Catatan Baraobira Hari-17, BUKA BERSAMA JAM SATU SIANG

Hari ini adalah hari terakhir bulan ramadhan.

Pukul setengah tujuh, ketika gelap baru saja diretakkan oleh sinar matahari, saya sudah otw mlipir ke konter hendak bermandi rindu via selular dengan Mama di Jawa, juga Ririshwari. Di tengah perjalanan, tepatnya di depan SD Negeri Anggai, tak diduga saya berpapasan dengan Mama Nas, Mama Piaranya Tabah dan Devina.

"Eee... mama... Pagi mama !!!", sapa saya. Setiap bersua dengannya saya bertekad untuk tak boleh kalah lantang darinya.

“Hei Bagus !”, balasnya memekakkan telinga, “Nanti habis lohor (dzuhur) jangan lupa makan e, odo ka !”.

Ee..gila mama nas !”, jawab saya sporadis. 

Guyon opo to iki? Kok ra mutu tenan”, ucap saya dalam batin.

Namun Mama Nas justru berteriak “Eee.. tara percaya ! Berani ini anak bilang mama gila? Mama sekedhok (jitak) nanti !”.

Ampong mamaaa.....”, saya mbladus lari.


 -------------------------------------------------------------------

Malam nanti sudah malam takbiran. Agenda takbir menyambut satu syawal akan diisi dengan acara pawai obor. Karena ingin peserta berjumlah banyak, seluruh panitia Pesta Lebaran berisiatif pergi ke kebun untuk mencari bambu sebanyak-banyaknya. Bambu-bambu ini akan kami buat jadi ratusan obor, supaya bocah-bocah Anggai tidak perlu repot membuatnya sendiri.

Namun apa mau dikata. Sedang saya masih bertelfon ria dan baru menuju titik kumpul pada angka 9, kawan-kawan yang lain sudah berangkat dahulu ke kebun setengah jam sebelumnya.

Aduh Mama ! Tara enak ini saya pe hati !

Beruntunglah ketika saya sedang merasa kotor dan penuh dosa, saya berpapasan dengan anak-anak Getrok (Gelisah Tanpa Rokok) yang juga tak ikut ke kebun sebab bangun kesiangan: Bang Al, Bang Dir, Wawan, Atho, Emon, Awi juga Ollo.

Sementara sebenarnya saya sudah merasa malas menyusul, ternyata perasaan ini juga seia-sekata dengan mereka,

“Ah, malas. Dorang saja su cukup. Kita bakumpul saja di Wawan pe rumah, mari !", ajak Bang Al sambil nyengir.

Detik-detik berikutnya hampir saja jadi kala yang amat membosankan. Sepanjang siang, Atho menyanyikan lagu Ambon hits "se paleng bae" dengan khidmatnya. Namun betapa menawannya sebuah lagu, jika ia diiringi dengan gitar hijau sayur bersenar karat itu, katak pun jadi malas ikut bernyanyi.

Kebosanan yang terkutuk ini akhirnya cair juga setelah (lagi-lagi) Bang Al-Khadrin melempar sebuh pertanyaan,


"Eee.. menurut kalian bagaimana itu anak-anak 'Pembebasan' yang setiap hari bicara nasionalisme deng marxisme terus",

Pertanyaan tersebut tentu saja segera memanaskan lingkaran. Ia dengan lugas mengajak kami tukar pikiran perihal anak-anak organisasi Pembebasan, organisasi eksternal kampus beriodelogi Marxis yang kabarnya menjadi organisasi paling aktif progressif se-antero Ternate, khususnya dalam mengawal isu-isu nasional. Saya sendiri baru mendengar nama 'Pembebasan' setelah saya tiba di Anggai dan mengenal beberapa anggotanya: Arman Sambari, Idhar Halqi, dan Ale. Ya selama ini kita yang di Jogja kan lebih akrab mendengar nama GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) atau FMN (Front Mahasiswa Nasional) sebagai organisasi eksternal kampus berhaluan kiri.

Tempo hari, Arman Sambari pernah bercerita sedikit hal tentang organisasinya, "Torang suka demo itu. Bakar-bakar ban. Hantam gerbang gedung Pemda. Supaya pemerintah dan borjuis sadar", terangnya. Yang kemudian saya kasih perbandingan padanya tentang Demonstrasi UGM 2 Mei, "Abang, kalau pakai bakar-bakar ban nanti susah ajak masa akar rumput. Jadi malas dorang". Namun Arman Sambari tetap kekeuh pada caranya, "Kalau di Timur, kalau tara keras malah tarada yang ikut".

