bagus panuntun

berubah!

Dengan segala niat baik untuk membuat FIB lebih baik pula, lebih rame, lebih srawung, saya memutuskan untuk menjadi calon Hokage LEM FIB UGM 2015 (Untuk FIB, Hokage kok lebih pantas ya daripada Presiden. Lebih pas lagi Ketua RT,hehe).

Pemira kali ini ada dua calon. Yaitu saya dan Ibnu (Sastra Arab 2012). Saya harap semua berpartisipasi dalam ritual tahunan FIB ini. Untuk itu, monggo saya unggah visi misi dan program kerja yang telah saya susun. Mosok yo milih tapi nggak tau alasannya kenapa. Semoga dengan poster visi misi dan proker yang saya unggah di bawah ini, bisa dijadikan pertimbangan untuk memilih siapa Hokage LEM FIB selanjutnya. Yang jelas, coba kenali dulu track recordnya, lalu pelajari visi misi dan prokernya.

Jika saya mendapat amanah untuk menjadi Hokage LEM FIB 2015, maka Kabinet yang akan saya bentuk akan bernama Kabinet Holopis Kuntul Baris. Holopis Kuntul Baris artinya bekerja bareng-bareng untuk mewujudkan hal yang besar. Monggo dicek (gambar bisa dizoom), semoga bermanfaat:

Tulisan ini sebenarnya saya tulis pada hari Minggu, tanggal 21. Sayangnya kemarin saya masih di kampung, sehingga belum bisa mengunggah tulisan ini ke blog. Maklum, saya tinggal di desa yang jaraknya sekitar 10 km dari warnet terdekat. Hehe.

Sebelumnya perkenalkan, nama saya Ari Bagus Panuntun, dan panggilan saya Bagus. Saat ini saya kuliah jurusan sastra Prancis 2012. Asli Wonosobo, Jawa Tengah.

Pada kesempatan kali ini, saya ingin menuliskan beberapa hal yang kemudian membuat saya memilih untuk mencalonkan diri sebagai Hokage Lembaga Eksekutif Mahasiswa FIB UGM.

Saya akan bercerita dulu tentang LEM. Saya telah bergabung dengan LEM sejak semester awal saya kuliah. Saat itu LEM masih dipimpin mbak Pipit, dan saat itu saya sangat salut pada beliau karena sebagai seorang wanita, dia berani memimpin FIB yang begitu beragam.

Tahun berikutnya saat kemudian Mbak Pipit turun dan digantikan oleh Bang Jack, saya juga masih ikut LEM dan saat itu dipercaya menjadi wakil menteri divisi Minat dan Bakat LEM. Saat itu saya membantu Mas Arya (Sasindo 2010) di divisi Mikat dan Alhamdulillah waktu satu tahun bekerja bersama Mas Arya dan Bang Jack terasa sangat menyenangkan dan saya banyak mendapatkan pelajaran dari sana. Mulai dari Etnika Fest yang sangat keren, Sekoteng yang cukup ramai (terutama pas stand up night), sampai event terakhir Mikat yaitu Inaugurasi 2013 “Zaman Cilik” yang menyuguhkan 11 penampilan hebat dari 11 jurusan.

Kirab Inaugurasi 2013
Sekoteng

Bagaimanapun bekerja di LEM sangat menyenangkan. Dan sampai Mas Ahsan menjadi ketua LEM 2014 pun saya masih terdaftar resmi sebagai anggota LEM. Akan tetapi tahun 2014 ini saya tidak begitu aktif seperti tahun sebelumnya. Ada dua alasan. Yang pertama saya lebih sibuk mengurus FIBER (FIB English Ranger) yang saat itu saya dirikan bersama teman-teman pada tanggal 17 September 2013 dan saya diamanahi menjadi ketua pertama di English Club ini. Sebagai organisasi yang masih baru dan belum mapan, saya pun konsen memimpin BSO baru ini dengan harapan bahwa FIBER tidak bubar dan masih bisa melaksanakan program-program kerjanya. Puji Tuhan, Sang Hyang Wenang, bantuan teman-teman membuat FIBER tetap melaksanakan diskusi bahasa Inggris mingguan hingga saat ini. Selain sangat konsen di FIBER, saya juga aktif di HMSP(Himpunan Mahasiswa Studi Prancis) dan pada tahun 2014 ini saya dipercaya menjadi ketua acara tahunan HMSP, C’est La Fête. Berkat acara CLF, akhirnya saya bisa menonton secara live band yang sangat unik dan keren, yaitu The Trees and the Wild.

