bagus panuntun

berubah!

Tulisan ini hanya sedikit tambahan untuk tulisan Aslam yang dimuat di Bangsa Mahasiswa.




Kebetulan pada hari itu (Rabu, 23/12/2015) saya juga ikut bertemu dengan Pak Tukino dan kami banyak bercerita tentang sejarah berdirinya bonbin. Pada dasarnya, bonbin awalnya dibentuk untuk merelokasi pedagang kaki lima yang ada di 9 titik UGM. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Prof. Koes, rektor UGM kala itu (tahun 1987). Bonbin ini adalah implementasi dari visi ekonomi kerakyatan yang konon menjadi salah satu fokus Prof.Koes dalam menjalankan kepemimpinannya di kampus Gadjah Mada. Konon, memang bukan hal yang terlalu mengejutkan jika Prof.Koes mengeluarkan kebijakan-kebijakan semacam itu pada masanya. Menurut Pak Tukino sendiri, Prof.Koes itu tidak bisa dipisahkan dengan kata kerakyatan. "Dulu kalau UGM ada acara-acara besar, acara makan, saya ini sebagai pedagang selalu diundang lho. Sudah seperti saudara dengan beliau", ujar Pak Tukino menarasikan kedekatannya dengan Profesor yang dikenal sebagai penggagas KKN (Kuliah Kerja Nyata) UGM.

28 tahun berlalu. Beda pemimpin, maka beda pula arah dan visinya. Rektorat dalam rangka mewujudkan cita-cita membangun kampus Edukopolis-  yaitu kampus yang hijau dan segar  sehingga mendukung proses pembelajaran - berniat memindahkan 12 pedagang bonbin ke Lembah UGM. Dalam rangka menghijaukan kampus, bangunan bonbin yang "suram" perlu untuk dihilangkan dari lingkungan Humaniora.

Keputusan ini sudah tentu ditolak oleh pedagang bonbin yang disamping khawatir akan berkurangnya rezeki, juga merasa belum dilibatkan untuk bermufakat perihal relokasi.

Bagaimana tanggapan para mahasiswa? Saya yakin, sebagian besar dari kita - utamanya anak Soshum - pasti keberatan kalau kantin bonbin direlokasi. Kenapa? Hla.. sejarah dan romantisme yang ada di kantin ini nggak ada tandingnya di jagad perkuliahan anak soshum je.. Mulai dari diskusi serius perihal teori-teori postmo, debat tentang khilafah yang konon bisa jadi solusi untuk semua permasalahan, hingga obrolan gosip murahan pinggir kampus, semuanya dilakukan sambil nyeruput kopi di kantin ini.

Romantisme ini lah yang kemudian coba dirayakan beberapa kawan melalui karya-karyanya, misal SEKOTENG FIB dengan pentas Romantisme Bonbin, DIAN BUDAYA yang menulis feature perihal romantisme dari sudut pandang pedagangnya, hingga Kukuh yang mencoba menuangkan di Buah Pena perihal obrolan singkatnya dengan Mas Edmar, seorang lelaki muda yang mengaku mendapat banyak  kawan dan sudut pandang baru dari kantin Bonbin.

Namun saya rasa Bonbin bukan hanya sekedar romantismenya. Lebih dari itu, monumen ini adalah penanda dari visi kerakyatan yang dulu Prof. Koes dengungkan. Jikalau romantisme sudah dianggap usang, Apakah visi kerakyatan juga sudah usang dibanding visi untuk membangun, membangun, dan terus membangun?

Saya rasa di titik ini keberpihakan jelas diperlukan. Kali ini yang kita perjuangkan bukan sekedar urusan perut dan makan, tapi (lagi-lagi) nilai kerakyatan yang dulu terus coba Prof. Koes perjuangkan.

Keterlibatan ini sama sekali bukan wujud kedurhakaan pada almamater tercinta, inilah wujud kepedulian kami pada yang namanya nilai kerakyatan.

Jikalau menolak Bonbin dipindahkan, apa solusinya?

Jika kita lihat secara garis besar, sebenarnya ada dua subjek utama  dalam kasus Bonbin yang masing-masing memiliki kepentingan berbeda. Pihak pertama adalah Universitas dengan obsesinya menjadi kampus edukopolis, sedangkan pihak kedua adalah pedagang yang mana mengandalkan berjualan di bonbin sebagai penunjang hidup.

Menurut saya, solusi terbaik dari kasus bonbin ini adalah menolak relokasi, lalu menekan pihak universitas untuk melakukan renovasi. Mengapa renovasi? Pada saat pertemuan dengan pihak direktorat Aset, Pak Henricus selaku direktur menyatakan bahwa relokasi bonbin bertujuan agar kampus bisa terlihat lebih rapi dan hijau. Pertanyaannya, apakah untuk merapikan dan menghijaukan kampus, maka satu-satunya jalan adalah dengan merobohkan bangunan Bonbin?

Saya rasa lebih masuk akal jika universitas mencoba merenovasi bangunan Bonbin supaya bisa menjadi lebih bersih, nyaman, dan tidak suram. UGM dengan ribuan sarjana arsitekturnya saya rasa tidak akan kesulitan untuk bisa merancang sebuah kantin dengan kriteria tersebut. Kalau dalam bahasanya Mas Heru Bonbin, "Kan bisa Bonbin dijadikan kantin di tengah taman?".

Apakah ini permintaan yang "nglunjak"? Saya rasa tidak. Justru solusi inilah yang akan memuaskan banyak pihak dan tidak mengundang konflik baru. Toh, kalau bicara soal dana, mau renovasi atau relokasi ke Lembah, Universitas tetap saja mengeluarkan dana. Belum lagi konflik yang pasti akan terjadi jika pemaksaan relokasi ke Lembah tetap dilakukan. Misalnya resistensi pedagang lama dan sulitnya mahasiswa untuk mengakses lembah UGM secara aman dan cepat.

Maka sekali lagi, saya rasa renovasi Bonbin menjadi pilihan yang lebih bijak dan masuk akal. Siapa yang akan diuntungkan? Pertama tentu saja pihak Universitas. Dengan memilih renovasi maka pihak universitas bisa mengimplementasikan dua visinya sekaligus, kerakyatan dan edukopolis. Yang kedua, tentu saja pedagang yang tetap bisa meneruskan mencari nafkahnya di tempat mereka sudah berpijak selama puluhan tahun.

