[RESENSI] Tak Ada Heroisme Manusia dalam Kappa


Pertemuan pertama saya dengan kappa bukanlah kappa yang ada dalam buku ini. Kappa yang pertama kali saya temui adalah monster hijau berbentuk mirip katak dan kura-kura namun memiliki paruh kuning besar, dengan perawakan gemuk pendek, dan kepala botak yang dikelilingi rambut berbentuk teratai. Ia adalah monster air yang tinggal di danau dekat gua penuh berlian dan akan muncul jika kita memberinya tiga ketimun, untuk kemudian menukarnya dengan Power Berry. Pertemuan pertama saya dengan kappa tersebut ada dalam game Sony Playstation idola segala umat, Harvest Moon: Back to Nature.

Lantas ketika lebih dari sepuluh tahun kemudian saya menemukan sebuah buku tipis bersampul merah muda berjudul “Kappa”, maka ingatan saya segera terpelanting pada game tersebut. Berbalut rindu nostalgis dan rasa penasaran, saya pun segera  mengambil buku itu bahkan sebelum mengenal sang penulis, Ryunosuke Akutagawa, sastrawan yang ternyata dijuluki maestro cerpen Jepang dan namanya diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan sastra bergengsi.

Kappa adalah nama salah satu makhluk mitologi Jepang. J.K. Rowling dalam bukunya “Fantastic Beast and Where to Find Them” mendiskripsikan Kappa dengan tidak begitu jauh dari apa yang saya lihat di Harvest Moon:
“Monster air dari Jepang yang tinggal di kolam atau sungai dangkal. Seringkali nampak seperti monyet bersisik ikan dan bukan berbulu. Kappa mempunyai lubang di atas kepalanya untuk membawa air. Kappa minum darah manusia tapi bisa dibujuk untuk tidak melukai seseorang bila dilempari ketimun dengan nama orang itu di kulit buahnya. Saat berhadapan dengan Kappa, penyihir harus melancarakan tipu muslihat agar Kappa membungkukkan badan— dengan begitu air yang ada di kepalanya akan tumpah dan kekuatannya akan hilang”.
Mengingat betapa uniknya penggambaran Kappa baik dalam Harvest Moon maupun Fantastic Beast, saya pun berekspektasi bahwa kappa dalam novelet ini akan dihadirkan dengan paling tidak sama uniknya. Selain itu, mengingat kappa yang pertama saya temui adalah kappa yang lucu, maka saya juga berharap bahwa kappa dalam karya Akutagawa akan ditampilkan sebagai kappa yang menyenangkan alih-alih sebagai peminum darah manusia.

Maka, benar pula apa yang saya harapkan. Meski dibuka dengan kisah yang gelap, Kappa selanjutnya menyajikan sekuen demi sekuen yang membuat saya terpingkal-pingkal melihat tingkah makhluk satu ini.

Novel ini dibuka dengan pengantar dari narator tentang kisah penghuni rumah sakit jiwa nomor 23 yang tak henti menceritakan kisahnya tinggal di dunia kappa. Meskipun banyak orang menganggap kisahnya sekadar bualan, namun narator yang adalah dokter perawatnya, mau tidak mau menjadi percaya sebab konsistensi dalam ceritanya. Maka, berlanjutlah novelet ini dengan kisah dari pasien nomor 23 yang terjungkal ke dalam sumur, lalu sampai dan hidup di dunia kappa.

