Petani (Dari Lempuyangan sampai Kediri)

10 Januari 2014.
Alarm berbunyi tanda jam 3 pagi !!!

Cepat-cepat saya bergegas memaksakan tubuh ini untuk bangun. Tak sempat menyentuh hape, tak sempat melihat jam. Saya langsung mengambil handuk dan peralatan mandi, sampho, sabun, sabun bayi untuk muka, dan tentu saja sikat gigi. Eh, pasta gigi juga.

Bukan karena saya harus menyucikan badan sehingga saya harus mandi jam 3 pagi. Tetapi saya harus segera merasa segar, merasa siap untuk mengangkat tas carier yang berat dan guwede ini untuk menuju Kediri. Yeah, I’ll go there with my beloved koala, Ardhanariswari Marzuki.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kita sampai di stasiun Lempuyangan, Yogyakarta pukul setengah 5, sedangkan kereta Kahuripan yang akan kita pakai menuju Kediri dijadwalkan berangkat pukul 04.55 WIB.

Ah, iya. Terimakasih Bram dan Andre yang sempat nganter kita ke stasiun. Yang nunggu di stasiun sampai kereta berangkat. Kalian sahabat yang luar biasa, meskipun kita dipertemukan di kos yang bocor..bocor..bocor.. 

Beruntung masih sempat ambil foto bareng mereka.



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Butuh waktu sekitar 4,5 jam untuk perjalanan dari stasiun Lempuyangan ke stasiun Kediri. Tapi moment didalam kereta bareng Riris itu moment luar biasa.

Perjalanan bareng Riris itu selalu jadi perjalanan paling nyenengin. Dia nggak ngeluhan, mau diajak susah (selama yakin kalau setelahnya kita bakal seneng,haha), terus suka ngomongin hal-hal nggak penting.

Yang terakhir ini, ngomongin hal nggak penting, mungkin hobi kita sama, :D .

Jadi selama perjalanan, kita selalu lihat ada apa diluar jendela.

Sebagian besar yang kita lihat adalah hamparan sawah hijau yang sangat luas dan gunung-gunung yang ada di kanan dan kiri rel. 

Luar biasa indahnya. Ketika langit cerah, banyak awan putih yang mewujudkan dirinya dalam berbagai bentuk.  Kemudian angin bertiup dengan kencang sehingga padi-padi disana bergoyang dan bergerak, daunnya yang hijau kekuningan bergerak pasrah mengikuti arah angin, gerakan ribuan pohon padi itu begitu kompak, bebarengan. Tak pernah saya melihat flashmob seindah itu. Sekali-kali ada kawanan burung putih yang beterbangan diatas hamparan hijau itu, seolah mengucap selamat pagi pada para petani yang sedang amat bahagia melihat sawahnya siap panen.





Kemudian kita berfilosofi.

Seandainya ada bule ke Indonesia pasti mereka terheran-heran melihat keindahan seperti ini. 

Padahal cuma sawah. 

Iyalah, disana nggak ada pemandangan kayak gini.

Setiap tempat dengan pepohonan yang berbeda maka akan terlihat indah bagi kita.

Nah iya, makanya aku pingin ke luar negeri, atau belahan dunia lain. Aku pingin kesana. Bukan untuk mengagumi kehebatan negara itu, tapi pingin lihat pohon-pohon yang beda dengan yang ada disini.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Melihat hamparan sawah sepanjang perjalanan, membuat saya berpikir. Sepertinya sekarang ini kita kurang menghargai profesi petani.

Coba lihat dan perhatikan, jika kita naik kereta dan menemui petani sedang mengurus sawahnya, maka yang kita temui pasti Pak Tani dan bu Tani.

Maksudnya gini lo. Adanya Pak sama Bu. Hampir nggak ada Mas, Mbak. Mas Tani, Mbak Tani.

Apa benar jumlah petani di Indonesia saat ini semakin sedikit? Saya sih belum menganalisis. Tapi ya bisa jadi.

Padahal negara ini kan negara agraris? Nah kalau petani saja sepi peminat, njuk piye iki??

Petani. Profesi ini menurut saya pantas dihargai lebih. Bayangkan kalau nggak ada petani di Indonesia. Berapa juta orang yang akan kelaparan. Mungkin bisa kenyang juga. Kan orang Indonesia hobi makan makanan impor. Nggak begitu mahal kok.  Eh, beras juga impor ding.

Hanya saja, ketika semakin sedikit profesi petani di Indonesia. Kita tak sekedar harus mengimpor beras dari negeri yang lebih kecil dari Indonesia. Ada yang lebih buruk dari itu. 

Kehilangan petani berarti kehilangan pemandangan indah hamparan sawah di kanan kiri rel kereta api.

PARAH !! Gimana kalau gambar pemandangan kita nggak ada sawahnya? Cuma Gunung Kembar??? 

Naudzubillahmindzalik..........Mau jadi seperti apa generasi selanjutnya??

Mau jadi apa juga orang yang naik kereta api kalau sepanjang kanan kiri kereta yang dinaikinya itu hanya terlihat rumah-rumah besar. Sungai yang dipenuhi limbah. Dan asap pabrik yang membuat bumi semakin panas.

Ternyata manusia butuh warna hijau lebih dari warna merah atau biru.

Saatnya membunuh kebodohan dengan mulai tak mendewakan warna merah dan biru. Ngerti??  

HIJAU!!!

Ah sudahlah. Intinya saya sudah nggak mau seperti guru-guru saya di SMA yang meremehkan saya ketika masuk Sastra. “Kuliah Sastra?? Mau jadi apa??” . Sebaiknya kita nggak seperti mereka dengan berkata “Masuk pertanian?? Mau macul (nyangkul) ??”.

Share:

1 komentar