Kesibukan saya di FIBER dan HMSP membuat saya tidak begitu aktif d LEM. Alhasil banyak hal yang ingin saya wujudkan di LEM, tapi sampai hari ini masih hanya sekedar angan-angan. Beberapa hal tersebut antara lain keiginan untuk mengadakan diskusi rutin antar mahasiswa S1 di FIB. Diskusi, kegiatan yang kami lakukan setiap satu minggu sekali di FIBER menurut saya adalah hal yang sangat berguna jika kita biasa melakukannya. Diskusi harusnya menjadi budaya yang selalu kita lakukan setiap hari. Tidakkah kita lelah dengan kultur debat yang hampir saban hari kita lihat sedangkan diskusi menjadi hal yang sangat jarang kita temui? Tujuan debat adalah mencari winner, yang otomatis juga menemukan looser. Berbeda dengan diskusi. Dengan diskusi kita mencoba bersama menemukan win-win solution. Maka sudah seharusnya kultur diskusi harus dibangkitkan di Fakultas Ilmu Budaya ini, untuk melatih akal dan hati kita agar makin peka dan kritis, juga solutif.

Sebenarnya, saya sudah pernah menyarankan hal ini kepada menteri Kajian Keilmuan. Hanya saja, mungkin karena alasan tertentu, diskusi rutin ini belum bisa dilaksanakan sampai sekarang. Untuk itu, pada tahun 2015 saya ingin agar FIB memiliki diskusi rutin yang bisa diikuti oleh siapapun masyarakat Fakultas Ilmu Budaya.

Diskusi yang sampai hari ini masih direncanakan bernama LKS atau Lesehan Kamis Sore ini (namanya sangat tidak filosofis) akan mengundang pembicara dari mahasiswa-mahasiswa S1. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar kita sebagai mahasiswa S1 juga bisa berbagi ilmu dan berbagi pengalaman, karena selama ini diskusi-diskusi rutin di FIB seperti Weekly Forum hanya memberi kesempatan kepada mereka yang sudah benar-benar ahli untuk menjadi pembicara. Sedangkan sebenarnya, kami mahasiswa S1 juga banyak yang melakukan penelitian, dan sampai hari ini hasilnya masih belum diketahui oleh banyak orang, kecuali mungkin dosen pembimbingnya. Untuk itu, diskusi ini akan mengundang banyak teman-teman S1 FIB untuk  membicarakan isu-isu kebudayaan atau sastra. Lalu, biarlah acara ini jadi seperti acara Kenduri Cinta nya Cak Nun, dimana diskusi berjalan dengan santai, lesehan, dan siapapun boleh saling menanggapi.

Selain keresahan tentang kultur diskusi di FIB yang sangat kering. Saya juga merasa bahwa selama ini acara-acara HMJ BSO masih belum terkordinasi dengan baik. Hal-hal seperti banyaknya acara yang saling bertabrakan (contohnya tahun ini acara C’est La Fête Sastra Prancis bertabrakan dengan acara History Week Sejarah) adalah bukti bahwa banyak hal yang telat didiskusikan antar HMJ BSO. Untuk itu, menurut saya forum FIB kedepannya harus membicarakan secepat mungkin mengenai waktu pelaksanaan event-event besar di FIB. Kalau bisa di bulan Februari (nanti deadline akan kita bahas bersama), semua HMJ BSO sudah bisa memberi kepastian kapan acara besar mereka akan dilaksanakan. Untuk itu, LEM perlu menjadi penengah dalam forum ini. Toh dengan semakin cepatnya tanggal acara besar ditentukan, teman-teman HMJ BSO juga bisa memiliki waktu yang lebih lama dalam mempersiapkan acaranya. Dan jadinya, acara-acara kita akan semakin terkonsep dan tidak ada lagi event buang-buang duit di akhir tahun. :)