Maka karena bakar-bakar ban sudah jadi hal lumrah, hal yang dipertanyakan oleh Bang Al-Khadrin pun bukan lagi tentang demonya.  Tapi kepada sangking progresifnya anak-anak 'Pembebasan', sehingga mau dimanapun  saja tak pernah mereka luput bicara Marxisme, Leninisme, Stalinisme, dan tentu saja: Bung Karno !

Dan siang ini Bang Al-Khadrin menambahkan "Dorang jauh-jauh bicara nasionalisme, kawal isu nasional - BBM, pendidikan, Jokowi - , atau Marxisme, Leninisme, apa saja lah itu. Tapi urus kampung sendiri malah kurang", keluhnya.

Tentu saja keluhan itu bersambut oleh jawaban satu anak pergerakan lain. Adalah Bang Dir, dedengkot PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia) Kota Ternate. Sosok Don Juan-nya Anggai. Sang pelantun kidung melayu yang  merebut hati gadis-gadis Sambiki, Anggai, sampai Airmangga. Progresif dalam bergerak, progresif dalam bercinta. Begitulah jalan hidupnya.

"Eee.. bagus kong. Kalau bukan torang yang peduli deng isu nasional, lalu siapa yang akan kawal demokrasi? Abdurrahman Wahid saja dari masih kuliah sudah peduli deng isu-isu nasional", tegasnya.

"Tapi kan ada langkahnya. Kalau ngana su kasih manfaat buat ngana pe desa, baru ngana boleh bicara nasionalisme, marxisme,  atau apalah itu. Bagaimana mau ubah negara, sedang urus desa sendiri saja tara bisa kong !", balas Bang Al

"Ee.. Harga sembako makin mahal, ngana pe UKT naik terus, pembangunan tara merata.  Kalau ngana tara hantam itu pusat, mau urus desa terus, kapan ada perubahan kong?"

Adu argumen antara Bang Al dan Bang Dir semakin intens. Sementara yang lain memilih khidmat mendengarkan, tiba-tiba Atho menaruh gitarnya dan bersuara,

"Coba lah itu tanya mahasiswa UGM", ujarnya, singkat.

"Gembel.........", mbatinku.


Kedatangan saya ke Obi ini sebenarnya adalah untuk mencari ketenangan, khususnya dari hingar bingar obrolan politik, apalagi soal pergerakan - Setelah 2 Mei yang melelahkan. 

Kok yo aku ketemu cah ngenean meneh to???

Namun sebagai lelaki cingkimin yang sebenarnya juga ingin bersuaratentu saja saya tak mau sekedar bungkam.


"Lebih mantap dua-duanya bang ! Peduli desa, peduli bangsa !". *Yomaaaan... diplomatis sekali...

"Intinya peduli urusan desa, tapi jangan abai deng urusan isme-isme. Seperti Gus Mus lah, kyai idola Bang Dir itu", dan kemudian saya sedikit bercerita tentang jejak hidup Gus Mus, juga Mas Al-Fayyadl, sosok-sosok yang tidak berpuas dengan kemampuannya berbicara dan menulis saja, namun juga kongkrit ikut menemani rakyat-rakyat desa berjuang. Misalnya ketika mereka mengawal Isu Rembang.

Dialog semakin gayeng ketika kami mbleber bicara soal keberpihakan, dualisme kaum yang ditindas dan yang menindas, yang dimiskinkan dan memiskinan, hingga perkara pada siapa kita harus berpihak.

"Pertama, tong harus peduli deng tong pe desa. Kedua, paham juga Marxisme, Islamisme. Sebab kalau tak paham keduanya, bisa jadi tong peduli, tapi tong keliru dalam berpihak. Mau Islam, mau Marxisme, keduanya mengajarkan tong berpihak deng yang lemah, bukan sebaliknya. Ini penting sekali, tong bisa peduli, tapi tong belum tentu tepat dalam berpihak", ujar salah seorang udik dari tengah lingkaran. Dan selanjutnya pun, semakin banyak juvenil yang masih terus menanggapi pendapat satu sama lain.


Pinter-pinter amat nih orang, buset dah, padahal tinggalnya di desa terpencil begini. Sungguh hebat kawan-kawan baru aing ini. Kalah jauh aing sama mereka.


Dan kalau mengingat betapa di awal keberangkatan, saya berpikir bahwa tidak akan ada obrolan ideologis semacam ini di Obi, aih, betapa pongahnya saya !

"Allahuakbar....Allahuakbar....."
"Allahuakbar....Allahuakbar....."
"Asyhadu Allailla Hailallah...."

Tiba-tiba terdengar adzan Dzuhur berkumandang. Alhasil, diskusi yang penuh kejutan ini pun harus berhenti sejenak. 

Disinilah satu hal aneh terjadi.....

