Keberpihakkan, Biasa Saja...

Pasca 9 Juli yang cukup menegangkan namun bersejarah, masyarakat Indonesia kini sudah tahu siapa pemimpin baru yang akan menahkodai negara ini untuk lima tahun kedepan.

Sosok itu adalah seorang lelaki berwajah ndeso, tak berperawakan gagah, namun telah terbukti mampu menjadi suri tauladan bagi masyarakat, bahkan bagi pemimpin-pemimpin muda di Indonesia. Ya, meskipun dengan segala kontroversinya, kita harus mengakui bahwa sejak munculnya sosok ini, kita menjadi lebih optimis untuk memiliki pemimpin-pemimpin baru yang tak hanya cerdas, namun juga dekat dengan rakyatnya.

Lho? Kok tulisan saya malah memuji-muji beliau lagi?? Sepertinya sudah tidak relevan untuk momen sekarang ini. Wong kampanye sudah rampung, pencoblosan juga sudah rampung.
Ah iya, pujian-pujian saya diatas sebenarnya hanya sedikit dari hal yang pernah saya utarakan ketika 9 Juli 2014 masih belum kita lalui. Tepatnya saat masa kampanye sedang gencar-gencarnya.

Pilpres memang sudah usai, namun masa kampanye kemarin bagaimanapun memiliki kesan yang tak akan terlupakan bagi saya. Saat itu, saya merasa menjadi bagian langsung dari “tokoh” yang turut memperjuangkan Indonesia menuju masa depan yang lebih baik. Saat itu dengan ikhlas dan tanpa paksaan, saya aktif dalam menyuarakan pendapat tentang siapa pemimpin yang menurut saya lebih baik untuk menjadi presiden NKRI. Ya, saat itu saya menyuarakan dengan lantang, bahwa saya adalah pendukung Jokowi.

Selama masa kampanye hingga selesai pencoblosan tanggal 9 Juli, saya begitu aktif dalam berdiskusi dengan teman-teman maupun keluarga perihal siapa capres yang dirasa lebih baik untuk kita pilih. Dalam diskusi-diskusi tersebut, saya rajin menyampaikan alasan-alasan mengapa saya lebih mendukung Jokowi sebagai presiden ketimbang mendukung Prabowo.
Saat itu ada 2 alasan yang selalu saya ungkapkan mengenai alasan mengapa saya tidak memilih Prabowo, yang pertama adalah urusan moral. Bagaimana mungkin seorang pelanggar HAM kita pilih menjadi presiden?. Ya, mungkin saja dia sudah tidak menculik lagi, mungkin saja dia sudah tidak akan menyembunyikan orang, namun bagaimanapun anak-anak saya  tidak pantas mendengar bahwa seseorang masih bisa mencalonkan diri menjadi orang nomor satu meskipun ia telah melakukan kejahatan-kejahatan yang besar sebelumnya. Saya tidak ingin anak saya dengan mudahnya menyela saya ketika saya menasihatinya “Untuk jadi orang yang dihormati, kau harus senantiasa menjadi orang baik”. Karena menurut saya, seorang presiden adalah satu tokoh sentral yang akan menjadi panutan dan teladan bagi seluruh masyarakat. Maka, seorang presiden haruslah seseorang yang tidak pernah terkena kasus-kasus kejahatan, entah itu korupsi, pencurian, apalagi penculikan. Bagi saya, Prabowo bukan hanya tidak pantas menjadi presiden, bahkan ia tidak pantas menjadi calon presiden.

Alasan yang kedua adalah Prabowo yang emosinya terlalu labil. Prabowo seringkali mengatakan hal-hal yang begitu kontradiktif, sebagai contoh ia pernah mengatakan bahwa Jokowi adalah orang baik, dan ia sudah menganggapnya sebagai saudara, namun di moment yang lain saat berkampanye, ia berorasi dengan gaya khasnya, berteriak-teriak (yang sering diartikan oleh pendukungnya sebagai tegas), bahwa Jokowi adalah presiden boneka, penipu, bahkan antek asing. Dalam pandangan saya, pernyataan-pernyataan kontradiktif yang berpuluh-puluh kali ia keluarkan, membuktikan bahwa Prabowo tidak dapat mengendalikan emosinya ketika moodnya sedang tidak baik, sehingga ia sering menebarkan pernyataan yang cenderung mengandung kebencian, kemarahan, dan kecemburuan. Selain itu, kata-kata kontradiktifnya yang keluar secara masif, membuat saya makin ragu akan ketulusannya dalam berbicara/berorasi.

