bagus panuntun

berubah!


Kendati telah mengenal Ninja RR sebagai tujuan utama pencapaian hidup, warga kampung saya di Wonosobo tetap tak bisa lepas dari segala hil dan hal yang berbau gaib. Hampir saban saya pulang kampung, saya selalu mendengar cerita-cerita yang khayalnya benar-benar ngalaihim. Misalnya cerita bahwa ada portal di Waduk dekat rumah saya yang tersambung langsung dengan Istana Ratu Kidul. Seorang “pintar” yang mengaku pernah menembus portal tersebut pernah bercerita bahwa kabarnya Nyi Roro Kidul kini telah menikah dengan Sunan Kalijaga. Ya Allah …. Gosip cap opoo .…

Namun, mari sejenak kita lupakan narasi-narasi besar dunia mistik. Tinggalkan cantiknya Nyi Roro Kidul, jahatnya Nyi Blorong, atau hitamnya gigi Mak Lampir, dan mari meluncur ke sebuah kisah dari sebuah kampung di pinggiran Wonosobo. Kisah tentang hantu pocong.

Alkisah, hiduplah seorang perempuan bernama Risa Ummayah yang lebih kerap dipanggil Risa U. Risa U adalah tetangga saya yang sejak dua bulan lalu menderita sakit yang aneh. Ibu beranak tiga ini, sejak ditinggal suaminya berselingkuh dengan suami orang lain, mendadak jadi sering merasakan sakit yang luar biasa di kepala dan perutnya. Lama kelamaan kelakuan Risa U jadi semakin nyeleneh: ia mulai suka ngomong sendiri, tertawa cekikikan tiap kali menatap atap rumah, dan yang paling tidak masuk akal ia kerap terlihat sedang minum air peceren (selokan) di samping rumahnya.

Gemesnya, Risa senantiasa sembuh total tiap kali dibawa berobat ke dokter atau bahkan psikiater. Dan sebab pengobatan modern tak dapat melacak jenis penyakitnya, maka disimpulkanlah bahwa Risa U kena guna-guna.

Beruntunglah keluarga Risa U, sebulan yang lalu ada “orang pinter” baru di kampung saya, yang mendapat lmu-ilmunya setelah kuliah S1 di UGM, eh maaf, maksudnya setelah rajin puasa nyenin-kemis.

Ia tetangga saya juga, namanya Mbak Wulan.

Kebetulan, Mbak Wulan adalah teman ngaji Ibu saya, dan kebetulan pula bahwa malam itu Mbak Wulan meminta bantuan Ibu saya untuk mendampingi ritual pengusiran jin yang nempel di tubuh Risa U. Ndilalahnya, saya waktu itu juga sedang pulang kampung. Alhasil, saya pun menonton secara live prosesi yang saya harap mirip prosesi “aing jawara di die” itu.

Dan dimulailah prosesi pengusiran tersebut.

Semua gorden rumah ditutup untuk menghindari ritual ini jadi tontonan warga. Mbak Wulan duduk tepat di depan Risa U. Tak ada kembang tujuh rupa, tak ada wangi-wangian minyak wangi Fanbo, apalagi kemenyan. Mbak Wulan hanya menggenggam secarik kertas bertulisan Arab di tangan kanannya. Dan mulai berkomat-kamitlah mulutnya merapalkan mantra.

“Aaarrgghh…,” Risa U tiba-tiba mengeluarkan suara yang janggal. Matanya melotot dan menatap masing-masing mata kami. Saya merinding. “Siapa kamu berani macam-macam dengan saya?” Ternyata jin telah 100 persen menguasai tubuh Risa U.

“Keluar! Kamu telah mengganggu anak ini,” kata Mbak Wulan, ganti menatap tajam Risa U.

“NGA!”

“Keluar!”

“NGA~”

“Kalau tidak, aku akan memaksamu keluar.”

“Nga takut!

“Bis kobas kabis kobas kabis ko.” Mbak Wulan merapalkan mantranya, semakin cepat, tubuhnya bergetar dan peluh mengucur deras dari dahinya.

“Aku tahu siapa kamu,” kata Mbak Wulan. “Wujudmu seperti pocong. Harusnya kamu sudah tenang di alammu. Keluarlah!”

“NGA!”

“Jangan ‘Nga-Nga’ saja.” Mbak Wulan semakin cepat merapal mantranya.

“Aaarrghhh …. Ampun, Bu, ampun. Aaarrgggh.” Risa U meraung-raung, tubuhnya menggeliat seperti cacing kepanasan. “Ampun, Bu. Aku nga akan mengganggunya lagi, ampun ….”. Kini Risa U tampaknya benar-benar kesakitan dan menderita, tubuhnya menggelinjang dan kakinya menendang kemana-mana.

Melihat reaksi tersebut, Mbak Wulan pun makin bergelora. Namun, ketika si Jin sudah tampak hampir menyerah, tiba tiba Mbak Wulan menghentikan rapalan mantranya. Strategi ini mengingatkan saya pada cara biksu Tong menghukum Sun Go Kong atau Kagome membuat jera Inuyasha. Cerdyas!

“Sudah to, sekarang sudah mau keluar to?”

“Nga, nga, nga.”

“Lho, mau saya paksa lagi?”

“Ampun, Bu, aku nga akan keluar. Tapi aku janji nga akan mengganggu Risa U lagi. Aku malah akan menjaganya.”

“Halah, dusta. Saya paksa beneran, lo?”

“Ampun, Bu, nga bohong. Demi Allah. Aku nga akan jahat, saksinya Allah. Lha wong saya ini Islam.”

Dan di titik itulah Mbak Wulan habis kesabarannya. Dengan refleks yang luar biasa cepat, ia menyiram tubuh Risa U dengan segelas air doa sambil berteriak:

“SAYA SUDAH TAHU, MEMANGNYA ADA POCONG YANG NGGAK ISLAM?”

Malam pun berakhir dengan kekalahan telak si Pocong dan kemlongoan kami yang baru sadar bahwa “Tak ada pocong yang tak Islam”.

