bagus panuntun

berubah!



Wahai mahasiswa Indonesia, marilah sejenak kita menjauh dari ke-ndakik-an weltanschauung-nya Marcel Proust yang amat personal sampai materialisme historisnya Karl Marx yang amat sosyel. Kemudian marilah kita mempertanyakan hal-hal yang saban hari terjadi di sekitar kita. Ia nampak normal. Ia nampak lazim. Ia begitu mudah dimafhumi. Ia begitu biasa dimaklumkan. Namun sebenarnya, ia patut segera dipertanyakan.

Yaitu: Mengapa kita dilarang sendalan dan kaosan saat kuliah? 

Ini patut dipertanyakan. Karena jika dilihat secara fungsional, sebenarnya sendalan dan kaosan jauh lebih nyaman untuk belajar dibandingkan sepaton dan kemejan.

Sepatu...

Haduuuh... Apa urgensinya sehingga untuk sekedar mendengar dosen menyampaikan materi di kelas saja, kita musti memakainya?

Kita dapat memahami misalnya: kita sedang praktikum di lab kimia yang penuh kalium klorat, asam sulfat, benzena, merkuri, sianida, kamsahamnida, cici paramida.

Kita dapat mendukungnya pula seumpama: kita sedang observasi di Pegunungan Karst Kendheng, Merapi, Alas Purwo, Aokigahara, Catacombe, Kilimanjaro.

Ini jelas ada guna, fungsi, lagi urgensinya. Lha kalau di dalam kelas?

Belum lagi kalau pas musim penghujan, lalu tanah becek: sepatu kita klebus, jemek, badheg, apa ya juga kudu dipakai?

Ini akan lebih panjang lagi  misalnya kita bahas: betapa mahalnya harga sepasang sepatu bagi sebagian kalangan. Jangankan merk Ad*das, wong sepatu merk Adibas seperti punya Kukuh Luthfi saja harganya bisa sampai 300 ribuan.

Kenapa nggak diijinkan pakai Swallow aja sech???

Lalu kemeja utawa hem...

Haduuuh... Jangankan yang berbahan flanel atau jeans. Wong yang bahannya katun aja rasanya tetap gerah kok. Apalagi kalau konteksnya di kota yang syumuk dan berdebu ini. Sesungguhnya tubuh kita sangat butuh sandhang yang adem, santai, juga ringkes...

Sungguh saya tak dapat memahami mengapa kuliah harus berkerah. Apa fungsi yang syarat makna dari kerah baju yang rasanya mencekik itu???

Lalu mereka menjawab, "Berkemeja dan Bersepatu itu Lebih Sopan dan Santun",

Waduh...

Benarkah ada korelasi antara berkemeja dan  bersepatu dengan sikap sopan santun? Seperti halnya time is money, putih itu cantik, kiri itu atheis, atau kanan itu Dani Alves, saya kira bersepatu dan berkemeja itu sopan dan santun hanyalah satu dari sekian fitnah-fitnah modernisme.

Seriyes !

Kalau tidak percaya, lihat saja sosok Patwa Alhuda, atau Alangga Dwi K. Lihat bagaimana OOTD mereka setiap kali pergi ngampus. Gayanya reged: kaosan, sendalan, murah, nyilih lagi. Tapi ya jangan tanya, betapa dalam hal sopan santun mereka itu sangat-sangat makrifat ! Mereka khatam perihal membedakan ngoko, krama, sampai krama inggil. Mereka bahkan telah mampu memaknai sikap sopan santun tidak berdasarkan pada angka-angka semata: “yang lebih tua, yang lebih dihormati”, “yang lebih sugih, yang lebih di inggih-inggih”. Tidak. Jelas tidak. Mereka telah melampaui itu. Mereka paham cara menghormati yang sesuai patrapnya. Pada Cak Bawor yang kaum kromo, mereka begitu tabik. Karena biarpun kromo, Cak Bawor adalah guru kehidupan. Kejujurannya, kesabarannya, konsistensinya dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan sangat-sangat layak untuk dihormati. Berbeda dengan sikap mereka pada Bude Karita. Kendati Bude Karita adalah sosok "setinggi" rektor, namun karena kebiasaannya yang kecu lagi nggedebus, mereka tidak sudi bertele-tele menjaga sikap. Mereka memilih untuk melawan ! Mendongkel ! Atau setidaknya: Memisuhi ! Sesungguhnya, sopan santun bagi mereka adalah cara menempatkan posisi seseorang sesuai pada hakikatnya.

Coba bandingkan sosok Alhuda dan Alangga dengan.....

Ah...Barangkali argumen ini klasik. Aku tahu. Kamu tahu. Mereka tahu. Kita semua bukan tempe.

Misalnya sosok koruptor atau ilmuwan antek korporasi. Baju mereka selalu rapi. Gaya mereka selalu necis. Berkerah. Berdasi lagi ! Tapi soal sopan santun? Mana dong mereka. Hobinya aja: nyolong hak orang.

Lha... Atas semua hal yang menunjukkan kalau sepatu dan kemeja sungguh ramashook dipertautkan dengan akal budi manusia, mengapa dunia kampus yang ilmiah sainstifique ini tetep ngotot  melarang kita bersendal dan berkaos?

Mbok tenan bersepatu dan berkemeja itu syumuk !

