bagus panuntun

berubah!

Dengan segala niat baik untuk membuat FIB lebih baik pula, lebih rame, lebih srawung, saya memutuskan untuk menjadi calon Hokage LEM FIB UGM 2015 (Untuk FIB, Hokage kok lebih pantas ya daripada Presiden. Lebih pas lagi Ketua RT,hehe).

Pemira kali ini ada dua calon. Yaitu saya dan Ibnu (Sastra Arab 2012). Saya harap semua berpartisipasi dalam ritual tahunan FIB ini. Untuk itu, monggo saya unggah visi misi dan program kerja yang telah saya susun. Mosok yo milih tapi nggak tau alasannya kenapa. Semoga dengan poster visi misi dan proker yang saya unggah di bawah ini, bisa dijadikan pertimbangan untuk memilih siapa Hokage LEM FIB selanjutnya. Yang jelas, coba kenali dulu track recordnya, lalu pelajari visi misi dan prokernya.

Jika saya mendapat amanah untuk menjadi Hokage LEM FIB 2015, maka Kabinet yang akan saya bentuk akan bernama Kabinet Holopis Kuntul Baris. Holopis Kuntul Baris artinya bekerja bareng-bareng untuk mewujudkan hal yang besar. Monggo dicek (gambar bisa dizoom), semoga bermanfaat:

Tulisan ini sebenarnya saya tulis pada hari Minggu, tanggal 21. Sayangnya kemarin saya masih di kampung, sehingga belum bisa mengunggah tulisan ini ke blog. Maklum, saya tinggal di desa yang jaraknya sekitar 10 km dari warnet terdekat. Hehe.

Sebelumnya perkenalkan, nama saya Ari Bagus Panuntun, dan panggilan saya Bagus. Saat ini saya kuliah jurusan sastra Prancis 2012. Asli Wonosobo, Jawa Tengah.

Pada kesempatan kali ini, saya ingin menuliskan beberapa hal yang kemudian membuat saya memilih untuk mencalonkan diri sebagai Hokage Lembaga Eksekutif Mahasiswa FIB UGM.

Saya akan bercerita dulu tentang LEM. Saya telah bergabung dengan LEM sejak semester awal saya kuliah. Saat itu LEM masih dipimpin mbak Pipit, dan saat itu saya sangat salut pada beliau karena sebagai seorang wanita, dia berani memimpin FIB yang begitu beragam.

Tahun berikutnya saat kemudian Mbak Pipit turun dan digantikan oleh Bang Jack, saya juga masih ikut LEM dan saat itu dipercaya menjadi wakil menteri divisi Minat dan Bakat LEM. Saat itu saya membantu Mas Arya (Sasindo 2010) di divisi Mikat dan Alhamdulillah waktu satu tahun bekerja bersama Mas Arya dan Bang Jack terasa sangat menyenangkan dan saya banyak mendapatkan pelajaran dari sana. Mulai dari Etnika Fest yang sangat keren, Sekoteng yang cukup ramai (terutama pas stand up night), sampai event terakhir Mikat yaitu Inaugurasi 2013 “Zaman Cilik” yang menyuguhkan 11 penampilan hebat dari 11 jurusan.

Kirab Inaugurasi 2013
Sekoteng

Bagaimanapun bekerja di LEM sangat menyenangkan. Dan sampai Mas Ahsan menjadi ketua LEM 2014 pun saya masih terdaftar resmi sebagai anggota LEM. Akan tetapi tahun 2014 ini saya tidak begitu aktif seperti tahun sebelumnya. Ada dua alasan. Yang pertama saya lebih sibuk mengurus FIBER (FIB English Ranger) yang saat itu saya dirikan bersama teman-teman pada tanggal 17 September 2013 dan saya diamanahi menjadi ketua pertama di English Club ini. Sebagai organisasi yang masih baru dan belum mapan, saya pun konsen memimpin BSO baru ini dengan harapan bahwa FIBER tidak bubar dan masih bisa melaksanakan program-program kerjanya. Puji Tuhan, Sang Hyang Wenang, bantuan teman-teman membuat FIBER tetap melaksanakan diskusi bahasa Inggris mingguan hingga saat ini. Selain sangat konsen di FIBER, saya juga aktif di HMSP(Himpunan Mahasiswa Studi Prancis) dan pada tahun 2014 ini saya dipercaya menjadi ketua acara tahunan HMSP, C’est La Fête. Berkat acara CLF, akhirnya saya bisa menonton secara live band yang sangat unik dan keren, yaitu The Trees and the Wild.

Kesibukan saya di FIBER dan HMSP membuat saya tidak begitu aktif d LEM. Alhasil banyak hal yang ingin saya wujudkan di LEM, tapi sampai hari ini masih hanya sekedar angan-angan. Beberapa hal tersebut antara lain keiginan untuk mengadakan diskusi rutin antar mahasiswa S1 di FIB. Diskusi, kegiatan yang kami lakukan setiap satu minggu sekali di FIBER menurut saya adalah hal yang sangat berguna jika kita biasa melakukannya. Diskusi harusnya menjadi budaya yang selalu kita lakukan setiap hari. Tidakkah kita lelah dengan kultur debat yang hampir saban hari kita lihat sedangkan diskusi menjadi hal yang sangat jarang kita temui? Tujuan debat adalah mencari winner, yang otomatis juga menemukan looser. Berbeda dengan diskusi. Dengan diskusi kita mencoba bersama menemukan win-win solution. Maka sudah seharusnya kultur diskusi harus dibangkitkan di Fakultas Ilmu Budaya ini, untuk melatih akal dan hati kita agar makin peka dan kritis, juga solutif.

Sebenarnya, saya sudah pernah menyarankan hal ini kepada menteri Kajian Keilmuan. Hanya saja, mungkin karena alasan tertentu, diskusi rutin ini belum bisa dilaksanakan sampai sekarang. Untuk itu, pada tahun 2015 saya ingin agar FIB memiliki diskusi rutin yang bisa diikuti oleh siapapun masyarakat Fakultas Ilmu Budaya.

Diskusi yang sampai hari ini masih direncanakan bernama LKS atau Lesehan Kamis Sore ini (namanya sangat tidak filosofis) akan mengundang pembicara dari mahasiswa-mahasiswa S1. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar kita sebagai mahasiswa S1 juga bisa berbagi ilmu dan berbagi pengalaman, karena selama ini diskusi-diskusi rutin di FIB seperti Weekly Forum hanya memberi kesempatan kepada mereka yang sudah benar-benar ahli untuk menjadi pembicara. Sedangkan sebenarnya, kami mahasiswa S1 juga banyak yang melakukan penelitian, dan sampai hari ini hasilnya masih belum diketahui oleh banyak orang, kecuali mungkin dosen pembimbingnya. Untuk itu, diskusi ini akan mengundang banyak teman-teman S1 FIB untuk  membicarakan isu-isu kebudayaan atau sastra. Lalu, biarlah acara ini jadi seperti acara Kenduri Cinta nya Cak Nun, dimana diskusi berjalan dengan santai, lesehan, dan siapapun boleh saling menanggapi.