Tulisan ini pertama kali dimuat di blog ini dengan judul Kesurupan Pocong, kemudian dimuat kembali dengan cukup banyak perubahan di situs humor satir mojok.co

Prolog
Meski diberkati Tuhan dengan tubuh yang segar dan jarang terkena mala, namun enam tahun sudah hidup saya tak bisa terpisahkan dengan rumah sakit. Adalah orang-orang terdekat saya yang dalam waktu berbulan, bahkan bertahun, mesti berkali-kali mengunjungi tempat yang paling tak ingin dikunjunginya.
Dan saya, sebagai salah satu orang terdekat mereka, mesti sedia berkali-kali menemani, hingga satu fase di mana saya hafal betul hiruk pikuk di setiap lantai rumah sakit. Lantai satu dengan pasien-pasien siap mati yang butuh pertolongan pertama; Lantai dua, bilik panjang yang sunyi sebab terisi pasien-pasien yang mampu bayar obat secara mandiri—mereka mendapat fasilitas AC, TV, dan Kulkas (tak sekalian lapangan golf?); Lantai tiga, berisi ruang-ruang isolasi untuk penyakit-penyakit yang mudah menular; dan Lantai empat, koridor paling panas yang berisi pasien-pasien Jamkesmas.
Rumah sakit tersebut adalah rumah sakit Pemerintah di kota kelahiran saya. Tempat para pesakitan se-kabupaten berkumpul dan sebagian besar dari mereka adalah orang miskin yang lagi-lagi harus mengadu diri dengan nasib. Dan kau tahu, Rumah Sakit manapun di jagad raya selalu menempatkan orang miskin di ruang yang paling sumpek—satu ruang dipakai enam pasien dengan satu kamar mandi yang dipakai bergantian— keadaan akan makin sumpek jika rombongan penjenguk mulai datang naik hijet dari desa ke kota.
Adakah orang yang bersuka cita menghadapi keadaan tersebut? Tapi bagaimana lagi, saya adalah orang terdekat Rahayu, Abidin, dan Budiono, yang pada akhirnya harus berkali-kali menemani mereka berada di sana. Entah di ruang isolasi, atau di ruang-ruang pasien kelas tiga.

Rahayu
Menjelang Ujian Nasional, seorang siswa kelas 3 SMA selayaknya sering-sering pergi ke tempat les. Tapi tidak dengan saya, yang setelah diganyang soal try out dari 7 pagi hingga 3 sore, harus segera menuju rumah sakit menemani Rahayu.
Rahayu bolak-balik mondok sepanjang tahun 2012. Ia sebenarnya memulai mondok pertamanya dengan sebuah kabar gembira: mual-mual yang sering dideritanya ternyata pertanda bahwa ia tengah hamil anak kedua. Namun setelah tak kunjung sembuh sesudah mondoknya yang pertama, Rahayu pun harus kembali ke rumah sakit lagi dengan keluhan yang sama. Sampai pemeriksaan yang kedua selesai, Rahayu memang masih hamil, tapi kali ini ia divonis tengah “hamil anggur”, sebuah keadaan di mana janin gagal tumbuh normal dan justru menjadi sel-sel kanker dalam rahim.
Maka sejak itulah mimpi buruk itu terjadi. Rahayu mesti segera dikuret untuk membersihkan sel-sel kanker di rahimnya. Sayangnya, kuretnya yang pertama ternyata tak berhasil membersihkan sel kankernya secara sempurna. Dan akibatnya, sisa-sisa sel kanker tersebut telah berubah menjadi kanker sungguhan yang mesti diangkat.
Operasi pengangkatan kanker pun dilakukan berbarengan dengan operasi pengangkatan janin. Malang, saat itu kanker telah merambat hingga organ tubuh lainnya: dokter memvonis Rahayu juga memiliki kanker di jantung, paru-paru, dan otaknya. Saya melihat hasil rontgen tersebut dengan ngeri: melihat organ-organ tubuh yang dipenuhi benjolan-benjolan seperti monster.
Di masa itulah selama berbulan-bulan saya menemani perempuan lemah ini menjalani kemoterapi. Pada kemoterapi tahap pertama, Rahayu mesti menenggak beberapa pil yang dalam beberapa jam setelahnya, maka satu per satu rambutnya akan mulai rontok berjatuhan. Yang lebih buruk dari itu, ia mengalami sari awan akut dari ujung bibir, lidah, sampai tenggorokan, bahkan usus, lambung, hingga duburnya. Pada fase yang konon rasanya seperti tubuh sedang dibakar itulah Rahayu akan mulai meracau hal-hal yang tak jelas maksudnya: Ia minta dibelikan sepatu baru, minta lipstik untuk menutup bibirnya yang penuh luka dan hitam legam, atau tiba-tiba mengucap salam ke arah pintu yang lengang. Rahayu mulai melakukan hal-hal yang aneh, sampai menjelang kemoterapi tahap kedua, dokter memvonis bahwa umurnya tak lagi sampai dua minggu.
Untuk memperpanjang umurnya barang satu atau dua bulan, dokter pun menyarankan Rahayu untuk tetap melaksanakan kemoterapi keduanya. Tetapi melihat harga kemoterapi yang sampai berpuluh juta, keluarga pun harus menyerah untuk kemudian memilih membawa Rahayu pulang dan berminggu melakukan mujahadah. Dan entah bagaimana nalarnya, dalam kurun waktu satu bulan kemudian, semua kanker dalam tubuh Rahayu menghilang, Rahayu kembali sehat dan masih hidup sampai detik ini dengan rambut terurai panjang.

