NDX AKA ADALAH JURU BICARA KAUM-KAUM PINGGIRAN
Selfie w/ Nanda dan PJR NDX AKA setelah nonton live di Jogjajanan UGM |
Saya mengenal NDX AKA
sejak pertengahan tahun ini. Melalui koleksi mp3 adik saya, Abi Kresna, saya
mendengar untuk pertama kalinya dua nomor yang konon jadi pemicu meledaknya
grup Javanese Hiphop Dangdut asal
Imogiri ini. Dua nomor tersebut adalah lagu Sayang – yang sebenarnya sudah lama
dipopulerkan oleh Via Vallen – dan Bojoku Ketikung – yang ini karya asli NDX
AKA.
Sejak mendengar dua
lagu tersebut, saya pun mulai berpetualang mencari lagu-lagu lain dari NDX AKA,
hingga akhirnya saya mulai menyetel lagu-lagu mereka secara repetitif. Mulai
lagu Kimcil Kepolen, Bojoku Disebeh, Tewas Tertimbun Masa Lalu hingga lagu-lagu
cover seperti Kau Tercipta Bukan
Untukku (Ratih Purwasih), Cinta Tak Terbatas Waktu (Deddy Dores), sampai
Tentang Aku, Kau, dan Dia (Kangen Band).
Sajian utama dari NDX
AKA adalah lirik-liriknya yang membawa kita mengingat masa-masa awal mengenal
facebook. Coba sejenak merem dan ingat bagaimana beranda facebook kita 6-7
tahun lalu. Bayangkan narasi-narasi apa yang saban harinya muncul ketika nama
facebook kita masih semacam SuLis AjHa, Andre Zapoettra Cinta Kulqas, Reyy Va
MeRem MeleQ, atau Syarief Muahmwah.
Status-status penuh
kejujuran tentang kegalauan mengingat mantan, rasa kecewa pada kekasih yang
ketahuan selingkuh, sampai sumpah serapah karena perasaan disia-siakan, adalah
hal ikhwal yang kerap kali mak bedungul
muncul di beranda facebook kita kala itu. Curahan hati sejujur inilah yang
kemudian akan kita temukan di hampir semua lirik-lirik NDX AKA. Perhatikan saja
kutipan lagu Kelingan Mantan ini:
Dek koe mbiyen janji karo aku
Nglakoni tresno suci kanthi ikhlas tekan mati
Neng nyatane ngapusi, cidro ati iki
Netes elohku mili deres neng pipi
Nglakoni tresno suci kanthi ikhlas tekan mati
Neng nyatane ngapusi, cidro ati iki
Netes elohku mili deres neng pipi
Curahan hati yang
jujur, cenderung emosional, namun disampaikan dengan diksi yang sederhana, kalimat yang tak panjang-panjang amat, dan
langsung menjelaskan inti permasalahan.
Piye? Status facebook
banget to?
Namun, kalau mau jeli
sedikit, kita akan segera menyadari kalau lirik-lirik NDX AKA bukan sekedar
curhatan murah tentang gagalnya kisah cinta dua sejoli. Lebih dari itu,
lirik-lirik NDX AKA jelas terfokus pada problema-problema yang jamak dihadapi orang-orang
pinggiran. Lihat saja lirik lagu Kimcil Kepolen ini misalnya:
Pancene
koe pabu nuruti ibumu
Jare nek ra ninja ra oleh dicinta
Opo koyo ngene susahe wong kere
Ameh nyandeng tresno kalah karo bondo
Jare nek ra ninja ra oleh dicinta
Opo koyo ngene susahe wong kere
Ameh nyandeng tresno kalah karo bondo
Coba lihat lirik di atas. Sekilas
mungkin kita akan menganggap permasalahan dalam lagu tersebut sangat banal. Kandasnya
hubungan asmara antara si kaya dan si miskin karena orang tua yang mata duitan,
tentu tak kurang kita temui dalam berbagai kisah amor.
Mulai dari Tao Ming Tse
dengan San Cai yang tidak direstui Tao Ming The Big Family (Meteor Garden),
Rahul dan Anjali yang tidak direstui Babuji Amitabh Bachan karena beda kasta
(Kabhi Kushi Kabhie Gham), sampai yang fenomenal baru-baru ini tentu saja kisah pembantu Naura yang terjerembab di
lembah asmara bersama Arka, anak majikannya sendiri (Anugrah Cinta RCTI).
