bagus panuntun

berubah!

Pagi dingin menyapa dari ujung Obi

Langit jingga nampak cerah dari jendela

Dan ku bergegas berlari ke tepian pantai

Lihat sunrise yang indah menggugah seluruh jiwaku


*bridge
Pada suatu senja mama panggil kita

Cepat pulang ke rumah makan ikan goropa

Lembut luar biasa lezat tiada terkira

Aduh ikan goropa

Semua bisa kau dapat


*reff
Di Pulau Obi yang permai

Pulau Obi yang cantik

Ingin ku pergi lagi ke sana bermain bersama

Orang Obi yang damai

Orang Obi yang baik

Ingin ku pergi lagi berjumpa bernyanyi bersama

Bersamamu


*rap
Dari Ternate bisa naik kapal Obi Permai

Lalu berhenti sampai Pelabuhan Jikotamo

Naik Oto sampai Sampai Sambiki atau Desa Anggai

Atau Airmangga yang letaknya di ujung lao

Disambut warga Obi dengan kuliner bergizi

Gopoa, ake, fofoki, bole, bia, dan nao

Lalu malam kita joget baronggeng sampai pagi

Sampai lupa Jawa dan tak ingin kuliah lagi

*kembali ke bridge



Catatan:

Lagu ini bergenre reggae dan saya ciptakan ketika sedang kangen-kangennya pada KKN di Obi. Beberapa teman seperti Andre, Apoy, Ongri, dan Mas Riza sudah mendengar lagu ini, dan kata mereka lagu ini bagus dan asik.

Awal bulan Mei saya akan ke Bandung dan membeli gitar. Lagu ini nanti akan saya rekam dan unggah di sebuah akun baru di IG yang berisi lagu-lagu yang pernah saya buat dan beberapa lagu cover. Ya biar seperti @kisumindi. Tapi akun ini tidak akan saya bagikan alias hanya untuk diri sendiri.

Dalam sebulan terakhir, sikap ekstrovert saya serasa meredup, haha. Mungkin karena saya ingin berkarya lagi, supaya lebih produktif, lebih banyak waktu untuk belajar. Supaya tekad aktif ngeblog di awal tahun terlaksana.
putus baik-baik itu putus yang gimana mas?

putus baik-baik itu, putus yang tidak balikan teh. xixixi.

seriusan.

mungkin begini, putus tapi bukan karena tidak setia. mereka sama-sama sadar saja, jika terus bersama maka akan menghambat mimpi masing-masing dan akhirnya susah cari kebahagiaan lain.

bukankah ada jalan tengahnya?

adanya jalan kenangan.




Saya orang yang bisa bertahan hidup di manapun selama di situ banyak masakan enak. Pengalaman terburuk saya tinggal di suatu tempat adalah di Kampung Inggris, Pare. Di tempat itu, hampir semua makanan mungkin dimasak oleh orang berhidung mampet dan berlidah sariawan. Semuanya hambar seperti kampas rem.

Apakah itu sudah paling buruk? Tentu saja tidak. Saya bahkan pernah keracunan makan rica-rica ayam. 3 hari saya terkapar di asrama, muntah-muntah, dan berak tiap 10 menit. 

Lalu kini saya tinggal di Sunda. Hari-hari pertama di sini adalah tentang rasa penasaran pada hidangan makanan dan rasanya. Apakah lebih baik dari masakan Jogja?

Mungkin terlalu cepat untuk menyimpulkan. Tapi setidaknya ada dua hal yang sangat saya suka dari hidangan Sunda---yg jauh lebih menyenangkan daripada hidangan Jogja. Yaitu teh dan lalapannya.

Pertama, teh di sini disajikan dengan tawar. Tak hanya itu, teh tawar pun disajikan gratis di semua warung. Kamu bahkan bisa meminta aa'-teteh untuk menuang teh segalon asal kamu kuat menenggaknya. Omong-omong, yang gratis hanya yang tawar ya. Kalau teh yang manis ya harus bayar.

Tentu ini menyenangkan. Saya bukan penyuka rasa manis. Selama di Jogja, saya harus bilang "mas, gulanya dikit aja" untuk tiap teh yang saya pesan, atau "mas nggak usah tambahin gula" untuk secangkir good day yang sudah kelewat manis dari sananya.

