Catatan Baraobira Hari-16, KETIKA PARA PERANTAU PULANG KE KAMPUNGNYA: BARONDA KE AIRMANGGA !

Jam 9 pagi, Tim Baraobira sudah berada di satu tempat. Kami berdiri di atas tanah pemakaman desa Anggai untuk mengadakan bersih kubur. Cuaca pagi ini sangat cerah dengan langit warna biru terang. Namun tanah kuburan masih tetap basah. Dari sela daun-daun kamboja cahaya matahari yang mulai panas menembus rerantingnya yang berjarak. Bunga-bunga putih bersih ini nampaknya sangat menikmati saat bermandi matahari. Pagi adalah waktu menghirup kehidupan setelah kesetiaan akan malam yang berbau kematian.

Barangkali tak ada melankoli yang biasanya kami rasakan ketika berdiri di atas tanah kubur. Kalaupun ada, ini lebih tentang rindunya kami pada kampung halaman. Bersih kubur mengingatkan bahwa dua hari ke depan kami akan merayakan lebaran di kampung orang.

Saya pikir mereka berbeda. Pemuda-pemuda Anggai yang saat ini sedang bersama kami, yang beberapa di antaranya saya kenal – Bang Al, Bang Yamin, Bang Komar, Idhar Halqi, Ale. Mereka sedang berdiri di tanah tempat para saudara mereka diistirahatkan sampai masanya. Kalau bukan kesedihan awan kelabu, setidaknya pasti tersirat rindu pada mereka yang sudah dulu menuju pada-Nya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rerumputan di area pemakaman sudah tinggi-tinggi sekali. Tim Baraobira dan pemuda Anggai segera mencabuti rumput-rumput liar itu. Para lelaki membawa parang dan pisau, sedang para perempuan membawa sapu dan pengki. Namun tak sedikit juga yang mencabut rumput dengan tangan kosong.

“Wah, padahal akeh suket lateng ki (Padahal banyak rumput lateng disini)”, pikir saya melihat sekeliling pemakaman yang dipenuhi rumput gatal ini. Tapi tak sampai sedetik kemudian saya berpikir lagi, “Halah, menthel. KKN kok wedi suket (Halah, genit. KKN kok takut rumput)”.

Kami mulai mencabuti rerumputan liar, tak lupa kami bersihkan pula nisan-nisan lembab yang ditumbuhi lumut-lumut gempal. Sembari melakukannya, saya mulai mengamati siapa saja mereka yang ada di sekeliling kami. Kebanyakan adalah wajah-wajah yang baru pertama kali saya lihat. Mereka ternyata anak-anak IPMA (Ikatan Pelajar Mahasiswa Anggai) yang baru saja pulang kampung dari tanah rantaunya. Menjelang lebaran, mereka sengaja pulang untuk bertemu handai taulannya.

Mereka bekerja bergerombol. Satu sama lain saling mengeluarkan candanya. Tak jarang terdengar tawa keras karena salah satunya menggoda yang lain dengan guyon internal. Barangkali candaan tentang mantan atau bribikan yang baru saja menikah. Entahlah. Sampai tiba-tiba Bang Komar memanggil kami untuk berkumpul,

“Hei, Ngoni semua bakumpul dulu kesini. Semua. Mahasiswa UGM deng mahasiswa Anggai”.

Tak perlu waktu lama, titah dari Ketua Pemuda yang gemar pakai kaos polos merah hati ini segera kami laksanakan. Kami segera merapat mencari tempat duduk yang nyaman, ada yang duduk di nisan, ada yang bersandar di pohon kamboja, ada yang pasrah lesehan saja di atas tanah.

“Hei. Ini bagaimana ini, yang anak UGM duduk deng mahasiswa UGM. Yang anak Anggai duduk deng mahasiswa Anggai”, buka Bang Komar sembari mengamati posisi duduk kami.