Abidin
Di usianya yang menjelang 80, Abidin mengidap komplikasi penyakit akut: Asam urat, darah tinggi, diabetes, dan lemah jantung. Repotnya, ketika satu penyakitnya mulai sembuh, maka penyakit yang satunya justru akan kambuh. Repotnya lagi, Abidin bukanlah sosok generasi tua pada umumnya yang sebisa mungkin menjauhkan diri dari benda-benda medis yang asing. Abidin tidak anti pada infus, jarum suntik, atau tabung oksgen. Abidin punya semangat hidup yang luar biasa. Ia ingin suatu hari nanti bisa melihat salah satu anak atau cucunya sukses menjadi orang paling disegani di kampungnya.
Maka berbekal semangat tersebut, Abidin selalu meminta anak-anaknya membawanya ke rumah sakit tiap kali merasa penyakitnya mulai kambuh. Entah sekadar kontrol atau rawat inap. Abidin tak pernah malas menempuh perjalanan hingga 30 kilometer menuju sana. Maka dapat dipastikan sepanjang 2013-2015 (beliau akhirnya meninggal di tahun tersebut), setidaknya tiap satu semester sekali, Abidin mesti menjalani rawat inap di rumah sakit. Dan lagi-lagi, sebagai orang terdekatnya, saya pun harus menungguinya.
Dari masa menjaga yang berkali-kali itulah ada satu pengalaman unik yang terus saya ingat.
Suatu hari, saya tengah menderita galau akut akibat hubungan pacaran yang kian merenggang dan sepertinya bakal kandas. Abidin tentu saja melihat gelagat tak normal pada diri saya yang selain nampak begitu murung, juga terang-terangan tak doyan makan. Pada titik itulah Abidin tiba-tiba berseloroh, “Kalau ditinggal mati saya sesedih itu nggak?”

Budiono
Entah mengapa lagi-lagi di akhir masa studi, saya harus kembali menginap di rumah sakit. Kali ini terjadi di akhir tahun 2016. Di lantai empat yang panas dan sesak, saya mesti mengerjakan skripsi yang tak kunjung kelar sambil menemani Budiono yang menderita flek paru-paru kronis.
Ia punya cerita tersendiri sebelum akhirnya mondok di akhir tahun lalu. Paru-paru Budiono sebenarnya sudah divonis berantakan sejak 18 tahun lalu ketika ia menghabiskan setidaknya empat bungkus rokok dalam waktu sehari. Tetapi sesak dan sakit napasnya baru benar-benar terasa di awal 2015, yang membuatnya berobat jalan dengan mendatangi dokter paru-paru tiap dua minggu.
Suatu hari dalam proses rawat jalannya, Budiono kembali datang ke rumah sakit untuk meminta obat pada dokter tersebut. Dengan nafas yang mulai tersengal efek kehabisan obat, ia naik bus sendirian ke Rumah Sakit Wonosobo. Akan tetapi, sang dokter ternyata tengah mengambil liburan panjang sekaligus berangkat ibadah umrah. Sialnya, dokter ini selalu merahasiakan resep obatnya pada semua pasien. Dan kau tahu, semua apoteker di sana bersikeras untuk merahasiakan resep obat tersebut. Tak peduli bahwa pada saat itu rumah sakit benar-benar dipenuhi pasien penyakit paru yang mulai sekarat/
Budiono yang sakitnya semakin parah pun memutuskan untuk mencari dokter dan obat pengganti. Ia pun harus mondok untuk kesekian kalinya. Dalam proses mondok di akhir tahun itulah saya benar-benar melihat seorang yang berjuang untuk hidup sekuat-kuatnya. Ia tak pernah mengeluh meski tubuhnya ditusuk jarum suntik berkali-kali. Ia rela mencoba pelbagai obat baru yang beberapa kali gagal. Dan entah bagaimana, obat yang tak cocok justru mengundang penyakit-penyakit lain untuk hinggap di tubuhnya. Selain flek paru-paru kronis, Budiono kini juga menderita radang lambung, pembengkakan jantung, dan asam urat yang parah. Namun ia selalu memaksakan dirinya memakan obat, sarapan dan makan malam yang tersedia. Tak peduli betapa ia mual hanya sekadar melihatnya, tak peduli bahwa ia akhirnya hanya akan muntah. Ia sosok seperti Abidin yang enggan mati tapi dengan motivasi hidup yang lebih sederhana: melihat anak-anaknya lulus sekolah dan mulai bekerja. Barulah setelah hampir sebulan di Rumah Sakit, ia dipastikan menemukan obat yang cocok dari seorang dokter spesialis penyakit dalam.
Hingga kini Budiono masih rutin berobat jalan. Hanya saja, ia harus datang ke Rumah Sakit sekali sebulan.Tidak lagi dua minggu. Meski jelas tak sebergas masa mudanya (ia bisa ambruk barang terkena hujan), ia masih saja gemar kesana-kemari. Dengan asam uratnya yang makin parah dan kakinya yang bengkak di mana-mana, Budiono seharusnya memilih lebih banyak istirahat di rumah. Akan tetapi apa mau di kata, puasa lalu ia malah nekat jadi penjual mercon. Ia membuka warungnya sejak bocah-bocah belum berangkat sekolah.
Tanggal 3 bulan ini, ia kembali datang ke rumah sakit. Dengan nyeri di kaki yang ditahan, ia pergi menemui sang dokter penyakit dalam langganannya, dokter yang ujarnya sangat ramah dan bersedia memberi tahu resep obatnya. Setelah hari itu hasil kontrol menyatakan bahwa kesehatannya makin stabil, ia tak bersegera pulang ke rumah. Diam-diam ia pergi ke kelurahan dan kecamatan, membantu anaknya mengurus berkas persyaratan kerja yang masih belum lengkap.