Kedua, saya ingin menangyz bahagya saat tahu sajian lalapan di Sunda. Saya pecinta lalapan yang kaffah. Soal kecintaan terhadap sayur, saya yakin saya lebih mencintai sayur daripada para vegan. Kelak, istri saya tak perlu bingung jika tak pandai memasak. Selain kami bisa belajar masak bersama (uhui), ia sebenarnya hanya perlu merebuskan bayam atau selada atau sawi untuk membuat saya lahap.

Lalu bagaimana dengan sajian lalapan di Sunda?

Ada banyak sekali pilihan lalap di sini. Di Jogja, paling mentok kita hanya makan kobis, kemangi, atau ketimun, sementara di sini kita bisa memilih: leunca, gembus, kenci, sawi, timun, selada, bayam, kemangi, kobis, daun singkong, dan lain sebagainya.

Tuhan, apakah sunda artinya surga ndunia? xixixi

Sungai di depan kantor



Maret menandai terwujudnya resolusi utama saya di tahun 2018: mendapat pekerjaan tetap. Saya bahkan mendapat pekerjaan sesuai yang saya harapkan. Jauh-jauh hari, saya sudah bertekad tidak akan bekerja kecuali di pekerjaan yang berhubungan dengan Bahasa Prancis atau pekerjaan yang berhubungan dengan penelitian. Pada akhirnya saya mendapat pekerjaan yang kedua.

Saya bekerja di sebuah lembaga non-profit bernama Saemaul Globalization Foundation (selanjutnya ditulis SGF). Lembaga ini berasal dari Korea Selatan dan merupakan lembaga yang fokus pada bidang pengembangan desa berkelanjutan. Yayasan ini terinspirasi dari gerakan pembangunan desa atau gerakan Saemaul Undong yang dicetuskan oleh Presiden Korea Selatan Park Chung Hee sejak 1970. Gerakan yang memiliki tujuan membangun perekonomian negara dengan titik berangkat dari desa ini dianggap sebagai awal mula majunya Korea setelah menjalani masa-masa krisis pada dekade pra-70’an. Berangkat dari gerakan yang dianggap telah sukses diterapkan di negaranya, SGF kemudian mencoba menularkan gerakan ini ke negara-negara berkembang. Saat ini SGF telah memiliki puluhan kantor cabang yang tersebar di seantero Asia dan Afrika. Beberapa negara yang mendapat bantuan dari SGF selain Indonesia  adalah Vietnam, Myanmar, Kirgyztan, Rwanda, Pantai Gading, Tanzania, dll.

Saya sendiri bekerja menjadi staf peneliti dan pendamping desa di sini. Saya ditempatkan di Desa Tanjungwangi, Subang, Jawa Barat, dan ditugaskan untuk mengawal terbentuknya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) dengan membangun dua unit usaha yaitu Bank Sampah dan pabrik pengolahan pakan ikan. Maka, sehari-harinya saya harus mengamati, mencatat, merumuskan masalah, menyusun rekomendasi, dan melakukan berbagai hal yang berhubungan dengan dua bidang usaha tersebut.

Lalu, apa itu BUMDes?

Sebelum melanjutkan catatan ini, mungkin saya perlu menjelaskan sedikit tentang hal tersebut. Sebab, perihal BUMDes ini seharusnya bisa menjadi isu strategis yang patut dibicarakan siapa saja. Sayangnya, saya yakin bahwa saat ini kita bisa menghitung jari orang-orang yang paham atau sekadar pernah dengar istilah ini. Padahal, jika kita pernah berimajinasi untuk membangun negeri ini jadi lebih maju, mengurangi pengangguran, dan bisa memanfaatkan segala potensi alamnya dengan baik, saya kira BUMDes adalah jalan paling efektif untuk mewujudkannya.

Pernah dengar kata BUMN? Badan Usaha Milik Negara.

Jika BUMN adalah Badan Usaha Milik Negara, maka BUMD adalah Badan Usaha Milik Daerah, maka BUMDes adalah Badan Usaha Milik Desa.