“Ah, enggak juga”, batin saya yang duduk tepat di samping Bang Komar. Meskipun memang, posisi duduk kami cenderung mengelompok. Terlihat jelas mana grup UGM mana grup Anggai. Sembari bersiap mendengar instruksi Bang Komar, saya pun mengamati wajah-wajah baru dari pemuda-pemuda Anggai. Kira-kira ada lebih dari 15 wajah yang baru kali ini saya tatap.

“Selamat pagi !", sapa Bang Komar, tegas. "Alhamdulillah kegiatan pagi ini yaitu agenda bersih kubur sudah selesai terlaksana. Namun, ada satu hal yang masih sangat saya sayangkan. Sebagai kepala pemuda, saya harus mengatakan hal ini”.

Bang Komar berhenti sejenak sambil menatap kami dalam-dalam,kemudian melanjutkan, “Kenapa ini ngoni (kalian) belum bisa bergaul satu sama lain. Yang mahasiswa Anggai, bakumpul saja deng mahasiswa Anggai. Padahal tong sedang kedatangan mahasiswa dari UGM, Universitas Gadjah Mada, Universitas terbaik di Indonesia. Harusnya ngoni ini dekati dorang (mereka), supaya ngoni bisa belajar banyak hal dari dorang. Ingat, dorang sudah jauh-jauh dari Jawa datang kesini untuk Anggai. Jangan sampai niat dorang sudah baik, tapi ngoni tara bisa mendukung niat baik tersebut”.

Mendengar prolog tersebut, terbersit rasa kagol dalam hati saya. Saya membatin “Waduh, padahal kita mahasiswa biasa-biasa aja ya”, sampai kemudian Bang Komar melanjutkan pembicaraannya,

“Kalian yang mahasiswa UGM juga jangan bakumpul deng mahasiswa UGM saja. Kalau baronda (jalan-jalan) kemana-mana masih deng mahasiswa UGM saja, itu kalian lakukan di Jogja saja. Kalau kalian sedang ada di Anggai, maka bergaullah dengan orang Anggai, jadilah orang Anggai”.

Semua terdiam. Masing-masing menyadari bahwa kami memang belum akrab satu sama lain. Namun dari dalam hati yang paling egois, sebenarnya saya tidak sepenuhnya sepakat dengan perkataan Bang Komar.

“Hee Abang ! Kan baru 10 hari torang disini. Bagaimana bisa langsung akrab semua? Su bagus torang su bisa bikin kegiatan bersama pagi ini”, ucap saya. Dalam batin.

Idhar Halqi Sedang Membabat Rumput di Pekuburan yang Berawa
Diskusi pasca Bersih Kubur w/ Bang Komar
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Para perantau yang kembali di kampungnya sedang melepas rindu. Karena jarak lah manusia bisa merasakan kasmaran untuk yang kedua kalinya. Bahkan kali-kali berikutnya.

Selesai bersih kubur, para pemuda Anggai meminta kami untuk tidak langsung pulang. Salah seorang pemuda bernama Wawan menghampiri kami, ia anak Anggai yang sedang kuliah Pertambangan di salah satu universitas swasta di Jogja.

“Eh cuk”, sapanya mencoba mengakrabkan diri dengan menggunakan diksi “cuk”, sapaan akrab dari pisuhan khas Jawa Timur yang kini sudah jamak digunakan anak-anak Jogja. 

“Ayo mandi dulu. Baronda kita ke Tanjung Air Mangga”, ajaknya.

“Ee.. mantap, boleh itu”, sambung Danan penuh gelora.

“Siapa saja bang yang ikut?”, tanya Haviz.

“Kita semua yang laki-laki berangkat. Tunggu sebentar e, teman-teman sedang ambil motor”, jawab Wawan.

Baronda kali ini memang hanya melibatkan para lelaki. Sementara itu, para perempuang sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Sepertinya mereka tak tahan mengabaikan kobakan keringat di ketiak pasca bersih kubur.