Epilog
Rumah sakit sampai kapanpun tak akan pernah menjadi sebuah pemandangan yang menyenangkan. Ia adalah ruang di mana ratus orang nampak menderita. Ruang di mana perbedaan kelas akan nampak makin jelas. Dan ruang di mana pengetahuan seringkali dijual tanpa memandang tujuan kemanusiaan.
Bagi saya sendiri, rumah sakit masih menjadi tempat yang paling tak ingin saya kunjungi. Tapi setiap kali saya mencoba merenungkannya, selalu muncul paradoks yang pada akhirnya membuat saya mau untuk mengunjunginya (biasanya untuk menjenguk): bahwa rumah sakit justru banyak memberikan pelajaran yang tak mungkin saya dapat dari perkumpulan orang-orang sehat. Dari Bu-lik saya, saya jadi percaya bahwa mukjizat, keajaiban, atau apapun namanya itu memang benar-benar ada. Dari seloroh Kakek saya tentang kesedihan, saya menyadari bahwa selama ini kita seringkali bersedih dengan cara yang tidak tepat. Seorang yang baru diputus pacarnya tak selayaknya bersedih seperti orang  yang baru ditinggal mati kakeknya; Seorang yang tak punya rezeki untuk bepergian ke luar negeri tak selayaknya meratapi nasib seperti orang yang sudah tak bisa bangkit dari kasurnya sendiri; dan seorang yang belum mampu membeli barang-barang idamannya (mobil, sepatu, i-Phone) tak sepatutnya bermuram durja seperti orang yang belum mampu melunasi tanggungan obatnya. Sementara dari Bapak saya, saya menyadari bahwa laku malas dan gampang menyerah adalah dosa terbesar umat manusia.

tulisan ini pertama dimuat di www.kibul.in

Tak sampai satu menit saya menjawab “Ayo bung!”, ketika Amin, founder HookSpace tiba-tiba mengajak Kibul berkolaborasi membuat sebuah –dalam istilah si Amin—talk show asik-asikan yang menyajikan obrolan-obrolan baik ringan maupun berbobot bersama tokoh-tokoh seni, sastra, dan budaya.
Dengan kelincahan seorang mahasiswa kere yang dulunya hobi ngevent, kami pun segera memikirkan konsep talk show seperti apa yang nantinya hendak kami buat. Sampai tercetuslah sebuah nama: Ruang Ngibul. “Ruang” diambil dari kata space dalam HookSpace, sedang “Ngibul” diambil dari kata “Kibul” (sebenernya nggak perlu dijelasin juga udah pada ngerti sih).
Ruang Ngibul sedianya mempunyai konsep yang benar-benar mulia: mengembalikan titah dan fungsi kamar kos. Ha ha. Maksudnya begini, kau tahu, kini kamar kos lebih identik dengan sebuah ruang yang eksklusif. Kau kuliah dan pergi ke Jogja, lalu tinggal di sebuah ruangan ber-AC yang nampaknya mewah dengan kamar mandi dalam yang baunya wangi. Namun di satu sisi, untuk masuk ke dalamnya kau diatur sedemikian rupa sehingga kau musti menembus gerbang sebelum angka menunjuk 10 malam. Belum lagi kau harus melapor pada sang induk semang siapa saja teman yang hari ini akan menginjak lantai keramik kamarmu. Bukankah itu menyedihkan?
Maka di sinilah Ruang Ngibul hadir sebagai sebuah ruang di mana hampir tak mungkin kita masuk ke dalamnya hanya untuk tidur. Dan alih-alih segera ngorok lalu pergi ke dunia mimpi, kita akan terus berceracau tentang segala hal, dari mulai yang penting sampai yang sama sekali tidak penting, dari hal-hal yang sungguh penuh makna sampai yang nyaris nirmakna, dan dengan ditemani secangkir kopi dan sebungkus rokok, maka kita akan melewatkan menit demi menit dengan satu kegiatan: ngibul.
Sayangnya kami tak bisa menyajikan konsep yang direncanakan tersebut pada episode awal. Tentu saja ini menyedihkan, sebab konsep yang sedari awalnya kami anggap cukup keren, ternyata belum bisa terlaksana. Namun di satu sisi, menyenangkan berhasil mendapat kesempatan untuk mewawancarai seorang legenda seperti Didi Kempot. Maka kami pun memutuskan bahwa di episode awal ini, Ruang Ngibul dilakukan di dalam ruang dan waktu yang tak senggang, di restoran sebuah hotel mewah, di waktu yang sempit sebelum Didi Kempot harus segera menuju panggung.
Kami bersapa dengan musisi tembang Jawa ini pada pukul 6 petang. Setengah jam setelah kedatangannya, dan satu jam sebelum ia berangkat ke Panggung Kemepyar Etnika Fest FIB UGM 2017. Di sela waktu yang sempit itu, kami sangat beruntung masih bisa menemui Mas Didi yang ternyata berkenan untuk ngobrol dengan kami hingga tak terasa lebih dari 30 menit kami lewatkan untuk berceracau tentang segala hal, terutama terkait karier Mas Didi yang lebih dikenal sebagai musisi campursari. Dan yang paling spesial, di episode pertama ini, kami berhasil menemukan jawaban dari pertanyaan “Mas Didi ini sebenarnya musisi campursari bukan sih?”

Jadi musisi sejak tahun berapa sih, Mas?
Saya mulai jadi musisi jalanan tahun 1984 di Solo, Malioboro, Jakarta. Saya anggap saat  itu saya sudah jadi musisi meskipun saya belum kenal rekaman. Saya ngamen sambil nulis lagu dan Tuhan memberi kesempatan rekaman saya tahun 1989. Jadi saya lima tahun ngamen bawa lagu-lagu sendiri.

Jadi lagu “Cidro” mulai dinyanyikan sejak masih ngamen?
Iya, saya karang-karang sendiri, tak nyanyikan sendiri, dapat uang, saya bangga.

Kalau lagu pertama yang langsung nge-hits di kalangan masyarakat luas apa, Mas? Kok bisa jadi nge-hits?
“Cidro” sama “Modal Dengkul”. “Kamu datang modal dengkul sama kumismu saja”. Kalau lagu Modal Dengkul itu bukan saya yang bikin, tapi temen saya, temen ngamen. Dan lirik lagu tersebut memang pas untuk orang perantauan seperti kita yang ingin mengadu nasib di Jakarta. Kan kita datang cuma modal dengkul sama kumis. Dan kebetulan waktu itu saya punya kumis. Dan lagu itu kita nyanyikantahun 1989 dan Alhamdulillah lumayan laku juga. Terus saya membuat album di tahun itu juga lalu lagu “Cidro” terkenal.

Siapa yang memproduseri?
Musica Studio.

