bagus panuntun

berubah!



2017 bagi saya adalah 365 hari yang patut disyukuri meski dalam soal asmara saya harus mengalami kejamnya dunia perkecuan—yang lebih kejam dari dunia persilatan. Terlepas dari soal cinta yang sedang enggan saya bahas, 2017 sebenarnya adalah tahun penuh berkah. Sebab, sebagian besar resolusi yang saya rencanakan di tahun 2016 akhirnya bisa terwujud. Lulus sarjana, lolos tes DELF B2, dapat beasiswa LPDP, dan dapat LoA dari jurusan kajian sastra francophone.

Bagaimana saya dapat  meraih hal-hal  tersebut? Saya kira semua tercapai berkat status “pengangguran” yang saya sandang hampir sepanjang tahun.

Sebenarnya, saya tak nganggur-nganggur amat sih. Sepanjang 2017, saya sempat bekerja selama tiga bulan sebagai penerima tamu di sebuah hostel di Prawirotaman.  Hostel tersebut cukup ramai dikunjungi para bule kere yang ingin dapat penginapan murah di Jogja. Soal gaji memang menyedihkan. Seringkali di bawah UMR Jogja yang sudah ngepres itu. Tapi setidaknya kemampuan bicara bahasa Inggris saya jadi jauh meningkat setelah bekerja di sana. Selain itu, saya bahkan menjadi pelapak buku online yang melayani lebih dari 1.000 pelanggan sepanjang 2017. Belum lagi bisa mendapat hampir 13.000 followers instagram dalam waktu setahun. Lumayan kan?

Tapi tetap saja, kita akan selalu dicap pengangguran selama kita tidak sedang bekerja pada orang lain atau bisa berdagang sendiri dengan keuntungan puluhan juta rupiah. Kalau yang nanggung-nanggung seperti awak, ya jangan protes kalau tetap disebut pengangguran.

Saya pun tidak akan protes pada status tersebut. Sebenarnya, saya malah mensyukurinya.

Dan lewat tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman tentang faedah menjadi seorang pengangguran setelah lulus kuliah.

Mari kita awali cerita ini dengan dua kalimat pengantar: Saya lulus sidang skripsi tanggal 31 Januari 2017. Setelah itu, saya menghabiskan sebagian besar waktu sampai akhir tahun untuk belajar di kos-kosan.

Menuntaskan Apa yang Membuatmu Penasaran

Sejak dulu saya percaya bahwa masa muda adalah masa untuk untuk menuntaskan apa-apa yang membuat kita penasaran. Maka waktu "menganggur" yang begitu lama di kos-kosan tersebut saya gunakan untuk mencapai hal-hal yang membuat saya begitu penasaran.

Bagi saya, hal yang paling membuat penasaran dan sejak lama saya cita-citakan adalah merasakan hidup di Prancis. Selama ini, saya ingin melanjutkan apa yang telah saya geluti selama empat tahun terakhir. Saya ingin memahami bahasa dan sastra Prancis sedalam-dalamnya, lalu menjadi penerjemah dan pengkaji bidang ilmu yang paling saya minati: Kajian Sastra Prancis dari negeri-negeri jajahan atau sastra francophone.

Untuk mencapai hal tersebut, saya sadar bahwa jalan yang akan saya tempuh tidaklah mudah. Apalagi dengan lingkar otak saya yang pas-pasan. Di samping itu, sugih pun saya tidak. Membayar dengan biaya sendiri? Yo ra mungkin. Wong beli sempak Indomaret saja saya pikir-pikir. Maka jalan yang paling mungkin untuk bisa mencapai hal tersebut adalah  meraih beasiswa.

Maka beginilah yang saya rencanakan setelah lulus kuliah: mencari kerja yang selo dengan tingkat penghasilan yang penting bisa buat makan, memanfaatkan tiap waktu selo tersebut untuk belajar bahasa Prancis sampai berdarah-darah—demi DELF B2, juga belajar bicara dan menulis bahasa Inggris sampai gumoh—demi tes LPDP, dan akhirnya menyisakan waktu senggang lainnya untuk menghibur dan mengkatarsiskan diri dengan menonton film, membaca buku, dan melewatkan hari bersama teman-teman terdekat.

Seandainya setelah lulus saya langsung bekerja, bisakah saya melakukan hal-hal tersebut? Mungkin bisa, tapi susah.


Maka saya memutuskan menganggur. Lalu memanfaatkan waktu nganggur tersebut untuk membuat saya berprogres sebaik mungkin di bidang yang berhubungan dengan mimpi yang sedang saya kejar.

Meredam Keterlenaan
Menganggur juga bisa membuatmu terlena dan seringkali jadi tak serius mengejar apa yang telah kamu resolusikan. Banyak sekali hal menggoda di kala menganggur. Keasikan jualan buku, ngidam jalan-jalan, atau khilaf maraton tv series misalnya. 
Maka saya melakukan dua hal penting untuk membuat saya tak sampai terlena: pertama, saya menyetel alarm 1 tahun untuk mimpi-mimpi tersebut. Kedua, saya meminta restu orang tua dan membicarakan dengan mereka tentang batas waktu yang telah saya tentukan. 


Soal izin dengan orang tua, hal tersebut pn jadi cobaan tersendiri. Saya tak seberuntung kebanyakan teman-teman yang berasal dari keluarga mampu. Sedari awal kuliah sampai lulus, saya misalnya tidak pernah dapat jatah bulanan. Lebih-lebih, di posisi setelah lulus begini, orang tua saya sebenarnya sudah berhak segera mendapat "balas budi" dari anak-anaknya. Lah gimana, wong kanca-kanca sedesa saya yang lulusan SMK saja sudah pada bisa ngirimin uang rutin bulanan, nah aing yang sarjana ini, mosok hanya kirim sms mama minta pulsa?

Puji Tuhan, orang tua saya akhirnya dapat memahami cita-cita jangka panjang saya. Mereka bahkan turut mendoakan saya untuk menjadi peneliti sastra, bukan sekadar sekrup di perusahaangede saja.

Jika saja kau punya orang tua yang lebih mampu, saya kira mereka akan lebih mudah memahami keinginanmu untuk mengejar apa-apa yang membuatmu penasaran.

Pertanyaanya, bagaimana jika saya gagal meraih cita-cita saya dalam jangka waktu tersebut?

Jawaban saya sederhana: mengikuti "arus umum" dengan segera bekerja. Kalau sampai hal ini yang diputuskan Tuhan, saya pun akan ikhlas menerimanya. Toh kewajiban nomor satu seorang anak adalah membahagiakan orang tua. Bisa dengan kasih sangu atau kasih mantu.

Resolusi 2018



Refleksi tak akan berarti tanpa diikuti resolusi. Resolusi penting untuk memahami jalan menuju kebahagiaan. Dan kebahagiaan sebenarnya hanya soal perubahan saja. Ingat kan rasanya ketika kita mulai bisa naik sepeda, mulai paham fungsi kopling dalam motor racing, atau yang paling sederhana  ketika kita menguasai satu vocab baru. Bahagia kan? Maka, setiap akhir tahun saya selalu merencanakan beberapa hal besar dan kecil yang mesti berubah.

Di tahun 2018, saya ingin mengakhiri status sebagai pengangguran. Saya akan bekerja entah di Bali atau di Jogja. Selama setahun, saya ingin mengumpulkan uang untuk membahagiakan Bapak-Ibu sebelum di 2019 berangkat ke Prancis.

