Apakah Saya Cina?

Tahun 1998, di akhir masa kepemimpinan Soeharto yang penuh kontroversi, terjadi sebuah tragedi pembantaian etnis tionghoa di Jakarta. Kasus pembunuhan, pemerkosaan wanita keturunan Tionghoa, dan penjarahan menjadi goresan kelam dalam sejarah negara ini. Kasus ini adalah pengalihan perhatian terencana agar masyarakat melupakan sejenak masalah kepemimpinan rezim Soeharto. Masyarakat yang saat itu sedang marah dan kesetanan tidak tahu harus menumpahkan kemarahan mereka kepada siapa. Akibatnya, diciptakanlah sebuah statement bahwa penyebab kemiskinan di Indonesia adalah para keturunan Tionghoa. Mereka berdagang dengan sebebas-bebasnya di negara ini, mereka menjadi kaya raya dan makmur, sedangkan warga Indonesia justru mengalami masalah dengan banyaknya jumlah pengangguran. Pada saat itu ribuan etnis Tionghoa menjadi korban, dan banyak diantaranya adalah mereka yang tidak mengetahui apa-apa.

Kasus 1998 sebenarnya bukanlah kasus pertama pembantaian etnis tionghoa di Indonesia. Rasisme ini telah lama diciptakan oleh kolonial Belanda pada abad 18, tepatnya di Batavia(sekarang Jakarta). Sejarah Indonesia mencatat bahwa kerusuhan anti Cina yang dibangkitkan oleh kolonial Belanda pada waktu itu adalah dengan politik “devide et empera” yang mengadu domba pribumi dengan imigran dari Cina. 

Saat itu, banyak sekali imigran dari Cina yang datang ke Indonesia. Awalnya, mereka hidup harmonis dan disukai oleh masyarakat Indonesia, karena mereka banyak mengajarkan ilmu berdagang ke masyarakat pribumi. Sayangnya, semakin hari jumlah imigran ini semakin banyak dan membuat Belanda khawatir kalau masyarakat pribumi justru akan lebih memiliki ketergantungan tinggi terhadap para imigran Cina. Maka, dijalankanlah politik “divide et impera”. Mereka mengatakan kepada masyarakat pribumi bahwa tingkat ekonomi masyarakat pribumi tak akan meningkat selama imigran Cina terus berdagang di Batavia. Akibatnya, pribumi tak lagi bisa menangkap sisi positiv tentang bagaimana cara imigran Cina dalam mengembangkan usahanya. Maka, timbul kecurigaan dimana-mana.

Disisi lain, kolonial Belanda justru memberlakukan pajak yang sangat tinggi kepada para imigran.Para imigran ini diperas habis-habisan. Akibatnya, banyak dari mereka yang menderita kelaparan dan menjadi pengangguran. Para pengangguran yang dianggap hanya memenuh-menuhi Batavia ini, lantas dideportasi ke Afrika oleh kolonial Belanda. Namun, terdengar kabar bahwa para imigran ini sebenarnya tidak pernah sampai di Afrika. Mereka yang telah dinaikkan ke kapal hanya dilemparkan ke laut ! Kabar itu menambah kecurigaan dari para imigran Cina terhadap kolonial Belanda, mereka sangat takut bahwa mereka akan menjadi korban yang selanjutnya. Kecurigaan dan ketakutan inilah yang membuat para imigran nekat merencanakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Maka timbullah beberapa pemberontakan dari para imigran Cina.