Kok bisa dari ngamen langsung ada yang nawarin rekaman?
Kami yang menawarkan karya lagu dulu dong. Kalau zaman itu kan menawarkan lagu pasti direkam di kaset atau tape, ternyata produser tertarik. Dia bilang “Yang ngasih contoh lagu kok bagus-bagus, siapa nih?”. “Ya, saya sendiri”, jawab saya. Rekamannya dulu nggak masuk studio. Pinjem tape tetangga sebelah, terus nyanyi aja, dan direkam. Dan itu pun sebenarnya berkali-kali ditolak juga. Jadi nggak mulus-mulus juga.

Oh ya, hari ini kan tampil di Etnika Fest nih, Mas Didi sering nggak sih tampil di acara kampus?
Kayaknya UGM yang kedua kalinya ini. Dulu namanya masih (Fakultas) Sastra, itu pas top-top-nya lagu “Sewu Kutho”.

Lho, berarti dulu di FIB juga? Hehe..
Iya, tapi dulu namanya masih (Fakultas) Sastra. Ha ha.

Tema Etnika Fest tahun ini kan Zaman Edan, bagaimana pandangan Mas Didi mendengar istilah “Zaman Edan”?
Wah kalau soal “Edan”, bingung juga ya. Tapi semua tergantung dari mana kita melihat. Nggak usah tarik ke politik ya, kita ngomongin budaya aja. Kalau budaya, untuk ukuran seni di Indonesia tuh edan-edanan. Misalnya lagu-lagu Korea di sini “tembus”. Tetapi ternyata itu cuma sekilas saja. sebagai seniman Indonesia saya sangat bangga, karena ternyata kita bisa lebih ngedan lagi dengan melihat munculnya grup-grup band atau penyanyi-penyanyi lagu Jawa yang dibuat seperti anak-anak NDX itu, saya kira itu edan. Edan yang positif !

Tapi lagu berbahasa Jawa nampaknya tidak lagi se-nge-hits di awal tahun 2000-an.
Kalau kita sebagai pelaku seni malah melihat lagu-lagu kita yang lagu-lagu tradisional saat ini masih sangat produktif dan produser-produser masih merekam lagu kita semua. Walaupun banyak toko musik menyatakan bangkrut atau collapse, tapi ternyata lagu tradisional masih terus berkembang. Walau dijual di lapak atau di manapun, ternyata dijual di mana pun bisa.

Mungkin karena lagu-lagu Jawa sudah punya pangsa pasarnya sendiri ya, Mas? Orang-orang “pinggiran” atau orang-orang desa misalnya kan nggak bisa lepas tuh dari lagu Jawa.
Setiap genre musik pasti ada pangsa pasarnya masing-masing. Mau jazz, rock, atau apa pun pasti ada konsumennya sendiri. Kebetulan untuk lagu tradisional, kita juga sudah ada penikmatnya. Makanya saya bilang, produser tidak pernah stop untuk memproduksi karya-karya tradisional.

Kembali ke “Zaman Edan” ya, Mas. Menurut Mas Didi fenomena apa yang paling edan di ranah seni atau budaya?
Kalau saya bilang apa yang saya jalani di dunia seni musik tradisional ya melihat lagu Jawa yang biasanya pakai pakem seperti ini-itu, dengan banyak ukuran yang dibuat jelas, tapi sekarang ada anak muda yang berani bikin hiphop Jawa, itu edan. Ada NDX Aka. Terus misalnya Endank Soekamti tanya saya “lagune Parang Tritis digawe ngene yo, Mas?”, dibikin punk, ya nggak papa. Jadi sasarannya malah anak muda. Dan kena juga ternyata. Jadi siapa pun bisa menikmati lagu tradisional, mau di bawah pohon bambu, di pelosok desa, mau di hotel berbintang.

Positif sekali ya edannya.
Ya begitu. Edannya seniman ya positif.

Kalau soal politik, ada keedanan “demo-demo ber-angka”, mulai dari 212, 313, dan seterusnya. Edan nggak?
Saya ndak berani ngomentari. Tapi kayaknya kalau kita melihat di stasiun televisi, TV-nya yang malah edan. Kalau ada begitu malah ditayangin terus menerus dari menit ke menit. Coba kalau nggak ditayangin terus, kan akhirnya nggak semua orang mudeng yang begituan.

Kembali ke lagu, lagu apa yang paling Mas Didi sukai dari sekian banyak lagu Mas Didi?
“Sewu Kutho”. Ini lagu yang membuat mimpi saya berhasil. Saya punya mimpi pejabat itu mau nyanyi lagu daerah, ternyata lagu saya yang “Sewu Kutho”, ada jenderal, ada gubernur ikut menyanyikan. Dan orang buta huruf yo nyanyi lagu kuwi. Pada akhirnya itu jadi kebanggan bagi saya.

Ada lagu lainnya?
Ya tentunya “Stasiun Balapan”. Waktu saya menulis itu kan dulu zaman Reformasi, saya menemukan tulisan itu “Jare lunga mung sedhela, malah tanpa ngirim warta”, “pergi sebentar malah ndak ada kabar”. Saya buat lagu. Saya suka.

Lagu-lagunya Mas Didi kan banyak mengangkat romantisme ruang, ada Parang Tritis, Stasiun Balapan, Tanjung Mas, Pantai Klayar, itu kenapa sih, Mas?
Kayaknya semacam kalau kita buat lagu gitu, kita sudah menang promosi duluan. Misal (ketika) tahu lagu Parang Tritis, kan orang bilang “Oooo… Parang Tritis to”, ya tinggal dibikin cerita aja lah di sana lagi apa.

Kalau saya perhatikan, lagu-lagunya Mas Didi yang dulu, terutama yang awal-awal 2000-an kan cenderung lebih sendu. “Tanjung Mas Ninggal Janji” misalnya, kan lagunya dari awal sampai akhir kan sendu terus. Tapi untuk lagu-lagu yang sekarang cenderung diawali kesenduan lalu disambung dengan irama koplo yang lebih ceria. Kenapa sih, Mas?
Ha ha, masih mellow terus sebenarnya: dicidrani, ditinggal mbojo, pacar tidak setia.
Itu soal pasar ya. Kadang ada pesenan produser juga karena dia yang berbisnis. Tapi dia tanya dulu sama saya, “boleh gini ndak?”, “okendak masalah”.