Sembari itu, saya akan tetap mengembangkan kemampuan bahasa Prancis saya yang jelek saja belum. Dua tahun lagi ketika saya tiba di Marseille, saya sudah memiliki kemampuan membaca sehebat dosen-dosen saya, haha, amin. Perlu belajar berdarah-darah lagi ya.


Maka untuk mengasah kemampuan membaca dan menulis tersebut, saya ingin menerjemahkan satu kumpulan cerpen dari Emmanuel Dongala berjudul Jazz et Vin de Palme. Oh ya, Emmanuel Dongala ini adalah sastrawan Kongo yang nanti karya-karyanya akan saya teliti sebagai objek tesis.

Perihal buku, saya akan membaca setidaknya empat karya Emmanuel Dongala. Selain itu, saya akan membaca banyak buku tentang kajian poskolonialisme dan sastra francophone. Saya akan mengurangi membaca buku berbahasa Indonesia karena saat ini saya lebih butuh mengembangkan kemampuan berbahasa Prancis yang masih terlalu rudin. Untuk buku Indonesia, saya ingin membaca karya-karya Kuntowijoyo, legenda sastra yang berasal dari satu almamater saya. Sampai hari ini, saya belum pernah membaca satupun karyanya. Memalukan.


Resolusi lainnya, saya akan lebih aktif menulis di blog ini. Awalnya saya ingin membuat rubrik bernama nggambleh, yang artinya ngomong seperti tanpa arah dan juntrungan tapi sebenarnya punya poin yang ingin dibicarakan. Tapi nggambleh terdengar kurang nyeni. Cangkeman juga terlalu kasar. Ngecret rada njijiki. Jadi saya kasih judul "cermin" saja karena tulisan seperti ini banyak mengandung refleksi.

Resolusi terakhir, semoga tulisan saya tak hanya dimuat di kibul, tetapi juga di minum kopi, basabasi, dan dimuat di mojok lagi.

Sekian resolusi saya di tahun 2018. Selamat tahun baru 2018. Untuk kawan-kawan yang baru lulus, jangan takut jadi pengangguran!


Wonosobo, 1 Januari 2018














Tempat paling aman dari cegatan SIM adalah film-film bioskop Indonesia. Padahal, cegatan SIM, razia lalulintas, atau operasi zebra merupakan perihal yang kerap kali kita temui. Saking kerapnya, kita bahkan merasa begitu dekat dengannya. Saking dekatnya, kita bahkan merasa bahwa cegatan SIM adalah entitas yang hidup: ia makhluk yang senantiasa mengawasi dan mengintai kita sehingga kita tetap was-was bahkan ketika sudah lengkap membawa SIM dan STNK.
Anehnya, perihal yang begitu akrab dengan kita tersebut, hampir tidak pernah muncul dalam film-film Indonesia. Sementara itu, kita semakin kesal melihat fenomena cegatan SIM yang lebih identik dengan praktik korupsi dibanding kedisiplinan. Mengapa fenomena ini seolah tak pernah disindir oleh film-film kita? Pertanyaan tersebut akhir-akhir ini terus berlabuh seiring dengan kebiasaan saya yang cukup intens menonton film India selama tiga tahun terakhir.
Cerita dalam film-film India hampir selalu menautkan kuat dirinya dengan realitas yang ada di masyarakat. Salah satunya dengan kondisi perpolisian di sana. Sementara polisi dalam film Indonesia hampir selalu dihadirkan sebagai pahlawan yang acap membengkuk penjahat, polisi dalam film-film India justru kerap dihadirkan sebagai sosok manusia biasa yang seringkali kejam, korup, bahkan bodoh.
Pada mulanya adalah Drishyam (2015), film India pertama yang saya tonton di 2015 yang selanjutnya membuat saya terus melakukan maraton film India hingga hari ini. Drishyam bercerita tentang Vijay Salgaonkar (Ajay Devgan), seorang DO-an kelas 4 SD, yang berusaha menyelamatkan keluarganya dari sisi gelap hukum India. Plot dari film ini bermula ketika Anju—putri pertama Vijay Salgaonkar—secara tak sengaja menghantam batok kepala Sam—putra tunggal Inspektur Jendral Polisi Goa—dengan tongkat besi. Anju berusaha menghantam Sam untuk merebut gawai yang baru saja digunakan Sam untuk merekamnya ketika tengah mandi. Malang, akibat hantaman telak tersebut, Anju justru membunuh anak sang inspektur yang seketika tewas di tempat.
Sebagai seorang Bapak, Vijay berusaha melindungi keluarganya dari tuduhan pembunuhan berencana. Ia menyusun berbagai alibi untuk membuat keluarganya seolah tak terlibat sama sekali dengan pembunuhan tersebut. Celakanya, Vijay harus berhadapan dengan Inspektur Jendral Polisi Meera Deshmukh (Tabu), ibu dari Sam yang ampun-ampunan cerdas namun sekaligus beringas. Film ini selanjutnya memperlihatkan pada kita bagaimana cara kepolisian India membuat keluarga Vijay mengakui kesalahan. Kepolisian dalam film ini dimunculkan sebagai sosok yang tak segan memaksa bahkan menyiksa tertuduh supaya membuat pengakuan. Di film ini, Anda juga akan bertemu dengan tokoh Gaitonde, sosok polisi berkumis tebal berbadan gempal yang akan membuat hasrat menempeleng Anda memuncak. Gaitonde dalam Drishyam benar-benar dihadirkan sebagai polisi yang ringan tangan. Ia bahkan tak segan menggampar seorang bocah yang baru berusia 7 tahun.
Film Drishyam bukanlah satu-satunya film India yang dengan sangat realis berani menunjukkan sisi gelap polisi. Jika polisi dalam Drishyam masih dihadirkan sebagai sosok yang meskipun kejam namun cerdas, lain halnya dengan polisi di film Talvar (2015). Dalam film besutan sutradara Meghna Gulsar ini, polisi tak saja nampak sembrono, namun tolol bukan main. Kisah film ini dibuka dengan adegan  ditemukannya mayat Shruti Tandon, gadis berusia 14 tahun yang meregang nyawa dengan leher teriris di kamarnya. Tepat sehari setelah pembunuhan tersebut, rombongan polisi pun datang ke TKP untuk melakukan penyidikan. Biadabnya, mereka melakukan penyidikan tersebut dengan cara yang sama sekali tidak profesional. Pertama, polisi membiarkan TKP tidak steril dengan membiarkan warga lalu lalang di area tersebut. Kedua, mereka tak mencari adanya jejak darah atau sidik jari yang tersebar di sekitar rumah. Akibat kesembronoan tersebut, kasus ini tak dapat segera dipecahkan. Kejaksaan India pun menghadirkan dua detektif yaitu Ashwin Kumar (Irffan Khan) dan Paul (Atul Kumar) untuk memecahkan kasus tersebut. Hasilnya? Dua detektif tersebut memiliki kesimpulan yang berbeda 180 derajat. Film yang memperoleh rating 93 % di situs rotten tomatoes ini kemudian membuat kita sebagai pemirsa bingung menentukan manakah analisis yang tepat dari kedua detektif tersebut, sebab keduanya sama-sama masuk akal. Akan tetapi, terlepas dari apakah kita mendukung alibi Ashwin atau Paul, pada akhirnya kita akan seiya-sekata mendukung bahwa polisi dalam film ini benar-benar dihadirkan sebagai pemalas dungu yang jidatnya layak disundut rokok.
Film ketiga yang bisa kita tonton adalah Raees. Film yang baru saja rilis di awal tahun 2017 ini disutradarai Rahul Dholakia dan dibintangi aktor India paling dicintai perempuan-perempuan negeri kita. Siapa lagi kalau bukan Shah Rukh Khan. Hanya saja, Anda boleh kecewa jika mengharap Shah Rukh akan berperan sebagai sosok yang baik hati yang tangkas merayu, menari, dan menangis seperti Rahul. Shah Rukh yang berperan sebagai Raees di sini adalah sosok antihero, sosok mafia minuman keras di Gujarat yang ditakuti siapa saja, termasuk polisi. Dengan uang yang dimilikinya, Raees diceritakan mampu membayar kepolisian berapapun dan bahkan membuatnya merasa “berhak” menggasak setiap polisi yang tidak disukainya. Kepolisian benar-benar diolok-olok dalam film ini. Ya, meskipun di sisi lain, film ini juga menghadirkan Majmudar (Nawajuddin Siddiqui), sosok ideal polisi India yang anti sogok dan rela bersusah payah menangkap Raees meski berada di tengah lingkungan kerja yang hancur-hancuran.
Tiga film di atas hanyalah contoh dari sekian banyak film India yang menghadirkan polisi sebagai lembaga yang jauh dari kata sempurna. Di luar judul-judul tersebut, masih ada puluhan atau mungkin ratusan film lain yang dengan tegas menghadirkan fragmen tentang korupsi polisi atau kekejaman aparat terhadap sipil. Jika Anda ingat genre “Film Inspektur Vijay” yang dulu kerap nongol di televisi swasta kita, film ini juga kerap menghadirkan para “Angry Young Man” anti-kemapanan yang berjuang melawan kejahatan di tengah kebanyakan polisi yang tak bisa diandalkan.
Pertanyaannya, adakah film Indonesia modern—terutama dalam tiga tahun terakhir— yang berani menghadirkan fragmen-fragmen semacam itu? Sejauh yang saya amati, kita sebenarnya memiliki dua film yang dengan cukup gamblang berani memperlihatkan sisi “manusia” dari polisi-polisi kita. Film tersebut adalah Siti (2014) dan Marlina, Pembunuh dalam Empat Babak (2017). Dalam film Siti misalnya, kita akan melihat polisi yang mau disogok, hobi minum ciu, dan gemar menyewa biduan karaokean. Sementara dalam film Marlina yang baru saya tonton dua hari lalu, kita dapat menjumpai polisi malas-malasan yang lebih memilih main pingpong daripada segera melayani orang yang hendak melapor. Jangan lupa pula bagaimana polisi dalam film tersebut tampak begitu menyepelekan korban pemerkosaan dengan bertanya, “katamu dia (si pemerkosa) kurus dan kerempeng? Kok bisanya kamu diperkosa?”.
Meski kadar kritik dalam dua film tersebut tidak seintens dan serealis dalam film-film India, sebenarnya kita bisa menganggap dua film tersebut sebagai sebuah harapan. Kita, saya kira, selalu mengharapkan bahwa film-film yang hadir di bioskop Indonesia adalah film yang mampu dijadikan sarana kritik sosial terhadap isu-isu kontemporer. Hanya saja jika dipandang secara lebih kritis, dua film tersebut pun sebenarnya bisa hadir ke bioskop-bioskop setelah sebelumnya memenangkan berbagai penghargaan tingkat internasional. Andai saja film-film tersebut belum memenangkan penghargaan internasional dan misalnya dibintangi Reza Rahardian, Chelsea Islan, atau Vino G Bastian, mungkinkah film-film tersebut tidak dilarang beredar?
Saat ini kebebasan film Indonesia untuk menghadirkan “gambaran sejati tentang Indonesia” masih jauh panggang dari api. Barangkali, salah satu faktor yang menimbulkan kemampatan ini adalah sisa peninggalan orde baru dengan Kode Etik Produksi Film tahun 1981-nya. Salah satu poin dari kode etik tersebut adalah: “film Indonesia bertanggung jawab meniadakan pernyataan yang memicu merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penegak hukum”. Saya sungguh heran, kenapa sih lembaga penegak hukum di negeri kita selalu lebih peduli pada citra dibanding realita? Padahal, jika ada fragmen film yang menghadirkan sisi buruk penegak hukum kita, kan bisa ditanggapi dengan santai seperti biasanya: “mereka hanya oknum!”
Iya, oknum. Kan kita semua tahu:
Kepolisian bersih,
yang menerima sogok hanyalah oknum.
Kepolisian baik,
yang menyiksa sipil hanyalah oknum.
Kepolisian selalu benar,
Kalau ada yang salah, mereka ya oknum.