Mengetahui keadaan ini, kolonial justru memanfaatkannya untuk semakin menebarkan kebencian pada para imigran Cina. Disebarkan berita kepada masyarakat pribumi bahwa para imigran ini hendak melakukan pemberontakan dan sedang berusaha menguasai tanah mereka. Hal ini tentu menyulut kemarahan dari warga pribumi. Rasa benci terhadap para imigran inilah yang semakin memudahkan kolonial Belanda untuk membantai para imigran Cina. Dan pada akhirnya, terjadilah tragedi Kaliangke. Tragedi pembantaian puluhan ribu imigran Cina. Terjadi pembantaian besar-besaran, para wanita diperkosa dan kemudian dibunuh, para lelaki disunat paksa kemudian disiksa hingga tewas. Penjarahan juga tak terelakkan. Para jenazah yang telah dibunuh ini kemudian dilempar ke Kali Angke. Maka darah para korban pembantaian ini telah merubah warna dari Kali ini menjadi benar-benar merah dalam arti sebenarnya.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Saat ini tahun 2013 hampir selesai. Namun, rasisme masih juga ada. Hal paling miris adalah saat Ahok hendak menjadi wakil gubernur di Jakarta. Saat itu muncul jargon-jargon dari berbagai pihak, seperti “Ahok itu Cina, kristen pula !”, atau “saatnya kita dipimpin oleh orang pribumi”, atau yang lebih frontal “Ahok itu Cina, bagaimana kita bisa percaya nasionalismenya”. Bahkan dalam suatu acara debat di salah satu stasiun TV, pasangan Foke-Nara menyapa Ahok dengan “Haiyya”... Ini jelas hal yang sangat bodoh! Calon pemimpin Jakarta membawa rasisme dalam kampanyenya. Bagaimana bisa orang semacam ini dijadikan pemimpin? Apakah seorang pemimpin pantas menggunakan isu rasisme untuk membuat masyarakat mempercayainya? Kalau begini, hal ini sama saja dengan yang dilakukan kolonial Belanda pada abad 18 di Batavia. Bodoh sekali, kita ini dibodohi oleh penjajah. Miris jika calon pemimpin masih terjajah oleh cara pandang rasisme yang diciptakan para kolonial.

Mungkin kita perlu menelisik kembali mengenai rasisme ini. Penggunaan kata “pribumi” dan “non-pribumi”, atau penggunaan kata “Orang Indonesia” dan “Orang Cina”.

Kembali ke tahun 1998, saat terjadi penjarahan di Jakarta. Kala itu, sasaran para penjarah adalah toko-toko milik warga keturunan Tionghoa. Maka, penjarahan ini menimbulkan ketakutan luar biasa bagi para pemilik toko-toko saat itu. Agar toko mereka tidak dijarah maka tulisan “MILIK PRIBUMI” atau “PRIBUMI MUSLIM” banyak terpasang didepan toko-toko . Saat itu penggunaan kata “pribumi” seolah menunjukkan bahwa siapapun yang tidak berkulit kuning langsat, tidak bermata sipit, mereka adalah “pribumi”. Maka, siapapun yang berkulit kuning langsat, bermata sipit, mereka adalah “Non-Pribumi”, tak peduli jika mereka telah tinggal di Indonesia sejak mereka lahir, tak peduli jika mereka belajar pendidikan kewarganegaraan di sekolahnya, dan tak peduli jika mereka bahkan tak pernah tahu seperti apa negara Cina. 

Penggunaan kata “pribumi” ini telah memiliki perbedaan makna dengan jaman penjajahan. Saat itu, istilah penyebutan “pribumi” ditujukan kepada siapapun yang membela negara Indonesia. Tak peduli apakah dia keturunan Jawa, Arab, atau Tionghoa, mereka tetap disebut pribumi selama mereka masih mau melawan “non-pribumi” yang tidak lain adalah kolonial Belanda. Maka dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa siapapun yang mau berdedikasi untuk negara Indonesia, mereka adalah pribumi. Sedangkan mereka yang tidak peduli bahkan merusak negara ini, mereka lah para non-pribumi. Pribumi bukan didasarkan atas keturunan, atau fisiknya, pribumi adalah siapapun mereka yang mau membela buminya, bumi Indonesia. Lalu, siapakah Ahok? Ya, Ahok adalah pribumi. Soe Hok Gie, Yap Tiam Hien, Raden Patah adalah pribumi ! Kalau kalian ingin tahu seperti apa non-pribumi saat ini, maka lihatlah Gayus Tambunan, Nazarudin, atau Habib Riziek. Merekalah non-pribumi di jaman modern ini.