Peran Mahasiswa dalam Kasus Bonbin

Apakah masalah sudah selesai sampai disini? Tentu saja belum. Ada satu permasalahan yang sebelumnya diangkat pihak direktorat sebagai alasan untuk merelokasi Bonbin, yaitu kebersihan Bonbin.

Dalam hal ini saya sepakat dengan pihak Universitas bahwa masalah kebersihan adalah masalah yang harus segerai kita selesaikan -- Tapi saya tidak setuju jika menyelesaikan masalah kebersihan dengan melakukan pembersihan.

Kebersihan Bonbin secara kasat mata merupakan permasalahan yang sudah sepatutnya tidak kita diamkan lagi. Maka, jikalau renovasi berhasil diwujudkan, maka peran Universitas dan mahasiswa sebaiknya tidak hanya berhenti sampai titik itu saja.

Selanjutnya, kawan-kawan Aliansi Yuparrela(wan) bisa meniru apa yang sebelumnya pernah dilakukan oleh pihak Advokasi Kemasyarakatan BEM KM, yaitu mengadakan Sekolah Pasar bagi para pedagang Bonbin. Sekolah ini merupakan pelatihan yang didalamnya berisi materi-materi penting seperti higienitas dan sanitasi makanan, manajemen penyajian, dan lain sebagainya.

Kurangnya kebersihan Bonbin juga bukan semata kesalahan pedagangnya. Selama ini disamping universitas yang kurang peduli terhadap masalah ini, mahasiswa sendiri belum memiliki kesadaran yang kuat untuk bersama-bersama menjaga kebersihan Bonbin. Terbukti dengan banyaknya mahasiswa yang meninggalkan piring kotor dan sampah plastik diatas meja, atau membuang puntung rokok di lantai. Memang luar biasa meja bonbin ini ! Bisa jadi meja, asbak, tempat sampah pula !

Maka kedepannya kampanye tentang menjaga kebersihan kantin perlu untuk digembor-gemborkan. Tak hanya digembor-gemborkan, kampanye ini perlu dinarasikan secara masif dan berulang-ulang.

Dengan terus mengawal kasus ini, setidaknya kedepannya mahasiswa tidak hanya terlibat dalam "demo" menolak relokasi bonbin, namun kita juga berusaha bertindak langsung menjadi solusi untuk persoalan kebersihan yang juga akan berdampak terhadap masa depan kita semua.




Pemilukada serentak telah usai. Wonosobo sebagai salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah pun telah kelar melaksanakan pesta demokrasi yang berlangsung sangat sepi tanggal 9 Desember kemarin. Secara mengejutkan, pasangan nomor 3 yaitu Eko-Agus berhasil memperoleh suara tertinggi, bahkan hampir menyentuh angka 50%. Pasangan ini berhasil menumbangkan calon-calon lain yang popularitasnya tak perlu diragukan lagi. Misalnya saja Bu Maya, mantan Wakil Bupati Wonosobo yang terkenal cantik, halus dalam bertutur kata namun tak pandai dalam bernyanyi (saya ingat waktu blio nyanyi Sekuntum Mawar Merah bareng Bung Rhoma Irama).

Saya sendiri tak berhasil menemukan jawaban yang memuaskan bagaimana pasangan Eko-Agus ini bisa menang secara telak di Wonosobo. Yang pertama, dari keempat calon bupati ini, tak ada satupun yang punya ide kampanye secara kreatif lewat media sosial. Saya mah apa, saya hanya anak gaul jaman kini yang dapat info apa-apa dari Line, Instagram, Facebook, dsb. Selama saya bercengkerama dengan dunia media sosial ini, tak sekalipun saya menemukan kampanye-kampanye kreatif yang disebarkan secara viral, misal dengan video penyampaian visi misi a la Ridwan Kamil dulu. Yang kedua, jangankan lewat cara kampanye kreatif, wong poster visi misinya aja susah ditemukan dimana-mana (paling di alun-alun Wonosobo). Saya sendiri bingung, kalau begini masyarakat mau milih siapa? Apa kita harus memilih pemimpin berdasarkan gaya foto? Atau kita harus milih bupati yang warna baju di posternya sama dengan warna favorit kita? Entahlah...

Satu-satunya jawaban yang menurut saya cukup masuk akal atas kemenangan yang diraih pasangan nomer 3 ini adalah kabar adanya tim sukses yang luar biasa. Tak tanggung-tanggung, pasangan ini kabarnya berhasil menggandeng Bung Karno, Bung Hatta, dan Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai sebagai timses mereka. Kabarnya lagi, Soekarno-Hatta bergerak untuk membantu diplomasi dengan pihak-pihak kalangan atas. Sedangkan, pergerakan ke bawah dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Sepertinya pasangan ini juga telah belajar banyak ilmu sejarah dan filsafat. Tak hanya menggandeng I Gusti Ngurah Rai, pasangan ini juga berhasil menerapkan filsafat Puputan Margarana, yaitu perang habis-habisan yang disiapkan sejak pagi-pagi buta guna mengalahkan lawan-lawannya. 

Sebenarnya, saya sendiri tidak melihat secara live peristiwa Neo-Puputan Margarana ini. Namun, cerita dari puluhan kawan saya yang sudi pulang dari Jogja-Wonosobo untuk ikut pemilu pun mau tak mau membuat saya lumayan percaya. Kawan-kawan di Desa saya, bahkan dengan semangatnya juga bercerita tentang Puputan Margarana Modern ini. Sayangnya, khusus di Desa saya mungkin, mereka gagal bertemu I Gusti Ngurah Rai. Namun lumayan lah, kawan-kawan saya ini berhasil bertemu Sultan Mahmud Badaruddin II dan Otto Iskandar Dinata. Fix, lumayan bisa salaman dengan kedua pahlawan ini.

