Menghakimi Kamerad Kliwon
“Kau akan dijemput pukul lima kurang sepuluh menit, dan tepat pukul lima proses kematianmu segera berlangsung. Katakan apa permintaan terakhirmu,” kata Sang Shodanco akhirnya.“Inilah permintaan terakhirku: kaum buruh dunia, bersatulah !”, jawab Kamerad Kliwon. (Cantik itu Luka, halaman 319)
Dalam novel Cantik itu Luka (2004) karya Eka Kurniawan, terdapat satu tokoh yang cukup menyita perhatian. Ia adalah Kamerad Kliwon, pimpinan Partai Komunis cabang Halimunda yang suatu hari memimpin pemberontakan nelayan-nelayan kere di daerah tersebut terhadap Shodanco, pimpinan militer yang dengan kapal-kapal tankernya memonopoli area penangkapan ikan di pesisir Halimunda. Kamerad Kliwon adalah pemimpin yang begitu disegani. Selain itu ia juga dikenal sabar dan penuh strategi. Di tengah kemurkaan para nelayan yang ingin segera membakar kapal-kapal tanker Shodanco, Kamerad Kliwon justru meminta kesempatan kepada para nelayan untuk mencari jalan tengah dan bermufakat dengan Shodanco. Ia bahkan melakukannya hingga dua kali. Barulah setelah mufakat tak kunjung tercapai, Kamerad Kliwon menyuruh para nelayan menunggu waktu yang tepat untuk membakar kapal tanker tersebut. Dan mereka musti menunggu waktu hingga 6 bulan sampai para kroni Shodanco lengah dan mereka bisa leluasa menyulap kapal-kapal Shodanco menjadi butiran abu. Kamerad Kliwon bagaimanapun adalah pemimpin yang layak dikenang. Ia adalah pejuang yang gigih, pembaca buku yang rakus, orator yang ulung, dan – yang paling penting— keberpihakannya tidak tumpul ke atas dan lancip ke bawah.
Sampai tibalah hari di mana kita bisa menemui percakapan yang menjadi pembuka tulisan ini. Percakapan tersebut terjadi di markas militer Halimunda, kira-kira sebulan setelah peristiwa G30S terjadi dan satu per satu simpatisan PKI didudut nyawanya oleh bala tentara Indonesia. Namun tak seperti kebanyakan orang yang gemetar menghadap kematian, Kamerad Kliwon dengan senyum yang menyimpul justru menyambut kematiannya dengan begitu bangga dan penuh wibawa, seolah tak sedetik pun dalam hidupnya perlu disesalkan. Sebagaimana seorang syuhada yang mengucap takbir sebelum ajal, Kamerad Kliwon memilih mengucap sebaris kalimat yang terpahat di nisan Karl Marx, tokoh yang paling dikaguminya: “Kaum buruh dunia, bersatulah !”. Dan adakah kematian yang lebih agung daripada mempertahankan dengan teguh apa yang diyakininya sebagai kebenaran?
Andaikata Kamerad Kliwon benar-benar tewas hari itu, barangkali Kamerad Kliwon akan selamanya dikenang sebagai sosok yang gagah berani. Namun takdir berkata lain. Kamerad Kliwon urung dibunuh berkat bantuan adik iparnya yang merupakan istri sang Shodanco. Sialnya, ia musti menjalani sisa hidupnya sebagai pemuda yang amat menyedihkan. Di tengah pengawasan yang ketat dari militer, ia memilih menjadi penjual kolor dan bertransformasi menjadi borjuis kecil di wilayah tersebut. Suatu hari, kios-kios yang menjajakan kolornya digusur pemerintah demi program pembangunan. Kejadian tersebut membangunkan jiwa kirinya dan ia berencana kembali melakukan pemberontakan. Malangnya, ia justru kembali digebuk dan ditangkap sebagai sisa-sisa hantu komunis. Ia pun musti diasingkan ke Pulau Buru. Beberapa tahun setelah penyiksaan yang panjang, ia dikembalikan ke Halimunda sebagai lelaki yang hidup segan mati tak mau. Hanya dalam hitungan hari, ia memilih meregang nyawanya dengan gantung diri setelah sehari sebelumnya tertangkap sang istri habis berselingkuh dengan adik iparnya sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerapkali menemui sosok-sosok seperti Kamerad Kliwon. Sosok yang dalam satu fragmen hidupnya layak diceritakan sebagai teladan sampai tujuh turunan namun di kemudian hari menjadi sesuatu yang lebih layak dilempar ke keranjang sampah. Pada titik inilah kita seringkali menghakimi mereka dengan salah satu fragmen terekstrim saja.
Perenungan ini muncul ketika pada suatu hari seorang kawan saya menjadi penghujat Iwan Fals sementara sebelumnya ia adalah Oi garis depan. Ingin tahu kenapa? Apalagi kalau bukan karena kekecewaannya melihat kenyataan bahwa idolanya yang dulu kini hanya bisa berujar “Mantap !” terhadap kopi sachet murahan yang bikin diabetes itu, sementara pada tahun 1984 – di tengah kuatnya kekuasaan orde baru— ia berani menghujat negeri ini dengan metafor “Bisul tumbuh subur diujung hidung yang memang tak mancung”.
Pada cerita yang lain, seorang kawan saya memilih membenci Budiman Sudjatmiko setelah sebelumnya mengaku sebagai pengagum mantan ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) tersebut. Baginya, Budiman yang sekarang bukan lagi Budiman yang dulu dijuluki si Pembangkang oleh Orde Baru. Ia bukan lagi Budiman yang begitu tahan banting menyerukan keadilan dan kebebasan meskipun saban detik polonya diincar senapan. Budiman yang kini baginya tak lebih daripada selebritas politik atau tentu saja kacung si Mamak Banteng.
Kecewa barangkali merupakan hal lumrah, namun ada satu kesamaan yang patut disayangkan dari kawan-kawan saya tersebut: bahwa mereka menjadi begitu pesimis melihat orang yang ingin berlaku berani dan kritis. Setidaknya kita akan mendengar satu hal dari mereka, “Percuma sok kritis bung, paling ujung-ujungnya kayak Iwan Fals atau Budiman Sudjatmiko”— Dan jika ia mengenal Kamerad Kliwon, saya kira ia akan menambahi “atau Kamerad Kliwon”. Dan begitu kalimat tersebut terucap, mereka telah memblokir pikirannya dari segala hal tentang ketiga tokoh tersebut: termasuk fragmen-fragmen yang layak diteladani darinya.
Kisah hidup seseorang bagaimanapun merupakan sebuah spektrum yang jamak dan rumit. Maka menghakimi seseorang dari satu fragmen hidupnya saja—entah yang terbaik atau terburuk—adalah sebuah tindakan yang konyol. Toh mengidolai secara berlebihan bisa berujung pada pengkultusan, sementara membenci secara berlebihan bisa berujung pada kebebalan. Dan di dua kutub tersebut, kita lebih menyedihkan daripada Kamerad Kliwon.
tulisan ini pertama dimuat di www.kibul.in
2 komentar