#NP: Semarangan - Serempet Gudal


Saya dan @hydeborah bepergian dua hari di kota Semarang, tidak dengan "Panduan Wisata Lengkap" dari google melainkan dgn modal screenshoot "Panduan Mengencangkan Perut di Kota Kami" yang ditulis Paman Yusi Avianto di whatsapp untuk Sabda Armandio.

Saya kira, saya memang tak butuh panduan wisata kota. Buat apa? Wong dia warga lokal.

Oh ternyata saya keliru. Jalan utama Semarang saja dia tak hafal dan kami harus dipandu aplikasi peta kemanapun mau pergi. Tak apa. Dia sudah mau menjadi sopir saya, dan kami beberapa kali hampir dihantam truk bersama. Manis sekali.

Lalu kami mulai menelusuri satu per satu isi panduan Paman Yusi.

Dimulai dari gulai sumsum kambing Warung 29 depan gereja Blenduk, nasi glewo koyor, lalu berburu wedang blung di Pecinan yang ternyata sudah gulung tikar dan membuat kami memesan jamu jun, jamu aneh yang ditaburi merica. Rasanya hangat, mantap, tapi sedikit pedas seperti chat yg hanya dibalas "Oh", "iya", atau "wkwk" (yg ketiga ini paling saya benci).

Kami tentu juga makan menu di luar panduan Paman Yusi. Dia memilih sarapan Soto Bangkong, sementara saya mengajaknya makan mangut manyung yang ternyata tak sedahsyat mangut beong Borobudur.

Dari sekian tempat makan yang kami datangi, makan gulai sumsum adalah yg paling biadab. Kami makan ganas seperti babi. Selama hampir setengah jam, kami sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak saling ngobrol, kecuali saling mendengar rapalan "Oh my God..." atau "Ya Allah... enake pol Ya Allah...".

Di tengah makan, ia membuat penemuan: tulang yang sumsumnya sudah dihisap dan tengahnya kopong, bisa dijadikan sedotan untuk minum kuah gulai.

Cerdas.

Tapi setelah itu saya selangkah lebih jenius: menemukan bahwa tulang yang masih berisi sumsum pun bisa dijadikan sedotan. Dengan hisapan yang sedikit lebih kuat, sumsum tulang akan terhisap sekalian dengan kuah-kuahnya. Sensasinya: transendental!

Kami juga jalan-jalan ke tempat wisata macam Sam Poo Kong, Lawang Sewu, Kota Lama, Masjid Agung, dan sebagainya. Namun yang paling berkesan adalah Pagoda Avalokitevara.

Di pagoda itu, kami bertemu dengan 3 dewa, lambang wedang congyang yang sebenarnya sama-sama ingin kami tenggak namun sepertinya tak bakal terjadi. Ya, dalam imajinasi kami, kami adalah dua bocah bergajulan yang ingin mabuk-mabukan. Tapi, didikan orang tua yang alim sejak kami kecil membuat kami tak pernah tenang tiap kali bicara soal dosa.

Tapi bukan 3 Dewa yang membuat Semarang begitu berkesan, melainkan satu pohon di Avalokitevara yang benar-benar indah.

Namanya pohon Bodhi dan pohon itu memancarkan aura yang sangat teduh. Pohon dengan daun berbentuk hati ini konon merupakan tempat kesempurnaan Budha Sidharta Gautama. Di sanalah, Budha mendapatkan pencerahan.

Di pohon Bodhi, orang-orang menuliskan doa di atas sehelai pita merah. Mereka menggantungkan harapannya dengan doa-doa yang begitu konkrit: semoga hutang-hutang terlunasi, semoga papa sembuh dari sakit, semoga mama merestui cinta kami, dan sebagainya.

Di bawah pohon yang damai itu, diam-diam saya juga memanjat doa. Dan doa itu juga konkrit sekali.

Share:

0 komentar