bagus panuntun

berubah!


Selagi energi sudah terisi setelah tidur kurang lebih setengah jam.

Yaa.. Hari ini saya menulis lagi akhirnya. Setelah beberapa hari lalu laptop harus menginap di tukang service, inilah pertama kali saya ngeblog lagi. :)

Kali ini saya akan bercerita tentang tempat yang hari ini kami kunjungi.

Ya... Hari ini. Kami Kunjungi.

Seharian ini saya plesir bersama my best partner to nyasar-nyasar, Ririswari.

Tapi selain bersama Riris, saya juga ditemani Mbak Dila, Andre, dan David.

Mari kita bicara tentang Jembatan Selopamioro...
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jembatan Selopamioro itu dari namanya saja sudah cukup menarik. Cukup menarik karena ada kata selonya. Selo sekali ya. (opo sih)

Jembatan ini terletak di daerah Imogiri Yogyakarta. Untuk rutenya dari Kota Jogja, silahkan menuju ke arah Jalan Taman Siswa, kemudian ke Jalan Sisingamaraja, dan lanjut ke arah Jalan Imogiri Barat. Sesampainya di Imogiri, kita bisa bertanya langsung pada warga setempat dimana letak SMP 2 Imogiri. Nah, jika sudah menemukan SMP tersebut, maka langsung saja belok kiri masuk ke jalan yang lebih kecil, lalu ikuti jalan saja sekitar 15 menit kita sudah akan sampai di Jembatan Selopamioro.

Jembatan memang hanya jembatan. Namun apa yang unik dari jembatan yang satu ini?
Jembatan ini adalah jembatan gantung, pemirsa...



Apa yang bisa kita lakukan disini? Yang pertama tentu saja mengambil banyak foto. Karena jika kita berada diatas jembatan, maka kita bisa melihat sungai dengan air yang jernih di bawahnya. Pemandangan dari atas jembatan adalah seperti ini.

Tapi ada satu hal yang jangan sampai tidak dilakukan ketika berkunjung kesini. Yaitu... Berenang !! :D

Oh ya, tentang perjalanan saya, saya memang sengaja membawa celana boxer sejak dari kos-kosan. Sehari sebelumnya Riris sudah mengingatkan pada kami, bahwa jika  berkunjung kesini jangan lupa bawa baju ganti.

Sayang sekali, ketika kami berkunjung, tempat ini sedang lumayan ramai, dan disini sepertinya belum ada kamar mandi umum. Oh ya, tempat ini sepertinya sudah mulai dikelola sebagai tempat wisata, hal ini terlihat dari sudah adanya lahan parkir dan beberapa penjual makanan yang berada di dekat Jembatan. Namun untuk kamar mandi umum, sepertinya memang belum ada.

Setelah kami mengambil beberapa foto dari atas jembatan, kami pun turun menuju ke sungai. Saat itu pukul setengah 12 siang, jadi cuaca sedang panas-panasnya.

Kami pun makan siang dulu dengan bekal Olive yang telah kami bawa sebelumnya.

Setelah makan, kami mendekat ke tepi sungai. Saya, Andre, dan David mulai mencoba memasukkan kaki kami untuk berkenalan dengan airnya. Wussh.. Setelah menyentuh airnya, ternyata kami semakin tergoda untuk merendamkan seluruh tubuh kami ke sungai ini, :D ..

Tapi karena di bawah jembatan ada lumayan banyak orang, saya pun mengajak teman-teman untuk menyusuri sungai dulu, menemukan tempat yang sepi. Ya, saya rasa sangat tidak nyaman jika mandi pukul 12 siang dan dilihat orang yang berlalu lalang, terutama mereka yang baru datang di kawasan tersebut.

Beberapa ratus meter kemudian, kami pun menemukan tempat yang sepi, dan hanya ada kami berlima disitu.. Yaa, We’re to swim guys !!



Saya, Andre dan David adalah yang pertama masuk ke sungai. Sedangkan Riris dan Mbak Dilla masih sibuk foto di tepian sungai.