Kisah seorang manusia yang terjun di dunia fantasi dan hidup bersama monster, peri, atau makhluk eksentrik lainnya sebenarnya bukanlah cerita baru. Jauh sebelum Kappa, kita telah mengenal Gulliver’s Travel, Alice in Wonderland, Avatar karya James Cameron, atau –yang paling akrab dengan saya— Digimon. Akan tetapi, kisah-kisah tersebut kebanyakan menampilkan heroisme manusia yang tiba-tiba menjadi imam mahdi di universe barunya. Kappa, alih-alih menampilkan hal tersebut, justru sepanjang novelnya hanya menampilkan rutinitas sehari-hari tokoh bersama para kappa, mulai dari bertamu ke rumah kappa, menonton konser, membaca buku, hingga minum-minum bir di kafe. Namun justru disinilah letak mengasyikkannya Kappa. Kappa melalui sekuen-sekuen kecilnya seolah mengajak kita ikut merasakan keterkejutan demi keterkejutan yang dialami tokoh ketika melihat polah tingkah para kappa. Kappa benar-benar mengejutkan –juga menggelikan. Bayangkan, kappa adalah makhluk yang sedari belum keluar dari lubang peranakan, ia telah dapat berbicara dengan lancar. Kappa bahkan dapat memilih sendiri apakah ia mau dilahirkan atau minta digugurkan:
“Ketika sang jabang bayi hampir keluar, sang ayah mendekatkan mulutnya ke depan rahim istrinya, lalu bertanya dengan suara nyaring mirip orang menelepon, “Apakah kau mau dilahirkan ke dunia ini?”. Bayi yang masih di dalam rahim istrinya nampak agak sungkan lalu menjawab dengan suara perlahan, “Aku tak mau dilahirkan. Pertama, karena akan sangat mengerikan  mewarisi keturunan sakit jiwa darimu. Dan kedua karena aku yakin kehidupan kappa tidak baik”.

Membaca narasi di atas dan membayangkan sebiji orok yang mengumpat saja sudah membuat saya tergelak, toh nyatanya Akutagawa belum sampai pada punchline-nya:
“Ada kappa yang masih bocah tapi sudah lancar memberi ceramah tentang ada tidaknya Tuhan, padahal usianya baru 26 hari. Kappa itu kemudian meninggal pada usia dua bulan”

Sekuen lain dalam Kappa yang cukup mengocok perut adalah sekuen yang memuat berbagai quote dalam buku paling masyhur di dunia kappa. Buku tersebut ditulis oleh seorang filsuf kappa terkenal bernama Mag dan diberi judul “Kata-kata si Bodoh”.
“Mengurangi hasrat duniawi tidak selalu membuat hati tentram. Agar dapat merasa tentram, hasrat batiniah juga harus dikurangi” – Mag dalam Kata-kata si Bodoh

Karya sastra yang paling menyenangkan, bagi saya pribadi, adalah karya yang mampu membuat kita terbahak-bahak untuk kemudian membuat kita tak bisa tidur mempertanyakan “Apa sih maksud semua ini?”. Dan Kappa adalah salah satunya. Ia pertama-tama –dengan kurang ajar— membuat saya tidak sadar bahwa saya sedang menertawakan perihal aborsi, ceramah ketuhanan, juga omongan seorang filsuf. Dalam sekuen lain, saya bahkan sempat tertawa –sebelum akhirnya istighfar—melihat tokoh utama yang mual-mual saat mengetahui bahwa menu makan malamnya adalah daging para buruh Kappa yang rela dibunuh daripada hidup sebagai pengangguran.

Sekuen-sekuen tersebut bisa kita tebak sebagai sarkasme yang dilancarkan Akutagawa terhadap berbagai hal —sebagian besar hal tersebut masih kontekstual hingga saat ini. Sekuen tentang anak yang memilih digugurkan misalnya, bisa jadi menyinggung sistem sosial kita yang menganggap keluarga tanpa anak adalah hina.  Sementara itu, kita tak pernah peduli banyak anak terlantar sebab orang tua yang tak mampu beli puyer untuk kepalanya sendiri. Sekuen tentang ceramah ketuhanan yang disampaikan bocah usia 26 hari, misalnya, saya kira adalah sarkasme pada kita yang seringkali berbusa-busa khotbah soal Tuhan sementara membaca satu biografi Nabi saja belum pernah –atau nihil mengkhatamkan kitab terjemahan. Sementara itu, Kata-kata si Bodoh yang dijadikan judul buku filsuf tersohor saya kira juga menyinggung kita yang kerapkali mendabik dada sembari menyebut satu dua terma ndakik supaya nampak paling pintar –padahal kita tak lebih cerdas dari papan triplek.