Begum Jaan (2016) adalah film yang mengisahkan kehidupan para pelacur di awal kemerdekaan India dan di tengah konflik pemisahan India-Pakistan. Film yang disutradarai oleh Srijit Mukherji ini menampilkan Vidya Balan sebagai Begum Jaan, pelacur sekaligus pemilik rumah bordil yang terletak tepat di perbatasan India-Pakistan. Film ini hanya meraih poin 5.6/10 di IMDB. 5.6/10 untuk film dengan opening dan ending yang teramat epic. Para kritikus film memang layak dikutuk sebagai manusia yang kurang menghargai mahalnya ledakan sensasi dari hal-hal kecil.

Saya akan sedikit membahas tentang pembukaan film ini yang bagaimanapun cukup mengesankan. Hanya saja, saya tidak ingin memberi tahu ending film ini yang benar-benar membuat saya tidak habis pikir mengapa film ini meraih angka yang begitu rendah.

Mari kita mulai dari opening film.

Begum Jaan dibuka dengan adegan seorang gadis remaja yang dikejar segerombolan pemuda teler yang hendak memperkosanya beramai-ramai. Sekuen pembuka yang singkat ini kemudian diakhiri dengan munculnya sesosok perempuan lanjut usia berumur 80-an yang tiba-tiba berdiri di depan gadis tersebut. Si perempuan tua tadi tanpa diduga melucuti bajunya satu per satu hingga ia telanjang bulat. Melihat “seonggok” badan keriput yang bugil di depannya, para pemuda teler tadi menjadi ketakutan dan terbirit-birit. Fragmen ini menjadi sekuen pembuka yang menurut saya begitu epic. Terlebih, si Perempuan Tua berdiri telanjang di depan depan bendera India yang berkibar-kibar.

Sekuen pembuka ini sebenarnya mengajak kita melihat permasalahan kontemporer di India tentang nasib perempuan di sana. Di India, nasib perempuan disebut tidak lebih aman daripada sapi. Sementara sapi disembah dan dihormati sebagai hewan yang sakral, perempuan-perempuan India justru senantiasa dicekam rasa takut atas berbagai kekerasan seksual.

Setting waktu lantas mundur ke tahun 1947 ketika India baru saja merebut kemerdekaan dari Inggris dan tengah terjadi konflik pemisahan India-Pakistan. India sebagai tanah orang-orang Hindu, Pakistan untuk tanah-tanah orang Islam. Sementara itu, setting latar diambil di sebuah rumah bordil yang terletak di tengah garis batas kedua negara tersebut.

Sampai di titik ini, kita telah dijatuhi berbagai pertanyaan yang membuat kita begitu penasaran. Siapa perempuan tua renta tadi? Mengapa film ini menyajikan isu feminisme India masa kini kemudian membawa kita mundur ke masa lalu dengan isu yang begitu rumit: kemerdekaan, konflik Hindu-Islam, pelacuran. Mampukah film ini menemukan benang merah antara masa lalu dengan masa sekarang? Antara kekuasaan, agama, dan perempuan? Maka, 120 menit berikutnya adalah upaya sutradara Srijit Mukherji untuk mencoba menghubungkan konflik-konflik yang rumit dan tumpuk undung tersebut.