Menyenangkan sekali kawan-kawan. Airnya yang dari jauh terlihat kehijau-hijauan ternyata sangat jernih ketika kita sudah diatasnya. Dari permukaannya, kita bisa melihat rumput-rumput hijau yang aa di dalam sungai lo... Sungai ini juga tak terlalu dalam, sekitar 1 - 1,5 meter, jadi kami pun bisa berenang tanpa takut tenggelam.

Beberapa menit setelah berenang dan tubuh sudah bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sungai, si Andre menepi ke sungai. Saya pikir dia sudah akan berhenti karena dia memang tidak bisa berenang. Dan ternyata dia malah mengambil batang pisang yang ada di pinggiran sungai untuk dijadikan pelampung. XD Hahaha...

Melihat Andre terlihat sangat asik dengan pelampung batang pisangnya, saya dan David pun mencari batang pisang lain yang tergeletak di pinggiran sungai. Kami melakukan beberapa tantangan, yaitu lomba mengayuh gedebog(batang pisang) dan lomba mengikuti arus.

Selang beberapa saat, Riris dan Mbak Dila pun menyusul kami. Mereka berdua membonceng gedebog saya... Dan kemudian saya mencarikan gedebog baru untuk Mbak Dila, sehingga hanya tinggal saya dan Riris yang boncengan.





Berenang di sungai itu membuat kami melupakan segala beban hidup. Dan juga dosa. Hahaha... Kami tertawa lepas dan melakukan hal-hal konyol, seperti melakukan serangan air dengan kaki yang dicipak-cipukkan ke air, balapan melawan arus, dsb...

Saya yang pertama naik ke atas untuk mengambil foto teman-teman yang sedang berenang. Hingga setelah kami sama-sama merasa lelah, kami pun mentas bersama-sama, dan baru sadar kalau kami sudah berenang sejak pukul 12 siang sampai setengah dua.







Sekarang, saat menulis catatan ini, saya sedang dalam keadaan yang bodoh. Badan panas, wajah merah, dan lumayan mumet. Bodoh...

Tapi saya tak menyesal. Hari ini menyenangkan. :)

Pasca 9 Juli yang cukup menegangkan namun bersejarah, masyarakat Indonesia kini sudah tahu siapa pemimpin baru yang akan menahkodai negara ini untuk lima tahun kedepan.

Sosok itu adalah seorang lelaki berwajah ndeso, tak berperawakan gagah, namun telah terbukti mampu menjadi suri tauladan bagi masyarakat, bahkan bagi pemimpin-pemimpin muda di Indonesia. Ya, meskipun dengan segala kontroversinya, kita harus mengakui bahwa sejak munculnya sosok ini, kita menjadi lebih optimis untuk memiliki pemimpin-pemimpin baru yang tak hanya cerdas, namun juga dekat dengan rakyatnya.

Lho? Kok tulisan saya malah memuji-muji beliau lagi?? Sepertinya sudah tidak relevan untuk momen sekarang ini. Wong kampanye sudah rampung, pencoblosan juga sudah rampung.
Ah iya, pujian-pujian saya diatas sebenarnya hanya sedikit dari hal yang pernah saya utarakan ketika 9 Juli 2014 masih belum kita lalui. Tepatnya saat masa kampanye sedang gencar-gencarnya.

Pilpres memang sudah usai, namun masa kampanye kemarin bagaimanapun memiliki kesan yang tak akan terlupakan bagi saya. Saat itu, saya merasa menjadi bagian langsung dari “tokoh” yang turut memperjuangkan Indonesia menuju masa depan yang lebih baik. Saat itu dengan ikhlas dan tanpa paksaan, saya aktif dalam menyuarakan pendapat tentang siapa pemimpin yang menurut saya lebih baik untuk menjadi presiden NKRI. Ya, saat itu saya menyuarakan dengan lantang, bahwa saya adalah pendukung Jokowi.

