Agama Seikat Pocong


Kendati telah mengenal Ninja RR sebagai tujuan utama pencapaian hidup, warga kampung saya di Wonosobo tetap tak bisa lepas dari segala hil dan hal yang berbau gaib. Hampir saban saya pulang kampung, saya selalu mendengar cerita-cerita yang khayalnya benar-benar ngalaihim. Misalnya cerita bahwa ada portal di Waduk dekat rumah saya yang tersambung langsung dengan Istana Ratu Kidul. Seorang “pintar” yang mengaku pernah menembus portal tersebut pernah bercerita bahwa kabarnya Nyi Roro Kidul kini telah menikah dengan Sunan Kalijaga. Ya Allah …. Gosip cap opoo .…

Namun, mari sejenak kita lupakan narasi-narasi besar dunia mistik. Tinggalkan cantiknya Nyi Roro Kidul, jahatnya Nyi Blorong, atau hitamnya gigi Mak Lampir, dan mari meluncur ke sebuah kisah dari sebuah kampung di pinggiran Wonosobo. Kisah tentang hantu pocong.

Alkisah, hiduplah seorang perempuan bernama Risa Ummayah yang lebih kerap dipanggil Risa U. Risa U adalah tetangga saya yang sejak dua bulan lalu menderita sakit yang aneh. Ibu beranak tiga ini, sejak ditinggal suaminya berselingkuh dengan suami orang lain, mendadak jadi sering merasakan sakit yang luar biasa di kepala dan perutnya. Lama kelamaan kelakuan Risa U jadi semakin nyeleneh: ia mulai suka ngomong sendiri, tertawa cekikikan tiap kali menatap atap rumah, dan yang paling tidak masuk akal ia kerap terlihat sedang minum air peceren (selokan) di samping rumahnya.

Gemesnya, Risa senantiasa sembuh total tiap kali dibawa berobat ke dokter atau bahkan psikiater. Dan sebab pengobatan modern tak dapat melacak jenis penyakitnya, maka disimpulkanlah bahwa Risa U kena guna-guna.

Beruntunglah keluarga Risa U, sebulan yang lalu ada “orang pinter” baru di kampung saya, yang mendapat lmu-ilmunya setelah kuliah S1 di UGM, eh maaf, maksudnya setelah rajin puasa nyenin-kemis.

Ia tetangga saya juga, namanya Mbak Wulan.

Kebetulan, Mbak Wulan adalah teman ngaji Ibu saya, dan kebetulan pula bahwa malam itu Mbak Wulan meminta bantuan Ibu saya untuk mendampingi ritual pengusiran jin yang nempel di tubuh Risa U. Ndilalahnya, saya waktu itu juga sedang pulang kampung. Alhasil, saya pun menonton secara live prosesi yang saya harap mirip prosesi “aing jawara di die” itu.

Dan dimulailah prosesi pengusiran tersebut.

Semua gorden rumah ditutup untuk menghindari ritual ini jadi tontonan warga. Mbak Wulan duduk tepat di depan Risa U. Tak ada kembang tujuh rupa, tak ada wangi-wangian minyak wangi Fanbo, apalagi kemenyan. Mbak Wulan hanya menggenggam secarik kertas bertulisan Arab di tangan kanannya. Dan mulai berkomat-kamitlah mulutnya merapalkan mantra.

“Aaarrgghh…,” Risa U tiba-tiba mengeluarkan suara yang janggal. Matanya melotot dan menatap masing-masing mata kami. Saya merinding. “Siapa kamu berani macam-macam dengan saya?” Ternyata jin telah 100 persen menguasai tubuh Risa U.

“Keluar! Kamu telah mengganggu anak ini,” kata Mbak Wulan, ganti menatap tajam Risa U.

“NGA!”

“Keluar!”

“NGA~”

“Kalau tidak, aku akan memaksamu keluar.”

“Nga takut!

Bis kobas kabis kobas kabis ko.” Mbak Wulan merapalkan mantranya, semakin cepat, tubuhnya bergetar dan peluh mengucur deras dari dahinya.

“Aku tahu siapa kamu,” kata Mbak Wulan. “Wujudmu seperti pocong. Harusnya kamu sudah tenang di alammu. Keluarlah!”

“NGA!”

“Jangan ‘Nga-Nga’ saja.” Mbak Wulan semakin cepat merapal mantranya.

“Aaarrghhh …. Ampun, Bu, ampun. Aaarrgggh. Risa U meraung-raung, tubuhnya menggeliat seperti cacing kepanasan. Ampun, Bu. Aku nga akan mengganggunya lagi, ampun ….”. Kini Risa U tampaknya benar-benar kesakitan dan menderita, tubuhnya menggelinjang dan kakinya menendang kemana-mana.

Melihat reaksi tersebut, Mbak Wulan pun makin bergelora. Namun, ketika si Jin sudah tampak hampir menyerah, tiba tiba Mbak Wulan menghentikan rapalan mantranya. Strategi ini mengingatkan saya pada cara biksu Tong menghukum Sun Go Kong atau Kagome membuat jera Inuyasha. Cerdyas!

“Sudah to, sekarang sudah mau keluar to?

“Nga, nga, nga.”

Lho, mau saya paksa lagi?

Ampun, Bu, aku nga akan keluar. Tapi aku janji nga akan mengganggu Risa U lagi. Aku malah akan menjaganya.

Halah, dusta. Saya paksa beneran, lo?

“Ampun, Bu, nga bohong. Demi Allah. Aku nga akan jahat, saksinya Allah. Lha wong saya ini Islam.

Dan di titik itulah Mbak Wulan habis kesabarannya. Dengan refleks yang luar biasa cepat, ia menyiram tubuh Risa U dengan segelas air doa sambil berteriak:

“SAYA SUDAH TAHU, MEMANGNYA ADA POCONG YANG NGGAK ISLAM?”

Malam pun berakhir dengan kekalahan telak si Pocong dan kemlongoan kami yang baru sadar bahwa “Tak ada pocong yang tak Islam”.

Tulisan ini pertama kali dimuat di blog ini dengan judul Kesurupan Pocong, kemudian dimuat kembali dengan cukup banyak perubahan di situs humor satir mojok.co

Share:

0 komentar