Dalam salah satu fragmen, film ini mengkritik para politikus dan kaum agamawan India melalui sudut pandang sosok Begum Jaan. Fragmen ini menceritakan kedatangan para politikus dari kelompok Hindu dan kelompok Islam  ke rumah bordil untuk memberikan surat perintah pengosongan rumah bordil. Rumah bordil akan segera diratakan, pagar kawat pembatas India-Pakistan akan segera didirikan. Mendengar perintah tersebut, Begum Jaan justru terbahak-bahak. Ia kemudian mendatangi salah seorang pelanggan dan memberinya pertanyaan:

Did you ask about the girl’s caste, her religion? Is she hindu or muslim? Hei Mr. Brahman, you were in a bed with a girl. Do you know her caste? She’s sudra.
Selanjutnya, Begum Jaan kemudian mengalihkan omongannya pada dua politikus perwakilan India dan Pakistan tadi:

Hey Mr, we didn’t asked them any question either. Caste, creed, religion. They just chose a girl, fixed a price and we welcomed them. Call this brother or a whorehouse. This is my home, my country. There are no hindus or muslims, high or low caste.
Fragmen di atas kita tahu telah mengkritik berbagai isu secara bersamaan. Sudut pandang kritik yang disampaikan oleh seorang perempuan saja sudah mengindikasikan bahwa film ini berusaha mengangkat isu feminisme: perempuan yang berani bersuara. Belum lagi, fragmen ini juga menyajikan kaum-kaum agamawan yang moralis namun haus kekuasaan.

Carut marut isu kekuasaan, agama, dan perempuan memang perihal yang begitu pelik di India. Institusi politik sebagai instrumen kuasa memang selalu bekerjasama dengan kaum agamawan untuk terus melanggengkan narasi perempuan sebagai second sex, jenis kelamin yang berada satu tingkat di bawah kelamin laki-laki. Maka, kaum perempuan India sejak dulu hingga hari ini masih terus mengalami represi seksual yang dilegitimasi melalui kultur patriarki dan dalil-dalil agama. Kaum perempuan hindu harus bersedia dinikahi orang yang memiliki kasta lebih tinggi, sementara kaum perempuan muslim harus menuruti perjodohan yang dilakukan orang tuanya. Mereka tak punya kesempatan untuk memilih. Maka ketika Begum Jaan sebagai perempuan sekaligus pelacur menyampaikan kritik kerasnya tentang kasta, politik, dan gender di depan dua politikus dan agamawan tadi, film ini seolah ingin menyampaikan dengan tegas bahwa politikus dan agamawan di India sebenarnya sama sekali tidak lebih ‘tinggi’ dibanding sosok perempuan. Bahkan mereka lebih ‘rendah’ daripada sosok pelacur.

Sebagaimana kebanyakan film India modern, Begum Jaan memang berusaha menyampaikan berbagai isu sosial. Sayangnya, isu politik, agama, dan gender, ini tidak disampaikan secara rapi dan seringkali berjejalan dalam satu fragmen. Banyak sekali fragmen-fragmen yang terasa mubadzir dan dipanjang-panjangkan untuk menyampaikan isu tersebut. Sebut saja dongeng-dongeng yang diceritakan Amma (Ila Arun) – perempuan tua yang bekerja di rumah bordil Begum Jaan— yang menyajikan mitologi-mitologi India tentang perempuan-perempuan kuat di zaman dahulu. Fragmen-fragmen yang disajikan dalam gambar hitam putih ini menurut saya selain terlalu banyak juga gagal memperlihatkan kekuatan kaum perempuan. Ia justru disajikan seperti film humor klasik yang menyajikan artis-artis dengan ekspresi yang kaku dan datar. Benar-benar seperti parodi.

Saya sebenarnya juga sedikit kecewa dengan tindakan resistensi perempuan dalam film ini yang lebih ditampilkan dalam wujud resistensi fisik: perempuan berani berdebat, perempuan bisa pegang senjata, perempuan berani perang. Saya sebenarnya berharap bahwa sosok pelacur di film ini ditampilkan seperti sosok Firdaus di novel Perempuan di Titik Nol karya Nawaal El Saadawi. Dalam novel yang dianggap sebagai adikaryanya tersebut, Nawaal berhasil menghadirkan perempuan yang melawan dengan penuh kesadaran melalui erotisme: membuat lelaki bertekuk lutut, menyerah, dan tak berdaya di hadapannya. Ia membuat lelaki hadir sebagai makhluk yang sangat lemah dan tak punya wibawa apapun ketika datang hasrat libidonya.

Bagaimanapun, Begum Jaan adalah film yang layak ditonton terutama bagi kalian yang menyukai film-film bertema perempuan. Terlepas dari kekurangan-kekurangan di banyak adegan film tersebut, Begum Jaan pada akhirnya benar-benar berhasil menyajikan perlawanan kaum perempuan yang sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Kalau tak percaya, tonton saja endingnya.


Bagaimana cara memasukkan gajah ke dalam kulkas? Ambil gajah, buka pintu kulkas, masukkan gajahnya, tutup pintu kulkasnya. Sederhana bukan? Sesederhana pertanyaan “bagaimana cara memasukkan tahi ke dalam kakus?”.  Masuk toilet, buka celana, nikmati prosesnya, biarkan kakus melumat tuntas hajatmu sampai tak berbekas. Urusan perut lega, kita bahagia.

Urusan buang hajat memang sederhana, kecuali jika kita tinggal di India. Bayangkan saja, di negara berpenduduk kurang lebih 600 juta tersebut, lebih dari 300 juta warganya belum memiliki toilet di rumah. Sementara itu, 70 persen dari rumah tangga juga memilih tak membangun tempat merenung terbaik tersebut. Urusan tersebut akan semakin rumit jika kita memahami bahwa toilet bukan sekadar urusan buang tahi lalu kelar. Nyatanya, permasalahan toilet juga bersilang paut dengan permasalahan tradisi, agama, hingga gender di India. Mbulet. Dan urusan mbulet-nya boker di India ini disampaikan dengan cukup oke oleh film Toilet Ek Prem Katha (2017) yang disutradarai oleh Shree Narayan Singh dan dibintangi oleh artis kawakan Akhsay Kumar dan Bhumi Pednekar.

Plot utama dari Toilet Ek Prem Katha adalah rencana Jaya (Pednekar) menceraikan suaminya, Keshav (Kumar), yang tak mampu juga membangun toilet di rumahnya setelah menikah selama 6 bulan. Di India, seorang istri memang berhak dan legal menceraikan suaminya yang enggan membangun toilet di rumahnya. Legalitas tersebut hadir seiring dengan gencarnya kampanye sanitasi yang digencarkan pemerintah India sejak tahun 2014. Dalam film ini, Keshav sebenarnya sudah berniat membangun toilet di rumahnya demi Jaya. Akan tetapi, keinginan Keshav untuk membangun toilet tak sesederhana yang dibayangkan. Keshav ternyata harus menghadapi ayahnya, seorang tradisionalis kolot dan fanatis, yang menganggap buang hajat di semak-semak adalah tradisi nenek moyang yang perlu dipertahankan. Lebih parahnya, masyarakat di desa Keshav juga setali tiga uang. Baik mayoritas lelaki maupun perempuan di sana menganggap bahwa membuang hajat di dalam rumah justru membuat rumah mereka tak suci dan jorok.





“Only animals which defeated in outdoor place”, ucap Jaya berkali-kali. Jaya yang pernah mengenyam kuliah di Jepang tentu saja merasa geli bukan main ketika perempuan di desa Keshav mengajaknya mengikuti “Lota Party”, sebuah “pesta” buang hajat bersama yang dilakukan saat subuh. Dimana perempuan ini buang hajat? Mereka melakukannya di semak-semak.