Pada paham nggak sih kisah tentang Puputan Margarana diatas? Ah.. luweh.. Intinya, kini kita sudah punya pemimpin baru. Daripada meributkan apakah kisah ini benar atau hanya fiktif belaka - yang saya pikir sudah tidak lagi esensial- alangkah baiknya jika kita semua sebagai masyarakat Wonosobo mencoba mengenal kembali siapa blio-blio ini yang dalam 5 tahun kedepan akan memimpin kita. Saya mencoba membantu kedua pasangan ini untuk memperkenalkan kembali apa visi-misi mereka dan siapakah mereka sebenarnya. Hal ini karena saya yakin, bahwa masih banyak diantara kita yang masih belum kenal atau bahkan tidak tahu blio sama sekali.

Doa saya sih, dengan segala proses yang sudah dilalui pemimpin baru kita ini, semoga esok mereka bukanlah apa yang disebut oleh Pak Andre Gunder Frank sebagai Borjuis Lumpen (Borjuis Brandalan). Menurut Pak Andre ini, borjuis lumpen adalah borjuasi yang selain berkubang di usaha sektor ekstraktif (tambang, migas) atau perkebunan (sawit, karet, KAYU *maaf chapslock saya error tiba-tiba), juga mengandalkan usahanya pada kekuasaan politik untuk mengakumulasi modal. Dalam mengakumulasi modalnya, borjuis lumpen tak hanya identik dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, namun juga praktik kekerasan (premanisme).

Yang perlu diingat, borjuis lumpen di zaman sekarang jauh berbeda dengan borjuis lumpen di kala orde baru. Jika dulu mereka relatif lebih santai karena masa kekuasaan yang bisa bertahan sangat lama, borjuis pasca reformasi cenderung bergerak grusah-grusuh dalam mengakumulasi modalnya. Hal ini karena tampuk kekuasaan politik pasca reformasi cenderung lebih singkat dibanding dulu. Maka, dalam kasus Wonosobo ini, kita perlu rajin-rajin berdoa bahwa pemimpin kita yang baru ini bukanlah tipe-tipe borjuis lumpen seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Perlu diingat bahwa kekhawatiran ini didasarkan pada proses pemilu kemarin, dimana pasangan pemenang berhasil mendulang sekitar 46 % suara atau sekitar 163.000 pemilih  Misalnya saja, separuh dari angka tersebut adalah orang-orang yang terlibat langsung dalam Neo-Puputan Margarana, maka setidaknya ada lebih dari 80.000 Kolonel TNI Anumerta I Gusti Ngurah Rai yang turut menyukseskan pasangan pemenang. Hitung monggo hitung.. Saya mah lagi-lagi apa, tiga setengah tahun nggak belajar matematika.

Terakhir dari saya, semoga apa yang saya waspadai ini hanyalah imajinasi lebay dari seorang mahasiswa kere. Sesuai apa yang sudah saya tulis diatas, bahwa mulai sekarang kita perlu mengenal lebih dan mengawasi segala tindak-tanduk dan keputusan dari pemimpin baru kita, maka berikut saya copy paste kan Visi Misi dan biografi mereka sesuai yang ada di web KPU Wonosobo. Semoga Wonosobo bisa menjadi Kabupaten yang makin baik, makin sejahtera, makin bersih, makin humanis, dan tak ada konflik agraria yang terjadi selama 5 tahun kedepan. Amin..


VISI     :“TERWUJUDNYA WONOSOBO BERSATU UNTUK MAJU, MANDIRI DAN SEJAHTERA UNTUK SEMUA”
MISI :
1)    Meningkatkan produktifitas dan pendapatan masyarakat melalui kebijakan ekonomi kerakyatan dan peningkatan infrastruktur pedesaan dan perkotaan
2)    Pengembangan perekonomian yang bertumpu pada perluasan pembangunan infrastruktur pedesaan dan perkotaan untuk pengembangan pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan, dengan penekanan pada peningkatan pendapatan masyarakat
3)    Pemerataan dan keseimbangan pembangunan secara berkelanjutan dengan meningkatkan investasi dan pemanfaatan sumberdaya alam secara rasional, efektif dan efisien untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah dan memperluas lapangan kerja
4)    Meningkatkan sumber daya manusia yang unggul, sehat dan berkualitas melalui program pendidikan dan kesehatan serta berprestasi di berbagai aspek kehidupan
5)    Mewujudkan manajemen pemerintahan daerah yang profesional, kepemimpinan daerah yang efektif, kepemimpinan yang amanah dan pelayanan publik yang berkualitas
PROFIL SINGKAT

