah dikemas dengan gaya modern.



Kami sedikit heran mengapa kopi yang telah dikemas menjadi produk seperti ini bisa tidak dikenali warga-warganya. Maka sembari menyeduh kopi tubruk dengan cita rasa pahit yang ringan, cenderung asam, dan agak manis ini, kami membicarakan pelbagai hal tentang kopi Slukatan bersama Pak Parman.

Kopi Slukatan adalah jenis kopi Arabika yang telah ditanam sejak tahun 1990. Dalam satu kali panen, desa Slukatan dapat menghasilkan lebih dari 20 ton bijih kopi. Selama ini, kopi Slukatan sebenarnya hampir selalu menjadi bahan utama untuk kopi campuran yang dijual di pasar-pasar Wonosobo. Hanya saja, nama kopi Slukatan memang belum terkenal karena belum dikemas secara kreatif oleh masyarakat desa. Keluarga Pak Parman lah yang memulai pengemasan ini beberapa bulan lalu.

Kami pun mencoba menanyakan perihal keterlibatan pemerintah Wonosobo dalam mengelola salah satu komoditas potensialnya.

“Pemerintah tidak ikut membantu Pak? Misalnya merencanakan Slukatan sebagai desa wisata agrikultur, begitu?”,

“Pemerintah dari dulu sebenarnya sudah menawarkan mas. Tapi sumber daya manusianya yang nggak ada. Pemudanya masih kurang aktif mas di sini. La kalau ada teman-teman yang mau KKN di sini mungkin nanti bisa berubah pemikiran warganya”, terang Pak Parman dengan suaranya yang tegas tapi juga ramah.


Menyesap kopi di daerah dingin begini, apalagi ditambah klethikan criping yang tak habis-habis, benar-benar membuat kami betah berlama-lama. Pak Parman, meski harus menunda waktunya ke kebun, ternyata tak nampak terganggu  sama sekali. Ia justru bercerita banyak tentang keluarganya yang turun temurun telah jadi petani kopi. Salah satu anaknya kini juga membantunya mengolah bijih kopi Slukatan dan menjadi sosok yang punya ide memasarkannya dengan gaya anak muda. Kopi Slukatan telah beberapa kali mengikuti pameran hasil pertanian yang diselenggerakan pemerintah Wonosobo dan Temanggung. Kopi ini dijual dengan harga 250.000 rupiah per kilonya. Sejak mengikuti beberapa pameran, rumah Pak Parman jadi kerap dikunjungi tamu-tamu dari luar kota. Dari sini, ia berharap bahwa kopi Slukatan akan makin dikenal dan membuat anak-anak muda di sana bisa hidup dari bertani.

“Kalau anak muda mau bertani Mas, banyak sekali lo bantuan dari pemerintah yang bisa diminta. Mas-mas ini seharusnya besok tua punya kebun sendiri. Boleh jadi sarjana sastra, boleh jadi insinyur, boleh jadi apa saja, asalkan tetap jadi petani. Kalau nggak ya namanya menyia-nyiakan rezeki. Wong tanah kita bisa ditanami apa saja”, ujarnya begitu mantap.

Saya menandaskan sisa kopi yang tinggal seperempat  cangkir saja. Tak terasa, waktu telah beranjak sore dan dingin mulai menembus switer yang saya kenakan sampai menyentuh pori-pori. Kopi terakhir yang saya seduh menghangatkan kembali tubuh saya. Tapi saya harus segera berpamitan. Sebelum beranjak pulang, kami berterima kasih sambil menanyakan harga kopi pada Parman.

“Mohon maaf Pak Parman, berapa musti kami bayar ya Pak?”,

Kemudian ia menjawab “Nggak usah bayar Mas, gratis sesama Wonosobo, bantu promosikan saja”, ujarnya, lagi-lagi sambil tertawa.
.

Wonosobo, 28 Desember 2017
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ▼  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ▼  Januari (4)
      • [WAWANCARA] Ronny Agustinus: Punya Sikap Terhadap ...
      • MEMAKNAI RELASI PRANCIS-AFRIKA HITAM MELALUI (PEN)...
      • PERTAMA, ORANG-ORANG YANG HANYA MEMBACA BUKU-BUKU ...
      • KOPI SLUKATAN: KOPI LERENG SINDORO-SUMBING YANG KU...
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018