Satu masalah lagi yang perlu bersama-sama kita bahas sambil ngopi bersama adalah mengapa selama ini acara HMJ BSO masih belum dirasa sebagai “acaranya FIB”. Sebagian besar anak FIB belum tahu pengajian KMIB dilaksanakan hari apa, masih banyak pula yang belum tahu apakah kita bisa ikut diskusi filmnya Saskine atau tidak. Hal ini karena sifat eksklusifitas masing-masing HMJ BSO masih terlalu besar. Maka, kedepannya, LEM akan mencatat setiap acara rutin HMJ BSO, dan ikut mempublikasikan acara ini baik melalui web LEM, twitter @apakabarFIB, atau media-media sosial lain. Program-program rutin yang jumlahnya cukup banyak ini akan dipromosikan dengan satu hashtag yaitu #FIBWangun. Program ini boleh saja jika dikatakan sebagai program pencitraan, #FIBWangun memang akan dijadikan tagline yang disebarkan oleh LEM di berbagai ruang publik. Akan tetapi, lebih dari sekedar pencitraan, wacana #FIBWangun dibentuk agar masyarakat FIB merasa bahwa setiap event yang ada di FIB adalah event milik bersama. Pengajian bukan milik KMIB saja, tapi milik FIB. Rabu Senja bukan acara Lincak saja, tapi FIB. Berikutnya akan muncul kebanggaan dari seluruh masyarakat FIB bahwa Fakultas yang sering dipandang sebelah mata ini ternyata adalah fakultas yang sangat produktif dalam berkarya.

By: Anasniamz

Berikutnya, sebagian besar program kerja yang ingin saya kerjakan adalah melanjutkan program-program kerja dari LEM tahun-tahun sebelumnya. Sebagian besar program tersebut bisa dibaca di poster yang saya unggah di bawah. Beberapa program kerja baru juga sudah disiapkan seperti A24, JAB, dan LKS yang sudah dijelaskan diatas.

Ah iya, ingin menambahkan, saat ini FIB punya puluhan mading, tapi sayangnya mading berisi poster promosi acara lebih banyak daripada karya mahasiswanya. Untuk itu, saya ingin LEM 2015 mengurus sistem mading agar lebih teratur. Di tempat-tempat strategis seperti Plaza Gedung C, Jembatan Budaya, akan dipasang mading yang berisi khusus karya-karya mahasiswa FIB. Media akan memiliki email khusus yang siap menerima tulisan-tulisan, atau artikel-artikel dari mahasiswa FIB. Semoga dengan begini, kultur menulis di FIB akan semakin membaik.
  
Selebihnya, untuk kepastian program kerja apa saja yang akan dilaksanakan, baru akan dipastikan setelah kabinet terbentuk. Ya, jika Sang Hyang Wenang meridhoi saya untuk menjadi Hokage LEM FIB 2015.


Saya masih SD ketika Ibu saya setiap pagi nyetel album Iwan Fals dari VCD bajakan. Setiap jam 6 pagi, sambil bersiap untuk berangkat bersama teman, saya mendengar lagu-lagu musisi legenda ini. Lagu-lagu dari yang paling romantis seperti “Yang Terlupakan”, “Kemesraan”, sampai lagu-lagu dengan lirik kiri mentok seperti "Bento" atau "Wakil rakyat", semuanya adalah sarapan saya sedari kecil.

Dari lagu-lagu tersebut, ada beberapa lagu yang maknanya baru mulai saya pahami setelah saya duduk di bangku SMA. Beberapa lagu itu adalah “Berkacalah Jakarta” dan “Jangan bicara”. 2 lagi ini adalah dua lagu favorit saya. Bahkan, saat kelas 5 SD saya menyanyikan lagu “Jangan bicara” di depan kelas. Entah bagaimana ekspresi guru saya waktu itu, saya lupa.

