Les Cendres de Bonbin

Ahad pagi, aku baru terbangun pada angka 7 kurang seperempat. Untuk kesekian kalinya, aku tak mendengar alarm yang kusetel sendiri pukul 05.00 agar aku bisa beribadah shalat subuh. Beberapa hari ini aku mulai rutin shalat setelah agak puas menjalani kehidupan yang arahnya makin tak jelas. Lagi-lagi manusia ingat pada Tuhannya ketika rasionalitas otaknya sudah buntu.

Tepat pukul tujuh aku membuka pintu kamar dan segera mencuci muka agar tubuh ini terasa lebih segar. Dengan masih memakai kaos yang kupakai saat tidur, aku meminta Andre untuk mengantarkanku ke kampus dengan sepeda motor.

Hari minggu ini cuaca terlihat cerah dan bersahabat, angin bertiup dengan tenang dan sederhana sembari membawa hawa agak dingin yang ramah. Pukul 7 lebih 10 menit aku sudah sampai di kampus Ilmu Budaya dan mata pun mulai mencari-cari sudah adakah anak LEM FIB yang tiba di kampus. Aku mulai mencari-cari di area bawah jembatan budaya, disana hanya ada beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu yang sedang menunggu anaknya melaksanakan ujian UM UGM, sepertinya melihatku yang hanya memakai kaos lusuh dan celana pendek krem plus sandal jepit swallow membuat mereka cukup penasaran siapa aku ini sebenarnya. Sudahlah. Aku pun masuk ke Gedung B dan melihat koridor sepanjang gedung ini masih sepi dan sunyi, hingga kemudian aku masuk ke sekre baru LEM di B105, ternyata masih kosong tak ada orang satu pun. Dasar tradisi ngaret.

Aku duduk sendirian di B105, melihat sekeliling ruang yang masih dipenuhi mading-mading anak festival sastra, ah kapan mading ini dipindahkan, kemudian kulihat di bawah meja duduk, ternyata anak-anak Sosmas telah menyiapkan peralatan lengkap untuk pekerjaan hari ini. Sudah ada sapu ijuk dan sapu lidi yag jumlahnya sepertinya lebih dari lima, serok sudah siap, lap pel sudah ada namun tergeletak begitu saja di lantai, ada pula sekantong kresek berisi deterjen, sabun, kapur barus. Hari ini sepertinya kami sudah siap untuk kerja bakti di bonbin.

Beberapa menit kemudian Bertus sudah datang di kampus, lalu disusul Tohir. Koordinator menteri eksternal dan menteri sosial masyarakat LEM ini memang anggota LEM yang paling dapat diandalkan. Kami bertiga pun segera menuju bonbin bertemu Mas Heru, Mas Bodong dan kawan-kawan.

"Piye mas, mahasiswa wis siap? Iki lagi masak teh karo kopi sek yo", sapa Mas Heru begitu melihat kami.

"Wah, belum ada anaknya mas. Kumpul jam 8 e, masih setengah jam lagi. Kita mulai kerja jam 8 ya mas", jawabku dengan santai.

"Siap bos !" kata salah satu pedagang bonbin.

----------------------------------------------------------------------------------------------
Malam minggu sebelum hari kerja bakti di kantin bonbin ini, aku mengajak Bintang, Epik, dan Bertus untuk melakukan eksperimen kecil. Kami mencoba menyiram satu meja bonbin dengan soda api. Kata dosen saya, yaitu Pak Ali, kotoran dan daki yang menggumpal diatas meja bonbin ini akan rontok kalau disiram dengan soda api. Beliau menyarankanku untuk mencoba hal tersebut sekalian melihat bagaimana efeknya.

"Siram malamnya, lihat lagi waktu pagi", ujar Pak Ali.

Benar pula, Minggu pagi ini aku pun menengok satu meja bonbin yang sudah kusiram dengan soda api atas izin dari pedagang bonbin. Begitu sampai di meja yang sudah kami bawa ke area parkiran lama ini, kami kaget dan terkejut. Daki di meja bonbin sudah rontok sebagian, tetapi air yang menggenang di bawah meja itu ternyata berwarna hitam pikat, menimbulkan dugaan bagiku bahwa kotoran yang sudah melekat diatas meja bonbin ini sudah terlalu banyak, sudah menumpuk parah.

Ya Tuhan, sebeginikah realitasnya?



----------------------------------------------------------------------------------------------
Aku langsung berdiskusi sejenak dengan Bertus, kami berdua sepakat agar kerja bakti hari ini akan kita maksimalkan untuk membersihkan beberapa area. Kamar mandi bonbin yang sudah pengap dan tak berlampu, area tengah bonbin yang sepertinya perlu dipel, pipa diatas bonbin yang masih dipenuhi abu kelud karena memang belum pernah dibersihkan sejak sabda alam tersebut. Abu ini tidak terlihat, namun bukan tidak mungkin abunya sering tertiup angin dan jatuh di santapan-santapan lezat kita. Dan tentu saja kami sepakat untuk menggosok meja bonbin sampai endapan-endapan kopi, saos, kecap, teh, abu rokok, nasi, dan markisa yang telah menumpuk menjadi daki ini bisa hilang.

Untuk masalah membersihkan daki diatas meja, pedagang bonbin menyarankan agar kami memakai serabut kawat agar noda diatas meja dapat terangkat dan hilang. Tanpa berpikir lama, pedagang bonbin lah yang langsung nyetater motornya untuk pergi ke toko bangunan membeli benda tersebut. Berikutnya, untuk bagian dalam warung bonbin, Mas Heru meminta ini menjadi tanggung jawab masing-masing pedagang.