Eko Purnomo, SE., MM
  1. Nama Lengkap : Eko Purnomo, SE., MM.
  2. Tempat dan Tanggal Lahir : Wonosobo, 18 Desember 1979
  3. NIK : 3307030812790003
  4. Usia : 36 tahun
  5. Alamat Tempat Tinggal: Boto, RT/RW 001/013 Kelurahan Sapuran
  6. Kecamatan Sapuran Kab. Wonosobo
  7. Jenis Kelamin : Laki-laki
  8. Status Perkawinan : Kawin
  9. Agama : Islam
  10. Hobi : Otomotif
  11. Pendidikan :
    - SDN 1 Beran Kepil 1986 – 1992
    - SMPN 1 Sapuran 1992 – 1995
    - MAN 1 Kalibeber 1995 – 1998
    - S1 2000 – 2004
    - S2 2012 - 2013
  12. Pengalaman Pekerjaan :
    - Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo 2009 – 2014
    - Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo 2014 – 2015
    - Direktur CV Gemilang Wood Fortune
    - Pengalaman Organisasi : Ketua IDMOC (Indonesian Mitsubishi Owner Club) Chapter Wonosobo
Ir. H. Agus Subagiyo, M. Si
  1. Nama Lengkap  :Ir. H. Agus Subagiyo, M.Si
  2. Tempat dan Tanggal Lahir : Ngawi, 15 Maret 1963
  3. Alamat Tempat Tinggal : Jl. Sidomulyo, RT/RW 003/003, Kel. Wonosobo Timur, Kec. Wonosobo, Kab. Wonosobo
  4. Jenis Kelamin : Laki-laki
  5. Status Perkawinan :Kawin
  6. Agama :Islam
  7. Hobi :Membaca, Olahraga, Mancing, Membuat Puisi, Seni dan Budaya
  8. Moto Hidup : Sejuta Kawan Sangat Kurang, Satu lawan kebanyakan, Hidup akan lebih nikmat bila bermanfaat bagi orang banyak. Khoirunnas anfa'uhum linnas
  9. Pendidikan :
    - SDN 1 NGAWI 1970 – 1975
    - SMPN 2 SRAGEN 1976 – 1978/79
    - MA NEGERI 1 SRAGEN 1979 – 1982
    - 1 STIPER YOGYAKARTA 1982 – 1987
    - S2 UGM YOGYAKARTA 1994 – 1997
  10. Pengalaman Pekerjaan :
    - taf Pemerintahan Daerah 1988
    - Kasi Industri Pertambangan dan Energi Bappeda Wonosobo 1991
    - PLT Kabid Ekonomi Bappeda Wonosobo 199
    - Kabid Sosbud Bappeda Wonosobo 1991
    - Sekretaris Bappeda Wonosobo 1994
    - Kabid Fisik Prasarana Bappeda Wonosobo 1997
    - Kabag Organisasi Setda Wonosobo 2001
    - Ymt Kabag Umum dan Perlengkapan Setda Wonosobo 2001
    - Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Wonosobo 2003-2007
    - Ymt Kepala Dinas kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo 2003-2007
    - Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekda (Ass II) Kabupaten Wonosobo 2007-2008
    - Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekda (Ass II) Kabupaten Wonosobo 2008/SOTK Baru
    - Plt. Asisten Pemerintahan Sekda (Ass I) Kabupaten Wonosobo 2009-2010
    - Asisten Administrasi Sekda (Ass III) Kabupaten Wonosobo
    - Staf Ahli Bupati Bidang Pembangunan
    - Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo
    - Kepala Dinas Sosial Kabupaten Wonosobo
    - Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Wonosobo
  11. Pengalaman Organisasi :
    - Koordinator Bidang Pengabdian Masyarakat GMNI 1995-1987
    - Ketua PPM/FKPPI Wonosobo 1990-sekarang
    - Ketua DPD AMPI Wonosobo 1994-1998
    - Ketua Umum PBI (Penggemar Bonsai Indonesia) 1994-1999
    - Ketua Umum Kagama (Keluarga Alumni Gadjah Mada) Kabupaten Wonosobo 2003-sekarang
    - Ketua Dewan Takmir Masjid Manggisan Baru Wonosobo
    - Ketua Konsul Assalam Wilayah Kedu 1999-2000
    - Ketua Bidang Politik BPJSN 45 (Badan Pelestarian Pejuang Semangat dan Nilai-Nilai 45)
    - Ketua Bidang KONI Wonosobo 2003-2007
    - Dewan Penasehat PPBI Kab. Wonosobo 1999-sekarang
    - Wakil Ketua I Korpri Kab. Wonosobo 2007-2012
    - Dewan Penasehat Penyuluh Pertanian Kabupaten Wonosobo 2003-2007
    - Dewan Penasehat HKTI Kab. Wonosobo 2003-2007
    - Ketua RT Manggisan Baru Wonosobo 2003-2005
    - Ketua Umum Perbakin Wonosobo2005-sekarang
    - Wakil Ketua I DPD Korpri Kab. Wonosobo 2012-sekarang
    - Ketua Koperasi Dharma Praja Kab. Wonosobo 2003-2013
    - Ketua 1 BPJSN 45 (Badan Pelestarian Pejuang Semangat dan Nilai-Nilai 45)
    - Dewan Pembina PSM (Petugas Sosial Masyarakat) Kab. Wonosobo 2011-2012
    - Dewan Pembina Karang Taruna Kab. Wonosobo 2011-2012
    - Ketua Umum HKTI Kab. Wonosobo 2012-sekarang
    - nggota Lions Club InternationalDistric 307 B2 Indonesia 2013-sekarang
    - Ketua Paguyuban Umroh 2012-sekarang
    - Anggota Permadai Bergodo 6 Kab. Wonosobo
    - Pembina TAGANA (Taruna Siaga Bencana) Kab. Wonosobo 2011-2012
    - Pembina Karang Taruna Kab. Wonosobo 2011-2012
    - Pembina TKSK Kabupaten Wonosobo 2011-2012
    - Ketua 1 MDN (Majlis Dhuha Nasional) Kab. Wonosobo
    - Dewan Penasehat Ponpes PPAI Al Wakil Wilayu Selomerto Wonosobo
    - Dewan Penasehat Pengajian/Mujahadah Yayasan Arifin Mansyur Wonosobo
    - Dewan Pembina KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan) Kab. Wonosobo 2003-2007
    - Ketua Dewan Pembina KAMI (Keluarga Migrant Indonesia) Kab. Wonosobo 2013-sekarang
    - Brand Manager (BM) Avail Indonesia
    - Ketua Umum LSM RDI (Rural Development Institute) Indonesia
    - Dewan Pengawas KSU Cipto Raharjo Kab. Wonosobo
    - Dewan Penasehat PPMI (Perkumpulan Pecinta Musik Indonesia) Prop. Jateng
    - Dewan Penasehat Mancing Mania dan Pecinta Alam JOGO KALI Kab. Wonosobo
    - Ketua MAPADI (Masyarakat Pecinta Dieng) 1995-1998
    - Dewan Penasehat Jamaah Yasinan dan Tahlil Al Hikmah Tempelsari Indah Wonosobo

Referensi:
http://indoprogress.com/2015/12/kontradiksi-geng-geng-mafia-orde-baru/
http://kpud-wonosobokab.go.id/index.php/pemilu/pilkada-2015/pasangan-calon
Siapkan mental dulu, narasi ini mayan baper.
               
“Porsenigama ibarat La Liga. Vokasi dan Teknik itu Barca Madrid nya. Nah dewe iki Levante, kok ujug-ujug meh dadi juara 3?”

Saya mencoba kembali ke sekitar 2 bulan lalu ketika saya dan M Nashiruddin AlMuzakki Amri berdiskusi untuk membahas soal porsenigama. Saya hanya menargetkan menteri Minat dan Bakat LEM ini supaya bisa menambah kuantitas kontingen FIB di Porsenigama, sudah itu saja. Dengan adanya 26 cabang yang dilombakan, setidaknya kita bisa mengikuti 20 cabang. Hal ini mengingat tahun-tahun sebelumnya paling kita hanya mengirim sekitar 10 cabang lomba saja (atau malah kurang?).

