Menelusuri Jejak Ki Manthous #1

Campursari. Sejak kecil, saya sudah mendengarkan musik campursari. Sebagai anak desa yang tidak asing dengan suasana pasar, campursari adalah musik yang hampir setiap hari saya dengar. Maklum, hampir semua penjual kaset di pasar pasti selalu campursarinan. Begitupun ibu saya. Beliau selalu nyetel lagu-lagunya Ki Manthous setiap pagi. Biasanya sebelum saya berangkat sekolahSaya suka sekali musik ini. Menurut saya musiknya sangat enak dinikmati, bikin suasana adem, dan sangat kental nuansa pedesaannya.

Saat ini saya sedang kuliah semester 4 di Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Kuliah disini membuat saya lebih peka terhadap fenomena-fenomena budaya di sekitar kita. Dan disinilah mulai timbul kegelisahan-kegelisahan, yaitu mulai hilangnya rasa bangga masyarakat Indonesia, terutama yang anak muda, terhadap kebudayaan-kebudayaan milik bangsa sendiri.

Khusus untuk musik campursari, karena saya sangat menyukai musik ini, saya heran mengapa sangat jarang dari teman-teman saya yang mengaku suka campursarinan. Padahal musik ini musik asli Indonesia. Bahkan ternyata asli dari Gunungkidul, tempat yang tidak jauh dari kampus UGM. Di Desa Playen, Gunung Kidul lah, sang maestro campursari, telah lahir dan berhasil menciptakan genre baru yang belum pernah ada sebelumnya. Beliau adalah Manthous.



Ada yang tahu musik campursari? Mungkin saat ini tidak banyak anak muda yang tahu musik campursari. Apalagi musik campursari yang sebenar-benarnya. Campursari adalah genre musik yang dikembangkan oleh Manthous, seorang seniman dari Desa Playen, Gunungkidul. Manthous mencoba menggabungkan instrumen tradisional dengan instrumen modern, kemudian perpaduan antara instrumen-instrumen tersebut ia beri nama campursari.

Pada dekade 90an sampai awal tahun 2000, campursari sangat digemari oleh masyarakat Indonesia, khususnya yang di pulau Jawa. Lagu-lagu Manthous, diantaranya Gethuk, Kempling, Bengawan Sore, atau Tiwul Gunung Kidul, menjadi hits yang sangat terkenal dan diputar di radio-radio seluruh Indonesia.

Namun, sejak Manthous jatuh sakit di awal tahun 2000, jejak campursari Gunung Kidul seolah hilang. Apalagi setelah beliau meninggal dunia pada tahun 2012.

Dari masalah tersebut, saya bersama dua teman saya yaitu Hendy dan Adwi, melakukan sebuah penelitian berjudul “Menggali Potensi Musik Campursari sebagai Upaya Pengembangan Desa Wisata Campursari di Playen, Gunungkidul”.

Kami sudah memulai penelitian ini sejak awal April, dan Alhamdulillah penelitian ini mendapat dukungan dari Fakultas. Dalam proses penelitian, banyak fakta mengejutkan yang saya temukan di lapangan. Beberapa fakta tersebut adalah :

-Campursari bukan sekedar lagu dengan lirik bahasa Jawa.
-Instrumen campursari sudah ada pakemnya, dan tidak sembarang instrumen.
-Lagunya Didi Kempot bukan lagu campurasi.

Jadi, sebenarnya hampir 99% masyarakat Indonesia belum tahu apa musik campursari sesungguhnya !

Ingin tahu penjelasannya?

Nah.. Di blog ini saya akan menuliskan cerita-cerita perjalanan kami dalam menelusuri jejak campursari asli, yaitu campursari Gunungkidul. Banyak yang akan saya tuliskan, mulai dari apa itu campursari, sejarah campursari, atau keadaan musik campursari dulu dan sekarang.

Semoga tulisan-tulisan saya nanti bisa bermanfaat untuk seluruh masyarakat. Semoga kita semua jadi tahu, bahwa kita punya aset budaya yang sangat berharga, musik tradisional yang asli diciptakan dari kreativitas luar biasa orang Indonesia, yaitu Campursari.

Tapi sebelum saya menuliskan terlalu banyak hal, saya kasih dulu link youtube untuk lagu campursarinya Ki Manthous.


Silahkan dengarkan >>> Manthous Nyidam Sari

Share:

0 komentar