Selama masa kampanye hingga selesai pencoblosan tanggal 9 Juli, saya begitu aktif dalam berdiskusi dengan teman-teman maupun keluarga perihal siapa capres yang dirasa lebih baik untuk kita pilih. Dalam diskusi-diskusi tersebut, saya rajin menyampaikan alasan-alasan mengapa saya lebih mendukung Jokowi sebagai presiden ketimbang mendukung Prabowo.
Saat itu ada 2 alasan yang selalu saya ungkapkan mengenai alasan mengapa saya tidak memilih Prabowo, yang pertama adalah urusan moral. Bagaimana mungkin seorang pelanggar HAM kita pilih menjadi presiden?. Ya, mungkin saja dia sudah tidak menculik lagi, mungkin saja dia sudah tidak akan menyembunyikan orang, namun bagaimanapun anak-anak saya  tidak pantas mendengar bahwa seseorang masih bisa mencalonkan diri menjadi orang nomor satu meskipun ia telah melakukan kejahatan-kejahatan yang besar sebelumnya. Saya tidak ingin anak saya dengan mudahnya menyela saya ketika saya menasihatinya “Untuk jadi orang yang dihormati, kau harus senantiasa menjadi orang baik”. Karena menurut saya, seorang presiden adalah satu tokoh sentral yang akan menjadi panutan dan teladan bagi seluruh masyarakat. Maka, seorang presiden haruslah seseorang yang tidak pernah terkena kasus-kasus kejahatan, entah itu korupsi, pencurian, apalagi penculikan. Bagi saya, Prabowo bukan hanya tidak pantas menjadi presiden, bahkan ia tidak pantas menjadi calon presiden.

Alasan yang kedua adalah Prabowo yang emosinya terlalu labil. Prabowo seringkali mengatakan hal-hal yang begitu kontradiktif, sebagai contoh ia pernah mengatakan bahwa Jokowi adalah orang baik, dan ia sudah menganggapnya sebagai saudara, namun di moment yang lain saat berkampanye, ia berorasi dengan gaya khasnya, berteriak-teriak (yang sering diartikan oleh pendukungnya sebagai tegas), bahwa Jokowi adalah presiden boneka, penipu, bahkan antek asing. Dalam pandangan saya, pernyataan-pernyataan kontradiktif yang berpuluh-puluh kali ia keluarkan, membuktikan bahwa Prabowo tidak dapat mengendalikan emosinya ketika moodnya sedang tidak baik, sehingga ia sering menebarkan pernyataan yang cenderung mengandung kebencian, kemarahan, dan kecemburuan. Selain itu, kata-kata kontradiktifnya yang keluar secara masif, membuat saya makin ragu akan ketulusannya dalam berbicara/berorasi.

...................

Apakah selama saya menyuarakan pendapat-pendapat tadi saya aman-aman saja?

Tidak. Sangat tidak. Bahkan memunculkan banyak pertentangan.

Selalu saja ada yang memiliki cara berpikir lain, sehingga dengan cara berpikir yang berbeda, argumen-argumen saya akan dipatahkan dengan mudah. Berkali-kali saya didebat oleh kawan-kawan yang Pro-Bowo, bahkan oleh saudara-saudara saya sendiri.

Kendati demikian, justru disitulah proses pendewasaan kita dalam mengambil sikap politik menjadi lebih terasah. Semakin kita sering berdiskusi, mengemukakan pendapat dan berusaha myakinkan orang lain dengan argumen kita, maka disitulah saat kita berlatih untuk bisa berpikir dengan cara yang lebih terstruktur.

-------------

Namun, ada satu hal yang khusus saya garisbawahi mengenai fenomena-fenomena pilpres kemarin. Adalah keberpihakkan. Dalam masa kampanye kemarin, menurut saya terdapat beberapa kelompok yang seolah terlihat sangat berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Kelompol pertama adalah kelompok yang memihak Prabowo. Kami sering berdiskusi, juga berdebat.

Kelompok kedua adalah kelompol pendukung Jokowi. Kami lebih sering berdiskusi, kadang memotivasi.

Kelompok ketiga adalah kelompok yang apatis dan diam. Mereka sering tertawa melihat kami berdiskusi.

