MEMPERJUANGKAN DROIT AU BONBIN
Akhir-akhir ini gelombang pesimisme
terhadap gerakan #savebonbin entah
mengapa makin menjalar dimana-mana. Di sudut-sudut kelas, di pojokan sekber,
bahkan mungkin di antara meja-meja Bonbin sendiri. Tak cukup sampai disitu,
beberapa bahkan menganggap kawan-kawan gerakan #savebonbin terlalu wasting time
dan keras kepala.
Mungkin kita memang telah kehilangan sebuah kesanggupan yang sederhana,
namun begitu bersahaja. Adalah kesanggupan untuk berkata TIDAK. Padahal sudah
jelas bahwa ada banyak kecurangan dan ketidakadilan dalam upaya relokasi ini.
Misalnya kejanggalan perjanjian kontrak seperti yang dibahas oleh kawan-kawan
Dema Hukum. Belum lagi dengan keengganan
rektorat untuk sekedar memperlihatkan masterplan pembangunan taman soshum. Dan
juga narasi-narasi lain dari rektorat yang didalamnya mengandung racun-racun
kebohongan. Apa saja? Misalnya pernyataan bahwa Bonbin adalah sarang hepatitis,
pernyataan bahwa pedagang sudah setuju direlokasi namun dicuci otak oleh
mahasiswa, pernyataan bahwa pedagang Bonbin tidak pernah membayar tagihan listrik
dan air, dan sebagainya.
Save Bonbin Movement bukan tidak mau berunding. Kami hanya TIDAK mau
berunding dengan kebohongan. Kami hanya ingin segala rencana yang dilakukan
oleh pihak rektorat dikomunikasikan secara baik dan jujur dengan semua pihak. Pihak
pedagang juga pihak mahasiswa.
Henry Levebre, seorang sosiolog Prancis, pernah berujar bahwa produksi
ruang dalam masyarakat kapitalis modern cenderung mewujudkan hasrat para
kapitalis untuk memamerkan diri. Secara langsung atau tidak langsung, maka
segala pembangunan akan didasarkan pada kepentingan para bos-bos besar. Mungkin
inilah yang sedang terjadi di kampus kita. Di eranya yang kemungkinan sudah tak
lama lagi - antara satu sampai dua tahun - para penguasa ini sangat berhasrat
untuk meninggalkan sebuah berhala baru supaya eranya tetap diingat. Hasrat
untuk pamer rezim ini pun alhasil mengharuskan adanya korban, yang tak lain
korban tersebut adalah pedagang Bonbin.
Pernyataan rektorat bahwa "Yang mau direlokasi tetap di UGM, yang
menolak boleh keluar" sesungguhnya merupakan indikasi bahwa mereka sudah
tak lagi peduli terhadap nasib-nasib pedagang saat ini. Bagi mereka, hasrat
adalah tuhan.
Henry Levebre sebenarnya pernah menawarkan sebuah konsep yang bernama 'droit à la
ville', hak atas kota. Konsep ini menghendaki bahwa masyarakat seharusnya
berdaulat untuk mengubah warganya dengan mengubah kota itu sendiri. Tentu saja
hal ini karena masyarakat lah yang paling merasakan dampak dari suatu perubahan
kota. Hak atas kota ini bukanlah hak yang bersifat individual, tetapi merupakan
hak komunal yang seharusnya dimiliki oleh setiap masyarakat Kota. Dalam kasus
Bonbin, 'droit au Bonbin' atau hak atas Bonbin inilah yang sedang
diperjuangkan oleh siapapun yang sepakat pada gerakan #savebonbin. Itulah mengapa
sampai detik ini kita menolak relokasi dan mengajukan konsep renovasi, yang
mana sebenarnya lebih dibutuhkan oleh masyarakat Soshum - Lihat kajian LEM FIB,
BEM FEB, dan LM Psikologi di Line Save Bonbin Movement.
Lagian, meminggirkan pedagang Bonbin dari jalan Soshum (pusat) ke Lembah
(pinggiran) adalah sebuah bencana. Ruang adalah suatu hal yang tidak sepele.
Peminggiran pedagang Bonbin yang dibarengi dengan pembukaan dua kantin baru
FIB, (mungkin rektorat juga akan bikin kantin lain?) - dengan harga kontrak
yang konon mahal dan tenderan - menyiratkan bahwa kepentingan rakyat semakin
dipinggirkan sedang kepentingan mereka yang punya modal besar makin dipusatkan.
Bukankah ini jadi kode bahwa yang namanya kerakyatan juga makin dipinggirkan?
Dulu Bonbin itu adalah relokasi. Relokasi kok mau
direlokasi lagi. Pemakluman terhadap relokasi suatu saat akan membuat mereka
yang di Lembah juga akan direlokasi lagi. Dari Bonbin direlokasi ke Lembah UGM.
Dari Lembah UGM mungkin akan direlokasi lagi. Ke Lembah Baliem.
Bagus Panuntun,
1 Maret 2016
Bagus Panuntun,
1 Maret 2016
0 komentar