Kami sepakat untuk mengajak kawan-kawan Sastra Kanuragan, Kapalasastra, Sastra Budaya, Paramadaya, Bejo Mulyo, Lincak, dan Terjal untuk bekerja sama menjadi pengurus inti porsenigama FIB. Tahap berikutnya kita mencoba mengumpulkan seluruh ketua HMJ supaya melakukan pendaftaran kontingen melalui 3 tahap. Tahap pertama adalah open recruitment, tahap kedua adalah close recruitment, dan ketiga adalah tahap survey. Oprec ditujukan untuk mereka yang mampu dan mau menjadi kontingen, closrec untuk mereka yang mampu tetapi enggan bergabung, sedang survey ditujukan untuk mereka yang mungkin mampu dan mau tapi tidak tahu. Dengan 3 tahap ini, ternyata tanpa disangka kita bisa mengirimkan 24 dari 26 cabang yang dilombakan.


Berpijak dari bertambahnya jumlah kontingen Ilmu Budaya, pada suatu rapat Zakky berkata pada seluruh perwakilan HMJ BSO bahwa ia punya target masuk 5 besar. Ucapan Zakky disusul dengan tawa seluruh kontingen, bahkan saya dan Zakky pun ikut tertawa seolah memang perkataan tersebut tak lebih dari humor dan penghibur semata. Maklum memang, tahun lalu kita hanya berada di peringkat 13 dengan perolehan 3 emas dan 1 perunggu. Tahun-tahun sebelumnya? Ya hampir sama lah. 13-14.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hari pembukaan Porsenigama tiba. Hari itu perwakilan kontingen FIB dan Sastro Conthong hadir ke lapangan pancasila UGM. Kami mencoba hadir sesuai tagline Sastro Conthong “SUPERBIA IN CULTURA” yang awalnya dicetuskan oleh Icang Sinambela. Hari itu kami memakai batik untuk hadir di upacara pembukaan. Siang itu matahari sangat terik. Bayangkan saja, panitia menyuruh seluruh peserta untuk melaksanakan seremonial pada angka 2 siang. Akan tetapi, entah energi apa yang kala itu membuat kami dari Ilmu Budaya tetap berani turun ke lapangan sebagai yang pertama. Sepertinya dengan berbatik dan tentu saja menjadi paling berbeda dibanding kontingen lainnya – yang rata-rata berkaos satu warna -, semangat kami menjadi terpacu dan ingin menunjukkan “IKI LHO SASTRA, KAMI BUDAYA DAN KAMI BANGGA !”


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Porsenigama memasuki masa penutupan. Tak disangka selama perhelatan tersebut, FIB sama sekali tak pernah turun dari posisi 5 besar. Emas pertama dari cabang monolog membuat kami terus mapan di papan sebelah kiri. Berikutnya tanpa disangka-sangka kami meraih medali-medali lain dari cabang-cabang yang tak terduga. Memang, sebagian besar cabang yang kita ikuti tahun ini adalah cabang-cabang yang baru pertama kali kita ikuti, hal inilah yang membuat kita buta untuk memetakan kekuatan kontingen kita sendiri. Kejutan demi kejutan pun datang. Sepakbola, tim yang dipimpin Pak Khusnul dan sudah absen partisipasi sejak lama, berhasil masuk semifinal. Meskipun gagal juara, tim sepak bola berhasil menyumbang perunggu. Tim basket Putra juga menyusul menyumbang 1 perunggu. Berkuda bahkan berhasil menyumbang perunggu, satu cabang yang saya sendiri tak mengira FIB akan mengikutinya. Cabang bela diri menjadi pahlawan dengan memberikan emas, perak, dan perunggu yang jumlah yang cukup banyak. Belum lagi tambahan emas dari tari tradisional, renang, dan juga atletik. Total, sehari sebelum penutupan FIB menduduki peringkat 4 dengan 10 emas, 5 perak, dan 9 perunggu. Tertinggal dari Fisipol dengan  10 emas, 6 perak dan 7 perunggu.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Selisih 1 perak dengan peringkat 3 FISIPOL membuat kami masih sedikit berharap bahwa dari 1 cabang terakhir yaitu fotografi, bisa meraih medali minimal perak. Hingga akhirnya inilah yg saya temukan di akun line Porsenigama, tepat di hari terakhir Porsenigama:

Gusti Allah ! Sejarah baru terukir ! Tak hanya masuk 10 besar dan 5 besar, tetapi dengan puitisnya kita nikung fisipol di hari akhir Porsenigama. Euforia pun menyesaki rongga dada kami. Dengan segera kami berkordinasi supaya pada malam penghargaan juara umum, gelanggang FIB akan diisi oleh pasukan FIB. Jarkom segera diluncurkan melalui berbagai akun media sosial. Di tanggal 5 bakda Isya kita akan longmarch menuju gelanggang dengan panji-panji Sastro Conthong, bendera Jurusan, dan juga berpakaian Batik. SUPERBIA IN CULTURA, BANGGA DALAM BUDAYA !
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kami menjadi pasukan yang datang paling awal di gelanggang. Angkringan gratis dan kerinduan akan kebersamaan menjadi motivasi tersendiri yang membuat kami rela menghabiskan malam minggu secara beramai-ramai. Belum pukul 8 malam, angkringan gratis sudah hampir habis dilahap para pasukan Sastro Kencot, eh Sastro Conthong. Kita jadi yang paling kompak. Kami berteriak setiap kali nama FIB disebutkan. Teriakan kami bahkan tidak kalah dengan ratusan anak Vokasi yang malam itu datang untuk merayakan keberhasilan mereka mengamankan juara umum 3 kali berturut-turut. Sayangnya acara malam itu – kalau tak boleh dibilang gagal – sangat kurang baik dalam pelaksanaannya. Alih-alih menghargai para atlit dengan mengutamakan membacakan nama pemenang, penonton justru lebih disuguhi banyak sekali penampil di panggung, belum lagi dengan waktu cek sound penampil yang memakan waktu puluhan menit.