Sedangkan kelompok keempat adalah kelompok yang keempat. Bingung saya mau memberi nama apa. Kelompok keempat adalah kelompok yang tidak pernah menyuarakan pilihannya, pun ia tidak pernah mau berdiskusi tentang topik pilpres, namun ia selalu menyuarakan skeptisme pada pihak-pihak yang memihak dengan lantang. Boleh dibilang, menurut kelompok yang keempat ini, keberpihakkan adalah lebay. Lebay karena untuk apa repot-repot, sedangkan mau bersuara lantang seperti apapun, jumlah suaramu di TPS hanya satu, mau bersuara lantang seperti apapun, kau tidak akan mendapat apa-apa dari capres yang kau dukung. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, mereka akan dengan mudahnya memberi cap “fanatis” pada orang-orang yang memihak.

---------

Kali ini saya ingin menggarisbawahi khusus mengenai sikap politik yang tadi saya sebut sebagai kelompok keempat.

Bagi kalian, yang kemarin memilih diam dan menganggap bahwa berpihak adalah lebay, maka mohon maaf, bagi saya kalian adalah nyentrik.

Sikap yang kalian pilih sangat nyentrik. Bagaimana tidak? Saat ini kita sedang bersama-sama belajar untuk menjalani proses demokrasi yang baik, yang tentunya salah satu indikator untuk menilai baik tidaknya suatu demokrasi adalah perihal kebebasan dalam berpendapat. Lebih jauh lagi, kebebasan dalam berpihak. Maka seharusnya keberpihakkan adalah hal yang sangat biasa-biasa saja.

Keberpihakkan adalah suatu keniscayaan. Suatu hal yang harus kita hormati dan kita syukuri keberadaannya. Dan sebenarnya kita tak perlu kaget dengan bentuk keberpihakkan, bahkan yang terkesan berlebihan, karena sejak pemerintahan 32 tahun Soeharto digulingkan, keberpihakkan adalah hal yang setiap hari kita tonton, kita saksikan.

Sebagai contoh, keberpihakkan sebagian masyarakat Indonesia terhadap Palestina dalam konflik di Gaza. Bukankah itu juga sebuah keberpihakkan? Atau keberpihakkan kita pada KPK dalam kasus Cicak VS Buaya yang belum lama ini terjadi.

Maka dalam masa kampanye kemarin saya sering menertawakan sikap beberapa orang yang skeptis pada keberpihakkan pilpres, namun beberapa kali ia memasang tagar #SavePalestine. Hahaha.. You’re being double standard guys !

Haa, apa? Beda antara pilpres dengan konflik Gaza?

Iya, konfliknya beda. Tapi keberpihakkannya???

Satu hal lagi yang mungkin luput dari kesadaran kalian, di negara demokrasi ini, ada satu kebebasan yang merupakan hak setiap masyarakat, yaitu kebebasan untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Maka sudah semestinya bagi kita untuk menjadi tidak kagetan terhadap berbagai argumen yang tersebar di berbagai tempat atau media.

Namun harus saya akui jika banyak yang menyebalkan dari para pendukung capres yang ada di pilpres kemarin. Oh ya, mungkin bagi kalian, saya termasuk pendukung capres yang menyebalkan itu. :D .

Hanya saja, mungkin alasan kita berbeda untuk memilih sebal terhadap pendukung suatu capres.

Yang membuat saya sebal, bahkan marah, bukanlah keberpihakan seseorang, atau maksudnya bukan kepada siapa dia berpihak. Bukan pula seberapa banyak intensitasnya dalam berargumen di ruang publik.

Ya, karena sekali lagi, bagi saya keberpihakkan itu keniscayaan, dan sangat biasa-biasa saja.

Akan tetapi, satu hal yang membuat saya marah atas keberpihakkan, yaitu keberpihakkan yang dibarengi dengan fitnah.