Para lelaki sebenarnya lebih parah lagi. Mereka terbiasa melakukannya di pinggir jalan, di pematang sawah, atau bahkan di samping rumah.




Adapun konflik utama dalam film ini terjadi ketika Jaya dan Keshav akhirnya bersatu dan berupaya menyadarkan masyarakat India akan pentingnya sanitasi. Mereka memilih memanfaatkan media dan pemerintah untuk mengubah mindset masyarakatnya. Lalu, apa yang terjadi berikutnya? Kontroversi di se-antero Indialah jawabannya. Kali ini bukan hanya soal tradisi, agama, dan gender, orang-orang bahkan tak segan menyalahkan pendidikan sebagai penyebabnya. Mereka menyebut Jaya sebagai “The girl poisoned by education”.

Jika kamu sering menonton film India, tentu kamu tak asing lagi dengan formula film India modern. Pertama, tangkap isu sosial yang tengah ramai diperbincangkan. Kedua, ambil sikap entah pro atau kontra terhadap kebijakan pemerintah India atas isu tersebut. Ketiga, selipkan isu budaya, agama, atau gender di dalamnya. Ketiga unsur tersebut tentu saja masih dominan dalam Toilet Ek Pram Katha. Narayan Singh menyajikan pada kita fragmen demi fragmen yang dengan jelas mendukung kampanye sanitasi yang sebenarnya pernah disampaikan Mahatma Gandhi saat baru memerdekakan India puluhan tahun lalu. Keberpihakan Narayan Singh pun disajikan melalui adegan-adegan yang memorable dan penuh kritik sosial. Sebut saja misalnya adegan ketika Ayah Keshav terjungkal dari motor saat berniat melirik seorang perempuan yang tengah buang hajat di semak-semak yang ternyata adalah Jaya, menantunya sendiri. Dalam film garapannya ini, Narayan Shingh juga berhasil menghadirkan Jaya sebagai sosok yang memikat. Jaya tidak ditampilkan sebagai perempuan berpendidikan modern yang sok open-minded dan pada akhirnya hanya mampu mengeluh dan menghujat tradisi lokal sambil membanding-bandingkannya dengan budaya Barat. Ia misalnya sudi beberapa kali mencoba Lota Party dan alih-alih terus marah pada Keshav, ia juga bersedia menerima ajakan Keshav untuk buang hajat di toilet kereta yang tengah istirahat. Jaya adalah perempuan yang kuat meski pada akhirnya ia tetap menangis. Tapi tangisan Jaya membuat kita turut berempati alih-alih menganggapnya sebagai perempuan manja. Namun dari semua keistimewaan Jaya, ia nampak paling istimewa ketika dihadirkan sebagai perempuan yang pandai menulis dan berani menyampaikan opininya di media massa. Bukankah perempuan yang pandai menulis dan berani bersuara adalah sememikat-memikatnya perempuan?




Film ini jelas bukan tanpa kekurangan. Meski mampu menyajikan fragmen demi fragmen yang memorable tentang isu sanitasi dan menghadirkan tokoh perempuan yang cukup mengesankan, Toilet Ek Prem Katha nyatanya masih jauh dari kata sempurna. Kekurangan utama dari film ini adalah penyajian isu sanitasi yang baru disajikan setelah 50 menit film berjalan. Sementara itu, dari menit pertama hingga 50, film ini praktis hanya menyajikan kisah cinta yang dikemas secara lebay à la film India. Rayuan Keshrav yang basi dan terlalu gombal, adegan menyanyi dan menari yang biasa-biasa saja, hingga hampir tidak adanya fragmen yang menunjukkan betapa joroknya orang India yang membuat kita sebagai penonton sempat bertanya, “sebenarnya film ini mau ngomongin apa sih?”. Ya, dan jika kita tidak sabar-sabar menunggu film ini berjalan hingga 50 menit pertama, saya jamin kita tak akan pernah paham: betapa rumitnya urusan boker di India.
.
.
.
Nilai: 7/10