Sedangkan penyebutan siapa orang Indonesia, siapa orang Cina, mari kita telisik kembali. Kita perlu tahu peraturan yang telah diterapkan pemerintah sejak tahun 1946, bahwa siapapun yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia. Dari aturan ini sebenarnya sudah jelas, bahwa meskipun ada keturunan Tionghoa, mereka tetaplah warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Kita tidak bisa menyebut bahwa mereka yang nenek moyangnya berasal dari bangsa lain bukanlah orang Indonesia. Karena jika demikian, banyak sekali orang di negara ini yang bukan orang Indonesia. Perlu diingat, sejak ribuan tahun yang lalu, kita telah kedatangan orang-orang dari berbagai sudut di bumi, seperti orang dari Arab, Persia, India, atau Cina. Lantas, nenek moyang kita ini berasal dari bangsa lain juga. Melihat hal-hal ini, kita perlu merenungkan kembali tentang kebiasaan kita menanyakan identitas seseorang.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Masih ada hal-hal yang meresahkan bagi saya. Pemikiran stereotype atau memandang segala sesuatunya dengan hitam putih membuat saya tak habis pikir. Begitupun dengan cara pandang stereotype terhadap keturunan etnis Tionghoa. Kalimat “dasar cina!” sebagai bentuk umpatan adalah hal yang sangat absurd. Seperti pandangan bahwa semua orang Cina suka berdagang, apakah hanya orang Cina yang suka berdagang? Apa salahnya dengan berdagang? Bukankah sekarang orang-orang di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, mereka memimpikan dirinya menjadi pengusaha, yang berarti bahwa mereka juga ingin berdagang?

Lalu pemikiran bahwa keturunan Tionghoa ini pelit, suka menumpuk harta, dan kaya untuk diri mereka sendiri. Apakah pemikiran ini benar? Mungkin benar, karena saat ini sering kita jumpai orang-orang yang pelit dan suka menumpuk harta. Namun, apakah semuanya ini keturunan Cina? Bukankah banyak pula orang dari berbagai suku yang juga demikian?

Sebaiknya kita lebih dewasa dan sadar diri, bahwa bukan suku atau ras yang perlu kita maki, namun sikap buruk yang bisa muncul dari diri setiap manusia yang perlu kita hindari. Sekali lagi, rasisme adalah pembodohan yang diciptakan penjajah, maka jika masih ada rasisme di era sekarang, ini adalah duka. Duka tak hanya untuk keturunan Tionghoa, namun juga duka bagi Indonesia.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Masing-masing orang hidup di dunia ini dengan warna kehidupan yang beragam. Kata-kata adalah salah satu tinta yang memberi warna pada kehidupan mereka. Kata “tinju” mungkin adalah kata yang sangat mewarnai kehidupan Muhammad Ali, kata “arogan” mungkin adalah warna mencoloknya Farhat Abbas, :D ,atau kata “Blusukan” yang memberi arsiran warna pada seorang Jokowi. Warna-warna ini awalnya muncul dari dalam manusia itu sendiri, kemudian alam dan segala sesuatu yang ada di dunia ini bersatu padu untuk mempertegas warna itu.

Sejak masih kecil hingga sekarang saya berumur 19 tahun, kata “Cina” selalu mewarnai hidup saya. Mungkin alasan utamanya adalah mata saya yang sipit dan kulit yang kuning langsat. Dulu waktu masih kecil, saya marah setiap dipanggil Cina. Namun, semakin saya beranjak dewasa, saya semakin sadar bahwa tidak perlu mempermasalahkan hal ini. Bahkan ketika ada orang yang bertanya apakah saya ini keturunan Cina, saya akan menjawabnya dengan senang hati. “Mas ini keturunan Cina ya?”. Kemudian saya jawab, “Ayah saya punya marga Tan, dia dari keluarga Tionghoa. Sedang kakek dari ibu saya, beliau malah seorang perantau asli dari negara Cina yang mendapat istri seorang wanita Jawa(nenek buyut)".

Namun, cukup dengan perenungan=perenungan yang telah saya tuliskan di atas, sudah cukup jelas bagi saya untuk menjawab pertanyaan, "Apakah anda Cina?" , jawabannya "Saya INDONESIA. Ya sudah, INDONESIA saja" .


@aribagoez

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Inspired by :
Shindunata, Ernest Prakasa, Sammy Notaslimboy, Ahok, etc


Share:

0 komentar