Dalam pergelaran pilpres pilpres kemarin, fitnah seolah menjadi barang yang dengan mudahnya kita temukan di setiap sudut tempat. Entah di akun-akun anonim, akun-akun yang melacurkan nama agama, di media sosial, bahkan di media massa mainstream macam televisi nasional.

Sungguh suatu hal yang sangat memuakkan saat mengetahui bahwa calon-calon pemimpin yang acap kali disebut sebagai putra-putri bangsa terbaik, dengan santainya ikut mengeluarkan dan menyebarkan fitnah hanya demi mendapat angka kemenangan.

Beberapa hal mengenai fitnah yang begitu membekas di ingatan saya, adalah ketika dalam acara Mata Najwa, tim sukses Prabowo yaitu Ali Mochtar, dengan  mantapnya mengatakan tidak peduli dengan beredarnya koran Obor Rakyat. Sangat memuakkan jika melihat orang yang kesehariannya selalu meneriakkan “Allahuakbar” dengan lantang, namun ketika fitnah menyebar kemana-mana, dengan lugunya ia memilih diam. Bahkan mengatakan “tidak peduli”. Sungguh, memuakkan.

Satu hal lagi yang masih saya ingat, adalah pemberitaan mengenai PKI di Tv One. Penyebaran fitnah tentang PKI ini adalah perbuatan yang begitu melukai bangsa.

Masih banyak yang belum mengetahui fakta, bahwa pada masa orde baru, seseorang akan disebut pahlawan karena dia telah ikut membantai 2 juta petani yang disangka sebagai komunis. Belum lagi kisah nyata tentang sulitnya keturunan-keturunan anggota PKI untuk mendapat kerja, sekolah, bahkan untuk bisa makan. Tragis sekali melihat kebijakan dari era Soeharto yang demikian kejam, namun malah disebut tegas.

Memang dengan jelas kita sadari, bahwa pengetahuan sebagian besar masyarakat Indonesia tentang PKI hanya sebatas bahwa mereka komunis, bahwa mereka adalah kelompok yang wajib dibasmi sampai ke akar-akarnya. Bahkan, banyak sekali yang masih menganggap bahwa komunis adalah paham anti agama.

Atas realita yang sudah disebut diatas, Aburizal Bakrie, yang selalu mencoba memamerkan senyum unyu di setiap iklan kampanyenya, dengan begitu barbar menggunakan medianya untuk memupuk keawaman masyarakat Indonesia. Sifat paranoid dan anti-PKI yang ditanamkan pemerintah orde baru melalui buku-buku LKS Sejarah sejak sekolah dasar, dengan begitu ciamik (boleh dibaca bangsat) dimanfaatkan oleh Bakrie sebagai upaya untuk melancarkan ambisinya menjadi menteri utama.

Sedangkan di negara-negara maju, paham komunis, sosialis, atau liberalis, adalah pengetahuan umum yang harus diketahui setiap masyaraka, di negeri ini, ketidaktahuan masyarakat justru dimanfaatkan untuk meraih kursi jabatan. Ironis. Jari tengah saya untuk Aburizal Bakrie !

Ah, maaf tulisan yang begitu panjang ini mbleber kemana-mana.

Akan tetapi yang perlu diingat, keberpihakkan adalah wujud nyata dari demokrasi. Namun keberpihakkan tanpa fitnah adalah perwujudan dari demokrasi yang baik.

Keberpihakkan bukanlah kesalahan, namun segala fitnah harus sama-sama kita lawan. Mari sama-sama belajar.

Semoga di pemilu selanjutnya, kita sudah tidak kagetan.

Salam

Hidup adalah mengikuti suara hati, bukan suara mayoritas. Tanpa itu, MATI... #panuntun
Aku masih ingat kemeja pertama yang dibelikan ibuku pada ulang tahun pertamaku. Iya, serius, aku masih bisa mengingat beberapa hal dengan sangat jelas yang bahkan hal itu terjadi saat aku masih menyebut “jeruk” dengan “yeyuk”. Aku masih ingat saat aku digendong bulikku, diajak beli sayur ke Rumah Mbah Jio, dan ketika di perjalanan, kaki kanan bulikku ditotol pitik jago. Serius, aku masih ingat.