Selain keresahan tentang kultur diskusi di FIB yang sangat kering. Saya juga merasa bahwa selama ini acara-acara HMJ BSO masih belum terkordinasi dengan baik. Hal-hal seperti banyaknya acara yang saling bertabrakan (contohnya tahun ini acara C’est La Fête Sastra Prancis bertabrakan dengan acara History Week Sejarah) adalah bukti bahwa banyak hal yang telat didiskusikan antar HMJ BSO. Untuk itu, menurut saya forum FIB kedepannya harus membicarakan secepat mungkin mengenai waktu pelaksanaan event-event besar di FIB. Kalau bisa di bulan Februari (nanti deadline akan kita bahas bersama), semua HMJ BSO sudah bisa memberi kepastian kapan acara besar mereka akan dilaksanakan. Untuk itu, LEM perlu menjadi penengah dalam forum ini. Toh dengan semakin cepatnya tanggal acara besar ditentukan, teman-teman HMJ BSO juga bisa memiliki waktu yang lebih lama dalam mempersiapkan acaranya. Dan jadinya, acara-acara kita akan semakin terkonsep dan tidak ada lagi event buang-buang duit di akhir tahun. :)

Satu masalah lagi yang perlu bersama-sama kita bahas sambil ngopi bersama adalah mengapa selama ini acara HMJ BSO masih belum dirasa sebagai “acaranya FIB”. Sebagian besar anak FIB belum tahu pengajian KMIB dilaksanakan hari apa, masih banyak pula yang belum tahu apakah kita bisa ikut diskusi filmnya Saskine atau tidak. Hal ini karena sifat eksklusifitas masing-masing HMJ BSO masih terlalu besar. Maka, kedepannya, LEM akan mencatat setiap acara rutin HMJ BSO, dan ikut mempublikasikan acara ini baik melalui web LEM, twitter @apakabarFIB, atau media-media sosial lain. Program-program rutin yang jumlahnya cukup banyak ini akan dipromosikan dengan satu hashtag yaitu #FIBWangun. Program ini boleh saja jika dikatakan sebagai program pencitraan, #FIBWangun memang akan dijadikan tagline yang disebarkan oleh LEM di berbagai ruang publik. Akan tetapi, lebih dari sekedar pencitraan, wacana #FIBWangun dibentuk agar masyarakat FIB merasa bahwa setiap event yang ada di FIB adalah event milik bersama. Pengajian bukan milik KMIB saja, tapi milik FIB. Rabu Senja bukan acara Lincak saja, tapi FIB. Berikutnya akan muncul kebanggaan dari seluruh masyarakat FIB bahwa Fakultas yang sering dipandang sebelah mata ini ternyata adalah fakultas yang sangat produktif dalam berkarya.

By: Anasniamz

Berikutnya, sebagian besar program kerja yang ingin saya kerjakan adalah melanjutkan program-program kerja dari LEM tahun-tahun sebelumnya. Sebagian besar program tersebut bisa dibaca di poster yang saya unggah di bawah. Beberapa program kerja baru juga sudah disiapkan seperti A24, JAB, dan LKS yang sudah dijelaskan diatas.

Ah iya, ingin menambahkan, saat ini FIB punya puluhan mading, tapi sayangnya mading berisi poster promosi acara lebih banyak daripada karya mahasiswanya. Untuk itu, saya ingin LEM 2015 mengurus sistem mading agar lebih teratur. Di tempat-tempat strategis seperti Plaza Gedung C, Jembatan Budaya, akan dipasang mading yang berisi khusus karya-karya mahasiswa FIB. Media akan memiliki email khusus yang siap menerima tulisan-tulisan, atau artikel-artikel dari mahasiswa FIB. Semoga dengan begini, kultur menulis di FIB akan semakin membaik.
  
Selebihnya, untuk kepastian program kerja apa saja yang akan dilaksanakan, baru akan dipastikan setelah kabinet terbentuk. Ya, jika Sang Hyang Wenang meridhoi saya untuk menjadi Hokage LEM FIB 2015.


Saya masih SD ketika Ibu saya setiap pagi nyetel album Iwan Fals dari VCD bajakan. Setiap jam 6 pagi, sambil bersiap untuk berangkat bersama teman, saya mendengar lagu-lagu musisi legenda ini. Lagu-lagu dari yang paling romantis seperti “Yang Terlupakan”, “Kemesraan”, sampai lagu-lagu dengan lirik kiri mentok seperti "Bento" atau "Wakil rakyat", semuanya adalah sarapan saya sedari kecil.

Dari lagu-lagu tersebut, ada beberapa lagu yang maknanya baru mulai saya pahami setelah saya duduk di bangku SMA. Beberapa lagu itu adalah “Berkacalah Jakarta” dan “Jangan bicara”. 2 lagi ini adalah dua lagu favorit saya. Bahkan, saat kelas 5 SD saya menyanyikan lagu “Jangan bicara” di depan kelas. Entah bagaimana ekspresi guru saya waktu itu, saya lupa.

Sebentar, mungkin lagu ini tidak se-terkenal Bento, tetapi mari sejenak kita dengarkan lagunya yang  intronya asik karena diselingi suara harmonika khas Iwan Fals. Dan tentunya yang lebih penting, mari kita baca liriknya:

Jangan bicara soal idealisme
Mari bicara berapa banyak uang di kantong kita
Atau berapa dahsyatnya
Ancaman yang membuat kita terpaksa onani


Jangan bicara soal nasionalisme
Mari bicara tentang kita yang lupa warna bendera sendiri
Atau tentang kita yang buta
Bisul tumbuh subur
Di ujung hidung yang memang tak mancung

Jangan perdebatkan soal keadilan
Sebab keadilan bukan untuk diperdebatkan
Jangan cerita soal kemakmuran
Sebab kemakmuran hanya untuk anjing si tuan polan

Lihat di sana... Si urip meratap
Di teras marmer direktur murtad
Lihat di sana... Si icih sedih
Di ranjang empuk waktu majikannya menindih

Lihat di sana.... Parade penganggur
Yang tampak murung di tepi kubur

Lihat di sana....... Antrian pencuri
Yang timbul sebab nasi nya dicuri
Jangan bicara soal runtuhnya moral
Mari bicara tentang harga diri yang tak ada arti
Atau tentang tanggung jawab
Yang kini dianggap sepi



Gila. 1 kata yang langsung terlintas ketika mengingat Iwan Fals menciptakan lagu ini pada tahun 1984. Tahun ketika rezim Soeharto sedang mapan-mapannya. Bahkan ketika orang-orang Indonesia sedang dinina bobokkan dengan slogan “PEMBANGUNAN”, Iwan Fals sudah sadar bahwa ada praktik kesewenang-wenangan rezim orba.

Lirik “Bisul tumbuh subur diujung hidung yang memang tak mancung” adalah tamparan keras terhadap rezim orba. Metafor yang sangat keras terhadap negara yang sudah tak makmur, banyak masalah pula. Tentu bukan hal biasa lirik semacam ini muncul ditengah keadaan industri musik Indonesia yang saat itu sedang dimabukkan lirik-lirik lagu cinta. Lagu “Jangan bicara” muncul sebagai embrio lirik-lirik gila yang lain. Terbukti setelah itu muncul lagu-lagu lain yang malahan makin gila, seperti Bento, Surat buat wakil rakyat, dan Tikus-tikus kantor.