Bukan apa-apa yak, saya jadi curiga aja. Jangan-jangan, aturan "suci" ini lah yang membuat mahasiswa era sekarang lebih sering protes minta AC dibanding kritis terhadap, misalnya, keberpihakan kampus terhadap isu reklamasi, agraria, atau pembakaran hutan?

Isu fasilitas kampus kan emang ngetop banget dah jaman sekarang. Lihat noh kasus beberapa bulan lalu, bagaimana tak sedikit mahasiswa salah satu fakultas di Universitas Negeri Gadjah Mada (UNGM), menjadikan alasan kekurangan fasilitas sebagai pembenaran atas pilihan kampusnya menerima dana CSR dari perusahaan pembakar hutan.

Ini kan 'asu'.

Apalagi kalau fasilitas yang diminta kok: AC. Adek minta AC !

Ya makin 'asu' !

Apalagi kalau dia mahasiswa universitas negeri. Bayangkeun. Kurang beruntung apa coba hidupnya? Dari sekitar 113 juta penduduk Indonesia usia 15-24 tahun, terhitung hanya 1,8 juta orang saja yang mendapat kesempatan untuk kuliah Negeri. Atau kalau dipersentasekan, maka hanya ada 1,6% saja pemuda yang berkesempatan mengenal ilmu-ilmu perkuliahan yang maha(l) dahsyat itu. 

Dan kita masih saja ribut soal AC. Betapa snob dan pongahnya kita kaum 1,6 % ini !

Maka dari itu kawan-kawanku, guna mencari bersama jalan keluar atas permasalahan yang selit belit ini. Saya mengajak seluruh sivitas akademika untuk menyerukeun: Tolak Pelarangan Sendal dan Kaos di Lingkungan Kampus !

Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia memilih bersandhang satu: sandhang yang adem, santai, juga ringkes.

Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia memilih berfesyen satu: fesyen yang tidak membeda-bedakan. Tidak membeda-bedakan siapa yang belajar di dunya perkuliahan, dengan siapa yang belajar di pasar-pasar, di trotoar-trotoar, di terminal-terminal, juga di remang-remang angkringan. 

*manifesto di atas silahkeun lanjutkeun sendiri..

Bapak ibu, mas mbak, encang encing, nyak babe yang terhormat. Ha mbok yakin, jika mahasiswa boleh bersendal dan berkaos, mahasiswa akan jadi lebih adaptif terhadap hawa (rakyat) negeri tropis.

Percayalah, jika sifat adaptif tersebut dapat kita wujudkan bersama-sama, maka pendidikan di negeri ini akan jauh-jauh lebih merata. Bagaimana bisa?

Tentu saja bisa.

Karena dengan sifat adaptif tersebut, kelak mahasiswa-mahasiswi kita  tidak akan lagi protes minta AC. Kelak kampus-kampus kita tidak akan lagi identik dengan gedung-gedung mewah berfasilitaskan benda-benda mahal. Dan kelak dana fasilitas pendidikan dapat dialihkan kepada hal yang lebih dibutuhkan: Bangun Universitas Negeri sebanyak-banyaknya !


Ya minimal 1 Kabupaten, 1 Universitas lah...

Harusnya sih bisa.

Jika saat ini bangunan-bangunan SMA bisa jadi tempat belajar dengan model yang sederhana, maka di masa depan bangunan universitas pun bisa dibuat serupa ! Suatu hari mahasiswa-mahasiswi kita akan paham, bahwa pendidikan tinggi bukan dinilai dari bentuk gedung-gedungnya, namun dari esensi ilmu-ilmunya.


Semua itu bisa terwujud dimulai dari satu pemahaman: Sendal dan Kaos adalah Koentji !


Yogyakarta, 14 November 2016



Renungan Subuh




Hari ini adalah hari terakhir bulan ramadhan.

Pukul setengah tujuh, ketika gelap baru saja diretakkan oleh sinar matahari, saya sudah otw mlipir ke konter hendak bermandi rindu via selular dengan Mama di Jawa, juga Ririshwari. Di tengah perjalanan, tepatnya di depan SD Negeri Anggai, tak diduga saya berpapasan dengan Mama Nas, Mama Piaranya Tabah dan Devina.

"Eee... mama... Pagi mama !!!", sapa saya. Setiap bersua dengannya saya bertekad untuk tak boleh kalah lantang darinya.

“Hei Bagus !”, balasnya memekakkan telinga, “Nanti habis lohor (dzuhur) jangan lupa makan e, odo ka !”.

“Ee..gila mama nas !”, jawab saya sporadis. 

“Guyon opo to iki? Kok ra mutu tenan”, ucap saya dalam batin.

Namun Mama Nas justru berteriak “Eee.. tara percaya ! Berani ini anak bilang mama gila? Mama sekedhok (jitak) nanti !”.

“Ampong mamaaa.....”, saya mbladus lari.


 -------------------------------------------------------------------

Malam nanti sudah malam takbiran. Agenda takbir menyambut satu syawal akan diisi dengan acara pawai obor. Karena ingin peserta berjumlah banyak, seluruh panitia Pesta Lebaran berisiatif pergi ke kebun untuk mencari bambu sebanyak-banyaknya. Bambu-bambu ini akan kami buat jadi ratusan obor, supaya bocah-bocah Anggai tidak perlu repot membuatnya sendiri.

Namun apa mau dikata. Sedang saya masih bertelfon ria dan baru menuju titik kumpul pada angka 9, kawan-kawan yang lain sudah berangkat dahulu ke kebun setengah jam sebelumnya.