Pukul 11 malam dan pembacaan juara tak kunjung dilakukan. Pasukan Ilmu Budaya mulai pulang satu persatu. Saya, Zakky, dan Al sempat memanggil seksi acara panitia dan ingin mendengar mengapa jadwal acara bisa sekacau ini. Panitia hanya minta maaf dan menyuruh kami sabar menunggu. Zakky dengan cukup emosi pun memberikan saran supaya panitia mengubah rundown dari yang awalnya menampilkan Plenthong Konslet lalu pembacaan juara, diubah menjadi pembacaan juara barulah ditutup dengan Plenthong Konslet. Entah bagaimana sehingga kami yang hanya penonton ini bisa protes sedemikian rupa. Haha.. Tetapi ternyata protes kami cukup efektif dan panitia ikut dengan saran kami.

Penonton sudah mulai sepi memang. Tetapi sepertinya masih ada lebih dari 20 mahasiswa FIB yang setia menunggu penyerahan piala umum juara 3 Porsenigama. Yanie Srikandi dari Sastro Conthong maju kedepan untuk pertama kalinya. Gagal total, ia ingin mengajak kami bernyanyi dengan keras tapi suaranya sendiri sudah lemas. Akhirnya saya dan Zakky ikut maju untuk menerima Piala dari Pak Senawi. Saya merinding, tangan saya bergetar menerima piala 3 besar ini. Meskipun sepertinya sepele, bagi saya piala ini adalah simbol dari perjuangan, kebersamaan, dan tentu saja kepedulian dan cinta yang membuat kami bisa bangkit dari berbagai keterpurukan.

Duma, Kevin, Dela, Okta, Yani, Raka, Kukuh, Aldi, Farizan, Onah, Itok, Anas, Af, Al, Hamima, dan beberapa anak lagi menyusul kami ke depan panggung sambil membawa panji-panji jurusan dan Sastro Conthong. Kami menaruh piala di tengah dan kami saling berpeluk, membentuk lingkaran dan mengitarinya. Diiringi musik rock etnik dari Plentong Konslet kami berputar dan berteriak “SASTRA BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN, SASTRA BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN, SASTRA BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN !”. Galuh dan Irfan sibuk mendokumentasikan moment tersebut. Kami berteriak dan berjoget bersama. Luwehhhh... Apa kata dunia, yang jelas kami bahagia bisa bersama merayakan hasil kerja sama kita. Ilmu Budaya hadir dan ada, kami Sastra, kami Budaya, dan kami Bangga !
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Acara perayaan telah selesai, Porsenigama resmi ditutup. Satu persatu keluar dari gelanggang dan tak disangka Mas Sus, Kanit Kemahasiswaan FIB masih menunggu di depan untuk menyelamati kami. Kami menguasai area photobooth. Kami pun berfoto bersama.

Mas Sus tiba-tiba menghampiri saya, lalu ia memanggil anak dokumentasi “Cah, tolong fotoke aku karo Bagus, mumpung Bagus durung dipecat”.

Bagus Panuntun


dokumentasi:








Ketika mendengar kata koplo, maka kemungkinan besar ada 2 hal yang akan segera terbersit di pikiran kita. Yang pertama, koplo yang dimaknai sebagai butiran pil yang jika diminum akan menimbulkan efek asolole, kepala puyeng tapi seneng. Sebut saja ia sebagai “pil pelarian", karena siapapun yang meminumnya maka sejenak ia bisa lari menuju dunia lain diluar realitanya. Lalu kemungkinan kedua, kata koplo telah terkonotasikan sebagai sebuah genre musik dangdut gaya baru. Yaitu genre musik dangdut yang dipopulerkan oleh orkes-orkes melayu Jawa Timuran, misal OM SERA, OM PALAPA, dan sebagainya. Masih memakai gendang memang, tetapi dangdut koplo lebih identik dengan biduan wanita dengan pakaian sexy warna mencolok. Juga dengan jenis-jenis goyangnya mulai dari goyang ngebor, goyang dribble, sampai ngebor sambil dribble. Bukak sitik joss !
Dari terminologi yang sama namun menghasilkan 2 makna berbeda tersebut, sebenarnya ada hal yang sangat menarik untuk diamati secara lebih mendalam. Jika kata koplo yang menjadi “ngoplo” secara verba/kata kerja berarti adalah tindakan meminum pil sebagai upaya untuk lari dari realita yang ada – entah untuk alasan ekonomi, family, atau percintaan -, menurut saya kata “koplo” dalam musik dangdut juga cocok diartikan sebagai upaya pelarian diri musik dangdut dari realita yang ada. Singkatnya jika manusia ngoplo, dangdut pun bisa ngoplo. Keduanya sama-sama mencoba lari dari realita yang ada pada suatu ketika. Mari kita kupas secara lebih mendalam.
Musik dangdut, awalnya adalah musik melayu yang terpengaruh oleh berbagai macam kebudayaan dunia. Musik ini banyak terpengaruh oleh musik india, khususnya yang masuk ke Indonesia melalui film-film Bolywood, dan juga terpengaruh oleh musik arab yang masuk ke Indonesia melalui musik Qasidah. Dari segi instrumen, musik dangdut memadukan berbagai alat musik modern seperti keyboard, gitar, saxophone, dan dipadukan dengan kendhang sebagai perkusinya. Genre musik ini mulai dikenal pada tahun 1960-an, namun kala itu belum ada istilah dangdut. Semua musisi di masa itu masih menyebut mereka sebagai musisi Orkes Melayu. Baru pada tahun 1972, istilah dangdut muncul ke permukaan melalui cerpen karya Billy Sukabumi. Istilah ini dipilih oleh Billy untuk mengejek orkes melayu yang terkesan monoton dan hanya mengeksplor bunyi ndhang dan dhut pada instrumen kendhang. Tanpa disangka, justru istilah dangdut inilah yang kemudian bisa menjadi branding dari musik ini dan dikenal hingga hari ini.
Tahun 70-an juga menjadi sejarah besar bagi musik dangdut dengan munculnya Mahaguru Sang Baginda Raja Dangdut Rhoma Irama. Bung Oma bersama grup SONETA-nya memberikan kesegaran baru bagi musik dangdut. Dengan banyak memasukkan unsur ROCK ke dalam orkes melayu, dangdut grup SONETA kemudian meledak di pasaran dan digemari masyarakat. Bung Oma pun menjadi ikon di tahun-tahun tersebut. Dengan kesyahduan musik dan iramanya, dangdut menjadi musik yang dibangga-banggakan masyarakat Indonesia. “Dangdut is the music of my country”, jargon yang dulu sering kita dengar dimana-mana.
Sayangnya, kejayaan musik dangdut era Bung Oma tinggallah kenangan. Seiring dengan lunturnya kejayaan musik dangdut Bung Oma, luntur pula keanggunan musik dangdut sebagai musik yang patut dibangga-banggakan sebagai budaya Indonesia. Identitas musik dangdut bukan lagi terkenal dengan irama yang syahdu, dengan lirik-lirik dakwah nan puitis, dengan nilai estetika dan etika yang terkandung di dalamnya, namun berubah sebagai musik pengantar tawuran. Dangdut yang awalnya digadang-gadang sebagai “the music of my country”, kini lebih dikenal sebagai musik SATAN, SAru dan TAwuran.
Musik dangdut telah ngoplo.... Ia telah mencoba lari dari suatu realita yang ada...
Kembali pada apa yang telah dituliskan di paragraf pertama, yaitu bahwa ngoplo adalah suatu tindakan meminum pil untuk lari dari suatu realitas yang ada, ngoplonya musik dangdut saya rasa juga sebuah upaya musik dangdut untuk lari dari suatu realitas tertentu. Dangdut sebagai sebuah budaya Indonesia yang seharusnya kita banggakan, justru makin hari makin dimetaforkan sebagai musik pinggiran, musik wong cilik, atau yang lebih kejam adalah “musik ndeso”. Alih-alih menjadi bagian dari masyarakat yang nguri-uri budaya yang luhur ini, kita justru dengan ikhlas lillahi ta’ala mendesokan budaya-budaya kita.