Lagu ini adalah bentuk kemuakkan dari Iwan Fals, yang muak, semuak-muaknya terhadap pemimpin-pemimpin yang saban hari bicara idealisme, nasionalisme, keadilan, membela rakyat kecil, tapi seminggu sekali rapat di kafe-kafe mewah. Hmm.. keadaan yang masih relevan hingga saat ini.

Satu lirik lagi yang paling mengena dan pedas rasanya adalah “Jangan bicara tentang runtuhnya moral”. Ah, rasanya bicara moral memang selalu melelahkan, apalagi sudah bentukannya jaman orba, moral seseorang lebih dilihat dari penampilannya dahulu. Orang kaosan dianggap tidak sopan, termarjinalkan, sisa-sisa. Sedang untuk jadi orang yang “dianggap” sopan, bermoral baik, sebaiknya pakai baju yang rapi, berkerah, kalau bisa sepatunya disemir yang bersih. Pemikiran seperti ini tidak hanya tertanam kuat di pikiran masyarakat umum, tapi bahkan di kalangan kaum-kaum terdidik. Aneh, bahkan hingga hari ini betapa mudahnya orang menilai “kami” yang kaosan ini sebagai orang yang semaunya sendiri. Bukankah kepedulian sosial sama sekali tak bisa dilihat dari cara seseorang berpakaian? Ah, sudahlah... Bicara moral di negeri ini memang melelahkan. Maklum kalau Iwan Fals sampai berkata demikian.

Suara Iwan Fals bukan hanya sekedar enak didengar. Suaranya dengan lantang juga mengangkat kembali wacana-wacana yang telah jauh dipinggirkan oleh rezim. Ia bicara tentang si Urip, ia bicara tentang si Icih. Mereka adalah cerminan kaum-kaum pinggiran yang sering dianggap sampah dan tak ada gunanya. Padahal ketidakgunaan mereka bukanlah sebab pilihannya sendiri, tapi jelas karena si direktur murtad dan sang majikan yang nyata bangsat.


Ingin rasanya bisa mengkaji lebih jauh tentang musisi kawakan Indonesia ini. Ya, meskipun sekarang hanya lantang bicara “Mantap !” di iklan Top Coffee. Biarlah, toh saya tetap menilai ia sebagai maestro, pembela nasib kaum-kaum terpinggirkan. Biarlah si Legend kini menikmati kopi, sedangkan aku dan kamu, mari diskusi sambil mendengarkan karya-karyanya.

link youtube lagu Jangan Bicara:
https://www.youtube.com/watch?v=L42rPPV6Y0o
Saya lupa siapa saja nama mereka. Padahal saya sempat baca nama yang terpampang jelas di seragam kebanggannya. Sempat saya ingat-ingat pula.

Mereka polisi. Tapi seperti kebanyakan polisi yang saya temui. Mereka tidak bisa seperti polisi tidur yang bisa mencegah tabrakan motor di jalan-jalan kampung. Atau setidaknya seperti jangkrik polisi (serius, ini salah satu jenis jangkrik), yang bisa menghibur anak-anak kecil. Paling tidak memberi anak-anak semangat untuk menggunakan waktu senggangnya pergi ke hutan. Berburu jangkrik. Kalau dapat jlitheng atau jlabrang, mari buatkan kandang. Kalau jangkrik polisi, kita kasih untuk burung di kandang.

Ini cerita tentang pengalaman saya setengah tahun lalu di Jakarta. Kisah yang terlalu banyak pisuhan.

Bukan kisah cinta kok.

Kejadiannya terjadi di stasiun Pasar Senen. Bulan puasa waktu saya baru saja dipalak preman pasar senen jam dua pagi. Kejadiannya sudah saya tuliskan disini >>> SIKAAAK KABEEH ! #Part1

Beberapa menit setelah kami berhasil mencapai kesepakatan dengan preman itu. Ya, saya dan Lukman harus memberikan 240.000 rupiah untuk uang rokok mereka. Haha.. Kami segera kembali ke stasiun Pasar Senen. Masuk lagi ke area stasiun. Waktu itu masih ramai sekali didalam stasiun.  Banyak orang mau pulang kampung yang terpaksa tidur di dalam agar tak ketinggalan kereta yang berangkat pagi-pagi.

Tujuan kami masuk ke stasiun adalah untuk melaporkan kejadian tadi pada polisi. Berharap polisi bisa melakukan patroli lebih ketat. Jujur saja, kami takut kalau kejadian yang menimpa kami juga terjadi dengan orang lain.

Setelah masuk kembali di pintu stasiun, ternyata benar, ada 2 orang polisi yang sedang berjaga di situ. Segera kami menemuinya.

“Pak, kami mau laporan pak. Kami baru saja dipalak preman. Tempatnya nggak jauh dari sini pak. Sekitar 200 meter dikiri stasiun”. Saya pun mencoba menceritakan kejadiannya, bahwa saat itu saya dan Lukman niatnya mau cari makan. Eh, di tengah jalan malah dicegat preman. Dan sebenarnya disitu juga banyak orang. Mungkin ada lebih dari 50 tukang ojek dan tukang taksi yang berada sekitar 100 meter dari TKP. Tapi yang terjadi mereka malah diam saja.

Berharap polisi akan mencatat tentang cerita yang sudah saya sampaikan. Ia malah menjawab dengan nada yang sengak “Nah kalian, di dalam stasiun ada yang jual makanan juga. Malah keluar. Kalian goblok sih. Tolol.”

Astaghfirullahhaladzim (setelah di tulisan pertama banyak misuh, saiki ganti style)... Ya iya sih pak, kami goblok sebenarnya. Belum tahu sama sekali seperti apa Jakarta, dan kami jalan-jalan dengan santainya jam dua pagi. Tapi kowe polisi, cuk ! Yo nggak ngono lo...

Polisi yang katanya melayani, malah nyalah-nyalahke korban tok. Wis korban lo masalahe... Asu ra? :D (misuh meneh)

Skip..

Disitu ada dua polisi waktu itu. Ketika polisi yang pertama malah hanya bisa menyalah-nyalahkan. Satu polisi yang lain malah menyuruh kami masuk ke mobilnya. Saya pun masuk ke mobil polisi untuk pertama kalinya. Didalam kami diintrogasi tentang banyak hal. Mau apa di Jakarta, dimana peristiwanya, apa motivasi ikut OSIS (yang ini tidak).

Kami pun diajak keliling area sekitar pasar Senen, dan disuruh bilang kepada dua polisi tersebut barangkali melihat preman yang tadi malak kami. Tapi ditengah perjalanan ada fakta mengejutkan yang kami lihat. Seorang yang sepertinya sopir taxi, atau ojek, atau entahlah, tiba-tiba minta mobil polisi berhenti. Lelaki yang kira-kira umurnya hampir 40 ini tiba-tiba menyerahkan satu genggam uang pada polisi yang satu mobil dengan saya.

Disini ada beberapa keanehan. Yang pertama, uang yang diserahkan kepada polisi tadi tidak ditata dengan rapi. Asal tumpuk, dan disitu ada uang seratusan ribu, dua puluhan, seribuan, lima ribuan, yang asal dicampur, tanpa ada penataan yang rapi sedikitpun.  Kelihatan bahwa uang tadi tidak sempat dihitung terlebih dahulu.