Saya bersama Umar, Haviz, Danan, dan Baba jadi anak Baraobira yang ikut ke Airmangga. Sementara Kormanit Gilang sedang berada di Kecamatan Laiwui untuk mengurus kiriman buku dari Jawa di Kantor Pos. Buku-buku yang kami himpun sedari 6 bulan lalu ini rencananya akan jadi koleksi awal taman baca Anggai-Sambiki.

Manakala mereka yang punya motor sudah datang. Kami pun segera melaju menuju Tanjung Air Mangga. Tanjung yang menyimpan kenangan aduhai manis bagi saya dan Danan.

Kami naik motor secara “pacal”, atau dalam terminologi Jawa: “cenglu”, bonceng telu (berbonceng tiga). Saya berangkat membonceng Bang Fahrul Pelesir, pemuda Anggai yang baru saja pulang kampung pasca kelar skripsi. Ia adalah mahasiswa jurusan Teknologi Informasi dan Komunikasi di Universitas Negeri Manado. Sementara itu, partner pacal saya satu lagi adalah Bang Hendra, kakak kandung dari Wawan yang saat ini jadi guru muda, pengajar sosiologi, di SMP Peduli Bangsa.

Tak sampai 15 menit kami sudah tiba di parkiran Tanjung Airmangga. Untuk sampai di Tanjung Airmangga yang sesungguhnya - yaitu bagian tanjung dengan pasir putih yang halus, kami musti menelusuri dulu sebuah tepian tebing batu yang besar.

Kami menceburkan diri ke air laut yang berombak, mlipir-mlipir, berjalan pelan sambil berpegangan batu tebing yang lancip. Para pemuda lokal tentu saja berjalan dengan yakin, berjalan cepat berima dengan gerakan kakinya yang berotot. Sedang kami menyeberang dengan susah payah, juga terus saja was-was kalau tiba-tiba diterjang ombak tinggi. Atau, ternyata di cekungan batuan tebing itu, terlihat buaya air asin sedang berjemur. Aih, sejak kapan ini kemana-mana saya jadi paranoid pada buaya.

Beberapa menit kemudian kami sampai juga di Tanjung Airmangga.

Sepi.

Debur ombak terdengar lantang, hembusan angin siang yang asin bahkan terdengar jelas.

Dari dekat, pantai ini tampak seperti pantai tempat para pelaut terdampar. Dengan pasir putih yang tak lebar, namun memanjang sampai berpuluh meter sampai dibatasi pepohonan bakau yang rimbun. Warna bakau yang hijau kehitaman entah mengapa selalu memunculkan hawa yang ngeri. Barangkali di sela-sela garis lengkung akarnya, terdapat tulang-tulang tengkorak yang belum lapuk. Atau setidaknya: buaya air asin.

Karena keringnya siang ini, kami memilih berteduh di bawah pepohonan yang jadi pembatas antara Tanjung Air Mangga dengan hutan di belakangnya. NgademDisinilah kami baru sempat berkenalan satu sama lain. Hingga akhirnya saya mengenal mereka satu persatu.

Atok, anak muda berbadan tinggi kekar, wajahnya tegas dengan tulang wajah khas Timur yang disempurnakan dengan hidungnya yang mbangir. Rambut pendeknya yang rapi tipis samping membuatnya tampak makin gagah. Mahasiswa pertambangan Universitas Muhammadiyah Ternate ini adalah sosok yang tidak banyak bicara.

Anjas, satu-satunya “bocah” SMK yang ikut kami. Meskipun paling muda, juga paling kecil, namun mulutnya lah yang paling besar. Ia tak bisa diam, terus menertawakan satu persatu temannya, salah satunya pemuda berkaos merah bernama Awi yang ia panggil “Siluman Kuso !”.

Awi tentu saja jengkel pada Anjas, juga pada kawan-kawan lainnya yang ikut terbahak. Namun ia ikut tertawa ketika saya bertanya dengan lugu, “Apa itu kuso?”,

Bang Al-Khadrin yang duduk di dekat saya lantas langsung menyambung, “Kuso itu kus-kus. Si Awi itu dia siluman Kuso”.

