Kepada Mahasiswa Kyaiwan-Kyaiwati Penerima Bidik Misi



Bienvenue le mars ! Selamat datang bulan Maret !

Apa yang paling anda tunggu-tunggu di bulan Maret ini? Tentu masing-masing dari kita punya jawaban berbeda. Bisa jadi ada yang tak sabar menunggu tanggal 9. Tanggal 9 Maret yang menjadi peringatan Hari Musik Nasional ini ternyata bertepatan dengan fenomena gerhana matahari yang sudah sangat ditunggu-tunggu. Maka saya sarankan bagi semua pecinta musik tanah air untuk memutar OST film Gerhana saja di tanggal tersebut, 'Arjuna Mencari Cinta'. *Lawas....

Atau anda tak sabar menunggu tanggal 11 Maret? Hari peringatan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) yang menjadi titik awal kedigdayaan rezim bangsat korup Soeharto. Jika anda memang menunggu angka 11, maka mari bersama kita peringati Hari Supersemar ini dengan membuka supersemarvid (ternyata ini yang membuat Soekarno turun).

Astaghfirullah...

Terserah anda mau menunggu apa. Karena saya hanya menunggu beasiswa Bidik Misi turun (Wis ra nduwe sangu).

FYI gaes, bagi yang belum tahu, beasiswa Bidik Misi adalah beasiswa yang dikelola oleh DIKTI (Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi) untuk diberikan kepada mahasiswa-mahasiswa berprestasi yang miskin atau kurang mampu. Beasiswa ini turun setiap enam bulan sekali dengan nominal 600.000 rupiah perbulannya, jadi totalnya 3.600.000 rupiah per enam bulan. Beasiswa inipun jadi tumpuan utama ribuan mahasiswa untuk menyokong hidupnya di bangku perkuliahan.

Tetapi apa boleh bikin, ternyata penyaluran beasiswa Bidik Misi ini tak semulus Cita Citata yang diharapkan. Dalam praktiknya, penyaluran beasiswa Bidik Misi selalu molor. Bahkan semester lalu, penyaluran beasiswa ini di UGM molor hingga hampir dua bulan.

Lantas apa yang terjadi? Ada fenomena menarik yang bisa kita saksikan di grup facebook KAMADIKSI (Keluarga Mahasiswa Bidik Misi) setiap masuk bulan September dan Maret - bulan turunnya beasiswa Bidik Misi. Grup facebook yang biasanya sangat sepi seperti Mushola Kuburan ini, mendadak akan diramaikan oleh ratusan mahasiswa yang berdebat mengenai telat turunnya beasiswa.

Kalau kita amati, ada dua kubu besar yang rajin berdebat hore di grup berpenghuni 4500-an mahasiswa ini. Kubu pertama adalah mahasiswa yang protes karena beasiswa telat turun. Kubu ini biasanya kalau  nggak menyampaikan opini secara mayan kritis ya paling sekedar curhat kalau duitnya sudah abis, belum dapat utangan, atau terpaksa puasa nyenin kemis biar irit. Sedangkan kubu satunya adalah kubu para Kyaiwan-Kyaiwati yang alih-alih mengkritisi telat turunnya Bidikmisi, justru mendadak menjadi Mario Teguh Syar'i yang dengan cocot lamis motivasinya menasihati kaum-kaum kelaparan supaya mau bersabar.

"Protes mulu. Sabar aja, berdoa semoga beasiswanya cepat turun".

Tak hanya sampai disitu, kubu yang kedua ini juga seringkali menganggap mereka yang protes adalah manusia-manusia tak mau bersyukur.

"Protes mulu. Bersyukurlah kita sudah dibiayai pemerintah dengan gratis. Daripada protes, mending kalian belajar yang rajin biar beasiswanya ndak percuma".

Sesekali ada nasihat untuk segera menjadi entrepreneur.

"Saya mahasiswa Bidik Misi. Saya nggak protes, karena saya masih mampu untuk jualan sendiri demi menambah sangu. Kan kalian juga bisa to jualan? Ndaftar jadi operator warnet? Atau kerja di Kafe? Mahasiswa kok bisanya protes ndak kasih solusi."

MATAMU !

Begitu saya ingin berteriak pada mereka yang malah ceramah dengan mahasiswa yang protes. Ungkapan MATAMU ini tentu saya tunjukkan untuk dua macam orang. Pertama untuk Ukhti-ukhti yang kendati ceramah tapi berparas cantik. MATAMU INDAH mbak. Yang kedua, untuk semua mahasiswa yang nggak masuk kriteria tadi, tapi malah memprotes kawannya yang protes.  MATAMU CUKKKKKK.....