Tapi ada keinginan bikin lagu yang full sendu lagi nggak?
Nah lagu saya yang sekarang yang lagi banyak disukai anak muda, “Suket Teki”, itu kan mellow banget. Wis tak ngalah wae tapi malah damai. Itu cengeng-cengengnya malah kayak zaman Rinto Harahap.

Tapi kenapa kok galau-galau banget Mas, apakah karena pasar? Karena banyak anak galau misalnya?
Karena waktu saya mengeluarkan itu langsung direspons bagus. Selama pasar menerima ya halal-halal aja untuk meneruskan. Tapi saya juga nyelingi lagu jenaka juga, “Cilikanku rambutku dicukur kuncung”, “Cintaku sekonyong-konyong koder”. Jadi ada lagu jenaka juga. Boleh dibilang mellow-nya 75 persen, lagu jugjug-nya 25 persen.

Dari lagu-lagu itu yang paling “zaman edan” apa? Menurut saya sih “Tuyul Amburadul” dengan lirik: “Siki ana goda wanita lan banda, do elingo yen mati ora digawa”.
Ha ha. “Tuyul Amburadul” ya. Terlalu banyak lagu, kakehan lagu malah lali. Sekarang balik galau-galau lagi e.

Dalam lagu “Cintaku Sekonyong-konyong Koder” ada lirik “Cintaku Sekonyong-konyong koder, karo kowe cah ayu sing bakul lemper. Lempermu pancen super, resik tur anti laler. Yen ra pethuk sedina ning sirah nggliyer”. Nah, waktu saya kecil, ibu saya mengatakan kalau “lemper” dalam lagu itu sebenarnya metafor dari narkoba. “Resik. Anti laler. Sedina ra pethuk, sirah nggliyer”. Itu kan narkoba banget. Bener nggak sih, Mas?
Ha ha, itu lagu ceritanya antara penjual dagangan dengan anak-anak pengamen jalanan aja. Lagu guyon aja. Lagu itu kadang diarti-artikan, padahal empunya kan kadang tidak ke sana. Tapi ya boleh-boleh saja orang mengartikan. Ha ha ha, kalau seorang ibu mencontohkan lagu dan bilang “Mas Didi nulis lagu iki, supaya kowe aja nyedhaki iki”, nah kan boleh juga. Lagu Jawa itu dari dulu memang penuh nasihat dan filosofinya tinggi. Seperti “Tak lela ledhung” yang digunakan untuk meninabobokan anak, “aja pijer nangis, ning njaba ana butha”. Itu kan kaya filosofis. Lagu saya yang “Aku pancen wong cilik ora kaya raja, bisa mangan wae aku wis nrima”, itu kanfilosofi bahwa  kita orang Jawa dididik prihatin dari kecil. Orang Jawa kan gitu, mereka bilang “wis to urip ki sing semeleh”. Ya, tentang kesederhanaan masyarakat Jawa.
Tapi ya semoga untuk ke depannya negara ini  jangan “bisa mangan wae uwis nerima”, semoga ya lebih sejahtera lah, ha ha.

Kebetulan pada tahun 2014 saya pernah melakukan penelitian tentang musik campursari di Desa Playen, desa kelahiran Manthous. Nah ada sedikit kontroversi nih. Ha ha. Wah, gimana ya dibilang “kontroversi”.
Oh boleh, boleh, boleh. Lanjutkan saja.

Mas Didi kan berkibar di bawah nama campursari. Akan tetapi, dari versi yang saya pelajari, genre campursari ini memiliki pakem, yaitu ada perpaduan antara nada pentatonik dengan diatonik, antara tradisional dengan modern, antara gamelan dengan alat band. Nah, sedangkan kalau saya perhatikan, lagu-lagu Mas Didi hampir nggak pernah ada unsur gamelan. Nah Mas Didi sebenarnya musisi apa sih?
Saya bukan musisi campursari. Saya musisi Congdut, alias keroncong dangdut. Kalau orang nyebut Didi Kempot musisi campursari, saya sendiri tidak pernah bicara campursari. Saya pasti bilang keroncong dangdut. Kalau produser, karena nama campursari memang sudah booming nasional, jadi album saya dinamakan campursari. Kalau kita ya bilangnya keroncong dangdut, ada kendang, ada ukulele, itu sudah pasti. Congdut.

Jadi ndak pernah klaim ya mas?
Ndak. Lha kalau saya bilang congdut, malah banyak yang bilang “Wah, Mas Didi malah menemukan genre baru nih?” ha ha. Di acara Bukan Empat Mata-nya Mas Thukul, saya juga pernah ketemu dengan adiknya Mas Manthous, dan kita bicara soal itu.
Kalau musik Jawa kan banyak Mas, ada langgam, klenengan, pangkur jenggleng, di Jogja ada Mbah Basiyo, terus Macapat, kalau dikasih merek masing-masing kan lebih bagus, nah musik Jawa memang kaya sekali.

Pendapat Mas Didi tentang Manthous, Sony Joss, dan NDX AKA?
Kalau Sony Joss itu musisi keroncong dangdut yang banyak terpengaruh budaya timur. Genrenya mirip lagu saya? Iya.
Kalau NDX ya seperti tadi saya bilang, anak muda yang luar biasa.
Kalau Mas Manthous, yang jelas dia sudah dinobatkan sebagai Bapak Campursari dan yang mengibarkan bendera campursari. Tapi Mas Manthous menyanyikan lagu di luar campursari juga lho, seperti “Duh Aduh Jamilah” dan itu juga luar biasa sekali. Dia seniman multitalenta. Jadi apa pun bisa. Selain dia menemukan ramuan perpaduan gamelan dan keyboard itu, dia juga termasuk komposer lagu-lagu genre lain.

