Jangan Bicara - Iwan Fals

Saya masih SD ketika Ibu saya setiap pagi nyetel album Iwan Fals dari VCD bajakan. Setiap jam 6 pagi, sambil bersiap untuk berangkat bersama teman, saya mendengar lagu-lagu musisi legenda ini. Lagu-lagu dari yang paling romantis seperti “Yang Terlupakan”, “Kemesraan”, sampai lagu-lagu dengan lirik kiri mentok seperti "Bento" atau "Wakil rakyat", semuanya adalah sarapan saya sedari kecil.

Dari lagu-lagu tersebut, ada beberapa lagu yang maknanya baru mulai saya pahami setelah saya duduk di bangku SMA. Beberapa lagu itu adalah “Berkacalah Jakarta” dan “Jangan bicara”. 2 lagi ini adalah dua lagu favorit saya. Bahkan, saat kelas 5 SD saya menyanyikan lagu “Jangan bicara” di depan kelas. Entah bagaimana ekspresi guru saya waktu itu, saya lupa.

Sebentar, mungkin lagu ini tidak se-terkenal Bento, tetapi mari sejenak kita dengarkan lagunya yang  intronya asik karena diselingi suara harmonika khas Iwan Fals. Dan tentunya yang lebih penting, mari kita baca liriknya:

Jangan bicara soal idealisme
Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita
Atau berapa dahsyatnya
Ancaman yang membuat kita terpaksa onani


Jangan bicara soal nasionalisme
Mari bicara tentang kita yang lupa warna bendera sendiri
Atau tentang kita yang buta
Bisul tumbuh subur
Di ujung hidung yang memang tak mancung

Jangan perdebatkan soal keadilan
Sebab keadilan bukan untuk diperdebatkan
Jangan cerita soal kemakmuran
Sebab kemakmuran hanya untuk anjing si tuan polan

Lihat di sana... Si urip meratap
Di teras marmer direktur murtad
Lihat di sana... Si icih sedih
Di ranjang empuk waktu majikannya menindih

Lihat di sana.... Parade penganggur
Yang tampak murung di tepi kubur

Lihat di sana....... Antrian pencuri
Yang timbul sebab nasi nya dicuri
Jangan bicara soal runtuhnya moral
Mari bicara tentang harga diri yang tak ada arti
Atau tentang tanggung jawab
Yang kini dianggap sepi



Gila. 1 kata yang langsung terlintas ketika mengingat Iwan Fals menciptakan lagu ini pada tahun 1984. Tahun ketika rezim Soeharto sedang mapan-mapannya. Bahkan ketika orang-orang Indonesia sedang dinina bobokkan dengan slogan “PEMBANGUNAN”, Iwan Fals sudah sadar bahwa ada praktik kesewenang-wenangan rezim orba.

Lirik “Bisul tumbuh subur diujung hidung yang memang tak mancung” adalah tamparan keras terhadap rezim orba. Metafor yang sangat keras terhadap negara yang sudah tak makmur, banyak masalah pula. Tentu bukan hal biasa lirik semacam ini muncul ditengah keadaan industri musik Indonesia yang saat itu sedang dimabukkan lirik-lirik lagu cinta. Lagu “Jangan bicara” muncul sebagai embrio lirik-lirik gila yang lain. Terbukti setelah itu muncul lagu-lagu lain yang malahan makin gila, seperti Bento, Surat buat wakil rakyat, dan Tikus-tikus kantor.

Lagu ini adalah bentuk kemuakkan dari Iwan Fals, yang muak, semuak-muaknya terhadap pemimpin-pemimpin yang saban hari bicara idealisme, nasionalisme, keadilan, membela rakyat kecil, tapi seminggu sekali rapat di kafe-kafe mewah. Hmm.. keadaan yang masih relevan hingga saat ini.

Satu lirik lagi yang paling mengena dan pedas rasanya adalah “Jangan bicara tentang runtuhnya moral”. Ah, rasanya bicara moral memang selalu melelahkan, apalagi sudah bentukannya jaman orba, moral seseorang lebih dilihat dari penampilannya dahulu. Orang kaosan dianggap tidak sopan, termarjinalkan, sisa-sisa. Sedang untuk jadi orang yang “dianggap” sopan, bermoral baik, sebaiknya pakai baju yang rapi, berkerah, kalau bisa sepatunya disemir yang bersih. Pemikiran seperti ini tidak hanya tertanam kuat di pikiran masyarakat umum, tapi bahkan di kalangan kaum-kaum terdidik. Aneh, bahkan hingga hari ini betapa mudahnya orang menilai “kami” yang kaosan ini sebagai orang yang semaunya sendiri. Bukankah kepedulian sosial sama sekali tak bisa dilihat dari cara seseorang berpakaian? Ah, sudahlah... Bicara moral di negeri ini memang melelahkan. Maklum kalau Iwan Fals sampai berkata demikian.

Suara Iwan Fals bukan hanya sekedar enak didengar. Suaranya dengan lantang juga mengangkat kembali wacana-wacana yang telah jauh dipinggirkan oleh rezim. Ia bicara tentang si Urip, ia bicara tentang si Icih. Mereka adalah cerminan kaum-kaum pinggiran yang sering dianggap sampah dan tak ada gunanya. Padahal ketidakgunaan mereka bukanlah sebab pilihannya sendiri, tapi jelas karena si direktur murtad dan sang majikan yang nyata bangsat.


Ingin rasanya bisa mengkaji lebih jauh tentang musisi kawakan Indonesia ini. Ya, meskipun sekarang hanya lantang bicara “Mantap !” di iklan Top Coffee. Biarlah, toh saya tetap menilai ia sebagai maestro, pembela nasib kaum-kaum terpinggirkan. Biarlah si Legend kini menikmati kopi, sedangkan aku dan kamu, mari diskusi sambil mendengarkan karya-karyanya.

link youtube lagu Jangan Bicara:

Share:

0 komentar