“Adakah siluman Kuso?”, tanya saya lagi, melugu. Saya tahu sebenarnya mereka sedang mengada-ada.

“Ada. Kalau siluman babi kan suka bunuh orang. Kalau siluman kuso kerjanya tidur saja”, ujar Anjas sambil nyengir, dan kami pun terbahak. Saya baru tahu kemudian, kalau Awi dipanggil Kuso karena dia punya kakek yang bernama Kuso.

Mendengar Anjas bicara tentang siluman babi, saya segera memanfaatkan tema ini sebagai bahan obrolan. Kisah tentang siluman babi sungguh hal yang mencengangkan. Bagaimana tidak, seratus persen masyarakat Anggai percaya bahwa mereka hidup bersama salah satu warganya yang konon adalah, siluman babi ! Siluman ini konon tidak pernah ngepet. Ia bukan pencuri. Namun konon siluman ini tidak segan untuk membunuh.

“Eh abang-abang semua, benar kah itu cerita tentang siluman babi?”, tanya saya. Salah seorang pemuda berkulit sawo matang berambut ikal pendek, wajahnya mirip orang Jawa, dengan bibirnya yang tebal seperti perawakannya yang cukup gempal, lantas menjawab:

Iyo, benar itu. Dua bulan lalu saja ada yang dibunuh sama itu siluman babi !”, ujarnya. Pemuda yang kemudian saya kenal bernama Obing ini lalu melanjutkan kisahnya, “Bahaya sekali itu. Su ada tiga orang yang dibunuh".

Kemudian Bang Al-Khadrin melanjutkan, "Makanya hati-hati kalian. Terutama Haviz dan Umar itu yang sering bertemu deng dia".

Pernyataan Bang Al tak pelak mengundang beragam tanda tanya dari kami, sampai seorang Haviz pun tidak tahan menahan diamnya, “E.. kenapa kah hanya saya dan Umar yang sering bertemu?”.

Bang Al Kadrin menjawab, “Iyo. Kan cuma Haviz dan Umar yang sering ke Masjid. Kalau yang lain kan tidak. Hati-hati itu siluman babi itu ke masjid setiap hari !”.

Bagi saya, jawaban Bang Al sungguh tidak masuk akal, dan tentu saja sebagai pribadi yang ngeyelan, saya tidak bisa tidak untuk terus bertanya, “E... mana mungkin ada siluman suka pergi ke masjid? Bagaimana pula abang-abang bisa tahu kalau dia silumannya?”,

Kali ini Obing yang menanggapi, “Ya bisa saja. Kan supaya dia kelihatan orang baik kalau ke mushola terus”.

“Tapi bagaimana semua orang bisa tahu kalau dia silumannya?”, tanya Haviz lagi.

“2 bulan lalu kan ada yang dikejar-kejar siluman babi itu waktu dia lagi di kebung (kebun). Dirobek-robek itu tubuhnya sampai sekarat. Nah waktu dia sedang sekarat, de pe (dia punya) istri temukan itu de pe tubuh. Sebelum mati dia bilang kalau siluman babi  adalah si “tua” itu”, jawab Bang Al mantap sekali.

“Tapi bagaimana dia tahu kalau itu babi adalah si "tua” ?", tanya saya lagi.

“Dia bilang begini: waktu dia sedang diserang siluman babi, dia sempat pukul itu siluman babi pakai kayu dan tanah. Dan itu babi langsung berubah jadi orang dan lari. Tahu apa yang terjadi besoknya? Torang lihat kalau si “tua” itu pe wajah sedang bengkak seperti habis kena pukul kayu".

“Ah, benar kah???”,

“Iyo... benar...”, jawab Bang Al menggelegar.

“E tapi kenapa harus dia yang dibunuh sama itu siluman babi?”,

“Karena waktu itu dorang sedang baku (saling) marah. Makanya itu Haviz dan Umar yang sering ketemu, jangan sampai bikin dia marah”, sambung Bang Al.