Secara singkat, BUMDes merupakan unit ekonomi yang dimiliki oleh desa, bukan milik perseorangan. Unit ini bisa memiliki berbagai macam macam. Tapi setidaknya, ada dua hal penting yang perlu dicatat jika suatu desa ingin membangun BUMDes.

Pertama, badan usaha yang dibuat harus sesuai dengan potensi lokal yang dimiliki desa. Misalnya, desa yang berada di daerah pesisir lebih baik membuat pabrik pengolahan garam, sementara desa yang berada di daerah dataran tinggi bisa membuat bisnis kuliner kreatif dari sayuran.

Tak hanya terbatas pada usaha ekonomi berbasis sumber daya alam saja, BUMDes juga bisa berbentuk unit pengelolaan wisata. Misalkan saja desamu memiliki potensi berupa air terjun yang indah, maka desamu bisa menggunakan dana BUMDes untuk mengembangakan lokasi tersebut menjadi pariwisata alam.

Kedua, badan usaha yang dibuat sebaiknya tidak berpotensi mematikan usaha perseorangan. Poin kedua ini kerap luput diperhatikan banyak desa di Indonesia. Bentuk usaha yang paling kerap menjadi blunder adalah pembangunan mini market. Alih-alih memberikan kemakmuran bagi banyak warga—yang merupakan tujuan utama BUMDes—bentuk usaha macam ini justru membuat warung-warung rumahan jadi gulung tikar.

Lalu, berapa modal yang bisa dibutuhkan untuk membangun BUMDes? Jumlah dana ini sebenarnya tergantung sebesar apa usaha yang akan dibangun. Hanya saja, berdasarkan beberapa survey yang pernah saya lakukan, kebanyakan desa mengalokasikan 100 juta dari dana desa sebagai modal awal BUMDes.

Apakah membangun BUMDes mudah? Tentu tidak. Hal inilah yang sedikit banyak saya rasakan sejak awal kedatangan. Mulai dari perihal administrasi yang ribet, telatnya dana yang turun, hingga kecurigaan warga terhadap hal baru. Apalagi badan usaha yang kini tengah kami kembangkan adalah Bank Sampah, satu usaha yang sifatnya ekonomi tapi juga sosial. Kami dituntut untuk bisa mendapat keuntungan, tetapi sekaligus menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menjadikan desa bersih bebas sampah. Dobel-dobel kan kerjanya? Belum lagi membangun pabrik pakan ikan dari jerami. Saya yang tak punya dasar keilmuan tentang perikanan tentu harus benar-benar bekerja keras. Saya harus melakukan studi lapangan seperti survey bahan dan kandungan protein, potensi pasar, dan lain sebagainya yang tentu tidak akan butuh waktu sebentar.

Bagaimanapun, setahun ke depan adalah tantangan yang berat dan melelahkan. Tapi saya tahu bahwa saya harus melakukan pekerjaan ini dengan disiplin dan ulet. Sebab, dengan bekerja di sini, saya rasa saya akan punya bekal di masa depan: untuk jadi juragan rongsok atau tukang ternak lele.