Bang Dir, sosok dedengkot PMII, pembaca setia karya-karya Gus Dur dan Gus Mus, juga Bang Al, sosok kanda senior HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang tak pernah absen jama'ah di Masjid itu, secara hampir berbarengan mengambil sebungkus rokok dari sakunya. Sejenak kemudian, diambilnya matches dan disulutlah Surya dan Sampoerna-nya sambil melafal "Alhamdulillah...",

Sambil tertegun tak percaya, saya pun membatin "Woh, gendheng aktivis Islam iki".

Ajaibnya, beberapa detik kemudian bukan hanya Bang Dir dan Bang Al saja yang melakukannya. Emon, Atho, Ollo, Awi, Wawan, dan semua yang ada di depan saya kini mulai nglempus menghisap rokoknya masing-masing.

"Bagus, masuhi ka ! (Bagus, Merokok mari !)", tawar Bang Dir sambil meluncurkan sebungkus Surya-nya lewat lantai.

Seumur hidup sejak mbrojol sampai usia saya mulai meninggalkan fase remaja, baru kali ini saya melihat ada buka bersama yang dilakukan pasca adzan Dzuhur. Semacam "puasa latihan" kalau orang Jawa menyebutnya. Namun kali ini serempak dilakukan orang-orang yang sudah dewasa.

"Desa gendheeeeeng", saya tak habis pikir melihat pemuda-pemuda akhil baligh yang mbatal bareng itu.

Dan di teriknya siang pada pamungkas bulan ramadhan ini, saya mendadak merasa amat bloon dan makin kagak ngerti saat Mama-nya Wawan muncul dari balik dapur dan memanggil saya,

"Bagus..... Batal puasa dulu......".

  -----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Jauh hari sebelum kami memulai langkah meninggalkan Jogja, teman-teman KKN tahun lalu sudah mengingatkan kalau jangan macam-macam saat puasa di Obi.

Dape, salah satu kawan nasrani saya sempat bercerita kalau  tahun lalu ia hampir diamuk orang karena merokok di pelabuhan saat bulan Ramadhan.

Apalagi tahun ini kami tinggal di Anggai, desa berpenduduk 100 persen muslim yang bukan main disiplinnya dalam menjaga stabilitas umat Islam berpuasa. Itulah mengapa selama ramadhan ini kami tak pernah melihat ada warga yang menghisap Samsoe, memakan goropa, apalagi menenggak Cap Tikus di teras rumah. Barang siapa tertangkap mata sedang makan dan minum di siang ramadhan, maka tak segan warga akan memberinya laplap (amuk !).

Kecuali di hari terakhir...

Masyarakat Anggai punya keyakinan bahwa di hari akhir bulan ramadhan kita sudah boleh berbuka setelah jam 1 siang. 

Jadi, apa yang dikatakan Mama Nas tadi pagi sungguh bukan sebuah kebohongan, apalagi kegilaan - ah, siang ini konsep kegilaan jadi begitu ambigu !

Ketika sejenak kemudian saya masuk ke dapur rumah Mama Nyora - Wawan pe Mama, akhirnya saya sempatkan untuk bertanya soal ini,

"Ee, mama, bagaimana bisa ada batal bersama jam 1 siang?",

"Ya bisa... Kan tadi malam kita sudah zakat fitrah. Lalu tadi malam Bagus lihat sidang hilal tarada?",

"Iyo, 
lihat mama...", jawab saya.

Sebelum melanjutkan jawabnya, Mama Nyora lalu mengambil beberapa potong kue tart berlapis selai nanas. Dihidangkannya pula segelas teh hangat manis berbau melati, dan pamungkasnya: diambilnya sepiring dan sebuah loyang berisi penuh olahan ikan laut kuah santan. Ia taruh itu semua di depan mata kepala saya.

"Jadi begini Bagus", lanjut Mama Nyora. "Kalau Bagus lihat sidang hilal tadi malam, posisi bulan kan masih minus 1 derajat (menuju syawal) kan? Nah ini siang posisi bulan pasti su lebih dari satu derajat kan? 3 derajat mungkin? Berarti sekarang su masuk bulan lebaran... Su boleh Bagus makan...", jelas Mama Nyora seyakin-yakinnya, sambil menambahkan,

"Bagus mau Sampoerna mint apa merah?"

"Yang merah, mama !", jawab saya masih dengan wajah tertegun.

Dan sungguh, ini merupakan buka puasa terindah dalam hidup saya: Dilakukan bersama-sama, kala matahari sedang tinggi-tingginya, diawali Allahuma Lakasumtu juga, dan poin intinya: semua merasa(kan) kesakralannya.

Realisme magis !

5 Juni 2016

Dokumentasi Hari ini:

Tak ada dokumentasi di rumah Wawan,
hanya ada foto saat Malam Takbiran







Share:

0 komentar