Aduh Mama ! Tara enak ini saya pe hati !

Beruntunglah ketika saya sedang merasa kotor dan penuh dosa, saya berpapasan dengan anak-anak Getrok (Gelisah Tanpa Rokok) yang juga tak ikut ke kebun sebab bangun kesiangan: Bang Al, Bang Dir, Wawan, Atho, Emon, Awi juga Ollo.

Sementara sebenarnya saya sudah merasa malas menyusul, ternyata perasaan ini juga seia-sekata dengan mereka,

“Ah, malas. Dorang saja su cukup. Kita bakumpul saja di Wawan pe rumah, mari !", ajak Bang Al sambil nyengir.

Detik-detik berikutnya hampir saja jadi kala yang amat membosankan. Sepanjang siang, Atho menyanyikan lagu Ambon hits "se paleng bae" dengan khidmatnya. Namun betapa menawannya sebuah lagu, jika ia diiringi dengan gitar hijau sayur bersenar karat itu, katak pun jadi malas ikut bernyanyi.

Kebosanan yang terkutuk ini akhirnya cair juga setelah (lagi-lagi) Bang Al-Khadrin melempar sebuh pertanyaan,


"Eee.. menurut kalian bagaimana itu anak-anak 'Pembebasan' yang setiap hari bicara nasionalisme deng marxisme terus",

Pertanyaan tersebut tentu saja segera memanaskan lingkaran. Ia dengan lugas mengajak kami tukar pikiran perihal anak-anak organisasi Pembebasan, organisasi eksternal kampus beriodelogi Marxis yang kabarnya menjadi organisasi paling aktif progressif se-antero Ternate, khususnya dalam mengawal isu-isu nasional. Saya sendiri baru mendengar nama 'Pembebasan' setelah saya tiba di Anggai dan mengenal beberapa anggotanya: Arman Sambari, Idhar Halqi, dan Ale. Ya selama ini kita yang di Jogja kan lebih akrab mendengar nama GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) atau FMN (Front Mahasiswa Nasional) sebagai organisasi eksternal kampus berhaluan kiri.

Tempo hari, Arman Sambari pernah bercerita sedikit hal tentang organisasinya, "Torang suka demo itu. Bakar-bakar ban. Hantam gerbang gedung Pemda. Supaya pemerintah dan borjuis sadar", terangnya. Yang kemudian saya kasih perbandingan padanya tentang Demonstrasi UGM 2 Mei, "Abang, kalau pakai bakar-bakar ban nanti susah ajak masa akar rumput. Jadi malas dorang". Namun Arman Sambari tetap kekeuh pada caranya, "Kalau di Timur, kalau tara keras malah tarada yang ikut".

Maka karena bakar-bakar ban sudah jadi hal lumrah, hal yang dipertanyakan oleh Bang Al-Khadrin pun bukan lagi tentang demonya.  Tapi kepada sangking progresifnya anak-anak 'Pembebasan', sehingga mau dimanapun  saja tak pernah mereka luput bicara Marxisme, Leninisme, Stalinisme, dan tentu saja: Bung Karno !

Dan siang ini Bang Al-Khadrin menambahkan "Dorang jauh-jauh bicara nasionalisme, kawal isu nasional - BBM, pendidikan, Jokowi - , atau Marxisme, Leninisme, apa saja lah itu. Tapi urus kampung sendiri malah kurang", keluhnya.

Tentu saja keluhan itu bersambut oleh jawaban satu anak pergerakan lain. Adalah Bang Dir, dedengkot PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia) Kota Ternate. Sosok Don Juan-nya Anggai. Sang pelantun kidung melayu yang  merebut hati gadis-gadis Sambiki, Anggai, sampai Airmangga. Progresif dalam bergerak, progresif dalam bercinta. Begitulah jalan hidupnya.

"Eee.. bagus kong. Kalau bukan torang yang peduli deng isu nasional, lalu siapa yang akan kawal demokrasi? Abdurrahman Wahid saja dari masih kuliah sudah peduli deng isu-isu nasional", tegasnya.

"Tapi kan ada langkahnya. Kalau ngana su kasih manfaat buat ngana pe desa, baru ngana boleh bicara nasionalisme, marxisme,  atau apalah itu. Bagaimana mau ubah negara, sedang urus desa sendiri saja tara bisa kong !", balas Bang Al

"Ee.. Harga sembako makin mahal, ngana pe UKT naik terus, pembangunan tara merata.  Kalau ngana tara hantam itu pusat, mau urus desa terus, kapan ada perubahan kong?"

Adu argumen antara Bang Al dan Bang Dir semakin intens. Sementara yang lain memilih khidmat mendengarkan, tiba-tiba Atho menaruh gitarnya dan bersuara,

"Coba lah itu tanya mahasiswa UGM", ujarnya, singkat.

"Gembel.........", mbatinku.


Kedatangan saya ke Obi ini sebenarnya adalah untuk mencari ketenangan, khususnya dari hingar bingar obrolan politik, apalagi soal pergerakan - Setelah 2 Mei yang melelahkan. 

Kok yo aku ketemu cah ngenean meneh to???

Namun sebagai lelaki cingkimin yang sebenarnya juga ingin bersuara, tentu saja saya tak mau sekedar bungkam.


"Lebih mantap dua-duanya bang ! Peduli desa, peduli bangsa !". *Yomaaaan... diplomatis sekali...