“Sejak kapan istilah pagar ayu berubah jadi bridesmaid?.”
Pertanyaan tersebut terlontar begitu saja ketika beberapa hari lalu saya menemukan sebuah undangan cantik di atas meja sepupu saya, dengan warna pink motif bunga daisy dan sebuah kalimat “Will you be my bridesmaid?”.
Sebagai seorang pemuda yang baru saja lulus S1 dan masih memasuki tahap usia-orang-tanya-kerja-dimana, barangkali cukup aneh jika saya mengakui bahwa saya begitu tertarik pada obrolan seputar, ehm, pernikahan. Terlebih jika dipikir lagi, saya bahkan belum genap berumur 23 tahun. Wong dari seluruh redaktur Kibul yang rata-rata sudah berkepala tiga saja, nyatanya baru Andreas Nova yang sudah meminang istri. Kok saya yang ribut menulis tema ini?
Akan tetapi di zaman kiwari seperti sekarang, pertanyaan soal menikah nyatanya tak melulu menghantui pria-pria matang usia. Terlebih jika kamu misalnya mengenal baik seorang gadis keturunan Betawi yang mengapresiasi prinsip hidup “halalkan atau tinggalkan”, mengidolai Payung Teduh sejak menciptakan lagu Akad, dan yang paling pas, hidup di tengah era bisnis wedding organizer tengah begitu menggeliat.
Bisnis wedding organizer tengah begitu menggeliat. Ia menawarkan pada kita paket-paket yang seringkali nampak begitu indah. Foto prewedding dengan latar bangunan-bangunan bersejarah, pesta pernikahan dengan menu makanan dari lima benua, hingga video dokumenter yang pakai drone segala.
Couple zaman now bahkan rela merogoh kocek ratusan juta rupiah demi merayakan hari besarnya. Tentu saja hal tersebut sah-sah saja. Toh banyak orang menganggap pernikahan adalah hari terindah dalam hidupnya. Hari terindah harus dirayakan dengan cara yang maksimal dong? Saya pribadi seandainya punya uang ratusan juta rupiah, saya tak akan eman-eman kok memberikan mas kawin seperangkat gedung perpustakaan dibayar tunai.
Akan tetapi dari sekian prosesi pernikahan yang ditawarkan wedding organizer, saya justru menggelisahkan penggunaan istilah-istilah seperti bridesmaid atau bridalshower yang hits akhir-akhir ini. Kenapa mesti pakai bahasa Enggris?
Saya kira ini merupakan sebuah gejala kebudayaan yang menarik. Adanya bridesmaid dan bridalshower pada pernikahan sepasang pengantin dari Desa Kalipetung, misalnya, tentu tak bisa dipandang sebagai bagian dari prosesi sakral pernikahan saja. Hal ini bahkan bisa dilihat sebagai gejala bahwa banyak couple zaman now begitu terobsesi pada segala hal yang memiliki citra ‘internasional’. Dan tentu saja kita tahu bahwa ‘internasional’ di sini tak akan merujuk pada negara  macam Lesotho, Gabon, atau Tanzania, namun jelas merujuk pada sesuatu yang berasal dari Barat: Eropa atau Amerika.
Kata bridesmaid, misalnya, ia merujuk pada perempuan-perempuan yang menjadi pendamping mempelai wanita di hari pelaksanaan pernikahan. Dalam budaya Jawa, konsep bridesmaid sebetulnya sangat mirip—kalau tidak serupa— dengan apa yang kita kenal sebagai putri domas atau pagar ayu.
Selanjutnya ada pula bridalshower. Apa lagi nih? Ketika pertama kali mendengar istilah tersebut, saya pun mencoba menebak arti harafiahnya. Jika bridal berarti bunga untuk pengantin, dan shower berarti pancuran untuk mandi, maka bridalshower adalah mandi bunga.
“Owalaah, padusan to”, batin saya.
Namun praduga saya ternyata meleset total. Bridalshower nyatanya tak ada hubungannya sama sekali dengan prosesi siraman air apalagi mandi kembang tujuh rupa. Usut punya usut, bridalshower ternyata merujuk pada pesta lajang pengantin perempuan beberapa hari menjelang pernikahan. Pada saat bridalshower, pengantin perempuan akan mengundang teman-teman terdekatnya untuk berkumpul dan saling ngobrol dengan akrab(girls talk). Selanjutnya teman-teman pengantin perempuan akan memberikan kenang-kenangan tertentu sebagai kado pernikahan. Dalam budaya Jawa, sekilas acara ini mirip dengan tradisi midodareni.
Melihat menanjaknya popularitas istilah bridesmaid dan bridalshower –plus tindakan praksisnya— yang menggantikan istilah pagar ayu dan midodareni, mau tak mau saya jadi mengingat teori ‘membunglon’ alias teori mimikri dari seorang pakar teori pascakolonial bernama Homi K. Bhabha. Dalam esainya “Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse” (The Location of Culture, 1994), Bhabha–seperti para teoritikus paskolonial lainnya—membahas tentang kecenderungan masyarakat bekas negeri jajahan (Timur) yang suka meniru identitas tertentu dari negeri yang pernah menjajahnya (Barat). Meskipun demikian, Bhabha tidak sepenuhnya memandang fenomena ini dengan nada pesimistis. Bagi Bhabha, mimikri tak bisa selalu dipandang sebagai pertanda inferioritas orang Timur terhadap orang Barat. Bhabha justru  menyoroti bahwa sebagian besar praksis mimikri yang dilakukan masyarakat bekas jajahan, justru cenderung tidak murni atawa 100 persen meniru cara Barat. Dalam bahasa Bhabha, subjek yang melakukan mimikri ini bersifat “almost same but not quite”, “hampir serupa tapi tak sama”. Lebih jauh lagi, Bhabha bahkan meyakini bahwa tindakan mimikri yang hanya sebagian (metonimis) itu, justru memberi kesempatan pada subjek terjajah untuk menemukan ‘ruang antara’ sebagai tindak resistensi atau perlawanan.
Hal tersebut sekilas dapat kita lihat dari praksis bridesmaid dan bridalshower di Indonesia. Meski jelas memilih kata bridesmaid dibanding pagar ayu, namun couple zaman now nyatanya cenderung memilih model pakaian khas Indonesia sebagai kostum bridesmaid mereka. Alih-alih memilih dress model Barat, kebanyakan bridesmaid masih memakai kebaya bahkan berhijab. Begitu pula dalam hal bridalshower. Meski bagi saya hal ini nampak genit dan tidak penting-penting amat, namun perlu diakui bahwa couple zaman now cenderung melakukan pesta lajang ini dengan hal-hal yang positif. Jangan bayangkan mereka melakukan pesta lajang seperti di tiga seri film The Hangover. Sebagian besar bridalshower Indonesia saya kira masih menghindari laku hidup perempuan Barat seperti minum anggur alias mabu-mabu.