Sebentar, mungkin lagu ini tidak se-terkenal Bento, tetapi mari sejenak kita dengarkan lagunya yang  intronya asik karena diselingi suara harmonika khas Iwan Fals. Dan tentunya yang lebih penting, mari kita baca liriknya:

Jangan bicara soal idealisme
Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita
Atau berapa dahsyatnya
Ancaman yang membuat kita terpaksa onani


Jangan bicara soal nasionalisme
Mari bicara tentang kita yang lupa warna bendera sendiri
Atau tentang kita yang buta
Bisul tumbuh subur
Di ujung hidung yang memang tak mancung

Jangan perdebatkan soal keadilan
Sebab keadilan bukan untuk diperdebatkan
Jangan cerita soal kemakmuran
Sebab kemakmuran hanya untuk anjing si tuan polan

Lihat di sana... Si urip meratap
Di teras marmer direktur murtad
Lihat di sana... Si icih sedih
Di ranjang empuk waktu majikannya menindih

Lihat di sana.... Parade penganggur
Yang tampak murung di tepi kubur

Lihat di sana....... Antrian pencuri
Yang timbul sebab nasi nya dicuri
Jangan bicara soal runtuhnya moral
Mari bicara tentang harga diri yang tak ada arti
Atau tentang tanggung jawab
Yang kini dianggap sepi



Gila. 1 kata yang langsung terlintas ketika mengingat Iwan Fals menciptakan lagu ini pada tahun 1984. Tahun ketika rezim Soeharto sedang mapan-mapannya. Bahkan ketika orang-orang Indonesia sedang dinina bobokkan dengan slogan “PEMBANGUNAN”, Iwan Fals sudah sadar bahwa ada praktik kesewenang-wenangan rezim orba.

Lirik “Bisul tumbuh subur diujung hidung yang memang tak mancung” adalah tamparan keras terhadap rezim orba. Metafor yang sangat keras terhadap negara yang sudah tak makmur, banyak masalah pula. Tentu bukan hal biasa lirik semacam ini muncul ditengah keadaan industri musik Indonesia yang saat itu sedang dimabukkan lirik-lirik lagu cinta. Lagu “Jangan bicara” muncul sebagai embrio lirik-lirik gila yang lain. Terbukti setelah itu muncul lagu-lagu lain yang malahan makin gila, seperti Bento, Surat buat wakil rakyat, dan Tikus-tikus kantor.

Lagu ini adalah bentuk kemuakkan dari Iwan Fals, yang muak, semuak-muaknya terhadap pemimpin-pemimpin yang saban hari bicara idealisme, nasionalisme, keadilan, membela rakyat kecil, tapi seminggu sekali rapat di kafe-kafe mewah. Hmm.. keadaan yang masih relevan hingga saat ini.

Satu lirik lagi yang paling mengena dan pedas rasanya adalah “Jangan bicara tentang runtuhnya moral”. Ah, rasanya bicara moral memang selalu melelahkan, apalagi sudah bentukannya jaman orba, moral seseorang lebih dilihat dari penampilannya dahulu. Orang kaosan dianggap tidak sopan, termarjinalkan, sisa-sisa. Sedang untuk jadi orang yang “dianggap” sopan, bermoral baik, sebaiknya pakai baju yang rapi, berkerah, kalau bisa sepatunya disemir yang bersih. Pemikiran seperti ini tidak hanya tertanam kuat di pikiran masyarakat umum, tapi bahkan di kalangan kaum-kaum terdidik. Aneh, bahkan hingga hari ini betapa mudahnya orang menilai “kami” yang kaosan ini sebagai orang yang semaunya sendiri. Bukankah kepedulian sosial sama sekali tak bisa dilihat dari cara seseorang berpakaian? Ah, sudahlah... Bicara moral di negeri ini memang melelahkan. Maklum kalau Iwan Fals sampai berkata demikian.