Ah, kembali ke kemeja.

Saat itu, kemeja pertamaku warnanya putih, ada gambar singa yang jumlahnya puluhan. Singa-singa itu ada yang kuning, namun ada juga yang merah. Aku masih ingat itu.

Namun aku tidak ingat saat aku pertama kali memakainya. Kata ibuku, waktu aku pakai kemeja putih itu, aku anteng,tidak banyak bergerak, dan kaku seperti robot. Lalu aku nangis, nggak ketolongan. Ah, pikir ibuku, mungkin anaknya sedang kurang sehat.

Aku sudah bisa bicara dan berjalan saat ibuku membelikanku 2 kemeja baru pada hari lebaran. Yang satu warnanya merah, yang satu warnanya hijau. Nah setiap ibu pasti kan ingin anaknya tampil gagah dan keren, biar kalau kemana-mana tetangga langsung menganggap ibuku sebagai ibu yang beruntung punya anak segagah aku. Hahaha. Aku pun disuruh mencoba baju yang baru dibelikan dari RITA ini. Namun bukannya aku lari-lari sambil ketawa riang memakai baju baru itu, aku malah memberontak begitu dipakaikakan kemeja yang berwarna hijau. Ah, aku marah-marah sama teriak, aku lepaskan dengan paksa kemeja itu sampai beberapa beniknya lepas. Ibuku akhirnya ngerti, anaknya ini nggak suka pakai kemeja.

Iya, ini cerita nyata. Serius. Aku masih sangat ingat kejadian ini.
--------
Ya. Sejak kecil saya memang tidak pernah merasa nyaman pakai kemeja. Itulah sebabnya setiap menjelang lebaran saya selalu hanya beli kaos. Waktu kecil itu kaos setelan.

Perasaan tidak nyaman saat pakai kemeja masih berlanjut hingga sekarang. Hingga hari ini.
Satu hal lagi yang saya tidak bisa pakai adalah celana jeans. Hahaha...

Tiap pakai celana jeans, saya juga merasakan hal yang sama saat pakai kemeja. Panas, sumpeg, dan seluruh tubuh jadi merasa kaku.

Akibat hal tersebut, yang terjadi sekarang ini, gaya berpakaian saya lain dari anak-anak muda lainnya.

Jika anak muda jama sekarang selalu memakai celana jeans panjang tiap kali bepergian, saya kemana-mana selalu memakai celana bahan, atau celana pendek yang tidak berbahan jeans.

Tadinya sempat mau ikut trend, dan mulai membiasakan diri memakai celana jeans, pun saya membeli beberapa celana jeans. Hasilnya? Amsyong... Karena rasa tak pernah bohong. Hari ini sudah tidak ada satupun celana jeans yang tersisa di lemari. Semuanya saya berikan ke adik saya, Abi Kresna Ernanda.

Akhirnya tiap kali berangkat ngampus pun saya selalu pakai celana bahan. Hal itu sudah berlangsung 4 semester lo. Saya pakai celana bahan karena saya nyaman dengan memakainya, nggak perlu mikir sumuk, nggak perlu mikir sumpeg. Dibilang nggak gaul?? Halah.. untuk apa menjadi gaul tapi menyiksa diri sendiri bro??

Selanjutnya, ketidaknyamanan saya memakai kemeja juga masih berlangsung sampai sekarang. Tapi, entah kenapa, saya bisa permisif dengan kemeja bermotif batik.

Dengan baju batik, tubuh saya masih bisa merasa cukup nyaman. Kenapa?? Saya sendiri nggak tau.

Oh ya, ngomong-ngomong, dari dulu kecil, kemeja yang saya miliki itu hanya seragam sekolah dan beberapa batik lo. Hehehe..
--------
Jadi.... Begitulah kenapa saya kemana-mana lebih sering kaosan.

Ke kampus saya kaosan, ke masjid, ke perpus, bahkan silaturahmi ke rumah guru SD saya pun kaosan.

