Ngerti Karepe

Suatu hari saya curhat dengan teman saya, “Koran ning mading Maskam UGM, judule “Suara Islam”. Ngakune islam tapi blas ra islami. Menurutmu nek koran nganti nulis “Geliat Kaum Minoritas di Indonesia”, “Jokowi antek Hokian”,”Ahok kafir kristen”, dan sebagainya kuwi Islami ra?”

“Pantes ra tulisan ngono kuwi nek dipasang ning Masjid UGM, Masjid Kampus Kerakyatan? Islam kuwi Rahmatan lil Ngalamin.”

Belum menanggapi isi curhatan saya, teman saya bilang “Weh ! Yang benar itu Rahmatan lil‘Alamin, bukan lil Ngalamin.”.

“Halah, -_- , yo intine kuwi lah, Islam rahmat untuk semesta, bukan cuma untuk Islam tok“ saya sedikit jengkel.

Tapi dia membalas “Yo nggak gitu, gimana kamu mau meyakinkan orang tentang pendapatmu kalau tulisanmu aja salah. Harus hati-hati lo kalau nulis atau ngomong. Kalau maknanya berubah, bisa aja malah ada orang yang mendebatmu, apalagi kalau dia perfeksionis banget.”.

“Iyo, iyo, maturnuwun, -_-.” Saya malas berdebat.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Belajar dari cerpen diatas (anggap saja cerpen). Jangan jadi orang yang perfeksionis banget ya teman-teman.

Kalau mau perfeksionis ya perfeksionis yang bijaksana lah. Menanggapinya  “oh.. nek kowe ngomong Rahmatan lil Ngalamin, karepmu Rahmatan lil ‘Alamin. Iyo to le?”

Diluar kata-kata, selalu ada makna.

Banyaklah belajar. Banyaklah membaca dunia. Jangan kaku. Jangan tekstual.

Ngertio karepe.

Yang lebih penting dari perfeksionis adalah “ngerti karepe”.

Perfeksionis cenderung nyalahake, “ngerti karepe” cenderung mbenerake.

Lebih nyenengke mana? Salah dibenerake, atau salah disalahake??

Share:

0 komentar