Keanehan yang kedua adalah, setelah polisi menerima uang tersebut, ia hanya bilang terimakasih tanpa memberikan kwitansi, nota, atau catatan apapun kepada bapak-bapak tadi.

Pertanyaannya.... Uang apakah itu??? Darimana asalnya? Untuk apa diberikan pada polisi??

Jancuk atau tidak???

Bro... Jakarta parah bro. Kalau lembaga yang bertugas menjaga ketertiban saja sudah tidak bisa dipercaya, nah kita mau minta tolong ke siapa??

Setelah melihat kejadian tadi, sebenarnya kami sangat khawatir kalau-kalau malah terjadi apa-apa. Patroli yang saya harap bisa membuat saya lebih tenang, ternyata membuat saya kepikiran yang tidak-tidak.

Ah, untunglah pikiran yang saya saat itu cukup lebay tidak kejadian. Kami bisa kembali dengan selamat meskipun patroli yang dilakukan polisi tadi sungguh ra niat. Kami Cuma diajak menyusuri area sekitar 500 meter di sekitar stasiun. Ya jelas premannya sudah pergi. Ya jelas kita nggak menemukan preman-preman lain yang berkeliaran.

Begitu sampai didepan pintu stasiun, kami langsung minta diturunkan. Tanpa ada catatan laporan, tanpa ada pelayanan yang jelas, polisi tadi segera pergi dengan uang yang tadi diterimanya...

Kanggo kanca-kanca, cah-cah, sing luwih ngati-ati yo nek lungo dolan nang Jakarta. Parah bro..

Semoga cerita pengalaman ini rada berguna untuk kita semua..


Ati-ati. Ada preman berseragam. Sikaaakkk...
Kalau kamu ke Prancis dan hanya berkunjung ke Paris. Itu rugi.

Begitupun kalau ke Tokyo, Washington, atau Beijing saja. Ah, itu tak beda jauh dengan berkunjung ke Bandung, Jakarta, atau Denpasar.

Kalau saya dapat kesempatan keluar negeri lagi. Saya ingin berkunjung ke desa-desa yang jarang dibina oleh mbah google.

Mungkin semacam "Pakem" nya Paris, atau "Kulonprogo" nya Marseille . Ah, masih terlalu mainstream.

Saya harus ke Poitou-Charentes dulu, atau Pays de la Loire, atau ke Acquitane. Lalu saya cari "Kalipetung" nya. Kemudian ke "Suwuk", lalu ke "Limbangan", dan berlanjut ke "Kumejing". :D
Kau sudah besar, nak. Jangan terlalu banyak menonton golden ways. Emas selalu menyilaukan.

Percayalah, datang ke stone ways. Sana! Disanalah kau akan menemukan kesadaran sosial yang tinggi. Nak.
Sebenarnya ini adalah tugas kuliah sastra dari Mbak Arum. Rabu kemarin tanggal 19 November sekitar jam 6 lebih seperempat, saya mendapat sms dari teman sekelas kalau kuliah sastra hari itu kosong. Namun sebagai gantinya, kami mendapat tugas untuk membuat esai singkat maksimal 2 halaman mengenai sastra francophone, termasuk contoh-contoh didalamnya. Tugas ini harus dikumpulkan sebelum jam 9 pagi. Masuk akal? Hmm.. yang jelas, ini ngawur. Untungnya di kamar kos, saya punya beberapa koleksi novel-novel francophone. Maka hanya dalam waktu kurang dari satu jam, jadilah tulisan dibawah ini.

-------------------------------------------------------------------------------------------
            
Kesastraan Prancis selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, dalam salah satu perkembangannya, pada tahun tujuh puluhan muncul jenis kesastraan Prancis yang disebut sastra francophone. Sebuah cabang  dalam kesastraan  yang ditulis dalam bahasa Prancis, namun dihasilkan oleh pengarang  dari negara-negara bekas jajahan Prancis, seperti negara-negara Timur-Tengah, Afrika, dan beberapa negara di kepulauan Pasifik. Sastra francophone digolongkan pula sebagai sastra pasca kolonial. Dalam artian, sastra francophone mempermasalahkan persoalan bahwa meskipun penjajahan telah lama berlalu, namun  trauma-trauma akibat penjajahan  terus berlangsung hingga saat ini (Combe, 2010: 64).

            
Para pengarang francophone yang  berhasil dalam karirnya, antara lain adalah Léopold Sédhar Sénghor (1906-2001), penyair yang kemudian menjadi Presiden Republik  Senegal (1960-1980), Amin Maalouf (Libanon),  Tahar Ben Jelloun (Maroko), Atiq Rahhimi (Afganistan) dan Abd al Malik (Kongo). Sastra Francophone banyak membicarakan tentang krisis identitas yang dimiliki seorang tokoh akibat dua latar belakang lingkungan yang berbeda. Seperti diceritakan dalam novel Qu’Allah benisse la France ! karya Abd al Malik. Karya ini tergolong karya baru karena baru terbit pada tahun 2004. Penghargaan yang pernah diraih dari karya ini adalah Prix Laurence Trân 2004. Penghargaan bagi karya penulis muda yang berkontribusi bagi hubungan antar budaya.

            
Novel Qu’Allah benisse la France ! adalah autobiografi yang ditulis Abd al Malik dan bercerita tentang perjalanan batinnya sebagai seorang mualaf dan musisi Prancis. Abd el Malik, atau Régis Fayette Mikano sebenarnya berasal dari Kongo. Ia lahir dan mengalami masa kecil disana. Tinggal di negara yang penuh dengan konflik, keluarganya memutuskan untuk pindah ke Prancis untuk memperbaiki kehidupan mereka. Ternyata sang ayah menelantarkan mereka. Régis pun hidup di Prancis bersama seorang ibu dan 5 orang saudara kandungnya. Mereka tinggal di La Cité du Neuhof, daerah kumuh di pinggiran Paris. Disana, Régis mengenal kehidupan kelam dan ia terpengaruh oleh lingkungannya. Régis melakukan berbagai kejahatan, ia mencopet, mencuri, bahkan menjadi pengedar narkoba. Meski demikian, hidupnya selalu gelisah menanyakan apa makna hidup sebenarnya. Ia pun mencurahkan segala protes dan kritik terhadap lingkungannya melalui lagu-lagu rap yang ia ciptakan. Namun, kedamaian batin baru dia rasakan setelah mengenal Islam. Régis juga mengganti namanya menjadi Abd al Malik. Menjadi Islam ternyata belum menjadi akhir pencarian dari Abd al Malik. Islam yang ia pelajari adalah Islam garis keras dan fanatik. Hal ini menimbulkan benturan antara karir bermusiknya dengan pilihan agamanya. Ia pun mencari ilmu tentang Islam dengan menemui banyak tokoh-tokoh muslim, seperti Yusuf Islam atau Cat Stevens, Tariq Ramadhan, hingga para sufi di Maroko. Berkat pencariannya yang panjang, ia berhasil menemukan kedamaian dalam Islam yang sesungguhnya.