Erich Fromm, seorang psikolog, sosiolog, dan filsuf, asal Jerman dalam bukunya Seni Mencintai sempat menyinggung persoalan kerja dengan menyebut dua jenis sistem kerja. Ia menyebut kerja yang pertama sebagai sistem kerja modern, sementara kerja yang kedua sebagai sistem kerja produktif. Sistem kerja modern adalah sistem kerja yang paling jamak kita temui sekarang, yaitu sistem kerja di mana tugas-tugas manusia tidak ditentukan oleh inisiatifnya, tetapi oleh organisasi kerja. Dalam sistem yang dibangun organisasi kerja modern, manusia menjadi makhluk delapan jam, mengerjakan tugas-tugas dengan cara dan kecepatan yang ditentukan, bahkan perasaan dan sifatnya pun telah ditentukan: ia harus murah senyum, ceria, ambisius, bersedia bekerja di bawah tekanan, bahkan dilarang jatuh cinta dengan teman kantornya sendiri. Sementara itu, sistem kerja yang kedua adalah sistem kerja produktif, yaitu sistem kerja yang saya rencanakan, saya ciptakan, dan saya nikmati hasilnya. Sistem kerja produktif adalah sistem kerja yang ditentukan inisiatif sendiri. Dalam kerja ini, orang dianggap menyatu dengan pekerjaannya. Pekerjaan macam ini biasanya dapat kita lihat pada para seniman, sastrawan, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan dengan mencipta.
Dalam bukunya yang lain berjudul Konsep Manusia menurut Karl Marx, Fromm juga mewanti-wanti kita tentang dua sistem kerja tersebut. Menurutnya, manusia seharusnya terbebas dari kerja modern yang menghancurkan individualitas. Bahwa manusia sebaiknya mengerjakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari sifat potensialnya, yaitu kekuatan kreatif manusia agar ia bisa menjadi apa yang dia “dapat menjadi”, bukan menjadi apa yang “harus menjadi”. Bagi Fromm, hanya dengan bekerja sesuai sifat potensialnya itulah manusia dapat terhindar dari rasa keterasingan, menemukan dirinya sendiri, dan pada akhirnya berbahagia—tulisan Fromm ini terinsipirasi dari tulisan Karl Marx tentang konsep alienasi (Untuk memahami lebih lanjut soal konsep alienasi silahkan baca esai Olav Iban, Hubungan Cinta, Kerja, dan keterasingan).
Permasalahannya, di era modern di mana model kerja kapitalisme semakin mapan dan terus bertransformasi, mungkinkah kita bekerja dengan sistem kerja produktif dan terbebas dari sistem kerja modern? Sebagaimana kita tahu, kerja produktif identik dengan idealisme. Mereka yang ngotot lepas dari sistem kerja modern tak jarang harus hidup dalam keadaan miskin dan menderita. Beberapa di antaranya bahkan sampai ditinggalkan orang-orang terdekatnya. Vincent Willem van Gogh, pelukis pasca-impresionis asal Belanda yang memutuskan menghabiskan waktunya untuk melukis sejak umur 27 tahun itu misalnya, harus rela ditinggalkan hampir seluruh keluarganya hingga sepanjang hidupnya terus didera kesepian. Karl Marx sendiri yang menghabiskan waktunya untuk menekuni filsafat dan konon selalu berada di perpustakaan 15 jam sehari juga mengalami kemiskinan akut dan menelantarkan keluarganya ketika berada di London. Di penghujung hidupnya, ia bahkan menderita bronkitis dan radang selaput dada selama 15 bulan sebelum akhirnya meninggal tanpa status kewarganegaraan dan pemakamannya hanya dihadiri 9 pelayat.
Dari beberapa kisah ironis itu, pada akhirnya kita kerap mendengar omongan orang yang kira-kira berbunyi “kalau mau idealis, jadi kaya raya dulu lah”.
Pertanyaannya, benarkah untuk menjadi idealis dan menjalani hidup dengan laku kerja produktif, maka kita harus kaya dulu? Pertanyaan tersebut mungkin patut kita renungkan kembali jika kita menonton kisah hidup Dashrath Manjhi dalam film India berjudul Manjhi The Mountain Man (2015) karya Ketan Mehta.
Manjhi adalah sosok yang riwayatnya dikenang sebagai manusia yang menghancurkan gunung dengan palu selama 22 tahun (1960 sampai 1982). Film ini diadaptasi dari kisah nyata seorang pemuda dari kasta terendah India. Ia tinggal di sebuah desa terpencil yang kering kerontang bernama Gahlore. Di Gahlore, jarak adalah kematian yang mengintai.  Sebuah gunung di desa itu membuat Gahlore terpisah sejauh 70 kilometer dari kota terdekat. Akibatnya, akses pendidikan, teknologi, dan kesehatan hampir tak terjangkau.
Suatu hari, istri Manjhi yang tengah hamil tua jatuh terjengkang. Ia mengalami keguguran dan Manjhi harus membawanya ke kota terdekat untuk memberinya pertolongan. Tapi di tengah perjalanan yang belum seperempat ditempuh, darah terus mengalir deras dari lobang peranakannya dan meluruhkan dua nyawa orang yang paling Manjhi sayang—istri dan anaknya.
Selepas hari itu, Manjhi tak pernah lagi jadi orang yang sama. Setiap hari dalam hidupnya, sejak pagi hingga larut, ia selalu pergi ke gunung dengan menggenggam satu palu untuk menghantam gunung yang memisahkan Gahlore dengan peradaban. Akibat tindakannya tersebut, Manjhi dianggap gila. Tapi kegilaannya terus berlanjut sampai akhirnya ia bisa menghancurkan gunung itu dan memangkas jarak antara Gahlore menuju kota terdekat sejauh 69 kilometer.
Setelah film Manjhi the Mountain Man, Dashrath Manjhi akhirnya dikenal di seluruh dunia. Sebagian orang mengenangnya karena cintanya pada sang istri yang begitu agung. Sebagian lagi mengenangnya karena tindakannya yang dianggap sangat radikal dan bahkan menantang Tuhan. Salah satu ungkapannya yang paling terkenal adalah “Never depend upon God. Who knows that God may depend on you?”.
Tapi saya mengenangnya dengan cara lain. Menurut saya, Manjhi adalah gambaran dari seorang yang melakukan kerja produktif paling total dari pencipta manapun. Seniman lain mungkin hanya memahat batu jadi kuda, sedangkan Manjhi justru memahat batu raksasa (gunung) menjadi jalan yang dapat dilalui seribu kuda. Lebih dari itu, ia juga menjadi antitesis dari siapapun yang meyakini bahwa kerja produktif hanya bisa dilakukan oleh mereka yang kaya raya. Dari Manjhi, saya justru meyakini bahwa kerja paling produktif justru bisa dilakukan oleh mereka yang sudah tak punya apapun.