"Intinya peduli urusan desa, tapi jangan abai deng urusan isme-isme. Seperti Gus Mus lah, kyai idola Bang Dir itu", dan kemudian saya sedikit bercerita tentang jejak hidup Gus Mus, juga Mas Al-Fayyadl, sosok-sosok yang tidak berpuas dengan kemampuannya berbicara dan menulis saja, namun juga kongkrit ikut menemani rakyat-rakyat desa berjuang. Misalnya ketika mereka mengawal Isu Rembang.

Dialog semakin gayeng ketika kami mbleber bicara soal keberpihakan, dualisme kaum yang ditindas dan yang menindas, yang dimiskinkan dan memiskinan, hingga perkara pada siapa kita harus berpihak.

"Pertama, tong harus peduli deng tong pe desa. Kedua, paham juga Marxisme, Islamisme. Sebab kalau tak paham keduanya, bisa jadi tong peduli, tapi tong keliru dalam berpihak. Mau Islam, mau Marxisme, keduanya mengajarkan tong berpihak deng yang lemah, bukan sebaliknya. Ini penting sekali, tong bisa peduli, tapi tong belum tentu tepat dalam berpihak", ujar salah seorang udik dari tengah lingkaran. Dan selanjutnya pun, semakin banyak juvenil yang masih terus menanggapi pendapat satu sama lain.


Pinter-pinter amat nih orang, buset dah, padahal tinggalnya di desa terpencil begini. Sungguh hebat kawan-kawan baru aing ini. Kalah jauh aing sama mereka.


Dan kalau mengingat betapa di awal keberangkatan, saya berpikir bahwa tidak akan ada obrolan ideologis semacam ini di Obi, aih, betapa pongahnya saya !

"Allahuakbar....Allahuakbar....."
"Allahuakbar....Allahuakbar....."
"Asyhadu Allailla Hailallah...."

Tiba-tiba terdengar adzan Dzuhur berkumandang. Alhasil, diskusi yang penuh kejutan ini pun harus berhenti sejenak. 

Disinilah satu hal aneh terjadi.....

Bang Dir, sosok dedengkot PMII, pembaca setia karya-karya Gus Dur dan Gus Mus, juga Bang Al, sosok kanda senior HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang tak pernah absen jama'ah di Masjid itu, secara hampir berbarengan mengambil sebungkus rokok dari sakunya. Sejenak kemudian, diambilnya matches dan disulutlah Surya dan Sampoerna-nya sambil melafal "Alhamdulillah...",

Sambil tertegun tak percaya, saya pun membatin "Woh, gendheng aktivis Islam iki".

Ajaibnya, beberapa detik kemudian bukan hanya Bang Dir dan Bang Al saja yang melakukannya. Emon, Atho, Ollo, Awi, Wawan, dan semua yang ada di depan saya kini mulai nglempus menghisap rokoknya masing-masing.

"Bagus, masuhi ka ! (Bagus, Merokok mari !)", tawar Bang Dir sambil meluncurkan sebungkus Surya-nya lewat lantai.

Seumur hidup sejak mbrojol sampai usia saya mulai meninggalkan fase remaja, baru kali ini saya melihat ada buka bersama yang dilakukan pasca adzan Dzuhur. Semacam "puasa latihan" kalau orang Jawa menyebutnya. Namun kali ini serempak dilakukan orang-orang yang sudah dewasa.

"Desa gendheeeeeng", saya tak habis pikir melihat pemuda-pemuda akhil baligh yang mbatal bareng itu.

Dan di teriknya siang pada pamungkas bulan ramadhan ini, saya mendadak merasa amat bloon dan makin kagak ngerti saat Mama-nya Wawan muncul dari balik dapur dan memanggil saya,

"Bagus..... Batal puasa dulu......".

  -----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jauh hari sebelum kami memulai langkah meninggalkan Jogja, teman-teman KKN tahun lalu sudah mengingatkan kalau jangan macam-macam saat puasa di Obi.

Dape, salah satu kawan nasrani saya sempat bercerita kalau  tahun lalu ia hampir diamuk orang karena merokok di pelabuhan saat bulan Ramadhan.

Apalagi tahun ini kami tinggal di Anggai, desa berpenduduk 100 persen muslim yang bukan main disiplinnya dalam menjaga stabilitas umat Islam berpuasa. Itulah mengapa selama ramadhan ini kami tak pernah melihat ada warga yang menghisap Samsoe, memakan goropa, apalagi menenggak Cap Tikus di teras rumah. Barang siapa tertangkap mata sedang makan dan minum di siang ramadhan, maka tak segan warga akan memberinya laplap (amuk !).

Kecuali di hari terakhir...

Masyarakat Anggai punya keyakinan bahwa di hari akhir bulan ramadhan kita sudah boleh berbuka setelah jam 1 siang. 

Jadi, apa yang dikatakan Mama Nas tadi pagi sungguh bukan sebuah kebohongan, apalagi kegilaan - ah, siang ini konsep kegilaan jadi begitu ambigu !

Ketika sejenak kemudian saya masuk ke dapur rumah Mama Nyora - Wawan pe Mama, akhirnya saya sempatkan untuk bertanya soal ini,

"Ee, mama, bagaimana bisa ada batal bersama jam 1 siang?",

"Ya bisa... Kan tadi malam kita sudah zakat fitrah. Lalu tadi malam Bagus lihat sidang hilal tarada?",

"Iyo, 
lihat mama...", jawab saya.