Sek-sek, mari kita nyruput Kopi dulu.... Slllrrrupp..

Wis yo... Lanjutkan ben woles...

Sebelumnya, perlu saya tekankan bahwa saya tidak mempermasalahkan pilihan sikap kalian untuk bersabar, bersyukur, apalagi bertawakal dengan mau jualan sendiri. Yo ngopo aku protes... Wong sikapmu kuwi jelas-jelas sesuai dengan akhlakul karimah seperti yang diajarkan oleh LKS PAI (Pendidikan Agama Islam) jaman SMA je...

Tetapi, yang saya permasalahkan adalah sikap pemakluman anda atas sebuah amanah yang tidak dikelola dengan baik oleh sebuah lembaga tingkat dewa sekelas DIKTI. Lebih-lebih jika pemakluman itu telah menjurus brutal sehingga anda dengan bangganya menganggap semua mahasiswa yang kritis dan protes adalah mahasiswa yang tidak mau bersyukur, bersabar, dan bertawakal. Tentu tidak demikian !

Perlu diketahui, Bidik Misi itu bukan duit negara lho. Bidik Misi itu duit rakyat yang asalnya juga dari petani, buruh, hingga nelayan kecil. Negara disini hanyalah badan yang menjalankan amanah supaya uang tersebut dikelola dengan baik supaya dunia pendidikan di Indonesia bisa makin baik pula. Maka, jelas anda telah salah logika jika mengatakan "Bersyukur dan berterimakasihlah pada negara, daripada memprotes". Sekali lagi cukkkk, kita ini dibiayai rakyat, bukan dibiayai negara. Kita berhak bahkan wajib memprotes dan mengkritisi negara jika mereka tidak menjalankan suatu amanah rakyat dengan baik. Ingat, yang membayar mereka itu kita lho, rakyat.

Uang Bidik Misi. Uang itu adalah uang rakyat. Kita bisa kuliah gratis karena rakyat. Yang berarti bahwa kelak kita juga harus mengabdi untuk balas budi pada rakyat - tentu rakyat yang saya maksud disini adalah para Kaum Kromo yang tertindas. Lha kok dengan entengnya cangkem anda ngomong "Bisanya protes aja...".

Saya sendiri sungguh khawatir terhadap mahasiswa-mahasiswa yang seperti ini. Ketika ada sistem yang salah, ketika ada penyalahgunaan amanah, mereka justru memilih maklum hanya karena saat ini mereka cenderung masih bisa bertahan hidup, masih oke-oke saja dan fine.

Saya khawatir sikap egois dan hanya memikirkan diri sendiri begini kelak akan berlanjut sampai kita lulus dan terjun di masyarakat. Saya khawatir jika suatu saat kita sadar ada sebuah sistem dan amanah yang dijalankan dengan salah, namun kita memilih diam karena masih mampu makan dan baik-baik saja. Alih-alih tergerak untuk membantu, kita justru menyuruh para korban salah sistem itu untuk bersyukur, bersabar, dan bertawakal - sembari menganggap mereka cuma bisa protes. Jika demikian, tentu sikap kita tak ada beda dengan para Pendeta Katholik di Eropa pada abad 17, tak ada beda dengan Kyai di TV yang senang berceramah tentang takdir dan kemiskinan, disatu sisi ia memasang tarif puluhan juta untuk sekali ceramahnya.

Sungguh, saya yakin bahwa nama Bidik Misi dibuat tidak dengan asal-asalan. Nama Bidik Misi dipilih karena memang ada sebuah misi yang perlu kita bidik. Misi itu bukan semata mengenai apakah kita bisa dapat IPK bagus atau tidak, misi itu adalah sebuah misi mulia yang tentu tak bisa dicapai dengan keegoisan.

Misi itu adalah tentang kita - penerima Bidik Misi - yang hari ini miskin, suatu saat bisa menjadi penolong orang-orang miskin. Misi mulia itu - sekali lagi - mana mungkin bisa tercapai dengan adanya keegoisan?

Wis lah. Semoga kita tidak menjadi Mahasiswa Bidikmisi yang enggan membidik misi.

Mari berdoa supaya beasiswa bulan Maret cepat turun. Sesok dinggo nonton Deadpool... *matamu, *tur lawas

Share:

0 komentar