Sedangkan baju batik atau polo hanya saya pakai ketika ada di kelas, atau di pertemuan-pertemuan resmi seperti jika ada kunjungan dari institusi lain ke FIB, dan saya menjadi staff Humas yang ikut membantu.

Kenapa? Karena sudah ada aturannya. Jika masuk ke kelas saya hanya pakai kaos, maka saya melanggar aturan yang sudah disetujui bersama. Maka saya menghormati aturan tersebut.
Namun ada satu hal yang membuat saya tidak mengerti sampai sekarang. Adalah statement dari banyak orang bahwa “Kaosan itu nggak sopan”.

Okelah, itu sudah jadi pernyataan umum, atau suara mayoritas, dan masyarakat pun sebagian besar sudah menerima (mentah-mentah) pernyataan tersebut. Namun bagi saya, sopan santun tidak bisa dinilai hanya dari satu indikator, apalagi hanya dari kaosan.

Menurut saya, pernyataan bahwa “kaosan itu tidak sopan” adalah takhayul. Pernyataan itu setingkat dengan pernyataan orang Jawa “Orang lahir jumat Kliwon itu hidupnya akan mujur”.

Maksudnya? Ya kedua hal tersebut tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dan hanya bersumber dari suara mayoritas. Sekali lagi, tidak ada bukti ilmiahnya. Takhayul.

Jadi, ketika saya tidak setuju dengan pernyataan “kaosan itu tidak sopan”, ya saya nggak salah dong? Wong namanya saja takhayul. Boleh dipercaya, boleh nggak. Boleh dilaksanakan, boleh nggak.

Masalah orang menganggap saya aneh, sok idealis, dsb, ya saya siap menerima semua itu. Yang penting pilihan saya untuk kaosan tidaklah merugikan orang lain, juga bukan merupakan hal yang salah. Dan yang jelas, saya merasa nyaman.
Dibilang sok idealis??

Teman saya @tariromita , dia mengingatkan saya dengan penuh kasih sayang,haha. (saya menganggapnya demikian) ,bahwa saya belum punya power, maka hati-hatilah dalam beridealis.

Oke tar, merci beaucoup.

Kita memang tidak bisa merubah tatanan dunia sendirian, tapi kita selalu punya power penuh atas diri kita sendiri. :)

Saya sadar bahwa dengan berbagai keputusan saya yang mungkin berbeda dengan sebagian besar orang, saya akan di-cap aneh, nggak gaul, atau apalah. Ya begitulah konsekuensi dari orang yang memiliki idealis.

Selama apa yang kita lakukan tidak salah, idealisme dapat kita nikmati dengan segala konsekuensinya.

Ya. Selama kamu nggak salah, nggak merugikan orang lain, dan kamu merasa nyaman, apa yang perlu dikhawatirkan dari menjadi berbeda?

Satu keyakinan saya, bahwa hidup adalah mengikuti suara hati, bukan suara mayoritas. Tanpa itu, MATI.


--------
Oh ya, terakhir, saya jualan kaos nih.Ini sisa-sisa jaman dulu, waktu mau wirausaha tapi gagal total karena yang ngurus cah-cah sikak yang wegah-wegahan. Hahaha..

Ini kaos 13enfants.



Season 2.
"Liberté"
Cotton Combad 30S. Size S, M dan L .
kode barang : LIBERTE

Order 65.000 Rupiah saja.

Untuk pemesanan,
kirim SMS Order ke
089672180219 (Bagus)

format:
(Nama Lengkap) - (Alamat Lengkap) - (Kode Barang+Size)
Hai Cahaya pagi pertamaku
Datanglah kau kesini, sini main ke rumahku
Merebahkan diri dibawah mega Kaliwiro Wadaslintang
Melihat pepohonan yang lunglai pada aspal berkelok-kelok

















Hai kekasih, cahaya pagi pertamaku
Tuangkan sedikit energimu untuk menemui rumput kering
Rumput-rumput kering yang teguh berdzikir dibawah injakan kaki
Mereka menemani pohon kelapa yang bisu kesepian
Ditinggalkan burung-burung Branjangan
Dari Bukit Puntuk menuju Waduk