Namun, pernahkah kita
melihat kisah cinta dalam karya-karya kanon yang kandas karena sepeda motor?
Jare nek ra ninja ra oleh dicinta
Lebih berima lagi,
perhatikan lirik berikut:
Jare nek ra FU kowe ora I Love You
Jare nek ra Ninja, ra bakal dicinta
Bagi orang-orang yang sejak
kecil tinggal di kota-kota besar, bisa jadi permasalahan ini adalah
permasalahan yang asing, khayal, irasional. Mana mungkin orang bisa putus hanya
karena soal motor? Barang sepele yang bagi sebagian besar orang-orang kota
sudah bukan lagi barang mewah.
Namun bagi kita yang sudah
pernah merasakan hidup di tanah-tanah pinggiran (pedesaan), tentu hal ini sudah
bola-bali kita temui. Motor FU dan
Ninja bagi kami adalah bentuk modernisasi dari azimat semar mesem dan bulu perindu.
Tak perlu berparas tampan, tak perlu rajin ibadah, tak perlu jadi kutu buku,
apalagi gombal fafifu, dengan
bermodal FU dan Ninja saja, kau sudah bisa memikat banyak gadis dari yang
tampak amat alim sampai yang suka naik motor bonceng tiga. Tinggal pilih,
tinggal nikung bosque..
Permasalahan masyarakat pinggiran begitu lah yang hadir dalam lirik-lirik NDX AKA. Saya pikir NDX AKA adalah juru bicara kaum-kaum pinggiran. Mereka adalah pembawa suara kaum marhaen, kaum kromo, kaum proletar yang dipecundangi zaman dan tinggal menggantungkan hidupnya pada cinta, sampai akhirnya mereka sadar kalau cinta (bahkan Tuhan) juga sudah (di)mati(kan) oleh modernitas.
Pemilihan judul pada lagu Kimcil
Kepolen saya kira semakin memperjelas posisi NDX AKA sebagai juru bicara kaum-kaum
pinggiran. Diksi Kimcil yang berarti Kimpetan
Cilik atau Pelacur Cilik jelas bukan diksinya kelas menengah kota yang
mepet-mepet borjuis. Mereka yang biasa ngomong perihal fashion dan film
hollywood terbaru sambil mengelilingi meja McD jelas kupingnya akan gatal-gatal dan
otot perutnya langsung kaku begitu mendengar diksi ini.
Diksi kimcil terlampau "kasar". Seandainya kata-kata
bisa terlihat, dan diksi Kimcil masuk di tivi, saya yakin diksi ini akan di
blur seblawur-blawurnya oleh para pengurus KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang ngacengan, eh maksudnya,
religius itu.
Namun, NDX AKA justru
memilih diksi Kimcil sebagai judul dari lagunya. Bukan *imcil ,Kimci* atau
Ki*cil. Bukan pula diksi lacur, PSK, atau bitch
misalnya. Saya pikir ini menandakan bahwa NDX AKA sudah sangat paham posisi
mereka sebagai juru bicara orang-orang pinggiran. Mereka tak perlu lagi tedeng
aling-aling untuk mengakui bahwa identitas mereka memang "ndeso" dan "gondes".
Satu hal lagi yang perlu digarisbawahi, NDX AKA juga tak pernah luput menunjukkan lokalitas Jogja sebagai bagian dari totalitas diri mereka. Jogja dalam lagu NDX AKA dihadirkan melalui diksi-diksi macam kimcil, kecu, sego kucing,ciu, juga diksi pabu yang merupakan basa walikan dari asu, atau lewat hadirnya latar-latar yang Jogja banget, dari Terminal Giwangan sampai Parang Tritis.
Kebanggaan mereka akan identitasnya inilah yang saya kira menjadi pondasi kuat bagi mereka untuk menjadi hip-hopers wangun, sebagaimana para penggerak hip-hop di awal kemunculannya yang selain berani menentang sensor, juga pede dengan identitas "negro" mereka di tengah derasnya budaya white anglo saxon di Amerika. Ya, seperti NDX AKA yang pede dengan identitas "gondes" dan lokalitas Jogja-nya di tengah kondisi cah enom Jogja yang makin Njakartaaa.....
Bagus Panuntun
NDX AKA FAMILIA
0 komentar