Suara Iwan Fals bukan hanya sekedar enak didengar. Suaranya dengan lantang juga mengangkat kembali wacana-wacana yang telah jauh dipinggirkan oleh rezim. Ia bicara tentang si Urip, ia bicara tentang si Icih. Mereka adalah cerminan kaum-kaum pinggiran yang sering dianggap sampah dan tak ada gunanya. Padahal ketidakgunaan mereka bukanlah sebab pilihannya sendiri, tapi jelas karena si direktur murtad dan sang majikan yang nyata bangsat.


Ingin rasanya bisa mengkaji lebih jauh tentang musisi kawakan Indonesia ini. Ya, meskipun sekarang hanya lantang bicara “Mantap !” di iklan Top Coffee. Biarlah, toh saya tetap menilai ia sebagai maestro, pembela nasib kaum-kaum terpinggirkan. Biarlah si Legend kini menikmati kopi, sedangkan aku dan kamu, mari diskusi sambil mendengarkan karya-karyanya.

link youtube lagu Jangan Bicara:
https://www.youtube.com/watch?v=L42rPPV6Y0o
Saya lupa siapa saja nama mereka. Padahal saya sempat baca nama yang terpampang jelas di seragam kebanggannya. Sempat saya ingat-ingat pula.

Mereka polisi. Tapi seperti kebanyakan polisi yang saya temui. Mereka tidak bisa seperti polisi tidur yang bisa mencegah tabrakan motor di jalan-jalan kampung. Atau setidaknya seperti jangkrik polisi (serius, ini salah satu jenis jangkrik), yang bisa menghibur anak-anak kecil. Paling tidak memberi anak-anak semangat untuk menggunakan waktu senggangnya pergi ke hutan. Berburu jangkrik. Kalau dapat jlitheng atau jlabrang, mari buatkan kandang. Kalau jangkrik polisi, kita kasih untuk burung di kandang.

Ini cerita tentang pengalaman saya setengah tahun lalu di Jakarta. Kisah yang terlalu banyak pisuhan.

Bukan kisah cinta kok.

Kejadiannya terjadi di stasiun Pasar Senen. Bulan puasa waktu saya baru saja dipalak preman pasar senen jam dua pagi. Kejadiannya sudah saya tuliskan disini >>> SIKAAAK KABEEH ! #Part1

Beberapa menit setelah kami berhasil mencapai kesepakatan dengan preman itu. Ya, saya dan Lukman harus memberikan 240.000 rupiah untuk uang rokok mereka. Haha.. Kami segera kembali ke stasiun Pasar Senen. Masuk lagi ke area stasiun. Waktu itu masih ramai sekali didalam stasiun.  Banyak orang mau pulang kampung yang terpaksa tidur di dalam agar tak ketinggalan kereta yang berangkat pagi-pagi.

Tujuan kami masuk ke stasiun adalah untuk melaporkan kejadian tadi pada polisi. Berharap polisi bisa melakukan patroli lebih ketat. Jujur saja, kami takut kalau kejadian yang menimpa kami juga terjadi dengan orang lain.

Setelah masuk kembali di pintu stasiun, ternyata benar, ada 2 orang polisi yang sedang berjaga di situ. Segera kami menemuinya.

“Pak, kami mau laporan pak. Kami baru saja dipalak preman. Tempatnya nggak jauh dari sini pak. Sekitar 200 meter dikiri stasiun”. Saya pun mencoba menceritakan kejadiannya, bahwa saat itu saya dan Lukman niatnya mau cari makan. Eh, di tengah jalan malah dicegat preman. Dan sebenarnya disitu juga banyak orang. Mungkin ada lebih dari 50 tukang ojek dan tukang taksi yang berada sekitar 100 meter dari TKP. Tapi yang terjadi mereka malah diam saja.