Mas Didi banyak meng-cover lagu-lagu musisi lain, seperti “Ada Apa Denganmu” dari Peterpan, lagunya Deddy Dores, bahkan meng-cover lagu Tarling Sunda dalam tembang “Jambu Alas”. Apakah ini bagus untuk perkembangan karier Mas Didi?
Bagus sekali. Empunya lagu juga mempercayakan lagunya dinyanyikan saya. Itu sebuah kebanggaan luar biasa. Lha ada Peterpan kokpercaya sama Didi Kempot? Dulu kebetulan produsernya sama dengan dia, Musica Studio.
Saya bukan orang idealis, saya berdiri sebagai seniman, sebagai penyanyi, dan semua akan saya lakukan selama saya mampu menyanyi. Waktu saya ke Suriname, saya juga belajar nyanyi lagu Suriname.

Adakah musisi yang menginspirasi Mas Didi?
Kalau yang saya kagumi, ada. Ya seperti Mus Mulyadi, dia menyanyikan lagu keroncong dan bisa “kena”. Saat itu beliau bersaing dengan grup musik manapun seperti The Mercys, dan lain-lain, tapi dia tetap bisa tembus nasional dengan berkeroncong.
Kalau yang berkarakter ya Broery Pesolima, dia setiap membawakan lirik lagu itu nyampai betul ke orang yang mendengarkan.

Lagunya Mas Didi juga langsung nyampe di hati, dess…
Ya mungkin karena dari belajar itu. Ya karena saya memperhatikan, emosinya gimana, bahwa menulis bukan soal mangap saja.

Rencana terdekat apa nih? Ada proyek lagu baru?
Menjelang lebaran nanti ada dua album. Saya membuat lagu judulnya “Aku Ra Dolan”. Hidup itu ndak main-main. Aku sekolah, yo ora dolan. Aku diharapkan betul-betul sama orangtua. Kalian sendiri datang ke kampus, jauh-jauh ke Jogja, kan bukan untuk plesiran. Maka saya bilang, “Aku ora dolan”. Saya sendiri kalau keluar rumah dalam hati bicara “Aku ora dolan. Aku golek duwit”. Liriknya “Lungaku ora dolan, rekasa golek pangan”. Apa pun profesinya itu sebetulnya berat, kalau mau enteng-entengan ya nggak mungkin. Saya pun sering bilang ke anak saya “Bapak lunga-lunga ki ora dolan, Le”. Makanya saya bikin lagu itu. Bahwa kita hidup itu tidak main-main.

Cari duit penting, tapi ikut passion tetap penting ya, Mas?
Oh sangat penting. Nyanyi Jawa, kaose cah enom. Ha ha ha (menunjuk ke kaos Jim Morisson warna hitam yang tengah dikenakannya).

Mas Didi itu self-branding-nya kan rambut gondrong. Kalau misal Mas Didi potong rambut, model apa sih yang Mas Didi pingin?
Sementara belum. Belum ada kepinginan. Sampai mbrodol pun tak openi. Ha ha.

Wah nek rambute ilang, suarane ilang, Mas?
Ha ha ha, memangnya aku Samson?

Kenapa Didi Kempot, bukan Didi Tembem?
Kempot itu punya latar belakang historisnya ya. Kempot itu Kelompok Pengamen Trotoar ya.

Owalaaah…
Ya itu kenangan di Jakarta waktu kami hidup di Bunderan Slipi, Palmerah. Anak-anak Kempot kan sampai sekarang masih ikut saya. Jadi saya membuat lagu, bisa laku, bisa diundang kemana-mana, saya syukuri, dan saya tidak pernah melupakan teman-teman saya. Dan Didi ndak punya manajemen, kalau ada yang kasih job yo kuwi manajerku. Ha ha ha.

Wah berarti kalau telepon ke manajemen, jangan-jangan Mas Didi sendiri yang angkat?
Seringnya gitu. Ha ha. Kan yang penting aku nyaman seperti ini. Pingin ke pasar, pingin iwak pithik ya tuku dewe.
Mas Didi suka baca buku nggak? Buku kesukaan Mas Didi apa?
Sementara belum, entah nanti setelah kenal Kibul. Ha ha.

Pertanyaan terakhir, masih pingin nangis nggak kalau ke Parang Tritis?
Ha ha, sekarang nggak-lah. Tapi saya bangga, Parang Tritis pernah membuat saya jadi lebih terkenal lagi. Dan digandrungi anak-anak muda, termasuk di-cover Endank Soekamti.

Nangis-nya nangis bahagia ya Mas sekarang?
Iya, nangis bahagia. Karo nek klilipen. Ha ha ha ha…

Wawancara ini pertama kali dimuat di www.kibul.in

“Kau akan dijemput pukul lima kurang sepuluh menit, dan tepat pukul lima proses kematianmu segera berlangsung. Katakan apa permintaan terakhirmu,” kata Sang Shodanco akhirnya.
“Inilah permintaan terakhirku: kaum buruh dunia, bersatulah !”, jawab Kamerad Kliwon. (Cantik itu Luka, halaman 319)

Dalam novel Cantik itu Luka (2004) karya Eka Kurniawan, terdapat satu tokoh yang cukup menyita perhatian. Ia adalah Kamerad Kliwon, pimpinan Partai Komunis cabang Halimunda yang suatu hari memimpin pemberontakan nelayan-nelayan kere di daerah tersebut terhadap Shodanco, pimpinan militer yang dengan kapal-kapal tankernya memonopoli area penangkapan ikan di pesisir Halimunda. Kamerad Kliwon adalah pemimpin yang begitu disegani. Selain itu ia juga dikenal sabar dan penuh strategi. Di tengah kemurkaan para nelayan yang  ingin segera membakar kapal-kapal tanker Shodanco, Kamerad Kliwon justru meminta kesempatan kepada para nelayan untuk mencari jalan tengah dan bermufakat dengan Shodanco. Ia bahkan melakukannya hingga dua kali. Barulah setelah mufakat tak kunjung tercapai, Kamerad Kliwon menyuruh para nelayan menunggu waktu yang tepat untuk membakar kapal  tanker tersebut. Dan mereka musti menunggu waktu hingga 6 bulan sampai para kroni Shodanco lengah dan mereka bisa leluasa menyulap kapal-kapal Shodanco menjadi butiran abu. Kamerad Kliwon bagaimanapun adalah pemimpin yang layak dikenang. Ia adalah pejuang yang gigih, pembaca buku yang rakus, orator yang ulung, dan – yang paling penting— keberpihakannya tidak tumpul ke atas dan lancip ke bawah.