            
Dalam novel Francophone, banyak ditemukan konflik-konflik identitas antara identitas Barat dengan identitas Timur. Selain dalam novel Qu’Allah benisse la France ! , konflik semacam ini juga ada dalam karya-karya Ben Jelloun. Dalam novel La Nuit Sacrée, tokoh utama juga mempertanyakan banyak hal tentang budaya-budaya negara aslinya (Maroko), yang ia anggap kaku dan sempit, tidak seperti budaya Barat yang modern dan penuh kebebasan. Hal ini adalah efek yang ditimbulkan dari trauma kolonialisme yang dialami oleh masyarakat dari negara-negara francophone. Disatu sisi, bahasa Prancis yang mereka gunakan memberikan mereka identitas Barat, namun disisi lain negara asli mereka memiliki budaya yang benar-benar berbeda dengan budaya Prancis. Kontestasi inilah yang dipertentangkan dalam karya-karya francophone. Contoh lain dari karya-karya francophone adalah Cadas Tanios karya Amin Maalouf, Batu Kesabaran karya Atiq Rahimi, atau Le Nez sur la vitre karya Abdelkader Djemai.

DAFTAR PUSTAKA
Combe, Dominique, 2010, Les Littératures francophones, questions, débats, polémiques, Presses  Universitaires de France, Paris         
Jelloun, Tahar Ben, 1978, La Nuit Sacrée, Seuil, Paris


Malik, Abd al, 2008, Bulan Sabit di atas Eiffel, Mizan Pustaka, Bandung
Bukan 1+1=2 yang penting, tetapi ada apa dalam 1+1=2.

Begitulah sastra.

Begitu kehidupan.


Tadi malam saya baru saja nonton acara GMTF (Gadjah Mada Tourism Fair) di Gedung PKKH UGM. Niat awalnya pingin nonton Saprin nyanyi bareng Sastromoeni, selain itu sebenarnya pingin dapat banyak info tentang tour and travel gitu. Jadilah saya berangkat ke GMTF semalam sama Ongri.

Satu hal yang paling berkesan setelah nonton acara ini adalah: Akhirnya saya bisa lihat disko yang sebenarnya. :D

Sebelumnya saya pernah bilang ke Riris, kalau adegan-adegan di film tentang diskotik, clubbing, dsb itu kayaknya terlalu dilebaykan. Saya nggak percaya ada orang njoget-njoget, cewek cowok yang belum tentu saling kenal berkumpul menjadi satu, ngangkat tangan sambil menghentak-hentakkan badan, dan didepannya ada lelaki tampan dengan alat DJ-nya. Dengan gaya gaul dan kerennya, ia memutar piringan hitam untuk memainkan puluhan lagu tanpa berhenti.

Selain itu, ada juga lampu disko yang setiap detik kelap-kelip berganti warna. Ijo ke biru lalu ke merah, ke putih, lalu ijo lagi, lalu biru, biru, biru, biru, biru, biru, biru, diam sejenak masih biru, lalu gelap hingga beberapa detik lalu duarrrrrrrrr.. Ganti lagu, dan semua penonton berteriak karena suka dengan lagu yang dimainkan DJ.

Bro... Saya dulu nggak percaya yang begituan ada di Indonesia. Saya kira yang seperti itu hanya ada di luar negeri, lalu film-film Indonesia hanya menirunya. Mengambil adegan tersebut untuk memperkuat karakter nakal atau hedonis pada seorang tokoh.

Dan setelah nonton Tourism Fair, ternyata hal tersebut benar-benar ada. :D


Pokoke tenanan, orang-orang njoget dengan caranya masing-masing. Persis seperti kalau kita nonton ndangdutan. Hanya saja kali ini musiknya disko, dan settingnya diperkuat dengan lampu kelap-kelip, pat pet. :D

Saya sendiri, awalnya hanya nonton dari belakang sambil lesehan, persis seperti orang nonton layar tancep. Tapi karena penasaran dengan euforia didepan, akhirnya saya pun maju dan bergabung dengan orang-orang yang njoget didepan DJ. Dan ternyata sampai didepan pun saya masih belum paham, kenapa orang-orang bisa njoget dan teriak-teriak dengan musik yang penuh hentakan ini. Nah wong satupun saya nggak tahu itu lagu apa kok, gimana saya mau paham. Akhirnya ya sudah, saya malah memperhatikan bagaimana cara njoget orang-orang disana. Hahaha.. Menyenangkan..

Saya rasa apa yang saya rasakan semalam pun sebenarnya sering dirasakan semua orang. Nggak setiap orang paham kenapa anak punk berpogo, anak metal moshing, atau penonton dangdut pada goyang bang jali.

Alasannya sederhana. Karena belum mencoba memahami. Akibatnya orang-orang justru menganggap aneh mereka yang njoget itu, lalu dengan gampangnya memberi stigma negatif.

Bagi saya, semalam itu justru menyenangkan bisa melihat hal baru. Bisa merasakan euforia yang sebelumnya belum pernah saya rasakan. Meskipun sampai sekarang saya nggak bisa menikmati musik disko, tapi saya sudah mencoba memahaminya.

Paling tidak saya ngerti kenapa orang-orang njoget. :)

Orang-orang yang njoget itu sadar kok mungkin mereka akan dianggap aneh, lebay, atau sok asik.

Tapi ya luwehhhh....Intinya hidupmu menyenangkan, nggak merugikan orang lain, dan nek ono gawean yo sing tanggung jawab.

Saya punya prinsip, saya tidak boleh benci atau marah pada orang yang gaya pakaiannya berbeda, yang tingkah lakunya nyentrik atau sok asik, atau karakternya tidak pada umumnya. Saya tidak boleh membenci karena mereka berbeda. Seperti kata dosen saya, Bu Wening, "Jangan pernah memaksakan standarmu pada orang lain". Ya memang benar, setiap orang punya latar belakang hidup yang berbeda, ya sudah pasti hasil bentukannya pun berbeda.

Jadi.. intine, biarlah orang punya gaya masing-masing. Yang penting apa yang dia lakukan tidak merugikan orang lain. Iya kan?

Silahkan marah sama mereka yang sudah diberi tanggung jawab, tapi malah lari atau mlipir dengan berbagai alasan. Itu sudah jelas dia merugikan banyak orang. Itu jauh lebih masuk akal lo dibanding kamu marah karena tidak suka karakter atau gaya hidupnya.

Selanjutnya..........Mari njoget dengan cara masing-masing....
Kampusku... Oh kampusku... namanya UGM, Universitas Gadjah Mada. Tau kau siapa Gadjah Mada? Itulah beliau yang dengan sumpahnya pernah berhasil menyatukan bumi nusantara. Konon, bumi nusantara itu lebih luas daripada negara Indonesia ini. Bahkan jauh lebih gemah ripah loh jinawi. Gadjah Mada itu, ah, meskipun kini sudah jadi tanah, tak bisa lagi kita lihat kegagahannya, namun semangatnya untuk mempersatukan nusantara tentu masih dikenang sepanjang masa. Beliau itu pernah lo yang mencetuskan “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tapi tetap satu jua. Semangatnya, impiannya, pembuktiannya untuk bumi ini, tentu sudah tak diragukan lagi.

Kampusku.. Oh kampusku... namanya UGM, Universitas Gadjah Mada. Dulu aku pernah di ospek juga waktu pertama masuk sini. Di semester awal aku lihat kakak-kakak angkatan yang gagah berani seperti prajurit-prajurit Majapahit, mereka berteriak-teriak “Hidup Mahasiswa Indonesia !, Hidup Mahasiswa Gadjah Mada !”. Pas ospek itu aku juga ketemu dosen-dosen yang parlente, ueeelok, nampak cerdas.... Wawasannya?? Wiih jangan diragukan lagi ! Mereka seperti guru-guru spiritual di jaman kejayaan nusantara dulu. Tahu kau apa yang mereka jelaskan?? “UGM adalah KAMPUS KERAKYATAN ! UGM adalah KAMPUS PERJUANGAN ! UGM adalah KAMPUS PANCASILA !”.