Ketika di akhir tahun 2015 Efek Rumah Kaca merilis lagu “Hilang”, kita bisa mendengar di pertengahan lagu tersebut 13 nama orang yang diculik dan dilenyapkan negara menjelang Reformasi 1998. Pada nama-nama yang disebut seturut abjad tersebut— mulai dari Dedy Hamdun hingga Wiji Tukul—, saya kira hanya ada satu-dua nama yang ‘akrab’ di telinga masyarakat Indonesia. 13 nama itu akan semakin asing bagi generasi seperti saya yang ketika peristiwa penculikan tersebut terjadi, masih berusia balita. Saya sendiri misalnya hanya mengenal Wiji Tukul, penyair yang gambarnya terpampang dimana-mana dengan sematan kata “lawan!” itu. Sementara, 12 nama lain—yang sebagian besarnya adalah mahasiswa—hampir tak pernah saya dengar. Perihal ini saya kira cukup pas untuk menggambarkan bahwa pengetahuan kita akan Reformasi dan segala sesuatu di baliknya masih sangatlah sedikit—seperti halnya 1/13 atau 7/100 atau 7 persen saja.
Sementara ingatan kita akan kasus tersebut semakin menipis, hingga detik ini masih ada keluarga korban penculikan yang sejak tahun 2003 rutin melakukan aksi Kamisan. Seminggu sekali, mereka dengan payung dan pakaian serba hitam selalu berdiri di depan Istana Negara, menuntut keadilan, mempertanyakan dimana orang yang mereka sayang, mengajak kita Menolak Lupa. Tapi sampai di sini, memori kolektif kita tentang para korban masih berhenti pada persoalan “siapa”. Kita mungkin mengenal nama Wiji Thukul atau beberapa aktivis lain, tapi di sisi lain pengetahuan kita tentang bagaimana liku terjal yang mereka hadapi masih sangatlah kabur. Di titik inilah, novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori hadir sebagai upaya untuk memperkaya narasi kita tentang kasus penculikan menjelang Reformasi 1998.
Laut Bercerita merupakan sebuah fiksi historis yang menceritakan kasus penculikan aktivis reformasi melalui dua segmen dalam dua sudut pandang. Segmen pertama dinarasikan oleh Biru Laut sebagai aktivis dan korban penculikan, sementara segmen kedua dinarasikan oleh Asmara Jati (adik kandung Biru Laut) sebagai keluarga dari korban penculikan.
Segmen pertama novel ini lebih mirip dengan novel thriller yang penuh dengan fragmen-fragmen gelap, suram, bahkan berdarah. Leila S. Chudori memang membuat riset panjang sebelum menulis novel ini. Ia sempat mewawancarai aktivis-aktivis yang pernah diculik seperti Nezar Patria, Mugiyanto Sipin, dan Budiman Sudjatmiko. Hasilnya, Leila pun dapat mendeskripsikan secara detil ragam kekejian aparat negara dalam menyiksa tahanannya—disetrum, ditidurkan di atas balok es, dimasukkan Semut Rangrang ke matanya. Segmen ini seperti hendak mengungkapkan bahwa negara tak pernah peduli soal kemanusiaan jika sudah urusan kekuasaan.
Segmen pertama novel ini juga menunjukkan bahwa kasus penculikan aktivis reformasi sebenarnya tidak sesederhana yang kita pikirkan. Selama ini mungkin kita mengira bahwa aktivis-aktivis yang diculik adalah mereka yang paling keras kepala dan hobi demo. Saya bahkan sempat mengira jika para aktivis ini ditangkap ketika mereka tengah turun ke jalan. Tetapi novel ini mengungkapkan bahwa perjuangan para aktivis reformasi sebenarnya telah dimulai bertahun-tahun jauh sebelum 1998. Hal tersebut disampaikan melalui kisah tentang sepak terjang organisasi Winatra—organisasi pemuda progresif—yang sudah mempertanyakan kewarasan orde baru sejak awal tahun 1991.