Sebelum melanjutkan jawabnya, Mama Nyora lalu mengambil beberapa potong kue tart berlapis selai nanas. Dihidangkannya pula segelas teh hangat manis berbau melati, dan pamungkasnya: diambilnya sepiring dan sebuah loyang berisi penuh olahan ikan laut kuah santan. Ia taruh itu semua di depan mata kepala saya.

"Jadi begini Bagus", lanjut Mama Nyora. "Kalau Bagus lihat sidang hilal tadi malam, posisi bulan kan masih minus 1 derajat (menuju syawal) kan? Nah ini siang posisi bulan pasti su lebih dari satu derajat kan? 3 derajat mungkin? Berarti sekarang su masuk bulan lebaran... Su boleh Bagus makan...", jelas Mama Nyora seyakin-yakinnya, sambil menambahkan,

"Bagus mau Sampoerna mint apa merah?"

"Yang merah, mama !", jawab saya masih dengan wajah tertegun.

Dan sungguh, ini merupakan buka puasa terindah dalam hidup saya: Dilakukan bersama-sama, kala matahari sedang tinggi-tingginya, diawali Allahuma Lakasumtu juga, dan poin intinya: semua merasa(kan) kesakralannya.

Realisme magis !

5 Juni 2016

Dokumentasi Hari ini:

Tak ada dokumentasi di rumah Wawan,
hanya ada foto saat Malam Takbiran







Jam 9 pagi, Tim Baraobira sudah berada di satu tempat. Kami berdiri di atas tanah pemakaman desa Anggai untuk mengadakan bersih kubur. Cuaca pagi ini sangat cerah dengan langit warna biru terang. Namun tanah kuburan masih tetap basah. Dari sela daun-daun kamboja cahaya matahari yang mulai panas menembus rerantingnya yang berjarak. Bunga-bunga putih bersih ini nampaknya sangat menikmati saat bermandi matahari. Pagi adalah waktu menghirup kehidupan setelah kesetiaan akan malam yang berbau kematian.

Barangkali tak ada melankoli yang biasanya kami rasakan ketika berdiri di atas tanah kubur. Kalaupun ada, ini lebih tentang rindunya kami pada kampung halaman. Bersih kubur mengingatkan bahwa dua hari ke depan kami akan merayakan lebaran di kampung orang.

Saya pikir mereka berbeda. Pemuda-pemuda Anggai yang saat ini sedang bersama kami, yang beberapa di antaranya saya kenal – Bang Al, Bang Yamin, Bang Komar, Idhar Halqi, Ale. Mereka sedang berdiri di tanah tempat para saudara mereka diistirahatkan sampai masanya. Kalau bukan kesedihan awan kelabu, setidaknya pasti tersirat rindu pada mereka yang sudah dulu menuju pada-Nya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rerumputan di area pemakaman sudah tinggi-tinggi sekali. Tim Baraobira dan pemuda Anggai segera mencabuti rumput-rumput liar itu. Para lelaki membawa parang dan pisau, sedang para perempuan membawa sapu dan pengki. Namun tak sedikit juga yang mencabut rumput dengan tangan kosong.

“Wah, padahal akeh suket lateng ki (Padahal banyak rumput lateng disini)”, pikir saya melihat sekeliling pemakaman yang dipenuhi rumput gatal ini. Tapi tak sampai sedetik kemudian saya berpikir lagi, “Halah, menthel. KKN kok wedi suket (Halah, genit. KKN kok takut rumput)”.

Kami mulai mencabuti rerumputan liar, tak lupa kami bersihkan pula nisan-nisan lembab yang ditumbuhi lumut-lumut gempal. Sembari melakukannya, saya mulai mengamati siapa saja mereka yang ada di sekeliling kami. Kebanyakan adalah wajah-wajah yang baru pertama kali saya lihat. Mereka ternyata anak-anak IPMA (Ikatan Pelajar Mahasiswa Anggai) yang baru saja pulang kampung dari tanah rantaunya. Menjelang lebaran, mereka sengaja pulang untuk bertemu handai taulannya.

Mereka bekerja bergerombol. Satu sama lain saling mengeluarkan candanya. Tak jarang terdengar tawa keras karena salah satunya menggoda yang lain dengan guyon internal. Barangkali candaan tentang mantan atau bribikan yang baru saja menikah. Entahlah. Sampai tiba-tiba Bang Komar memanggil kami untuk berkumpul,

“Hei, Ngoni semua bakumpul dulu kesini. Semua. Mahasiswa UGM deng mahasiswa Anggai”.

Tak perlu waktu lama, titah dari Ketua Pemuda yang gemar pakai kaos polos merah hati ini segera kami laksanakan. Kami segera merapat mencari tempat duduk yang nyaman, ada yang duduk di nisan, ada yang bersandar di pohon kamboja, ada yang pasrah lesehan saja di atas tanah.

“Hei. Ini bagaimana ini, yang anak UGM duduk deng mahasiswa UGM. Yang anak Anggai duduk deng mahasiswa Anggai”, buka Bang Komar sembari mengamati posisi duduk kami.