Akutagawa adalah cerpenis ulung asal Jepang yang hidup di era Taisho (1912-1926). Pada era tersebut, Jepang sedang mengalami “panen besar” berkat kebijakan pendidikan pasca restorasi Meiji di mana Jepang bergelora betul mengirim anak mudanya kuliah di Barat. Hasil panen tersebut tak lain adalah ribuan kepala yang isinya melimpah rumus dan rancangan mesin-mesin industri. Jepang pun mengalami puncak industrialisasinya: produksi tembaga, batu bara, dan nikel meningkat berpuluh-puluh ribu ton, pembangunan pabrik menjamur dimana-mana, penemuan mesin-mesin industri tak habis-habisnya. Kamekichi Takahashi dalam artikelnya The Rise of Capitalisme in Japan bahkan menulis “Sementara di Eropa peradaban kapitalistik butuh dua atau tiga ratus tahun untuk berkembang, Jepang hanya butuh separo abad saja”.  Akan tetapi, segala sesuatu tentu ada harganya, jer basuki mawa bea, ujar orang Jawa. Maka Jepang –atau rakyat Jepang?– pun musti membayar hasil perkembangan industrialisasinya  dengan PHK besar-besaran bagi para buruh yang tenaganya digantikan oleh mesin-mesin industri. Jepang pun jadi ladang pengangguran.

Dalam Kappa, perihal di atas disinggung berkali-kali oleh Akutagawa. Sekuen di mana tokoh utama mual-mual saat mengetahui makanannya adalah daging para buruh Kappa sepertinya menyinggung keadaan sosial era tersebut. Sekuen itu terjadi ketika si Tokoh bersama dua kawannya diundang oleh Gael, kapitalis terkaya di dunia Kappa, untuk makan malam di rumahnya. Tokoh yang telah habis melahap hidangan malam itu kemudian muntah-muntah saat Gael mengatakan bahwa ia baru saja menyantap daging para buruh. Keterkejutan tokoh akan kanibalisme tersebut kemudian dijawab Gael dengan santai dan tenang “Kau tanya bagaimana aku bisa makan daging sesamaku? Bukankah di negerimu juga banyak yang memakai anak gadis proletar sebagai pelacur? Kalau kau muak makan daging para buruh, itu hanya sentimentalitasmu saja”.

Awalnya, saya berpikir bahwa Kappa adalah inversi dari dunia manusia. Aborsi yang dalam dunia manusia dianggap biadab, dalam dunia Kappa justru dianggap wajar. Ceramah ketuhanan yang alih-alih disampaikan seorang tua dan saleh, dalam Kappa justru diucapkan bayi usia sebulan – dan ia kemudian mati. Filsuf yang kerapkali dianggap manusia tercerdas, justru dilabeli Si Bodoh. Pun dengan seorang kapitalis yang alih-alih bersolek sebagai juru selamat “penyedia lapangan kerja”, justru secara terang-terangan mengaku tak ambil pusing melihat buruh-buruh dihanguskan. Akan tetapi, kata inversi nampaknya kurang pas untuk disematkan pada Kappa. Sebab sekuen-sekuen dalam Kappa nampaknya bukan sebuah inversi, namun lebih sebagai pelebih-lebihan (exaggeration) terhadap apa yang memang sudah ada di dunia nyata. Bukankah si pandir yang berkhotbah, amatir yang berfalsafah, atau kapitalis yang minum darah sebenarnya sudah lumrah? Lantas apa bedanya mereka-yang-ada-di-dunia dengan mereka-yang-ada-di-Kappa? Mungkin jawabannya adalah bahwa para Kappa mengamalkan betul apa yang dikatakan filsuf Mag,“Akuilah dosamu sendiri, maka semuanya akan lenyap”. Atau jika disederhanakan dalam kata-kata Awkarin “Fvck Pencitraan !”.

Tulisan ini pertama dimuat di www.kibul.in

Share:

0 komentar