Ada beberapa hal menarik dari narasi tentang Winatra dalam novel ini. Pertama, tidak semua anggota organisasi ini adalah pemuda-pemuda keras kepala dengan semangat perlawanan yang menggebu. Biru Laut misalnya digambarkan sebagai pemuda pemalu yang tak banyak bicara—generasi zaman sekarang menyebutnya “nerd”. Alex Perazon juga diceritakan sebagai lelaki asal Flores tetapi dengan tutur kata yang rapi dan santun. Sementara Daniel malah seorang anak mama yang bahkan geli melihat kecoa. Kedua, hampir tak ada narasi yang menempatkan para aktivis ini ketika tengah demo di jalan, berorasi, dan membakar massa. Laut Bercerita justru lebih banyak menarasikan tindakan yang dilakukan para aktivis dengan sembunyi-sembunyi, seperti memotokopi buku-buku kekirian—mulai dari Pramoedya Ananta Toer, Benedict Anderson, dan Ernesto Laclau, mengadvokasi kasus agraria di Blangguan, hingga keseharian mereka bermain petak umpet dengan intel. Dengan menghadirkan narasi tentang aktivis yang tak melulu heroik, Laut Bercerita nampaknya berusaha merekam kerja para aktivis sebagai kerja yang penuh resiko, panjang, dan sunyi.
Jika segmen pertama lebih kental dengan warna thriller, segmen kedua justru penuh dengan narasi yang dramatis. Asmara Jati yang menjadi narator dalam segmen ini dengan intens menarasikan perasaan kehilangan yang dialami keluarga korban penculikan.
Menariknya, rasa kehilangan tersebut dihadirkan melalui simbol-simbol sederhana yang justru mampu mewakili rasa kehilangan yang sangat dalam. Rasa kehilangan tak dihadirkan lewat air mata yang berderai-derai, tapi misalnya dengan satu meja makan dan satu piring yang kosong. Dalam beberapa fragmen, novel ini menghadirkan meja makan di rumah Asmara Jati yang selalu hadir dengan satu piring kosong di atasnya. Diceritakan bahwa kedua orang tua Asmara Jati sengaja membiarkan piring itu tetap berada di sana. Mereka selalu berpikir bahwa “siapa tahu Mas Laut pulang” dan bisa kembali makan bersama. Dalam konteks budaya Indonesia, meja makan memiliki posisi yang penting dalam kehidupan keluarga. Keluarga yang sempurna, konon, berawal dari meja makan yang sempurna pula. Yaitu meja makan yang tak hanya berisi makanan-makanan lezat, tapi juga dikelilingi anggota keluarga yang lengkap dan diiringi obrolan yang hangat. Tetapi dalam segmen kedua Laut Bercerita, adegan makan justru selalu dihadirkan dalam suasana dingin. Fragmen yang nampaknya sederhana ini, justru membuat saya memahami betapa pilu dan hancurnya perasaan keluarga korban penculikan. Bagi keluarga korban penculikan, keluarga yang sempurna sudah tak lagi ada. Kesempurnaan yang seharusnya mewujud dalam kebersamaan, sudah terenggut oleh ketidakjelasan kabar tentang keluarganya yang entah dimana. Piring yang kosong itu pun pada akhirnya justru tak menampakkan harapan, melainkan keputusasaan. Sehingga tepat apa yang dikatakan Asmara Jati, “ketidaktahuan dan kepastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan”.