...................

Apakah selama saya menyuarakan pendapat-pendapat tadi saya aman-aman saja?

Tidak. Sangat tidak. Bahkan memunculkan banyak pertentangan.

Selalu saja ada yang memiliki cara berpikir lain, sehingga dengan cara berpikir yang berbeda, argumen-argumen saya akan dipatahkan dengan mudah. Berkali-kali saya didebat oleh kawan-kawan yang Pro-Bowo, bahkan oleh saudara-saudara saya sendiri.

Kendati demikian, justru disitulah proses pendewasaan kita dalam mengambil sikap politik menjadi lebih terasah. Semakin kita sering berdiskusi, mengemukakan pendapat dan berusaha myakinkan orang lain dengan argumen kita, maka disitulah saat kita berlatih untuk bisa berpikir dengan cara yang lebih terstruktur.

-------------

Namun, ada satu hal yang khusus saya garisbawahi mengenai fenomena-fenomena pilpres kemarin. Adalah keberpihakkan. Dalam masa kampanye kemarin, menurut saya terdapat beberapa kelompok yang seolah terlihat sangat berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Kelompol pertama adalah kelompok yang memihak Prabowo. Kami sering berdiskusi, juga berdebat.

Kelompok kedua adalah kelompol pendukung Jokowi. Kami lebih sering berdiskusi, kadang memotivasi.

Kelompok ketiga adalah kelompok yang apatis dan diam. Mereka sering tertawa melihat kami berdiskusi.

Sedangkan kelompok keempat adalah kelompok yang keempat. Bingung saya mau memberi nama apa. Kelompok keempat adalah kelompok yang tidak pernah menyuarakan pilihannya, pun ia tidak pernah mau berdiskusi tentang topik pilpres, namun ia selalu menyuarakan skeptisme pada pihak-pihak yang memihak dengan lantang. Boleh dibilang, menurut kelompok yang keempat ini, keberpihakkan adalah lebay. Lebay karena untuk apa repot-repot, sedangkan mau bersuara lantang seperti apapun, jumlah suaramu di TPS hanya satu, mau bersuara lantang seperti apapun, kau tidak akan mendapat apa-apa dari capres yang kau dukung. Dalam tingkatan yang lebih tinggi, mereka akan dengan mudahnya memberi cap “fanatis” pada orang-orang yang memihak.

---------

Kali ini saya ingin menggarisbawahi khusus mengenai sikap politik yang tadi saya sebut sebagai kelompok keempat.

Bagi kalian, yang kemarin memilih diam dan menganggap bahwa berpihak adalah lebay, maka mohon maaf, bagi saya kalian adalah nyentrik.

Sikap yang kalian pilih sangat nyentrik. Bagaimana tidak? Saat ini kita sedang bersama-sama belajar untuk menjalani proses demokrasi yang baik, yang tentunya salah satu indikator untuk menilai baik tidaknya suatu demokrasi adalah perihal kebebasan dalam berpendapat. Lebih jauh lagi, kebebasan dalam berpihak. Maka seharusnya keberpihakkan adalah hal yang sangat biasa-biasa saja.

Keberpihakkan adalah suatu keniscayaan. Suatu hal yang harus kita hormati dan kita syukuri keberadaannya. Dan sebenarnya kita tak perlu kaget dengan bentuk keberpihakkan, bahkan yang terkesan berlebihan, karena sejak pemerintahan 32 tahun Soeharto digulingkan, keberpihakkan adalah hal yang setiap hari kita tonton, kita saksikan.

Sebagai contoh, keberpihakkan sebagian masyarakat Indonesia terhadap Palestina dalam konflik di Gaza. Bukankah itu juga sebuah keberpihakkan? Atau keberpihakkan kita pada KPK dalam kasus Cicak VS Buaya yang belum lama ini terjadi.

Maka dalam masa kampanye kemarin saya sering menertawakan sikap beberapa orang yang skeptis pada keberpihakkan pilpres, namun beberapa kali ia memasang tagar #SavePalestine. Hahaha.. You’re being double standard guys !

Haa, apa? Beda antara pilpres dengan konflik Gaza?

Iya, konfliknya beda. Tapi keberpihakkannya???

Satu hal lagi yang mungkin luput dari kesadaran kalian, di negara demokrasi ini, ada satu kebebasan yang merupakan hak setiap masyarakat, yaitu kebebasan untuk mempengaruhi dan dipengaruhi. Maka sudah semestinya bagi kita untuk menjadi tidak kagetan terhadap berbagai argumen yang tersebar di berbagai tempat atau media.