Sampai di sini kemudian muncul pertanyaan, benarkah praksis bridesmaid dan bridalshower di Indonesia merupakan tindak ‘membunglon’ yang bisa dipandang positif atau bahkan semacam tindak resistensi?
Dengan sedikit menyesal, saya mesti meragukan hipotesa awal tersebut. Mengapa? Hal ini saya simpulkan setelah saya mempelajari sejarah dari bridalshower.
Singkatnya begini. Sejarah bridalshower bermula dari sebuah kisah rakyat yang berasal dari Belanda.
Alkisah, pada saat itu hiduplah sepasang calon pengantin berbeda latar belakang. Yang perempuan adalah keturunan bangsawan, sementara yang lelaki hanya seorang anak petani. Meski hanya seorang anak petani, namun sang lelaki sangatlah baik hati dan suka berderma. Hal tersebut membuat sang lelaki tak hanya dicintai calon istrinya, namun juga semua masyarakat desanya.
Malangnya, hubungan mereka tak direstui ayah dari pihak perempuan. Sang ayah justru bersikeras untuk menikahkan anaknya dengan seorang bangsawan yang bertubuh mirip babi. Mengetahui hal tersebut, masyarakat desa pun merasa tak terima. Mereka lalu berinisiatif mengumpulkan sebagian harta mereka sebagai pengganti mahar yang sesuai dengan tuntutan sang ayah. Berkat bantuan dari para warga, akhirnya kedua calon pengantin pun bisa menikah dan hidup bahagia.
Dari kisah rakyat tersebut, kita mengetahui bahwa bridalshower sebenarnya memiliki makna filosofis berupa ‘menyiram’ rezeki untuk pasangan pengantin yang rudin alias kurang mampu. Sementara itu, bridalshower hari ini justru lebih sering dirayakan oleh pasangan-pasangan yang relatif memiliki modal ekonomi berkecukupan. Kan fals jadinya? Maka dari kontradiksi inilah, saya mengira bahwa banyak couple zaman now sebenarnya tak paham-paham amat dengan budaya Barat yang dipilihnya. Pada akhirnya, sulit untuk menyebut bahwa ada tindak resistensi dalam pernikahan tersebut. Sebab, setiap resistensi selalu diawali dengan pemahaman yang kuat dan utuh terhadap (budaya) yang ‘dilawannya’. Sementara praksis bridesmaid-bridalshower zaman now justru dipilih tanpa pemahaman latar historis yang kuat alias copas, copy-paste, saja.
Maka sampai di titik ini, saya justru curiga bahwa praksis pernikahan couple zaman now justru lebih cocok disandingkan dengan teori “black skin, white mask” dari Frantz Fanon. Dalam teorinya tersebut, Fanon juga membahas tentang kecenderungan kita, masyarakat bekas negeri jajahan (black skin), yang merasa bahwa segala sesuatu yang berasal dari Barat (white skin) adalah sesuatu yang lebih superior. Kepercayaan ini bahkan telah tertanam di alam bawah sadar sehingga kita secara suka rela tak hanya meyakininya, namun senantiasa berusaha menyerupainya. Namun untuk melakukan ‘penyerupaan’ tersebut, kita membutuhkan ‘white mask’, sebuah ‘topeng’ yang membuat sebagian dari diri kita dapat menyerupai orang kulit putih. Bridesmaid-bridalshower dalam hal ini saya kira adalah ‘white mask’tersebut. Sebuah ‘topeng’ yang meskipun berasal dari luar diri kita, namun kita yakini memiliki fungsi untuk membuat kita ‘setara’ dengan ‘mereka’. Perkara perasaan ‘setara’ tersebut berdampak positif atau negatif tentu perlu pemahaman kontekstual yang utuh dan tidak bisa disamaratakan. Tapi poin intinya, jika mimikri atau ‘membunglon’ membutuhkan pemahaman dan teknik kamuflase tingkat tinggi, maka ‘bertopeng’ cenderung lebih praktis karena ia tinggal pasang saja
Benar tidaknya praduga yang penuh suudzon tersebut tentu masih bisa diperdebatkan. Masih banyak faktor yang saya kira sangat berpengaruh membentuk budaya ‘membunglon’ atau ‘bertopeng’ di sekitar kita. Peran media sosial dan upaya pembentukan citra barangkali adalah alasan yang juga masuk akal – selain dampak trauma pascakolonialisme. Tetapi yang jelas, saya mesti segera menutup Ngibul saya yang sudah kelewat panjang ini. Untuk itu saya ingin menyampaikan tiga hal sebagai bentuk pernyataan sikap.
Pertama, tulisan ini tentu tidak bertujuan untuk mengajak seluruh pembaca, wa bil khusus, couple zaman now, untuk menjadi seorang tradisionalis yang kolot dan membosankan. Sebagai manusia yang hidup di negeri beragam identitas, bersikeras menjadi totok Jawa, murni Batak, atau 100 persen pribumi tentu sesuatu yang konyol dan menyebalkan. Tapi yang perlu diingat, jika bersikeras menjadi murni ‘tradisional’ bukanlah sesuatu yang baik, maka menjadi ‘internasional’ tanpa sungguh paham esensinya adalah sesuatu yang sama lucunya.
Kedua, Jacques Derrida berkali-kali meneriakkan, “Dekonstruksi. Hancurkan. Konstruksi sesuai dengan keinginan. Jangan terjebak pada mitos leluhur!”. Saya percaya bahwa setiap orang berhak bertindak kreatif. Maka, berkreasilah. Leburkan batas-batas identitas. Menikahlah dengan caramu sendiri: mengundang seniman lintas bangsa sebagai pengisi hiburan, membuat seratus macam masakan berbahan jamur sebagai menu hidangan, atau mengganti mahar emas dengan seribu ekor onta atau llama. Semua sah-sah saja selama kita paham alasan dan tujuannya.
Ketiga, jika kamu pernah mengadakan bridesmaid dan bridalshower di pesta pernikahanmu, tentu itu juga bukan masalah. Pernikahan selama telah memenuhi hakikatnya untuk menghalalkan pasangan dan mampu menyatukan dua keluarga, toh sisanya adalah hal-hal yang baik. Lagipula kamu tidak merugikan orang lain dan bahkan membuat banyak orang berbahagia. Saya pun turut berbahagia dan akan mendoakan setiap pasangan yang halal untuk menjadi samawa. Bahkan jika itu mantan atau bribikan tersayang saya.
Akan tetapi, plis, jika esok kamu sudah hamil, kamu tak perlu mengunggah foto di instagram dengan sebuah tagar bertuliskan babyshower.
Apa itu babyshower? Babyshower adalah acara merayakan usia kehamilan yang sudah menginjak tujuh bulan.
Ealah, jebul mitoni.