Segmen kedua Laut Bercerita pada akhirnya memang tak melulu terpaku pada narasi tentang kehilangan. Pada bagian akhir, novel ini justru nampak mengajak kita untuk tak kehilangan harapan. Hal ini misalnya dinarasikan secara sekilas lewat fragmen pertemuan antara Asmara Jati dengan para Ibu dari Plaza de Mayo, Argentina. Saya menyukai fragmen ini sebab fragmen ini menyelipkan narasi bahwa ternyata aksi kamisan di Jakarta bukanlah satu-satunya aksi kamisan di dunia. Jauh di belahan Amerika Latin, tepatnya di Buenos Aires, Argentina, ada Ibu-ibu yang juga mempertanyakan nasib anak-anaknya yang dihilangkan negara. Mereka bahkan telah memulai aksi kamisan di depan Casa Rosada, Istana Presiden Argentina, sejak 1977. Fragmen ini seolah mengingatkan kita bahwa kita tidak sendirian dalam upaya terus-menerus menuntut keadilan.
Adanya model narasi yang berbeda antara segmen pertama dan segmen kedua menjadi poin lebih yang membuat novel setebal 389 halaman ini tetap enak dibaca. Hadirnya warna thriller dan drama yang sama-sama intens membuat kedua model narasi tersebut terasa saling melengkapi. Sayangnya, ada beberapa detil cerita yang bagi saya nampak mengganggu. Sebagai penikmat cerita cinta, saya selalu membaca dengan khusyuk fragmen-fragmen adegan percintaan. Tetapi adegan percintaan dalam novel ini sungguh tidak aduhai. Sebut saja bagaimana adegan Biru Laut dan Anjani berciuman. Adegan tersebut terjadi ketika Biru Laut terbangun di tengah malam dan belum menyikat gigi. Menurut saya, berciuman liar saat mulut masih bau terasi sungguh tak elok menggambarkan liarnya gairah cinta anak muda. Gejala adegan percintaan yang mengganggu ini sebenarnya kerap kita temui di karya-karya Leila. Dalam novel Pulang misalnya, saya juga terganggu dengan adegan bercinta Segara Alam dan Lintang Utara yang terjadi di tengah kecamuk reformasi—ketika orang-orang Tionghoa tengah dijarah, diperkosa, dan dibantai, kenapa mereka harus bercinta? Belum lagi dalam adegan tersebut, Lintang Utara diceritakan belum makan sejak pagi sampai malam. Alih-alih membayangkan adegan bercinta yang penuh gairah, saya justru membayangkan perut Lintang yang melilit dan kembung di tengah percumbuan yang lesu.
Tapi terlepas dari adanya adegan percintaan yang buruk, Laut Bercerita bagaimanapun merupakan karya yang penting dibaca, sebab novel ini adalah novel Indonesia pertama yang membahas isu penculikan aktivis ’98 secara mendalam. Secara politis, novel ini juga punya muatan ideologis yang kuat. Ia tak sekadar mengajak kita untuk menolak lupa, tapi juga mengajak kita memahami bahwa ada sosok-sosok yang berjuang di  jalan yang kejam, sunyi, dan panjang di balik kebebasan pers, demokratisasi, dan kehidupan multikultural yang hari ini kita rasakan. Laut Bercerita bagaimanapun membuat kita mengerti bahwa karena sosok-sosok itulah, reformasi tak layak disia-siakan.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ▼  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ▼  April (7)
      • [LIRIK] Lagu untuk Obi
      • putus baik-baik itu putus yang gimana mas? putus ...
      • [CERMIN] Teh dan Lalapan Sunda
      • [CERMIN] SGF, BUMDes, dan Saya
      • jangan merasa hidupmu paling menderita, nanti kamu...
      • Melawan Sistem Kerja seperti Manjhi
      • [RESENSI] Laut Bercerita: Mengisi Narasi di Balik ...
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018