Menanggapi keadaan masyarakat yang terus memojokkannya pun, dangdut mulai mencari alternatif lain. Ia telah makin dilupakan, ia makin tak dihargai, ia makin dipandang sebelah mata, maka segera ia ngoplo untuk lari dari realitas yang ada. Identitas musik dangdut yang awalnya penuh nilai estetika dan etika telah bergeser. Identitas musik dangdut yang kini adalah rok mini, goyang dribel, dan lirik-lirik seperti yang dinyanyikan adik-adik kita yang masih SD, pokoke njoget pokoke njoget pokoke njoget ! Ora ngerti lagune, ora ngerti syaire, sing penting aku njoget wae... Bukak sithik dab.....
Kalau mau diakui, sebenarnya kekejaman metafor ini sudah sejak lama kita lakukan terhadap kebudayaan-kebudayaan kita. Sujiwo Tejo pernah dalam suatu pidatonya memprotes peletakan album-album musisi batak, ambon, dsb yang justru diletakkan di rak lagu daerah, sedangkan rak-rak lagu nasional hanya diisi oleh band-band pop Indonesia. Menurutnya, bangsa ini adalah bangsa yang minder sehingga kita tidak berani meletakkan budaya kita ke tengah, melainkan menyingkirkannya ke pojok-pojok nan gelap dan sepi.
Maka dari kisah ngoplonya dangdut ini, seharusnya kita bisa lebih merenungkan lagi apakah kita sudah benar-benar menghargai budaya-budaya Indonesia atau justru sebaliknya, kita lah yang setiap hari makin menyingkirkan mereka.
Dan jika ternyata kita makin tidak peduli dengan pentingnya nguri-uri budaya, mungkin esok bukan hanya dangdut yang mengubah identitasnya dengan mengoplo. Keroncong jadi keroncong koplo, gamelan jadi gamelan koplo, dan mungkin fenomena koplo juga akan merambah ke budaya lain selain musik. Tari kecak koplo, batik koplo, rendang koplo, sampai akhirnya Negara Kesatuan berubah jadi Negara Koplo. NKRI (Negara Koplo Republik Indonesia).


Halo..sehari fokus nulis, sehari fokus nggarap video ya. Hari ini fokus nggarap video.  Besok saya mau kasih video tentang Rumah Makan Beong, Borobudur. Rumah makan favorit saya pokoknya, sebelumnya juga sudah pernah saya tulis di blog ini.


Sore hari yang sibuk di FIB membuatku ingin  segera duduk setengah jam di bangku bonbin. 1 cangkir good day white frape aku harap bisa membuat hariku jadi good beneran. Percakapan hari ini sungguh melelahkan dan dipanjang-panjangkan.

Aku rasa kita sebenarnya sama-sama paham bahwa hidup sangat-sangat bisa disederhanakan. Suatu bincang 60 menit tentang pendikotomian society dominan versus self yang mengidentitaskan diri sebagai minor, membawa masing-masing dari kami mencoba menjelaskan berbagai perihal dengan cara yang rumit.

Pertanyaan sederhana sering kemudian harus, dipaksa, dan dipeksa untuk dijawab secara berputar-putar. Termasuk seperti bagaimana tulisan ini dibuat.

Ada yang bertanya "Untuk apa kamu mengurangi jam tidurmu demi sebuah kumpulan yang harus kau akui tak semuanya merasa butuh pertolonganmu?".

Sampai pada puas sebab tak bisa menjawab sederhana dengan "Ikhlas" atau "menuruti fitrah manusia untuk menolong sesama", akhirnya kucoba mengarahkan pertanyaan ini pada jawaban yang sederhana dengan sedikit pembaharuan, "Karena sadar bahwa hidup adalah pilihan, maka jangan pernah punya mental korban".
PPSMB Kampung Budaya 2015 telah selesai dengan segala emosi dan ceritanya. Masing-masing orang, entah mereka yang menjadi panitia, entah mahasiswa baru yang menjadi peserta, atau yang sekedar menjadi saksi prosesnya seperti saya, masing-masing punya interpretasi atas pengalamannya. Yang jelas, beberapa dari kesan-kesan itu telah tersusun rapi dalam sebuah catatan yang akhirnya terukir di dinding Buah Pena. 2 mahasiswa baru, Titik Christila dan Adhaningtyas Arinta telah mengabadikannya di wadah karya mahasiswa FIB ini.