Bukit Puntuk














Hai Kekasih hati, cahaya pagi pertamaku
Lihat disana ratusan anak tangga berceloteh
Mulutnya yang lembab semisal hujan Desember
Memanggil-manggil namamu untuk jalan diatasnya
Mari kugandeng tanganmu menuju Mujil
Bukit kecil yang merenung tenang
Menatap Waduk Wadaslintang


Bukit Mujil





Foto-foto ini diambil dengan kamera Blackberry adik saya, dan juga kamera Sony Ericson kakak saya.
Untuk foto di Bukit Puntuk, diambil dengan kamera hape Mas Beni.
Sedang foto di perjalanan dan Bukit Mujil diambil dengan kamera Abi.
Semua foto ini diambil dalam moment lebaran tahun 2014...

Kita tahu bagaimana cara Tuhan menilai manusia.

Kita telah tahu bahwa semua manusia sama di depan Tuhan, kecuali dari akhlaknya.

Kita telah tahu bahwa Tuhan menilai manusia hanyalah dari akhlaknya.

Namun mengapa, saat ini manusia menilai manusia dengan cara yang sangat berbeda dengannya?

Jika Tuhan menilai manusia dari akhlaknya, mengapa manusia menilai manusia dari tahtanya, dari hartanya, atau dari pangkatnya?

Benarkah cara manusia menilai lebih baik dari Tuhan?

Jika benar, mengapa yang tumbuh kini adalah nafsu-nafsu ganas yang ingin saling menyaingi, nafsu-nafsu liar yang ingin saling membunuh, menikam dan mengalahkan.

Seolah musuh dari manusia adalah manusia-manusia lainnya.

Jika saja manusia nurut dengan caranya Tuhan, bukankah musuh manusia hanyalah keserakahan pada dirinya sendiri?

Oh Tuhan, mengapa kedamaian serasa begitu tersembunyi seolah ia pusaka jarum emas yang dicari ayam-ayam jantan hingga kiamat tiba.

Apa karena kita terlalu sering keminter?

Sedangkan pertandamu sudahlah sangat banyak.


Selama tidak salah, idealisme bisa dinikmati dengan segala konsekuensinya #panuntun
Realistis adalah idealisme paling sampah #panuntun



Aku yang sekarang adalah aku yang dulu
Kamu yang sekarang adalah kamu yang dulu
Kita adalah sama
Dulu dan sekarang

Tidak, kita tidak berubah
Aku masih tetap bayi yang berumur satu hari
Aku adalah balita yang merengek minta disuapi
Aku masih anak kelas 5 SD yang memilih diam
Walau diminta kunci jawaban

Tidak, kita tidak berubah
Hanya makin sering menempuh jalan
Hanya makin sering menginjak duri

Tidak, kita tidak berubah
Hanya makin sering menyelam malam
Hanya makin sering mengarung pagi

Kita tidak berubah
Kita
Ya tetap kita

Sumber foto :
Camera HP Risang Harjati Mukti

Diambil di :
rumah Rizka

Waktu :
Lebaran hari ke empat, jam 9 malam

Saya bersama :
Eka Seto Sumarsono, Dwi Yanto, Risang Harjati Mukti, Sigit Pambudi, Ahmad Furkon, Ibnu Alsohan, Anung Anindito Widodo, Riska Ade Triarsa, Aditya Astuti, Dewi Sri Alriski, Dewi Kurniawati.

Ada juga alumni MI dan alumni Smada(ngrewangi motret):
Laelia Al Hawa, Ghaida Sofi

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ▼  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ▼  Agustus (10)
      • Selo dibawah Selopamioro
      • Keberpihakkan, Biasa Saja...
      • Suara
      • Kaosan
      • Sini Main ke Rumahku
      • Keminter
      • Idealis
      • Realistis??
      • Reuni SD 1 Ngalian Angkatan 2000
      • Udud
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018