“Ah, enggak juga”, batin saya yang duduk tepat di samping Bang Komar. Meskipun memang, posisi duduk kami cenderung mengelompok. Terlihat jelas mana grup UGM mana grup Anggai. Sembari bersiap mendengar instruksi Bang Komar, saya pun mengamati wajah-wajah baru dari pemuda-pemuda Anggai. Kira-kira ada lebih dari 15 wajah yang baru kali ini saya tatap.

“Selamat pagi !", sapa Bang Komar, tegas. "Alhamdulillah kegiatan pagi ini yaitu agenda bersih kubur sudah selesai terlaksana. Namun, ada satu hal yang masih sangat saya sayangkan. Sebagai kepala pemuda, saya harus mengatakan hal ini”.

Bang Komar berhenti sejenak sambil menatap kami dalam-dalam,kemudian melanjutkan, “Kenapa ini ngoni (kalian) belum bisa bergaul satu sama lain. Yang mahasiswa Anggai, bakumpul saja deng mahasiswa Anggai. Padahal tong sedang kedatangan mahasiswa dari UGM, Universitas Gadjah Mada, Universitas terbaik di Indonesia. Harusnya ngoni ini dekati dorang (mereka), supaya ngoni bisa belajar banyak hal dari dorang. Ingat, dorang sudah jauh-jauh dari Jawa datang kesini untuk Anggai. Jangan sampai niat dorang sudah baik, tapi ngoni tara bisa mendukung niat baik tersebut”.

Mendengar prolog tersebut, terbersit rasa kagol dalam hati saya. Saya membatin “Waduh, padahal kita mahasiswa biasa-biasa aja ya”, sampai kemudian Bang Komar melanjutkan pembicaraannya,

“Kalian yang mahasiswa UGM juga jangan bakumpul deng mahasiswa UGM saja. Kalau baronda (jalan-jalan) kemana-mana masih deng mahasiswa UGM saja, itu kalian lakukan di Jogja saja. Kalau kalian sedang ada di Anggai, maka bergaullah dengan orang Anggai, jadilah orang Anggai”.

Semua terdiam. Masing-masing menyadari bahwa kami memang belum akrab satu sama lain. Namun dari dalam hati yang paling egois, sebenarnya saya tidak sepenuhnya sepakat dengan perkataan Bang Komar.

“Hee Abang ! Kan baru 10 hari torang disini. Bagaimana bisa langsung akrab semua? Su bagus torang su bisa bikin kegiatan bersama pagi ini”, ucap saya. Dalam batin.

Idhar Halqi Sedang Membabat Rumput di Pekuburan yang Berawa
Diskusi pasca Bersih Kubur w/ Bang Komar
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Para perantau yang kembali di kampungnya sedang melepas rindu. Karena jarak lah manusia bisa merasakan kasmaran untuk yang kedua kalinya. Bahkan kali-kali berikutnya.

Selesai bersih kubur, para pemuda Anggai meminta kami untuk tidak langsung pulang. Salah seorang pemuda bernama Wawan menghampiri kami, ia anak Anggai yang sedang kuliah Pertambangan di salah satu universitas swasta di Jogja.

“Eh cuk”, sapanya mencoba mengakrabkan diri dengan menggunakan diksi “cuk”, sapaan akrab dari pisuhan khas Jawa Timur yang kini sudah jamak digunakan anak-anak Jogja. 

“Ayo mandi dulu. Baronda kita ke Tanjung Air Mangga”, ajaknya.

“Ee.. mantap, boleh itu”, sambung Danan penuh gelora.

“Siapa saja bang yang ikut?”, tanya Haviz.

“Kita semua yang laki-laki berangkat. Tunggu sebentar e, teman-teman sedang ambil motor”, jawab Wawan.

Baronda kali ini memang hanya melibatkan para lelaki. Sementara itu, para perempuang sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Sepertinya mereka tak tahan mengabaikan kobakan keringat di ketiak pasca bersih kubur.

Saya bersama Umar, Haviz, Danan, dan Baba jadi anak Baraobira yang ikut ke Airmangga. Sementara Kormanit Gilang sedang berada di Kecamatan Laiwui untuk mengurus kiriman buku dari Jawa di Kantor Pos. Buku-buku yang kami himpun sedari 6 bulan lalu ini rencananya akan jadi koleksi awal taman baca Anggai-Sambiki.

Manakala mereka yang punya motor sudah datang. Kami pun segera melaju menuju Tanjung Air Mangga. Tanjung yang menyimpan kenangan aduhai manis bagi saya dan Danan.

Kami naik motor secara “pacal”, atau dalam terminologi Jawa: “cenglu”, bonceng telu (berbonceng tiga). Saya berangkat membonceng Bang Fahrul Pelesir, pemuda Anggai yang baru saja pulang kampung pasca kelar skripsi. Ia adalah mahasiswa jurusan Teknologi Informasi dan Komunikasi di Universitas Negeri Manado. Sementara itu, partner pacal saya satu lagi adalah Bang Hendra, kakak kandung dari Wawan yang saat ini jadi guru muda, pengajar sosiologi, di SMP Peduli Bangsa.

Tak sampai 15 menit kami sudah tiba di parkiran Tanjung Airmangga. Untuk sampai di Tanjung Airmangga yang sesungguhnya - yaitu bagian tanjung dengan pasir putih yang halus, kami musti menelusuri dulu sebuah tepian tebing batu yang besar.

