[CERMIN] SGF, BUMDes, dan Saya


Sungai di depan kantor



Maret menandai terwujudnya resolusi utama saya di tahun 2018: mendapat pekerjaan tetap. Saya bahkan mendapat pekerjaan sesuai yang saya harapkan. Jauh-jauh hari, saya sudah bertekad tidak akan bekerja kecuali di pekerjaan yang berhubungan dengan Bahasa Prancis atau pekerjaan yang berhubungan dengan penelitian. Pada akhirnya saya mendapat pekerjaan yang kedua.

Saya bekerja di sebuah lembaga non-profit bernama Saemaul Globalization Foundation (selanjutnya ditulis SGF). Lembaga ini berasal dari Korea Selatan dan merupakan lembaga yang fokus pada bidang pengembangan desa berkelanjutan. Yayasan ini terinspirasi dari gerakan pembangunan desa atau gerakan Saemaul Undong yang dicetuskan oleh Presiden Korea Selatan Park Chung Hee sejak 1970. Gerakan yang memiliki tujuan membangun perekonomian negara dengan titik berangkat dari desa ini dianggap sebagai awal mula majunya Korea setelah menjalani masa-masa krisis pada dekade pra-70’an. Berangkat dari gerakan yang dianggap telah sukses diterapkan di negaranya, SGF kemudian mencoba menularkan gerakan ini ke negara-negara berkembang. Saat ini SGF telah memiliki puluhan kantor cabang yang tersebar di seantero Asia dan Afrika. Beberapa negara yang mendapat bantuan dari SGF selain Indonesia  adalah Vietnam, Myanmar, Kirgyztan, Rwanda, Pantai Gading, Tanzania, dll.

Saya sendiri bekerja menjadi staf peneliti dan pendamping desa di sini. Saya ditempatkan di Desa Tanjungwangi, Subang, Jawa Barat, dan ditugaskan untuk mengawal terbentuknya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) dengan membangun dua unit usaha yaitu Bank Sampah dan pabrik pengolahan pakan ikan. Maka, sehari-harinya saya harus mengamati, mencatat, merumuskan masalah, menyusun rekomendasi, dan melakukan berbagai hal yang berhubungan dengan dua bidang usaha tersebut.

Lalu, apa itu BUMDes?

Sebelum melanjutkan catatan ini, mungkin saya perlu menjelaskan sedikit tentang hal tersebut. Sebab, perihal BUMDes ini seharusnya bisa menjadi isu strategis yang patut dibicarakan siapa saja. Sayangnya, saya yakin bahwa saat ini kita bisa menghitung jari orang-orang yang paham atau sekadar pernah dengar istilah ini. Padahal, jika kita pernah berimajinasi untuk membangun negeri ini jadi lebih maju, mengurangi pengangguran, dan bisa memanfaatkan segala potensi alamnya dengan baik, saya kira BUMDes adalah jalan paling efektif untuk mewujudkannya.

Pernah dengar kata BUMN? Badan Usaha Milik Negara.

Jika BUMN adalah Badan Usaha Milik Negara, maka BUMD adalah Badan Usaha Milik Daerah, maka BUMDes adalah Badan Usaha Milik Desa.

Secara singkat, BUMDes merupakan unit ekonomi yang dimiliki oleh desa, bukan milik perseorangan. Unit ini bisa memiliki berbagai macam macam. Tapi setidaknya, ada dua hal penting yang perlu dicatat jika suatu desa ingin membangun BUMDes.

Pertama, badan usaha yang dibuat harus sesuai dengan potensi lokal yang dimiliki desa. Misalnya, desa yang berada di daerah pesisir lebih baik membuat pabrik pengolahan garam, sementara desa yang berada di daerah dataran tinggi bisa membuat bisnis kuliner kreatif dari sayuran.

Tak hanya terbatas pada usaha ekonomi berbasis sumber daya alam saja, BUMDes juga bisa berbentuk unit pengelolaan wisata. Misalkan saja desamu memiliki potensi berupa air terjun yang indah, maka desamu bisa menggunakan dana BUMDes untuk mengembangakan lokasi tersebut menjadi pariwisata alam.

Kedua, badan usaha yang dibuat sebaiknya tidak berpotensi mematikan usaha perseorangan. Poin kedua ini kerap luput diperhatikan banyak desa di Indonesia. Bentuk usaha yang paling kerap menjadi blunder adalah pembangunan mini market. Alih-alih memberikan kemakmuran bagi banyak warga—yang merupakan tujuan utama BUMDes—bentuk usaha macam ini justru membuat warung-warung rumahan jadi gulung tikar.

Lalu, berapa modal yang bisa dibutuhkan untuk membangun BUMDes? Jumlah dana ini sebenarnya tergantung sebesar apa usaha yang akan dibangun. Hanya saja, berdasarkan beberapa survey yang pernah saya lakukan, kebanyakan desa mengalokasikan 100 juta dari dana desa sebagai modal awal BUMDes.

Apakah membangun BUMDes mudah? Tentu tidak. Hal inilah yang sedikit banyak saya rasakan sejak awal kedatangan. Mulai dari perihal administrasi yang ribet, telatnya dana yang turun, hingga kecurigaan warga terhadap hal baru. Apalagi badan usaha yang kini tengah kami kembangkan adalah Bank Sampah, satu usaha yang sifatnya ekonomi tapi juga sosial. Kami dituntut untuk bisa mendapat keuntungan, tetapi sekaligus menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menjadikan desa bersih bebas sampah. Dobel-dobel kan kerjanya? Belum lagi membangun pabrik pakan ikan dari jerami. Saya yang tak punya dasar keilmuan tentang perikanan tentu harus benar-benar bekerja keras. Saya harus melakukan studi lapangan seperti survey bahan dan kandungan protein, potensi pasar, dan lain sebagainya yang tentu tidak akan butuh waktu sebentar.

Bagaimanapun, setahun ke depan adalah tantangan yang berat dan melelahkan. Tapi saya tahu bahwa saya harus melakukan pekerjaan ini dengan disiplin dan ulet. Sebab, dengan bekerja di sini, saya rasa saya akan punya bekal di masa depan: untuk jadi juragan rongsok atau tukang ternak lele.

Share:

0 komentar