Tulisan ini pertama kali dimuat di www.kibul.in pada 23 Oktober 2017
kau sore ini biar kutuntun,
dengan jari-jari kecil
kita bergandeng kelingking.

papamu bilang
jaga may ya !
jangan pernah beri dia layangan.

bilah bambu
tak sebatas menggores kulit.
kristal-kristal piring
gelas kaca atau mangkuk cap ayam,
tak boleh dicampur darah.

tapi aku tetap ke gudang,
mencari benang jahitan
setelah tante membuangnya
bersama rok hangus sebelah
dan kaos kaki bolong-bolong

siapa mau dengar orang tua!

may,
nanti malam, jika paman
melemparku dengan sepatu
atau mengirim anjing yang garang
maka rumahmu akan kusiram
dengan seribu kunang-kunang

Apa yang paling kita harapkan dari sebuah pameran buku? Barangkali buku-buku murah adalah jawabannya. Satu minggu lalu, tepatnya di awal bulan Oktober, saya baru saja menyambangi Bazar Buku Murah di Mungkid, Magelang. 2 jam berada di sana menjadi waktu yang kelewat mengasyikkan. Saya berada di tengah ribuan buku yang dijual mulai harga 5.000-an. Beruntungnya, saya bisa mendapat buku The Boy in the Striped Pijamas karya John Boyne terbitan Vintage Classics, Skandal karya Shusaku Endo, dan satu novel berjudul Neraka Kamboja yang ditulis oleh Haing Ngor dan Roger Warner untuk menceritakan masa tergelap negeri Kamboja di bawah kekuasaan Khmer Merah. Dua buku yang disebut terakhir sama-sama diterbitkan Gramedia pada awal 2000-an. Berapa harga untuk tiga buku tersebut? Jawabannya adalah: 30.000 rupiah. Yak 30.000 rupiah ! Setara dengan harga celana kolor berbahan saringan tahu.
Lantas ketika satu minggu berikutnya saya mendengar kabar tentang Kampung Buku Jogja, saya pun begitu bersemangat untuk datang ke pameran tersebut. Angan-angan untuk mendapat buku-buku lawas nan langka dengan harga terjangkau seketika membuncah begitu kabar tersebut datang. Kampung Buku Jogja sendiri adalah event sastra tahunan yang sebelumnya telah dilaksanakan dua kali. Untuk perhelatan yang ketiga ini, Kampung Buku Jogja atau biasa disebut KBJ dihelat di area Foodpark Lembah UGM mulai tanggal 4 sampai 8 Oktober 2017.
Saya datang ke KBJ pada hari ketiga. Begitu tiba di lokasi, para pengunjung disambut oleh lima mahaguru yang secara mengejutkan berkostum à la rakjat Indonesia. Para kakung memakai kaos oblong dan sarungan, sementara yang putri memakai kemben dan kebaya. Para mahaguru tersebut adalah Albert Camus, Haruki Murakami, Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Karl Marx. Mereka berjajar berlima bagaikan Power Ranger yang hendak membasmi segala kejumudan dan kebodohan di Indonesia. Tentu saja mereka tidak hadir langsung dalam bentuk fisik. Murakami kita tahu tengah sibuk bersimpuh pasrah menunggu penghargaan nobel sastra jatuh ke tangannya. Murakami adalah Leonardo Di Caprio-nya dunia sastra. Sementara itu, empat mahaguru yang lain telah mati sejak berpuluh bahkan beratus tahun lalu. Akan tetapi, di KBJ mereka datang sebagai ikon di photobooth yang barangkali menjadi simbol ing ngarsa sung tuladha bagi murid-muridnya yang datang seperti saya.
Setelah berswafoto di  photobooth yang yahud tadi, pengunjung selanjutnya bisa melihat tiga suguhan utama dalam acara ini: area buku lawas, area buku indie, dan panggung utama. Tepat ketika saya memilih melihat-lihat ribuan koleksi di area buku lawas, harapan awal saya datang ke KBJ langsung sirna. “Bajigur, bukune larang-larang tenan”, batin saya. Bayangkan saja, satu buku Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer terbitan Hasta Mitra dijual seharga 250.000. Sementara, buku Keluarga Gerilya bahkan dijual seharga 800.000. Sementara rata-rata buku lawas lainnya dijual di atas 60.000 rupiah. Harga yang kurang ramah bagi saya. Harga tersebut sebenarnya masih bisa kita maklumi mengingat sebagian besar buku yang dijual di situ memang merupakan koleksi langka. Sayangnya, saya menemukan beberapa buku yang hingga hari ini masih dicetak ulang seperti 1984-nya George Orwell dan Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer yang dijual di atas harga normal, bahkan 50 persen lebih mahal dalam harga normal. Asem. Di titik inilah seorang kawan bahkan berseloroh “Ini mah bukan Kampung buku Jogja, tapi Mall buku Jogja”.
Kekecewaan saya di area buku lawas sedikit terobati ketika saya berkunjung ke area buku Indie. KBJ 2017 benar-benar menjadi surga bagi para pecinta buku Indie. Panitia KBJ tahun ini tak hanya mengundang penerbit-penerbit kondang asal Jogja namun juga mengundang penerbit-penerbit Indie dari berbagai daerah lain. Di area ini, kita bisa membeli buku-buku Indie yang bahkan sulit ditemukan di Toga Mas Affandi, seperti buku-buku Penerbit Banana, Trubadur, Ultimus, atau Daun Malam. Harga buku-buku yang dijual di area ini menurut saya juga cukup bersahabat. Rata-rata harga buku di sini dijual dengan diskon 10 persen dari harga normal. Saya mengira buku-buku indie terbaru seperti Muslihat Musang Emas karya Yusi Avianto, Dongeng dari Negeri Bola karya Yusuf Dalipin Arif, dan Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia karya Max Lane adalah tiga buku yang paling banyak diincar oleh para pembaca sastra di Jogja. Tak terkecuali saya.
Kamu boleh kecewa dengan mahalnya harga-harga buku lawas. Kekereanmu yang akut barangkali juga membuatmu makin muram dan menangis tatkala melihat harga buku-buku Indie yang lebih “mayor” daripada mayor itu sendiri. Namun kekecewaanmu akan segera terobati tatkala kamu berkunjung ke panggung utama Kampung Buku Jogja. Selama empat hari berturut-turut, panggung KBJ diisi oleh para pegiat literasi pilih tanding di bidangnya, mulai dari sosok sastrawan seperti Seno Gumira Ajidarma, Puthut EA, dan Saut Situmorang, penulis esai-esai bola seperti Romo Sindhunata, Dalipin, dan Eddward Kennedy, para penerjemah seperti Max Lane, AN Ismanto dan Lutfi Mardiansyah, hingga para pegiat buku Indie Jogja seperti Adhe Maruf, Arif Doelz, Irwan Bajang dan Eka Pocer.
Jika saja waktu saya teramat senggang, barangkali saya akan hadir di setiap talkshow yang dihadirkan di panggung utama. Tapi saya bukan pengangguran full-time. Alhasil, saya hanya bisa hadir di talkshow kepenulisan esai bola dan diskusi buku Tak Ada Indonesia di Bumi Manusia karya Max Lane.
Sedikit bercerita, talkshow kepenulisan esai bola lebih banyak bercerita tentang perkembangan kepenulisan esai bola di Indonesia. Esai-esai bola di Indonesia sebenarnya dipelopori oleh Romo Sindhunata yang pada awal 90-an rutin menulis untuk harian Kompas. Romo Sindhunata sendiri tidak membahas bola dari segi analisa taktik atau strategi. Ia lebih sering membahas sepakbola dari apa yang terjadi di luar lapangan, menghubungkannya dengan teori-teori sosial-filsafat, hingga mencari benang merah antara sepak bola dengan pelbagai peristiwa politik di Indonesia. Salah satu hal menarik dari apa yang diceritakan Romo Sindhunata adalah ketika ia mengkritik gaya kepemimpinan Gus Dur dalam menghadapi “musuh-musuhnya” yang menurutnya terlalu catenaccio. Menurut Romo Sindhunata, sekali-kali Gus Dur perlu melakukan permainan menyerang à la Inggris atau Belanda. Tak disangka, Gus Dur justru membalas kritik Romo Sindhunata dengan menjelaskan filosofi catenaccio à la Gus Dur yang punya cara dan filosofi lain dibanding catenaccio Italia. Melihat kritiknya dibalas oleh Gus Dur, Romo Sindhunata hanya memberi satu tanggapan “Sampeyan sudah jadi presiden kok bisa masih sempat nulis bola, Gus?”.
Dalipin barangkali bisa disebut sebagai “Man of the match” di talkshow tersebut. Sebagai seorang penulis yang pernah tinggal 11 tahun di Inggris, Dalipin tak henti-hentinya menceritakan pelbagai “dongeng” dari negeri sepak bola tersebut. Ia menceritakan pengalamannya melihat berbagai fenomena sepakbola di Inggris yang barangkali jarang diliput media. Ia bercerita tentang sejarah kebencian fans Arsenal-Tottenham, tawuran fans Everton dengan jemaat gereja yang berebut tempat parkir, hingga kebiasaan para pemain bola Inggris yang literasinya rendah. Sementara itu, sebagai pembicara yang paling muda, Eddward S Kennedy lebih banyak bercerita tentang pengalamannya membaca karya-karya Sindhunata dan Dalipin yang menginspirasinya menulis esai-esai bola. Ia juga berpendapat bahwa dalam menulis esai sepak bola, seorang penulis tidak harus bersifat netral. Ia misalnya, tak jarang bersikap sebagai seorang “Milanista” ketika menulis suatu esai.
Di hari terakhir perhelatan Kampung Buku Jogja, saya kembali datang dan mengikuti diskusi buku Tak Ada Indonesia di Bumi Manusia yang dipimpin langsung oleh penulisnya, Max Lane. Max Lane sendiri adalah penerjemah 6 karya Pramoedya Ananta Toer ke bahasa Inggris. Hasil-hasil terjemahannya telah diterbitkan oleh penerbit Penguin. Dalam diskusi tersebut, Max mengatakan bahwa tak ada satu pun kata Indonesia dalam tetralogi Bumi Manusia. Meskipun demikian, Bumi Manusia merupakan upaya Pram untuk menjelaskan proses terbentuknya identitas Indonesia. Indonesia bagi Pram adalah “makhluk baru” di Bumi Manusia yang dibentuk rakyatnya sendiri namun dipengaruhi oleh andil dari dunia internasional. Ide tersebut ia tuangkan melalui karakter Minke, seorang pribumi asal Jawa, yang mengalami perkembangan pemikiran berkat karakter-karakter lain yang berasal dari luar Hindia. Sebut saja Jean Marais dan keluarga De la Croix yang memperkenalkannya dengan revolusi Prancis dan prinsip liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesetaraan, persaudaraan) atau Khouw Ah Soe dan Ang San Mey yang mengajarkannya prinsip revolusi Dr. Sun Yat Sen dan pentingnya pergerakan angkatan muda.
2 hari mengunjungi Kampung Buku Jogja adalah sebuah pengalaman yang menyenangkan. Terlepas dari kekecewaan saya tentang harga buku lawasan yang keterlaluan mahal, namun KBJ telah menggratiskan “buku” yang seharusnya jauh lebih mahal, yaitu buku-buku yang mewujud dalam sosok-sosok pegiat literasi yang hadir secara langsung di Kampung Buku Jogja. KBJ saya kira juga menunjukkan bahwa dunia perbukuan indie di Indonesia semakin menggeliat, buku-buku bermutu semakin banyak lahir, dan penulis-penulis muda semakin bermunculan.

Sebagai penutup, saya ingin menutup artikel ini sebagaimana sebuah artikel event pada umumnya. Ya, artikel ini akan ditutup dengan sebuah harapan: semoga Kampung Buku Jogja bisa digelar kembali di 2018 dengan Haruki Murakami asli sebagai bintang tamunya.

Dokumentasi:






Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ▼  2017 (20)
    • ▼  Desember (2)
      • [Cermin] 2017: Tahun Menganggur yang Berfaedah. 20...
      • Polisi di Film India, Polisi di Film Indonesia
    • ►  November (3)
      • Harga Diri Pelacur dalam Begum Jaan
      • Urusan Boker yang Rumit di Toilet Ek Prem Katha
      • Bridesmaid, Bridalshower, Babyshower, Praksis Teor...
    • ►  Oktober (3)
      • may
      • Kampung Buku Jogja 3: Bukan Sekadar Pameran Buku M...
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018