SENDAL, KAOS, AC, DAN PEMERATAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Wahai mahasiswa Indonesia, marilah sejenak kita menjauh dari ke-ndakik-an weltanschauung-nya Marcel Proust yang amat personal sampai materialisme historisnya Karl Marx yang amat sosyel. Kemudian marilah kita mempertanyakan hal-hal yang saban hari terjadi di sekitar kita. Ia nampak normal. Ia nampak lazim. Ia begitu mudah dimafhumi. Ia begitu biasa dimaklumkan. Namun sebenarnya, ia patut segera dipertanyakan.
Yaitu: Mengapa kita dilarang sendalan dan kaosan saat kuliah?
Ini patut
dipertanyakan. Karena jika dilihat secara fungsional, sebenarnya sendalan dan kaosan jauh lebih nyaman untuk
belajar dibandingkan sepaton dan kemejan.
Sepatu...
Haduuuh... Apa urgensinya sehingga untuk sekedar mendengar dosen
menyampaikan materi di kelas saja, kita musti memakainya?
Kita dapat memahami misalnya: kita sedang praktikum di lab kimia yang penuh kalium klorat, asam sulfat, benzena, merkuri, sianida, kamsahamnida, cici paramida.
Kita dapat mendukungnya pula seumpama: kita sedang observasi di Pegunungan Karst Kendheng, Merapi, Alas Purwo, Aokigahara, Catacombe, Kilimanjaro.
Ini jelas ada guna, fungsi, lagi urgensinya. Lha kalau di dalam kelas?
Belum lagi kalau pas musim penghujan, lalu tanah becek: sepatu kita klebus, jemek, badheg, apa ya juga kudu dipakai?
Ini akan lebih panjang lagi misalnya kita bahas: betapa mahalnya harga sepasang sepatu bagi sebagian kalangan. Jangankan merk Ad*das, wong sepatu merk Adibas seperti punya Kukuh Luthfi saja harganya bisa sampai 300 ribuan.
Kenapa nggak diijinkan pakai Swallow aja sech???
Lalu kemeja utawa hem...
Haduuuh... Jangankan
yang berbahan flanel atau jeans. Wong yang bahannya katun aja rasanya tetap
gerah kok. Apalagi kalau konteksnya di kota yang syumuk dan berdebu ini. Sesungguhnya tubuh
kita sangat butuh sandhang yang adem, santai, juga ringkes...
Sungguh saya tak dapat memahami mengapa kuliah harus berkerah. Apa fungsi yang syarat makna dari kerah baju yang rasanya mencekik itu???
Lalu mereka menjawab, "Berkemeja dan Bersepatu
itu Lebih Sopan dan Santun",
Waduh...
Benarkah ada korelasi antara berkemeja dan bersepatu
dengan sikap sopan santun? Seperti halnya time
is money, putih itu cantik,
kiri itu atheis, atau kanan itu Dani Alves, saya kira bersepatu dan berkemeja
itu sopan dan santun hanyalah satu dari sekian fitnah-fitnah modernisme.
Seriyes !
Kalau tidak percaya, lihat saja sosok Patwa Alhuda, atau Alangga Dwi K. Lihat bagaimana OOTD mereka setiap kali pergi ngampus. Gayanya reged: kaosan, sendalan, murah, nyilih lagi. Tapi ya jangan tanya, betapa dalam hal sopan santun mereka itu sangat-sangat makrifat ! Mereka khatam perihal membedakan ngoko, krama, sampai krama inggil. Mereka bahkan telah mampu memaknai sikap sopan santun tidak berdasarkan pada angka-angka semata: “yang lebih tua, yang lebih dihormati”, “yang lebih sugih, yang lebih di inggih-inggih”. Tidak. Jelas tidak. Mereka telah melampaui itu. Mereka paham cara menghormati yang sesuai patrapnya. Pada Cak Bawor yang kaum kromo, mereka begitu tabik. Karena biarpun kromo, Cak Bawor adalah guru kehidupan. Kejujurannya, kesabarannya, konsistensinya dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan sangat-sangat layak untuk dihormati. Berbeda dengan sikap mereka pada Bude Karita. Kendati Bude Karita adalah sosok "setinggi" rektor, namun karena kebiasaannya yang kecu lagi nggedebus, mereka tidak sudi bertele-tele menjaga sikap. Mereka memilih untuk melawan ! Mendongkel ! Atau setidaknya: Memisuhi ! Sesungguhnya, sopan santun bagi mereka adalah cara menempatkan posisi seseorang sesuai pada hakikatnya.