Kami menceburkan diri ke air laut yang berombak, mlipir-mlipir, berjalan pelan sambil berpegangan batu tebing yang lancip. Para pemuda lokal tentu saja berjalan dengan yakin, berjalan cepat berima dengan gerakan kakinya yang berotot. Sedang kami menyeberang dengan susah payah, juga terus saja was-was kalau tiba-tiba diterjang ombak tinggi. Atau, ternyata di cekungan batuan tebing itu, terlihat buaya air asin sedang berjemur. Aih, sejak kapan ini kemana-mana saya jadi paranoid pada buaya.

Beberapa menit kemudian kami sampai juga di Tanjung Airmangga.

Sepi.

Debur ombak terdengar lantang, hembusan angin siang yang asin bahkan terdengar jelas.

Dari dekat, pantai ini tampak seperti pantai tempat para pelaut terdampar. Dengan pasir putih yang tak lebar, namun memanjang sampai berpuluh meter sampai dibatasi pepohonan bakau yang rimbun. Warna bakau yang hijau kehitaman entah mengapa selalu memunculkan hawa yang ngeri. Barangkali di sela-sela garis lengkung akarnya, terdapat tulang-tulang tengkorak yang belum lapuk. Atau setidaknya: buaya air asin.

Karena keringnya siang ini, kami memilih berteduh di bawah pepohonan yang jadi pembatas antara Tanjung Air Mangga dengan hutan di belakangnya. Ngadem. Disinilah kami baru sempat berkenalan satu sama lain. Hingga akhirnya saya mengenal mereka satu persatu.

Atok, anak muda berbadan tinggi kekar, wajahnya tegas dengan tulang wajah khas Timur yang disempurnakan dengan hidungnya yang mbangir. Rambut pendeknya yang rapi tipis samping membuatnya tampak makin gagah. Mahasiswa pertambangan Universitas Muhammadiyah Ternate ini adalah sosok yang tidak banyak bicara.

Anjas, satu-satunya “bocah” SMK yang ikut kami. Meskipun paling muda, juga paling kecil, namun mulutnya lah yang paling besar. Ia tak bisa diam, terus menertawakan satu persatu temannya, salah satunya pemuda berkaos merah bernama Awi yang ia panggil “Siluman Kuso !”.

Awi tentu saja jengkel pada Anjas, juga pada kawan-kawan lainnya yang ikut terbahak. Namun ia ikut tertawa ketika saya bertanya dengan lugu, “Apa itu kuso?”,

Bang Al-Khadrin yang duduk di dekat saya lantas langsung menyambung, “Kuso itu kus-kus. Si Awi itu dia siluman Kuso”.

“Adakah siluman Kuso?”, tanya saya lagi, melugu. Saya tahu sebenarnya mereka sedang mengada-ada.

“Ada. Kalau siluman babi kan suka bunuh orang. Kalau siluman kuso kerjanya tidur saja”, ujar Anjas sambil nyengir, dan kami pun terbahak. Saya baru tahu kemudian, kalau Awi dipanggil Kuso karena dia punya kakek yang bernama Kuso.

Mendengar Anjas bicara tentang siluman babi, saya segera memanfaatkan tema ini sebagai bahan obrolan. Kisah tentang siluman babi sungguh hal yang mencengangkan. Bagaimana tidak, seratus persen masyarakat Anggai percaya bahwa mereka hidup bersama salah satu warganya yang konon adalah, siluman babi ! Siluman ini konon tidak pernah ngepet. Ia bukan pencuri. Namun konon siluman ini tidak segan untuk membunuh.

“Eh abang-abang semua, benar kah itu cerita tentang siluman babi?”, tanya saya. Salah seorang pemuda berkulit sawo matang berambut ikal pendek, wajahnya mirip orang Jawa, dengan bibirnya yang tebal seperti perawakannya yang cukup gempal, lantas menjawab:

“Iyo, benar itu. Dua bulan lalu saja ada yang dibunuh sama itu siluman babi !”, ujarnya. Pemuda yang kemudian saya kenal bernama Obing ini lalu melanjutkan kisahnya, “Bahaya sekali itu. Su ada tiga orang yang dibunuh".

Kemudian Bang Al-Khadrin melanjutkan, "Makanya hati-hati kalian. Terutama Haviz dan Umar itu yang sering bertemu deng dia".

Pernyataan Bang Al tak pelak mengundang beragam tanda tanya dari kami, sampai seorang Haviz pun tidak tahan menahan diamnya, “E.. kenapa kah hanya saya dan Umar yang sering bertemu?”.

Bang Al Kadrin menjawab, “Iyo. Kan cuma Haviz dan Umar yang sering ke Masjid. Kalau yang lain kan tidak. Hati-hati itu siluman babi itu ke masjid setiap hari !”.

Bagi saya, jawaban Bang Al sungguh tidak masuk akal, dan tentu saja sebagai pribadi yang ngeyelan, saya tidak bisa tidak untuk terus bertanya, “E... mana mungkin ada siluman suka pergi ke masjid? Bagaimana pula abang-abang bisa tahu kalau dia silumannya?”,

Kali ini Obing yang menanggapi, “Ya bisa saja. Kan supaya dia kelihatan orang baik kalau ke mushola terus”.

“Tapi bagaimana semua orang bisa tahu kalau dia silumannya?”, tanya Haviz lagi.

“2 bulan lalu kan ada yang dikejar-kejar siluman babi itu waktu dia lagi di kebung (kebun). Dirobek-robek itu tubuhnya sampai sekarat. Nah waktu dia sedang sekarat, de pe (dia punya) istri temukan itu de pe tubuh. Sebelum mati dia bilang kalau siluman babi  adalah si “tua” itu”, jawab Bang Al mantap sekali.