Sampai tibalah hari di mana kita bisa menemui percakapan yang menjadi pembuka tulisan ini. Percakapan tersebut terjadi di markas militer Halimunda, kira-kira sebulan setelah peristiwa G30S terjadi dan satu per satu simpatisan PKI didudut nyawanya oleh bala tentara Indonesia. Namun tak seperti kebanyakan orang yang gemetar menghadap kematian, Kamerad Kliwon dengan senyum yang menyimpul justru menyambut kematiannya dengan begitu bangga dan penuh wibawa, seolah tak sedetik pun dalam hidupnya perlu disesalkan. Sebagaimana seorang syuhada yang mengucap takbir sebelum ajal, Kamerad Kliwon memilih mengucap sebaris kalimat yang terpahat di nisan Karl Marx, tokoh yang paling dikaguminya: “Kaum buruh dunia, bersatulah !”. Dan adakah kematian yang lebih agung daripada mempertahankan dengan teguh apa yang diyakininya sebagai kebenaran?

Andaikata Kamerad Kliwon benar-benar tewas hari itu, barangkali Kamerad Kliwon akan selamanya  dikenang sebagai sosok yang gagah berani. Namun takdir berkata lain. Kamerad Kliwon urung dibunuh berkat bantuan adik iparnya yang merupakan istri sang Shodanco. Sialnya, ia musti menjalani sisa hidupnya sebagai pemuda yang amat menyedihkan. Di tengah pengawasan yang ketat dari militer, ia memilih menjadi penjual kolor dan bertransformasi menjadi borjuis kecil di wilayah tersebut. Suatu hari, kios-kios yang menjajakan kolornya digusur pemerintah demi program pembangunan. Kejadian tersebut membangunkan jiwa kirinya dan ia berencana kembali melakukan pemberontakan. Malangnya, ia justru kembali digebuk dan ditangkap sebagai sisa-sisa hantu komunis. Ia pun musti diasingkan ke Pulau Buru. Beberapa tahun setelah penyiksaan yang panjang, ia dikembalikan ke Halimunda sebagai lelaki yang hidup segan mati tak mau. Hanya dalam hitungan hari, ia memilih meregang nyawanya dengan gantung diri setelah sehari sebelumnya tertangkap sang istri habis berselingkuh  dengan adik iparnya sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerapkali menemui sosok-sosok seperti Kamerad Kliwon. Sosok yang dalam satu fragmen hidupnya layak diceritakan sebagai teladan sampai tujuh turunan namun di kemudian hari menjadi sesuatu yang lebih layak dilempar ke keranjang sampah. Pada titik inilah kita seringkali menghakimi mereka dengan salah satu fragmen terekstrim saja.

Perenungan ini muncul ketika pada suatu hari seorang kawan saya menjadi penghujat Iwan Fals sementara sebelumnya ia adalah Oi garis depan. Ingin tahu kenapa? Apalagi kalau bukan karena kekecewaannya melihat kenyataan bahwa idolanya yang dulu kini hanya bisa berujar “Mantap !” terhadap kopi sachet murahan yang bikin diabetes itu, sementara pada tahun 1984 – di tengah kuatnya kekuasaan orde baru— ia berani menghujat negeri ini dengan metafor “Bisul tumbuh subur diujung hidung yang memang tak mancung”.

Pada cerita yang lain, seorang kawan saya memilih membenci Budiman Sudjatmiko setelah sebelumnya mengaku sebagai pengagum mantan ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) tersebut. Baginya, Budiman yang sekarang bukan lagi Budiman yang dulu dijuluki si Pembangkang oleh Orde Baru. Ia bukan lagi Budiman yang begitu tahan banting menyerukan keadilan dan kebebasan meskipun saban detik polonya diincar senapan. Budiman yang kini baginya tak lebih daripada selebritas politik atau tentu saja kacung si Mamak Banteng.

Kecewa barangkali merupakan hal lumrah, namun ada satu kesamaan yang patut disayangkan dari kawan-kawan saya tersebut: bahwa mereka menjadi begitu pesimis melihat orang yang ingin berlaku berani dan kritis. Setidaknya kita akan mendengar satu hal dari mereka, “Percuma sok kritis bung, paling ujung-ujungnya kayak Iwan Fals atau Budiman Sudjatmiko”— Dan jika ia mengenal Kamerad Kliwon, saya kira ia akan menambahi “atau Kamerad Kliwon”. Dan begitu kalimat tersebut terucap, mereka telah memblokir pikirannya dari segala hal tentang ketiga tokoh tersebut: termasuk fragmen-fragmen yang layak diteladani darinya.

Kisah hidup seseorang bagaimanapun merupakan sebuah spektrum yang jamak dan rumit. Maka menghakimi seseorang dari satu fragmen hidupnya saja—entah yang terbaik atau terburuk—adalah sebuah tindakan yang konyol. Toh mengidolai secara berlebihan bisa berujung pada pengkultusan, sementara membenci secara berlebihan bisa berujung pada kebebalan. Dan di dua kutub tersebut, kita lebih menyedihkan daripada Kamerad Kliwon.

tulisan ini pertama dimuat di www.kibul.in
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ▼  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ▼  Juli (6)
      • Agama Seikat Pocong
      • Rumah Sakit
      • [WAWANCARA] Didi Kempot: Saya Bukan Musisi Campursari
      • Menghakimi Kamerad Kliwon
      • Lerok, Seking, Kendeng
      • [RESENSI] Tak Ada Heroisme Manusia dalam Kappa
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018