Coba bandingkan sosok Alhuda dan Alangga dengan.....
Ah...Barangkali argumen ini klasik. Aku tahu. Kamu tahu. Mereka
tahu. Kita semua bukan tempe.
Misalnya sosok koruptor atau ilmuwan antek korporasi. Baju mereka selalu rapi. Gaya mereka selalu necis. Berkerah. Berdasi lagi ! Tapi soal sopan santun? Mana dong mereka. Hobinya aja: nyolong hak orang.
Lha... Atas semua hal yang menunjukkan kalau sepatu dan
kemeja sungguh ramashook dipertautkan dengan akal
budi manusia, mengapa dunia kampus yang ilmiah sainstifique ini tetep ngotot melarang kita
bersendal dan berkaos?
Mbok tenan bersepatu dan berkemeja itu syumuk !
Bukan apa-apa yak, saya jadi curiga aja.
Jangan-jangan, aturan "suci" ini lah yang membuat mahasiswa era
sekarang lebih sering protes minta AC dibanding kritis terhadap, misalnya,
keberpihakan kampus terhadap isu reklamasi, agraria, atau pembakaran hutan?
Isu fasilitas kampus kan emang ngetop banget dah jaman sekarang. Lihat noh kasus beberapa bulan lalu, bagaimana tak sedikit mahasiswa salah satu fakultas di Universitas Negeri Gadjah Mada (UNGM), menjadikan alasan kekurangan fasilitas sebagai pembenaran atas pilihan kampusnya menerima dana CSR dari perusahaan pembakar hutan.
Ini kan 'asu'.
Apalagi kalau fasilitas yang diminta kok: AC. Adek minta AC !
Ya makin 'asu' !
Apalagi kalau dia mahasiswa universitas negeri. Bayangkeun. Kurang
beruntung apa coba hidupnya? Dari sekitar 113 juta penduduk Indonesia usia
15-24 tahun, terhitung hanya 1,8 juta orang saja yang mendapat kesempatan untuk
kuliah Negeri. Atau kalau dipersentasekan, maka hanya ada 1,6% saja pemuda yang
berkesempatan mengenal ilmu-ilmu perkuliahan yang
maha(l) dahsyat itu.
Dan kita masih saja ribut soal AC. Betapa snob dan
pongahnya kita kaum 1,6 % ini !
Maka dari itu kawan-kawanku, guna mencari bersama jalan
keluar atas permasalahan yang selit belit ini. Saya mengajak seluruh sivitas
akademika untuk menyerukeun: Tolak Pelarangan Sendal dan Kaos di
Lingkungan Kampus !
Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia memilih bersandhang
satu: sandhang yang adem, santai, juga ringkes.
Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia memilih berfesyen satu:
fesyen yang tidak membeda-bedakan. Tidak membeda-bedakan siapa yang belajar di dunya perkuliahan, dengan siapa yang
belajar di pasar-pasar, di
trotoar-trotoar, di terminal-terminal, juga di remang-remang angkringan.
*manifesto di atas silahkeun lanjutkeun sendiri..
Bapak ibu, mas mbak, encang encing, nyak babe yang terhormat. Ha mbok yakin, jika mahasiswa boleh bersendal dan berkaos, mahasiswa akan jadi lebih adaptif terhadap hawa (rakyat) negeri tropis.
Percayalah, jika sifat adaptif tersebut dapat kita wujudkan bersama-sama, maka pendidikan di negeri ini akan jauh-jauh lebih merata. Bagaimana bisa?
Tentu saja bisa.
Karena dengan sifat adaptif tersebut, kelak mahasiswa-mahasiswi kita tidak akan lagi protes minta AC. Kelak kampus-kampus kita tidak akan lagi identik dengan gedung-gedung mewah berfasilitaskan benda-benda mahal. Dan kelak dana fasilitas pendidikan dapat dialihkan kepada hal yang lebih dibutuhkan: Bangun Universitas Negeri sebanyak-banyaknya !
Ya minimal 1 Kabupaten, 1 Universitas lah...
Harusnya sih bisa.
Jika saat ini bangunan-bangunan SMA bisa jadi tempat belajar dengan model yang sederhana, maka di masa depan bangunan universitas pun bisa dibuat serupa ! Suatu hari mahasiswa-mahasiswi kita akan paham, bahwa pendidikan tinggi bukan dinilai dari bentuk gedung-gedungnya, namun dari esensi ilmu-ilmunya.
3 komentar