Kampusku.. Oh kampusku... namanya UGM, Universitas Gadjah Mada. Bukan main aku bangganya.. Mendengar langsung dari para satria gagah berani, dari guru-guru spiritual yang bilang bahwa kampus ini adalah EMBRIO TERLAHIRNYA BANGSA INDONESIA, BANGSA YANG MERDEKA ! KAMPUS PERJUANGAN ! KAMPUS KERAKYATAN ! KAMPUS PANCASILA !

Kampusku.. Oh kampusku... namanya UGM, Universitas Gadjah Mada. Bertemu dengan orang-orang jenius, cerdas, aku jadi tambah ngalim disini. Aku jadi lebih rajin sholat lo daripada dulu. Salah satu tempat favoritku untuk curhat ke Sang Hyang Wenang ya tentu saja Maskam. Masjid Kampus. Itu lo, masjid yang katanya paling bagus se Yogyakarta. Yang arsitekturnya ciamik, yang kalau duduk-duduk di serambinya, kita serasa sedang di masjid Granada, Spanyol. Wah... luar biasa memang kampusku. 

Eitsss...eitssss... essssss... trahhh !! Kampusku.. Oh kampusku... namanya UGM, Universitas Gadjah Mada. Lhoooooo???? Lah kok???? Aku kok nemu ini e waktu mau berangkat ngibadah?? Ini lo ini coba lihat????



Sudah liat apa itu??

Aku juga lihat yang ini.........................................................




Weladalaaaaahhhh... Langit kelap-kelip bumi gonjang-ganjing...... Eeeeitttts !!!

EMBRIO TERLAHIRNYA BANGSA INDONESIA, BANGSA YANG MERDEKA ! KAMPUS PERJUANGAN ! KAMPUS KERAKYATAN ! KAMPUS PANCASILA !

Rakyat yang mana??? Perjuangan yang bagaimana?? Membela Pancasila???

GADJAH MADA !!! GADJAH MADA !!! PENCETUS SUMPAH PALAPA !!!

Cuuuuukkk... Di kampusku, KAMPUS PERJUANGAN ! KAMPUS KERAKYATAN ! KAMPUS PANCASILA ! KAMPUS GADJAH MADA !!! Ada yang mengkafir-kafirkan orang yang beda keyakinan???

Ada lambang itu ormas yang hobinya teriak-teriak menyebut nama Tuhan, tapi hobinya lempar batu, lempar kayu, pentung-pentungan, antem-anteman !!! Allahuakbar !!

Hhweeeladalaaaahh... Ada juga ini baliho yang seukuran 10 m2 lebih. Tulisannya Tegakkan Khilafah ! Ini bukannya organisasi yang ingin menggantikan Pancasila itu?? Yang ingin Pancasila diganti saja, UUD 1945 diubah sampai ke akar-akarnya ! Yang anti demokrasi itu???

Kampusku.. Oh kampusku... namanya UGM, Universitas Gadjah Mada. Kamu kok lucu e...... Dimana kiranya pejuang-pejuang gagah itu?? Guru-guru spiritual itu?? Yang dulu meneriakkan “HIDUP MAHASISWA INDONESIA !!”. Yang dulu dengan bangganya bilang EMBRIO TERLAHIRNYA BANGSA INDONESIA, BANGSA YANG MERDEKA ! KAMPUS PERJUANGAN ! KAMPUS KERAKYATAN ! KAMPUS PANCASILA !!

Dan kini... Ketika ada yang menindas Pancasila, mencederai nilai-nilai Persatuan Indonesia, mengkafir-kafirkan orang yang setengah mati membela rakyat dan kerakyatan, kalian hanya diam dan mendiamkan.

Kampusku.. Oh kampusku... namanya UGM, Universitas Gadjah Mada. Tapi pada lupa Gadjah Mada.


Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Menelusuri Jejak Ki Manthous #1 .

Sebelum menulis tentang ini, saya merenung dulu. Duhh.. betapa saya terlalu sering menunda-nunda pekerjaan. Sedangkan saya mulai menelusuri jejak Manthous sejak bulan Maret-Mei, namun baru bulan Oktober saya menuliskannya di blog ini. Sungguh, menunda-nunda pekerjaan itu tak baik, kalau nggak idenya selak lupa, ya selak ada ide lain untuk dituliskan. Jadinya? Nggak produktif.

Dalam tulisan ini, saya akan menuliskan tentang sejarah musik campursari, mulai sejak periode 65'-70'an, 90' sampai awal 2000, hingga akhirnya mengalami pergeseran makna seperti sekarang.

Tulisan ini didasarkan pada observasi yang dilakukan oleh tim penelitian kami (Bagus, Adwi, Hendy, Andre, Lukman) di Desa Playen, desa kelahiran dari Sang sang pencipta musik campursari, yaitu Manthous.

Penelitian akan sejarah campursari ini didasarkan pada data hasil observasi, diantaranya melalui wawancara mendalam, melalui kliping yang asli dikumpulkan oleh Manthous, dan esay-esay tentang musik campursari yang juga ditulis Manthous pada awal tahun 2000.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Campursari era 60’an

Istilah campursari sebenarnya bukan diciptakan oleh Manthous, namun oleh beberapa seniman Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang pada tahun 1953, pencetusnya adalah RM. Samsi, S.Dharmanto dan kawan-kawan (Wiyoso, 2002:165). Pada era tersebut, campursari hanya dimainkan untuk mengiringi lagu langgam jawa yang berduransi 32 bar. Peralatannya adalah orkes keroncong plus, yaitu seperangkat alat keroncong yang terdiri dari gitar, cukullele, cak, cello, bass, flute, biola, ditambah dengan gender dan siter (Sugiarto, 2000:1).

Selama kurun waktu 20 tahun dari tahun 1953-an sampai dengan pertengahan tahun 1970, aktivitas musik campursari RRI Semarang, selain rutin mengisi siaran radio, juga sesekali menerima permintaan pementasan. Sedangkan memasuki tahun 1978, mereka mulai memasuki album rekaman agar campursari lebih dikenal oleh masyarakat (Wiyoso, 2002:46).

Pada tahun 1967-1969, Manthous menjadi pemain cello di grup campursari S. Dharmanto. Cello berfungsi sebagai kendhang atau pengatur irama. Namun, Manthous belum bisa berbuat banyak untuk mengembangkan musik ini, sehingga campursari belum bisa menembus pasar dan belum memiliki banyak peminat. Bersama grup inilah Manthous mulai mempelajari kelebihan dan kekurangan dari musik campursari karya S. Dharmanto.

Menurut Yunianto, adik kandung dari Manthous, mengapa saat itu musik itu dinamakan campursari, adalah karena adanya perpaduan antara dua jenis musik yang berbeda, yaitu orkes keroncong dengan gamelan, sehingga memunculkan irama campuran yang tetap enak dinikmati.[1]

Campursari era 90'an sampai awal 2000

Setelah hampir empat dasawarsa keberadaan musik campursari kurang dikenal masyarakat, pada awal tahun 1990-an campursari muncul kembali dengan format yang berbeda. Anto Sugiarto, atau biasa disebut Manthous menciptakan inovasi-inovasi baru pada musik campursari.

