[RESENSI] Laut Bercerita: Mengisi Narasi di Balik Reformasi



Ketika di akhir tahun 2015 Efek Rumah Kaca merilis lagu “Hilang”, kita bisa mendengar di pertengahan lagu tersebut 13 nama orang yang diculik dan dilenyapkan negara menjelang Reformasi 1998. Pada nama-nama yang disebut seturut abjad tersebut— mulai dari Dedy Hamdun hingga Wiji Tukul—, saya kira hanya ada satu-dua nama yang ‘akrab’ di telinga masyarakat Indonesia. 13 nama itu akan semakin asing bagi generasi seperti saya yang ketika peristiwa penculikan tersebut terjadi, masih berusia balita. Saya sendiri misalnya hanya mengenal Wiji Tukul, penyair yang gambarnya terpampang dimana-mana dengan sematan kata “lawan!” itu. Sementara, 12 nama lain—yang sebagian besarnya adalah mahasiswa—hampir tak pernah saya dengar. Perihal ini saya kira cukup pas untuk menggambarkan bahwa pengetahuan kita akan Reformasi dan segala sesuatu di baliknya masih sangatlah sedikit—seperti halnya 1/13 atau 7/100 atau 7 persen saja.
Sementara ingatan kita akan kasus tersebut semakin menipis, hingga detik ini masih ada keluarga korban penculikan yang sejak tahun 2003 rutin melakukan aksi Kamisan. Seminggu sekali, mereka dengan payung dan pakaian serba hitam selalu berdiri di depan Istana Negara, menuntut keadilan, mempertanyakan dimana orang yang mereka sayang, mengajak kita Menolak Lupa. Tapi sampai di sini, memori kolektif kita tentang para korban masih berhenti pada persoalan “siapa”. Kita mungkin mengenal nama Wiji Thukul atau beberapa aktivis lain, tapi di sisi lain pengetahuan kita tentang bagaimana liku terjal yang mereka hadapi masih sangatlah kabur. Di titik inilah, novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori hadir sebagai upaya untuk memperkaya narasi kita tentang kasus penculikan menjelang Reformasi 1998.
Laut Bercerita merupakan sebuah fiksi historis yang menceritakan kasus penculikan aktivis reformasi melalui dua segmen dalam dua sudut pandang. Segmen pertama dinarasikan oleh Biru Laut sebagai aktivis dan korban penculikan, sementara segmen kedua dinarasikan oleh Asmara Jati (adik kandung Biru Laut) sebagai keluarga dari korban penculikan.
Segmen pertama novel ini lebih mirip dengan novel thriller yang penuh dengan fragmen-fragmen gelap, suram, bahkan berdarah. Leila S. Chudori memang membuat riset panjang sebelum menulis novel ini. Ia sempat mewawancarai aktivis-aktivis yang pernah diculik seperti Nezar Patria, Mugiyanto Sipin, dan Budiman Sudjatmiko. Hasilnya, Leila pun dapat mendeskripsikan secara detil ragam kekejian aparat negara dalam menyiksa tahanannya—disetrum, ditidurkan di atas balok es, dimasukkan Semut Rangrang ke matanya. Segmen ini seperti hendak mengungkapkan bahwa negara tak pernah peduli soal kemanusiaan jika sudah urusan kekuasaan.
Segmen pertama novel ini juga menunjukkan bahwa kasus penculikan aktivis reformasi sebenarnya tidak sesederhana yang kita pikirkan. Selama ini mungkin kita mengira bahwa aktivis-aktivis yang diculik adalah mereka yang paling keras kepala dan hobi demo. Saya bahkan sempat mengira jika para aktivis ini ditangkap ketika mereka tengah turun ke jalan. Tetapi novel ini mengungkapkan bahwa perjuangan para aktivis reformasi sebenarnya telah dimulai bertahun-tahun jauh sebelum 1998. Hal tersebut disampaikan melalui kisah tentang sepak terjang organisasi Winatra—organisasi pemuda progresif—yang sudah mempertanyakan kewarasan orde baru sejak awal tahun 1991.
Ada beberapa hal menarik dari narasi tentang Winatra dalam novel ini. Pertama, tidak semua anggota organisasi ini adalah pemuda-pemuda keras kepala dengan semangat perlawanan yang menggebu. Biru Laut misalnya digambarkan sebagai pemuda pemalu yang tak banyak bicara—generasi zaman sekarang menyebutnya “nerd”. Alex Perazon juga diceritakan sebagai lelaki asal Flores tetapi dengan tutur kata yang rapi dan santun. Sementara Daniel malah seorang anak mama yang bahkan geli melihat kecoa. Kedua, hampir tak ada narasi yang menempatkan para aktivis ini ketika tengah demo di jalan, berorasi, dan membakar massa. Laut Bercerita justru lebih banyak menarasikan tindakan yang dilakukan para aktivis dengan sembunyi-sembunyi, seperti memotokopi buku-buku kekirian—mulai dari Pramoedya Ananta Toer, Benedict Anderson, dan Ernesto Laclau, mengadvokasi kasus agraria di Blangguan, hingga keseharian mereka bermain petak umpet dengan intel. Dengan menghadirkan narasi tentang aktivis yang tak melulu heroik, Laut Bercerita nampaknya berusaha merekam kerja para aktivis sebagai kerja yang penuh resiko, panjang, dan sunyi.