Aku cukup senang melihat teman-teman dari luar LEM berdatangan. Ada Mas Wibi dari Kapalasastra, Wening dari Terjal, Linggar yang mewakili KAMASUTRA (atau mungkin KMIB), Gusman sang ketua IMABA yang hadir sendirian, Irene dari Lincak, lalu menyusul Kiki dan Wada dari HMSP. Ternyata masih banyak HMJ BSO yang peduli terhadap kebersihan dan kesehatan di kampus ini dan mau bekerja bersama-sama meskipun tanpa dibayar.

Aku sendiri justru kecewa terhadap internal LEM sendiri. Dari sekitar 80 anggota LEM yang tertulis di data PSDM, sepertinya hanya sekitar 25 an anak yang bersedia meluangkan waktunya untuk hadir di pagi ini. Sebagian sudah ada janji, sebagian sibuk ingin belajar. Padahal pengumuman untuk kerja bakti ini sudah diumumkan sejak 2 minggu sebelumnya, plus satu minggu kebelakang adalah 7 hari Minggu tenang. Belum belajarkah?

Entahlah. Semakin tua rasanya aku semakin terbiasa bertemu orang-orang baru, semakin terbiasa melihat pemikir-pemikir cerdas, semakin terbiasa bersapa dengan aktivis dan segala idealismenya. Hanya dua hal yang rasanya belum biasa aku temui, ketulusan dan rasa tanggung jawab.

Menjadi oportunis mungkin adalah pilihan paling realistis di masa kini. Meski entah adakah kebermanfaatan dari tindakannya kecuali bagi dirinya sendiri.

----------------------------------------------------------------------------------------------

Jam 8 lebih seperempat kami briefing seperti yang sudah direncanakan sebelumnya. Bertus memimpin briefing dan membagi tugas. Sebelum mulai menyapu area depan bonbin, tiba-tiba Mas Bodong mengajak kami untuk selfie.

"Ayo-ayo selfie dulu biar semangat !" ajaknya disambut gelak tawa kami.


3 jam berikutnya, kami bekerja dengan dipenuhi gelak tawa dan canda. Kami sempat saling menunjuk siapa yang mau menguras bak kamar mandi, namun akhirnya kami bekerja bersama. Tohir menertawakan wastafel yang fungsinya justru sudah menjadi bak sampah, tentu sembari membersihkannya. Mas Wibi dan Amin sebagai dua pria dengan tubuh yang relatif ringan bersedia memanjat ke langit-langit bonbin yang mungkin tidak terlalu kokoh untuk berat 70 kilogram keatas, mereka membersihkan pipa air yang tersumbat debu kelud. Selanjutnya Mas Wibi dan Amin dibantu oleh Khusnul untuk membersihkan debu, tanah, dan ranting-ranting pohon yang ada di atap bonbin.

Guyonan paling kerap muncul tatkala kami mencuci meja bonbin. Kali ini semua dibuat speechless dengan tebalnya daki berwarna hitam yang sudah lama menggumpal ini sebelum akhirnya kami justru tertawa bersama. Meskipun kami bermain dengan benda-benda kotor, namun kebersamaan membuat kami tidak merasa jijik sedikitpun. 1 meja bisa dibersihkan oleh 5 orang. Masing-masing menggosok dengan berbagai gaya. Ada yang tangannya menggosok secara maju mundur, ada yang dengan gerakan melingkar, ada yang dengan tenaga penuh hingga otot di lengannya terlihat, namun ada pula yang terlampau santai.

Semua tertawa ketika salah satu dari kami berkelakar,

"Anak sastra ! Meja Bonbin aja kami mandiin, gimana kalo jodohnya?".



----------------------------------------------------------------------------------------------

Satu persatu meja bonbin telah selesai kami cuci, lalu meja tersebut kami jemur. Sejenak terlintas ide iseng di otakku, aku harus mengambil foto before after.


before
after
 ----------------------------------------------------------------------------------------------
Selesai sudah kerja bakti hari ini. Tentu aku mewakili LEM FIB mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya terhadap semua teman-teman yang mau meluangkan waktunya demi kebermanfaatan bersama. Rasanya meskipun hari ini tidak terkumpul begitu banyak massa, aku dapat melihat orang-orang yang mau bekerja dengan ketulusan. Orang-orang yang lebih memilih untuk menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari permasalahan, apalagi pencaci.

Apa semua senang dengan program kerja bakti ini? Ternyata tidak juga. Beberapa berpikir bahwa program semacam ini hanya menjadi ajang pencitraan. Ya, semenjak media membombardir negeri ini dengan wacana pencitraan, rasanya bangsa ini semakin sulit untuk menjaga kepercayaan satu sama lain dan mau untuk bekerja bersama.

Namun, tak usahlah peduli dengan segala cacian. Rasanya, ikut bekerja jauh lebih masuk akal untuk menanggapi air hitam pekat yang menggenang di bawah meja ini. Dibanding sekedar memuaskan diri dengan asumsi-asumsi.

----------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa hari sebelum kerja bakti ini dilakukan, sebenarnya aku sudah bertemu dengan mereka yang memiliki power untuk segera mengubah keadaan. Pemimpin-pemimpin yang harusnya segera bertindak melihat ada bagian dari rumahnya yang jauh dari "baik-baik saja". Namun dengan berbagai tapi, tapi, dan tapi, sepertinya urusan administrasi menyuruh kami agar jangan terlalu banyak berharap.

Sebenarnya untuk apa seorang dipilih untuk memimpin? Untuk menyejahterakan dan membahagiakan rakyat dengan powernya, atau untuk menjalankan administrasi-administrasi sesuai undang-undang, traktat, atau kitab berpasal?

Kalau sudah begini, okelah, biar kami yang di bawah ini yang berbuat. Kami juga bisa sih dan malah tidak repot juga.

Tapi, mosok begini terus?

Share:

0 komentar