Inovasi ini diawali dari ketertarikan Manthous terhadap musik yang sedang dikembangkan adik-adiknya. Saat itu Manthous masih tinggal di Jakarta. Ketika ia sedang pulang ke kampungnya, ia melihat adiknya, Yunianto, Suharjono, dan beberapa saudaranya sedang  memainkan musik yang menggabungkan gamelan dengan alat musik modern.

Manthous merasa tertarik dengan jenis musik yang dimainkan oleh adik-adiknya. Musik ini juga mengingatkannya pada musik campursari yang pernah ia mainkan bersama S. Dharmanto. Manthous pun mempelajari dengan sungguh-sungguh musik tersebut, mulai dari setiap instrumennya, hingga bagaimana cara menyelaraskan perpaduan tangganada pentatonis dengan tangga nada diatonis. Hingga pada akhirnya ia menyempurnakannya dan memberi nama musik tersebut seperti musik yang sebelumnya dikembangkan oleh S.Dharmanto dan kawan-kawan, yaitu campursari.

Campursari yang diciptakan Manthous sangat berbeda dengan campursari pada era 60-an. Dalam artikel berjudul “Manthous dan Kiprah Musiknya”, Manthous mengatakan bahwa campursari adalah perpaduan musik tradisional dan elektronik atau penyelarasan antara pentatonis dan diatonis. Musik ini sangat berbeda dengan musik yang disebut campursari pada era 60-an yang lebih cenderung pada musik keroncong. Dalam artikel ini Manthous juga mengatakan bahwa campursari adalah musik yang telah ia ciptakan berkat ketekunannya.[2]

Campursari Manthous memadukan instrumen gamelan dengan instrumen modern. Alat musik tradisional yang digunakan adalah seperti saron, demung, gendher, kendang, siter, dan gong sedangkan alat musik modern adalah keyboard, ukulele, dan bass elektrik (Wardhani: 2011, 34). Selain alat musik tersebut, instrumen cak dan cuk juga sering ditambahkan dalam setiap permainan campursari.

Meskipun musik campursari memadukan instrumen gamelan dengan instrumen modern, namun unsur gamelan pada musik campursari akan terasa sangat menonjol. Untuk menghindari adanya ketidakselarasan dalam memadukan musik pentatonis dan diatonis, maka nada gamelan untuk mengiringi campursari harus diselaraskan dengan nada keyboard[3].

Pada tahun 1993, Manthous mendirikan CSGK bersama adik-adik kandungnya, diantaranya Suharjono, Yunianto, dan Heru. Orientasi Manthous dan CSGK dalam menggarap lagu campursari adalah pada pasar rekaman. Untuk itulah Manthous sangat serius dalam mengerjakan setiap album campursari. Dalam setiap album CSGK, ia melakukan inovasi-inovasi tertentu, seperti menambahkan berbagai musik etnis Indonesia. Hal ini bertujuan agar musik campursari terasa makin unik dan kreatif. Namun, ada satu pakem dalam campursari yang tidak bisa ditinggalkan meskipun ditambah instrumen musik apapun, yaitu perpaduan tangganada pentatonis dan diatonis.

Agar campursari bisa menjadi musik yang dinikmati semua kalangan, maka lirik-lirik tembang campursari dibuat dengan sederhana. Lirik-lirik dalam lagu campursari berisi tentang percintaan, pariwisata, kehidupan sosial, dan lagu sosial jenaka. Meskipun kebanyakan lirik dalam lagu campursari Manthous menggunakan lirik bahasa jawa, namun sebenarnya tak ada pakem bahwa campursari harus menggunakan bahasa jawa dalam lirik-liriknya. Kata-kata yang dipakai dalam lirik campursari juga merupakan kata-kata yang sudah biasa dipakai dalam kegiatan sehari-hari.

Pada masa kejayaannya antara tahun 1993 sampai awal tahun 2000-an, CSGK selalu mendapat banyak tawaran pentas. Dalam satu bulan, CSGK bisa pentas lebih dari tiga puluh kali. Campursari pun menjadi bukan sekedar musik yang bisa dinikmati oleh masyarakat Jawa, namun telah meluas se-antero Indonesia. Pada masa itu, grup-grup campursari pun bermunculan. Tak hanya di Gunungkidul, namun juga sampai keluar provinsi Yogyakarta. Sayangnya banyak musisi yang asal menggabungkan instrumen diatonis dan pentatonis tanpa berusaha menyelaraskannya. Hal inilah yang dulu sering dikritik Manthous. Namun gejala ini juga ia syukuri, karena berarti bahwa campursari makin disukai oleh masyarakat Indonesia.

Selama hampir sepuluh tahun berkarya, CSGK telah mengeluarkan album campursari hingga enam volume. Enam album ini adalah satu album yang semua lagu di dalamnya adalah musik campursari. Sedangkan jika semua album dihitung, maka CSGK telah mengeluarkan lebih dari sepuluh album. 6 album adalah album khusus campursari, sedangkan album lainnya adalah album keroncong, pop jawa, dan lain-lain. Menurut Dhimas Ratin Sutedjo, tujuan Manthous mengeluarkan album selain campursari adalah supaya masyarakat bisa membedakan antara campursari, keroncong, dan pop jawa.[4]

Berkat keberhasilannya mengembangkan musik campursari, Manthous pun semakin dikenal masyarakat. Ia diundang ke berbagai acara besar di Indonesia, seperti mendapat kehormatan untuk mengadakan pentas campursari tunggal di Ancol pada tanggal 25 Oktober 2000, menjadi bintang tamu pada ulang tahun Jakarta ke 473 pada tanggal 21 Juni 2000, hingga kesempatan tampil satu panggung dengan musisi-musisi besar seperti Chrisye, /Rif, dan Yuni Shara. Manthous juga dianugrahi puluhan penghargaan, diantaranya Piagam Penghargaan Seni dari Sri Sultan HB X tahun 1999, Etnikom Award tahun 2002, dan Piagam Penghargaan sebagai seniman inovatif dari Persatuan Wartawan Indonesia tahun 1997.


Campursari Era 2000an sampai sekarang

Era ini adalah masa pergeseran dan memudarnya makna dari campursari. Seperti yang ditemukakan sebelumnya, campursari adalah kolaborasi dari dua jenis kebudayaan, yaitu penggabungan antara  tangganada diatonis (kebudayaan asing) dan pentatonis (kebudayaan etnik) (Wardhani, 2011:3). Namun, di era ini sebagian besar masyarakat menganggap bahwa setiap lagu yang memakai lirik bahasa Jawa adalah musik campursari, tak peduli apakah di dalam musik tersebut terdapat perpaduan tangganada diatonis dan pentatonis atau tidak.