Namun harus saya akui jika banyak yang menyebalkan dari para pendukung capres yang ada di pilpres kemarin. Oh ya, mungkin bagi kalian, saya termasuk pendukung capres yang menyebalkan itu. :D .

Hanya saja, mungkin alasan kita berbeda untuk memilih sebal terhadap pendukung suatu capres.

Yang membuat saya sebal, bahkan marah, bukanlah keberpihakan seseorang, atau maksudnya bukan kepada siapa dia berpihak. Bukan pula seberapa banyak intensitasnya dalam berargumen di ruang publik.

Ya, karena sekali lagi, bagi saya keberpihakkan itu keniscayaan, dan sangat biasa-biasa saja.

Akan tetapi, satu hal yang membuat saya marah atas keberpihakkan, yaitu keberpihakkan yang dibarengi dengan fitnah.

Dalam pergelaran pilpres pilpres kemarin, fitnah seolah menjadi barang yang dengan mudahnya kita temukan di setiap sudut tempat. Entah di akun-akun anonim, akun-akun yang melacurkan nama agama, di media sosial, bahkan di media massa mainstream macam televisi nasional.

Sungguh suatu hal yang sangat memuakkan saat mengetahui bahwa calon-calon pemimpin yang acap kali disebut sebagai putra-putri bangsa terbaik, dengan santainya ikut mengeluarkan dan menyebarkan fitnah hanya demi mendapat angka kemenangan.

Beberapa hal mengenai fitnah yang begitu membekas di ingatan saya, adalah ketika dalam acara Mata Najwa, tim sukses Prabowo yaitu Ali Mochtar, dengan  mantapnya mengatakan tidak peduli dengan beredarnya koran Obor Rakyat. Sangat memuakkan jika melihat orang yang kesehariannya selalu meneriakkan “Allahuakbar” dengan lantang, namun ketika fitnah menyebar kemana-mana, dengan lugunya ia memilih diam. Bahkan mengatakan “tidak peduli”. Sungguh, memuakkan.

Satu hal lagi yang masih saya ingat, adalah pemberitaan mengenai PKI di Tv One. Penyebaran fitnah tentang PKI ini adalah perbuatan yang begitu melukai bangsa.

Masih banyak yang belum mengetahui fakta, bahwa pada masa orde baru, seseorang akan disebut pahlawan karena dia telah ikut membantai 2 juta petani yang disangka sebagai komunis. Belum lagi kisah nyata tentang sulitnya keturunan-keturunan anggota PKI untuk mendapat kerja, sekolah, bahkan untuk bisa makan. Tragis sekali melihat kebijakan dari era Soeharto yang demikian kejam, namun malah disebut tegas.

Memang dengan jelas kita sadari, bahwa pengetahuan sebagian besar masyarakat Indonesia tentang PKI hanya sebatas bahwa mereka komunis, bahwa mereka adalah kelompok yang wajib dibasmi sampai ke akar-akarnya. Bahkan, banyak sekali yang masih menganggap bahwa komunis adalah paham anti agama.

Atas realita yang sudah disebut diatas, Aburizal Bakrie, yang selalu mencoba memamerkan senyum unyu di setiap iklan kampanyenya, dengan begitu barbar menggunakan medianya untuk memupuk keawaman masyarakat Indonesia. Sifat paranoid dan anti-PKI yang ditanamkan pemerintah orde baru melalui buku-buku LKS Sejarah sejak sekolah dasar, dengan begitu ciamik (boleh dibaca bangsat) dimanfaatkan oleh Bakrie sebagai upaya untuk melancarkan ambisinya menjadi menteri utama.

Sedangkan di negara-negara maju, paham komunis, sosialis, atau liberalis, adalah pengetahuan umum yang harus diketahui setiap masyaraka, di negeri ini, ketidaktahuan masyarakat justru dimanfaatkan untuk meraih kursi jabatan. Ironis. Jari tengah saya untuk Aburizal Bakrie !

Ah, maaf tulisan yang begitu panjang ini mbleber kemana-mana.

Akan tetapi yang perlu diingat, keberpihakkan adalah wujud nyata dari demokrasi. Namun keberpihakkan tanpa fitnah adalah perwujudan dari demokrasi yang baik.

Keberpihakkan bukanlah kesalahan, namun segala fitnah harus sama-sama kita lawan. Mari sama-sama belajar.

Semoga di pemilu selanjutnya, kita sudah tidak kagetan.

Salam

Share:

0 komentar