“Wah berarti lebih baik saya, Danan dan Baba e. Kan hari Jum’at saja torang pergi ke Masjid”, sambung saya. Dan yang lain tertawa.

“Eh abang”, sapa Danan, “Kalau siluman buaya ada tarada?”,

“Hahahaha...”, tiba-tiba semua terbahak dan berbarengan menunjuk sesosok pemuda berkaos hitam.

“Tanya saja itu sama Ollo !”, ujar Obing sambil menahan tawanya.

“Ah, cukimanggar ngoni !”, jawab Ollo, mukanya ketawa kecut, seperti ekspresi saat kita jengkel karena ditertawakan, namun tidak bisa marah. Kenapa? Karena  sudah saking seringnya ditertawakan sebab “hal” tersebut. Hal apa itu?

Selidik punya selidik, sosok setinggi kurang lebih 165 cm (sama dengan saya), dengan perawakan tubuh yang kurang lebih sama kurus juga dengan saya (tapi dia lebih berotot), berambut keriting jambul, berkulit hitam gelap dengan wajah penuh bopeng bekas jerawat, berdagu cukup lancip, dan berhidung  mancung turun ini, ternyata adalah sosok pemuda yang sering sekali diceritakan masyarakat Anggai.

“Dua tahun lalu itu ada anak pacaran di pinggir sungai, lalu dorang digigit sama Buaya !”, kata orang-orang menceritakannya dengan semangat. Seringkali mereka nampak begitu besar hati menunjukkan pada kami bahwa buaya air asin memang punya habitat di Anggai. Ia bukan sekedar mitos.

“Eh, benarkah Abang Ollo ini yang pernah digigit buaya air asin itu?”, tanya saya dengan sedikit ragu. Saya sebenarnya agak takut kalau-kalau Ollo tersinggung. Aih, saya pikir Ollo sudah muak diceritakan dimana-mana, direpetisi pengalamannya selama beribu kali. Mulai dari bocah SD, sampai tua-tua disana, hampir semuanya menceritakan kisah itu.

Tapi Indonesia Timur tetap Indonesia Timur. Maluku tetap Maluku. Disini tarada “baper-baper”-an macam kami orang Jawa. Prinsipnya "Ngoni tanya, kita jawab !". Atas pertanyaan tadi, Si Ollo justru menjawabnya dengan sungguh percaya diri:

“Iyo... Lihat saja ini bekasnya”, katanya sambil menunjukkan lengan tangan kirinya.

Buajingan !!!”, batin saya. Saya kecep, speechless melihat codet bekas gigitan taring buaya yang terlihat jelas di lengan kirinya. Lukanya dalam, dari lengan tangan bagian muka, sampai tembus ke lengan bagian bawah. Benar... Benar... Si Ollo ini memang "dia" yang pernah diterkam buaya !

“Aih, gila Bang Ollo ini ! Terus bagaimana dengan abang pe pacar?”,

“Aman, saya kasih selamat dia”, mulutnya agam menyeringai nampak sangat bangga.

“Lalu bagaimana itu abang bisa selamat?”,

“Saya hantam, lalu saya sobek mulutnya”, jawab Ollo sambil membusungkan dada.

“Wiiih, abang ini ternyata titisan Jaka Tingkir ee !!!”, sanjung saya.

Tapi, di dalam batin, saya ngomong:

"Nggedebus.....".

Dasar cah Jawa...

4 Juni 2016


Tanjung Air Mangga
Saat ngadem di Bawah Pohon
Penampakan Tanjung Air Mangga

Yoman...
Menuju Batas Bebakauan
Obing, Sherizawa, Awi
"Abang apa ini pe nama?", tanya saya. "Oso pao !!!", jawab Awi.
Hendra, Baba, Sherizawa, Ollo, Danan, Obing, Awi, Fahrul, Ato, Wawan, Umar Bakrie, dan Al-Khadrin
Akhirnya renang juga. Sikilku bondas kabeh kena karang.
Karang yang Garang
Karang Meneh






Share:

0 komentar