Berharap polisi akan mencatat tentang cerita yang sudah saya sampaikan. Ia malah menjawab dengan nada yang sengak “Nah kalian, di dalam stasiun ada yang jual makanan juga. Malah keluar. Kalian goblok sih. Tolol.”

Astaghfirullahhaladzim (setelah di tulisan pertama banyak misuh, saiki ganti style)... Ya iya sih pak, kami goblok sebenarnya. Belum tahu sama sekali seperti apa Jakarta, dan kami jalan-jalan dengan santainya jam dua pagi. Tapi kowe polisi, cuk ! Yo nggak ngono lo...

Polisi yang katanya melayani, malah nyalah-nyalahke korban tok. Wis korban lo masalahe... Asu ra? :D (misuh meneh)

Skip..

Disitu ada dua polisi waktu itu. Ketika polisi yang pertama malah hanya bisa menyalah-nyalahkan. Satu polisi yang lain malah menyuruh kami masuk ke mobilnya. Saya pun masuk ke mobil polisi untuk pertama kalinya. Didalam kami diintrogasi tentang banyak hal. Mau apa di Jakarta, dimana peristiwanya, apa motivasi ikut OSIS (yang ini tidak).

Kami pun diajak keliling area sekitar pasar Senen, dan disuruh bilang kepada dua polisi tersebut barangkali melihat preman yang tadi malak kami. Tapi ditengah perjalanan ada fakta mengejutkan yang kami lihat. Seorang yang sepertinya sopir taxi, atau ojek, atau entahlah, tiba-tiba minta mobil polisi berhenti. Lelaki yang kira-kira umurnya hampir 40 ini tiba-tiba menyerahkan satu genggam uang pada polisi yang satu mobil dengan saya.

Disini ada beberapa keanehan. Yang pertama, uang yang diserahkan kepada polisi tadi tidak ditata dengan rapi. Asal tumpuk, dan disitu ada uang seratusan ribu, dua puluhan, seribuan, lima ribuan, yang asal dicampur, tanpa ada penataan yang rapi sedikitpun.  Kelihatan bahwa uang tadi tidak sempat dihitung terlebih dahulu.

Keanehan yang kedua adalah, setelah polisi menerima uang tersebut, ia hanya bilang terimakasih tanpa memberikan kwitansi, nota, atau catatan apapun kepada bapak-bapak tadi.

Pertanyaannya.... Uang apakah itu??? Darimana asalnya? Untuk apa diberikan pada polisi??

Jancuk atau tidak???

Bro... Jakarta parah bro. Kalau lembaga yang bertugas menjaga ketertiban saja sudah tidak bisa dipercaya, nah kita mau minta tolong ke siapa??

Setelah melihat kejadian tadi, sebenarnya kami sangat khawatir kalau-kalau malah terjadi apa-apa. Patroli yang saya harap bisa membuat saya lebih tenang, ternyata membuat saya kepikiran yang tidak-tidak.

Ah, untunglah pikiran yang saya saat itu cukup lebay tidak kejadian. Kami bisa kembali dengan selamat meskipun patroli yang dilakukan polisi tadi sungguh ra niat. Kami Cuma diajak menyusuri area sekitar 500 meter di sekitar stasiun. Ya jelas premannya sudah pergi. Ya jelas kita nggak menemukan preman-preman lain yang berkeliaran.

Begitu sampai didepan pintu stasiun, kami langsung minta diturunkan. Tanpa ada catatan laporan, tanpa ada pelayanan yang jelas, polisi tadi segera pergi dengan uang yang tadi diterimanya...

Kanggo kanca-kanca, cah-cah, sing luwih ngati-ati yo nek lungo dolan nang Jakarta. Parah bro..

Semoga cerita pengalaman ini rada berguna untuk kita semua..


Ati-ati. Ada preman berseragam. Sikaaakkk...
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ▼  2014 (68)
    • ▼  Desember (4)
      • Visi, Misi, Program Kerja Calon Hokage
      • Calon Hokage?
      • Jangan Bicara - Iwan Fals
      • SIKAAAK KABEEH ! #Part2, Preman Berseragam
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018