Jika segmen pertama lebih kental dengan warna thriller, segmen kedua justru penuh dengan narasi yang dramatis. Asmara Jati yang menjadi narator dalam segmen ini dengan intens menarasikan perasaan kehilangan yang dialami keluarga korban penculikan.
Menariknya, rasa kehilangan tersebut dihadirkan melalui simbol-simbol sederhana yang justru mampu mewakili rasa kehilangan yang sangat dalam. Rasa kehilangan tak dihadirkan lewat air mata yang berderai-derai, tapi misalnya dengan satu meja makan dan satu piring yang kosong. Dalam beberapa fragmen, novel ini menghadirkan meja makan di rumah Asmara Jati yang selalu hadir dengan satu piring kosong di atasnya. Diceritakan bahwa kedua orang tua Asmara Jati sengaja membiarkan piring itu tetap berada di sana. Mereka selalu berpikir bahwa “siapa tahu Mas Laut pulang” dan bisa kembali makan bersama. Dalam konteks budaya Indonesia, meja makan memiliki posisi yang penting dalam kehidupan keluarga. Keluarga yang sempurna, konon, berawal dari meja makan yang sempurna pula. Yaitu meja makan yang tak hanya berisi makanan-makanan lezat, tapi juga dikelilingi anggota keluarga yang lengkap dan diiringi obrolan yang hangat. Tetapi dalam segmen kedua Laut Bercerita, adegan makan justru selalu dihadirkan dalam suasana dingin. Fragmen yang nampaknya sederhana ini, justru membuat saya memahami betapa pilu dan hancurnya perasaan keluarga korban penculikan. Bagi keluarga korban penculikan, keluarga yang sempurna sudah tak lagi ada. Kesempurnaan yang seharusnya mewujud dalam kebersamaan, sudah terenggut oleh ketidakjelasan kabar tentang keluarganya yang entah dimana. Piring yang kosong itu pun pada akhirnya justru tak menampakkan harapan, melainkan keputusasaan. Sehingga tepat apa yang dikatakan Asmara Jati, “ketidaktahuan dan kepastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan”.
Segmen kedua Laut Bercerita pada akhirnya memang tak melulu terpaku pada narasi tentang kehilangan. Pada bagian akhir, novel ini justru nampak mengajak kita untuk tak kehilangan harapan. Hal ini misalnya dinarasikan secara sekilas lewat fragmen pertemuan antara Asmara Jati dengan para Ibu dari Plaza de Mayo, Argentina. Saya menyukai fragmen ini sebab fragmen ini menyelipkan narasi bahwa ternyata aksi kamisan di Jakarta bukanlah satu-satunya aksi kamisan di dunia. Jauh di belahan Amerika Latin, tepatnya di Buenos Aires, Argentina, ada Ibu-ibu yang juga mempertanyakan nasib anak-anaknya yang dihilangkan negara. Mereka bahkan telah memulai aksi kamisan di depan Casa Rosada, Istana Presiden Argentina, sejak 1977. Fragmen ini seolah mengingatkan kita bahwa kita tidak sendirian dalam upaya terus-menerus menuntut keadilan.
Adanya model narasi yang berbeda antara segmen pertama dan segmen kedua menjadi poin lebih yang membuat novel setebal 389 halaman ini tetap enak dibaca. Hadirnya warna thriller dan drama yang sama-sama intens membuat kedua model narasi tersebut terasa saling melengkapi. Sayangnya, ada beberapa detil cerita yang bagi saya nampak mengganggu. Sebagai penikmat cerita cinta, saya selalu membaca dengan khusyuk fragmen-fragmen adegan percintaan. Tetapi adegan percintaan dalam novel ini sungguh tidak aduhai. Sebut saja bagaimana adegan Biru Laut dan Anjani berciuman. Adegan tersebut terjadi ketika Biru Laut terbangun di tengah malam dan belum menyikat gigi. Menurut saya, berciuman liar saat mulut masih bau terasi sungguh tak elok menggambarkan liarnya gairah cinta anak muda. Gejala adegan percintaan yang mengganggu ini sebenarnya kerap kita temui di karya-karya Leila. Dalam novel Pulang misalnya, saya juga terganggu dengan adegan bercinta Segara Alam dan Lintang Utara yang terjadi di tengah kecamuk reformasi—ketika orang-orang Tionghoa tengah dijarah, diperkosa, dan dibantai, kenapa mereka harus bercinta? Belum lagi dalam adegan tersebut, Lintang Utara diceritakan belum makan sejak pagi sampai malam. Alih-alih membayangkan adegan bercinta yang penuh gairah, saya justru membayangkan perut Lintang yang melilit dan kembung di tengah percumbuan yang lesu.
Tapi terlepas dari adanya adegan percintaan yang buruk, Laut Bercerita bagaimanapun merupakan karya yang penting dibaca, sebab novel ini adalah novel Indonesia pertama yang membahas isu penculikan aktivis ’98 secara mendalam. Secara politis, novel ini juga punya muatan ideologis yang kuat. Ia tak sekadar mengajak kita untuk menolak lupa, tapi juga mengajak kita memahami bahwa ada sosok-sosok yang berjuang di  jalan yang kejam, sunyi, dan panjang di balik kebebasan pers, demokratisasi, dan kehidupan multikultural yang hari ini kita rasakan. Laut Bercerita bagaimanapun membuat kita mengerti bahwa karena sosok-sosok itulah, reformasi tak layak disia-siakan.

Share:

0 komentar