“Tapi bagaimana dia tahu kalau itu babi adalah si "tua” ?", tanya saya lagi.

“Dia bilang begini: waktu dia sedang diserang siluman babi, dia sempat pukul itu siluman babi pakai kayu dan tanah. Dan itu babi langsung berubah jadi orang dan lari. Tahu apa yang terjadi besoknya? Torang lihat kalau si “tua” itu pe wajah sedang bengkak seperti habis kena pukul kayu".

“Ah, benar kah???”,

“Iyo... benar...”, jawab Bang Al menggelegar.

“E tapi kenapa harus dia yang dibunuh sama itu siluman babi?”,

“Karena waktu itu dorang sedang baku (saling) marah. Makanya itu Haviz dan Umar yang sering ketemu, jangan sampai bikin dia marah”, sambung Bang Al.

“Wah berarti lebih baik saya, Danan dan Baba e. Kan hari Jum’at saja torang pergi ke Masjid”, sambung saya. Dan yang lain tertawa.

“Eh abang”, sapa Danan, “Kalau siluman buaya ada tarada?”,

“Hahahaha...”, tiba-tiba semua terbahak dan berbarengan menunjuk sesosok pemuda berkaos hitam.

“Tanya saja itu sama Ollo !”, ujar Obing sambil menahan tawanya.

“Ah, cukimanggar ngoni !”, jawab Ollo, mukanya ketawa kecut, seperti ekspresi saat kita jengkel karena ditertawakan, namun tidak bisa marah. Kenapa? Karena  sudah saking seringnya ditertawakan sebab “hal” tersebut. Hal apa itu?

Selidik punya selidik, sosok setinggi kurang lebih 165 cm (sama dengan saya), dengan perawakan tubuh yang kurang lebih sama kurus juga dengan saya (tapi dia lebih berotot), berambut keriting jambul, berkulit hitam gelap dengan wajah penuh bopeng bekas jerawat, berdagu cukup lancip, dan berhidung  mancung turun ini, ternyata adalah sosok pemuda yang sering sekali diceritakan masyarakat Anggai.

“Dua tahun lalu itu ada anak pacaran di pinggir sungai, lalu dorang digigit sama Buaya !”, kata orang-orang menceritakannya dengan semangat. Seringkali mereka nampak begitu besar hati menunjukkan pada kami bahwa buaya air asin memang punya habitat di Anggai. Ia bukan sekedar mitos.

“Eh, benarkah Abang Ollo ini yang pernah digigit buaya air asin itu?”, tanya saya dengan sedikit ragu. Saya sebenarnya agak takut kalau-kalau Ollo tersinggung. Aih, saya pikir Ollo sudah muak diceritakan dimana-mana, direpetisi pengalamannya selama beribu kali. Mulai dari bocah SD, sampai tua-tua disana, hampir semuanya menceritakan kisah itu.

Tapi Indonesia Timur tetap Indonesia Timur. Maluku tetap Maluku. Disini tarada “baper-baper”-an macam kami orang Jawa. Prinsipnya "Ngoni tanya, kita jawab !". Atas pertanyaan tadi, Si Ollo justru menjawabnya dengan sungguh percaya diri:

“Iyo... Lihat saja ini bekasnya”, katanya sambil menunjukkan lengan tangan kirinya.

“Buajingan !!!”, batin saya. Saya kecep, speechless melihat codet bekas gigitan taring buaya yang terlihat jelas di lengan kirinya. Lukanya dalam, dari lengan tangan bagian muka, sampai tembus ke lengan bagian bawah. Benar... Benar... Si Ollo ini memang "dia" yang pernah diterkam buaya !

“Aih, gila Bang Ollo ini ! Terus bagaimana dengan abang pe pacar?”,

“Aman, saya kasih selamat dia”, mulutnya agam menyeringai nampak sangat bangga.

“Lalu bagaimana itu abang bisa selamat?”,

“Saya hantam, lalu saya sobek mulutnya”, jawab Ollo sambil membusungkan dada.

“Wiiih, abang ini ternyata titisan Jaka Tingkir ee !!!”, sanjung saya.

Tapi, di dalam batin, saya ngomong:

"Nggedebus.....".

Dasar cah Jawa...

4 Juni 2016


Tanjung Air Mangga
Saat ngadem di Bawah Pohon
Penampakan Tanjung Air Mangga

Yoman...
Menuju Batas Bebakauan
Obing, Sherizawa, Awi
"Abang apa ini pe nama?", tanya saya. "Oso pao !!!", jawab Awi.
Hendra, Baba, Sherizawa, Ollo, Danan, Obing, Awi, Fahrul, Ato, Wawan, Umar Bakrie, dan Al-Khadrin
Akhirnya renang juga. Sikilku bondas kabeh kena karang.
Karang yang Garang
Karang Meneh






Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ▼  2016 (36)
    • ▼  November (4)
      • SENDAL, KAOS, AC, DAN PEMERATAAN PENDIDIKAN DI IND...
      • Catatan Baraobira Hari-17, BUKA BERSAMA JAM SATU S...
      • Catatan Baraobira Hari-16, KETIKA PARA PERANTAU PU...
      • NDX AKA ADALAH JURU BICARA KAUM-KAUM PINGGIRAN
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018