Menurut Suharjono, penyebab utama yang menyebabkan pergeseran makna semakin tak terbendung adalah munculnya seniman-seniman yang mengatasnamakan dirinya musisi campursari, namun jenis musiknya tidak lagi berkiblat pada musik campursari Manthous.Salah satunya adalah Didi Kempot. Lagu-lagu milik Didi Kempot sebenarnya adalah lagu pop jawa, hal ini dikarenakan dalam lagu-lagunya tak ada tangganada pentatonis.[5]

Penyebab lain adalah masuknya musik organ tunggal yang dianggap lebih praktis, karena hanya dengan satu alat, namun sudah bisa memunculkan suara instrumen yang mirip dengan instrumen asli campursari. Selain lebih praktis, biaya untuk mengundang musisi organ tunggal juga jauh lebih murah dibanding harga satu grup campursari. Selain itu, tidak adanya tempat yang memberi fasilitas bagi kalangan muda untuk belajar tentang musik campursari juga menjadi penyebab mengapa musik campursari semakin meredup. Saat ini studio musik campursari yang lengkap hanya ada di studio milik Sanggar Ungu dan Campursari Sido Rukun.

Menurut Joni Gunawan, pemilik Sanggar Ungu Campursari Gunungkidul, saat ini hanya ada dua grup campursari di Playen yang masih konsisten memainkan musik campursari Manthous sebagai jalan hidup mereka. Dua grup musik itu adalah Sanggar Ungu miliknya, dan satu lagi Campursari Sido Rukun yang dikelola oleh Dhimas Sutedjo. Selain kedua grup itu, sebenarnya masih banyak grup yang memakai nama campursari sebagai nama grupnya, namun kebanyakan dari mereka sebenarnya adalah musisi organ tunggal. Menurutnya Keberadaan dan eksistensi musik campursari klasik yang asli dan lahir dari Gunungkidul sudah pudar bahkan hampir punah di wilayahnya sendiri.[6]

Beberapa musisi yang dikenal masyarakat luas pada era ini adalah Didi Kempot, Cak Dikin, Sonny Joss, dan Dhimas Tedjo. Sayangnya dari nama musisi-musisi tersebut, hanya Dhimas Tedjo yang masih berkiblat pada musik campursari Manthous, sedangkan lainnya bisa disebut pop jawa. Hal ini karena sudah tidak adanya lagi perpaduan tangganada pentatonis dan diatonis pada lagu-lagu musisi tersebut.






[1] Wawancara dengan Yunianto, Asal-usul Campursari, Gunungkidul (12 April 2014)
[2] wawancara di koran Radar Yogya, Selasa 27 Februari 2001
[3] Koleksi kliping Manthous
[4] Wawancara dengan Dimas Ratin Sutedjo, Campursari Dulu dan Sekarang, Gunungkidul (27 April 2014)
[5] Wawancara dengan Suharjono, Asal-usul Campursari, Gunungkidul (31 Mei 2014)
[6] Wawancara dengan Joni Gunawan, Musisi Campursari di Playen Saat ini, Gunungkidul (1 Juni2014)



Ini Plugger Coffee namanya.

Katanya yang punya warung, kopi ini hasil kombinasi kopi wamena, kintamani, dan aceh gayo. 3 jenis kopi dari 3 wilayah waktu yang berbeda. Saya lebih suka menyebutnya Kopi Archipelago. Atau kopi nusantara. Haha.. Kopi ini rasanya unik. Agak pahit, agak sepet, tapi  justru disitulah nikmatnya. Persis seperti hidup di Indonesia.

Adalah di Kedai Ketjil. Warung kopi yang terletak di Jalan Muja-Muju. Seperti namanya, Kedai Ketjil, tempat ini juga tidak luas. Sangat mini kalau dibandingkan warung-warung kopi lain yang ada di Jogja. Tapi dari tempat yang kecil itu justru suasana akrab makin terasa. Apalagi kalau mengajak teman-teman. Ah, guyon disini sangat asik. Ketawa hahaha sembari diselingi nyeruput kopi.



Mungkin konsep yang semi outdoor yang membuat Kedai Ketjil makin terasa asik. Disamping kedai ini ada kebun yang ditumbuhi beberapa pohon pisang, duku, dan lain-lain. Pohon-pohon dan rumput di kebun tersebut warnanya jadi orange karena terkena cahaya lampu jalan. Kalau kita ngopi sambil menghadap ke arah kebun tersebut, suasana syahdu pun tiba-tiba datang menemani.


Cobalah juga ngopi disini sambil mengerjakan tugas. Karena disini juga ada wifi gratis.


Oh ya, Jalan Muja-muju itu letaknya belok kanan di pertigaan UIN Jogja kalau dari arah XXI Jogja. Setelah belok kanan, silahkan ikuti jalan saja. Nanti ada palang kereta api, lurus terus sampai bertemu lampu bangjo. Setelah bangjo yang pertama, lurus lagi sekitar 500 meter, nanti ada perempatan dan silahkan belok kiri. Berikutnya ikuti saja jalan sekitar 500 msampai menemukan jembatan. Nah di dekat jembatan itulah letak Kedai Ketjil.


Kedai Ketjil ini adalah warung kopinya Mas Yoga. Teman satu jurusan di Sastra Prancis. Pernah coba bisnis kaos juga dengan saya. Meskipun gagal karena kurang niat. Hahaha...

Oh ya. Selain suasana di kedai yang khas dan nyaman, hal utama yang menjadikan alasan mengapa teman-teman patut mencoba ngopi disini adalah menu kopinya. Jika biasanya kita ngopi di burjo atau angkringan, menunya adalah kopi kapal api, good day, atau coffeemix, maka menu-menu itu tak akan tersedia disini. Kedai Ketjil menawarkan kopi-kopi dari berbagai wilayah di Indonesia. Ada Kopi dari tanah Gayo, Aceh. Ada kopi dari Bali, Jawa, Toraja, bahkan dari Wamena.

Kopi-kopi disini asli. Bahkan masih dalam bentuk bijih kopi, yang kemudian akan digiling dengan alat yang sudah tersedia. Kita juga bisa melihat proses pembuatannya yang jelas lebih repot dibandingkan jika kita buat kopi sendiri di rumah. Oh ya, dan yang penting kopi disini tidak mahal. Hanya 10ribu rupiah dan kita sudah bisa mencicipi kopi dari berbagai wilayah di Indonesia. Bayangkan kalau sekedar ingin mencicipi kopi Wamena, kita harus pergi dulu ke Papua.


Jika lapar? Tenang saja. Kedai Ketjil juga menyediakan spaghetti, indomie telur, roti bakar, dan sebagainya.



Ah tulisan ini sudah terlalu panjang. Sudahlah. Intinya jika kalian bosan dengan kopi-kopi instan yang ada di burjoan-burjoan, jika kalian ingin merasakan kearifan nusantara dalam secangkir kopi, silahkan datang ke Kedai Ketjil. :)

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ▼  2014 (68)
    • ▼  Desember (4)
      • Visi, Misi, Program Kerja Calon Hokage
      • Calon Hokage?
      • Jangan Bicara - Iwan Fals
      • SIKAAAK KABEEH ! #Part2, Preman Berseragam
    • ►  November (4)
      • Rugi
      • Salam Suket
      • SASTRA FRANCOPHONE
      • 1+1
    • ►  Oktober (4)
      • For Your Halloween...
      • Njoget
      • Lupa Gadjah Mada
      • Menelusuri Jejak Ki Manthous #2 , Menggali Sejarah...
    • ►  September (3)
      • Kedai Ketjil
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018