- SOROT KAMPUNG BUDAYA DIBALIK KACAMATA MAHADAYA CINTA
http://buahpena.fib.ugm.ac.id/?p=272

- REVIEW PPSMB KAMPUNG BUDAYA 
http://buahpena.fib.ugm.ac.id/?p=268

Ya, pelaksanaan PPSMB memang sepertinya telah selesai, tapi cerita dibaliknya? Belum.

Kurang dari seminggu setelah Kampung Budaya selesai, ketika itu masih pukul setengah 8 pagi dan kampus Ilmu Budaya masih sepi, tiba-tiba beberapa orang berlari panik mengejar salah satu mahasiswa yang mendadak jatuh pingsan. Setelah mengangkat mahasiswa yang pingsan tersebut, mereka mencoba membawanya ke sebuah tempat untuk membaringkannya dan memberikan pertolongan pertama.

Sedikit berlari sembari mengangkat mahasiswa pingsan tersebut, mereka akhirnya sadar bahwa mereka tak punya ide yang sama kemana mereka akan membawanya. Saat itu saya tidak ikut menolongnya. Yang saya tahu, mereka bingung mau dibawa kemana mahasiswa tersebut. Ruang perpus arkeo terkunci, mushola juga sepertinya bukan tempat yang pas, sedangkan UKS di FIB tidak ada.

Beberapa menit setelah kejadian tersebut, saya bertemu Mas Sus, Kanit Kemahasiswaan FIB yang kebetulan juga berada disitu ketika peristiwa tersebut terjadi. Dengan sedikit diskusi dan mencoba bertukar ide, akhirnya terbitlah rilis LEM tentang BMIB (Balai Medis Ilmu Budaya).

Sila buka catatan lama ini:
http://lem.fib.ugm.ac.id/?p=765

---------------------------------------------------------------------------

Ide tentang Balai Medis ini sebenarnya bukanlah ide baru. Sebelumnya jauh sebelum LEM dan pihak fakultas punya ide ini, Mas Fafa pernah mewacanakan terbentuknya Balai Husada FIB, sebuah BSO yang fokus dalam babagan P3K dan mempelajari tumbuhan-tumbuhan obat tradisional sebagai warisan budaya yang perlu dipelajari anak muda.

Alhasil, LEM kemudian mencoba menghubungi Mas Fafa, yang sebelumnya bahkan pernah membuat proposal Balai Husada, namun tidak terealisasi karena beberapa hal. Setelah menghubungi Mas Fafa, kemudian kami menghubungi Lengkong Sanggar, koor medis PPSMB Ilmu Budaya.

Berkat Mas Fafa, Lengkong, dan bantuan dari paguyuban medis Kampung Budaya, akhirnya selama 10 lebih kami berhasil menyelesaikan proposal Balai Medis Ilmu Budaya, dan puji Tuhan yang maha puitis, akhirnya hari ini BALAI MEDIS FIB telah resmi berdiri. Dengan pemberian Papan BALAI MEDIS FIB dari Bu Ida dan LEM kepada pengurus BALAI MEDIS ILMU BUDAYA, maka 7 September telah menjadi sejarah baru bagi FIB.


Pertanyannya sekarang, apa yang selanjutnya akan dilakukan oleh teman-teman BMIB? Sedikit info, sebenarnya saat ini BMIB masih dalam proses mengumpulkan perlengkapan dan logistik agar memenuhi standar yang semestinya (saya kurang paham soal ini), selain itu BMIB akan segera membuka pendaftaran bagi siapapun yang tertarik untuk belajar tentang P3K dan sebangsanya. Datang saja besok malam ke acara ini:



PENTING !!!
Jika ada warga FIB yang sakit dan membutuhkan pertolongan, maka bisa menghubungi Lengkong Sanggar di nomor 087738356558.

Pada akhirnya film Valise jadi juga ! Ini adalah pertama kalinya saya membuat film dan hasilnya film pendek berdurasi sekitar 6 menit pun selesai !

Berkat film ini, akhirnya saya belajar bagaimana menggunakan aplikasi Vegas Pro. Mulai dari 0, tapi akhirnya bisa menghasilkan satu film yang hasilnya lumayan. :D

Let's watch this film !!! https://www.youtube.com/watch?v=NKXCsZfcjq8
Kalau sekedar memenuhi janji, dipaksa pun akhirnya akan bisa. Tetapi bagaimana kita menikmati, bahkan menyukuri terucapnya janji-janji tersebut, itulah perihal yang esensial...

Hampir satu hari penuh aku hanya duduk menatap laptop. Satu video catatan berhasil terunggah hari ini, sila klik https://www.youtube.com/watch?v=0BRzhORIjek . Sebuah video catatan berjudul "ABSURDITAS KALIURANG". Berkisah tentang romantisme persahabatan dalam lika-likunya mencari identitas religiusitas masing-masing, menuju mi'raj yang samawi. Skip !

Satu lagi, kali ini bukan sekedar video catatan harian, tetapi sebuah film pendek. Film yang disutradarai sendiri, pun editing dilakukan sendiri. Tunggu ya film pendek yang (lagi-lagi) cukup absurd ini. Judulnya "Valise". Artis dan crew dari dalam film ini adalah kawan-kawan terdekat, para amatir yang profesional dalam bersahabat.




Mulai pegang komputer jam 9 malam, dan langsung nggarap video selo bersama Sotong dan Mas Riza. Besok Jadi !


Hari yang amat padat. Tulisan ini pun baru ditulis sekitar jam 11 malam setelah saya selo dan sudah sampai kos.

Pagi, sejak angka 9 saya sudah berangkat ke kampus, bersiap-siap ikut kuliah pertama di semester 7 ini. Bahasa Italia.

Mi chiamo Bagus. Io sono di Wonosobo. Abito a Jogja. Io ho 21 anni. Sono studente. Parlo Indonesiano, francese, inglese, javanese, un po espagnole e Italiano. Semoga tidak salah. Haha..

Jam-jam berikutnya dilalui dengan 2 rapat, yang pertama membahas Balai Medis Ilmu Budaya, yang kedua membahas malam inaugurasi bersama teman-teman angkatan 2014.

Di jeda antara rapat kesatu dan kedua, tanpa direncana saya bertemu Mas Fafa dan Ucup, 2 pria jurusan Sastra Nusantara. Diawali dengan obrolan yang singkat selama 10 menit tentang Yu Par,  kami kemudian sepakat untuk datang ke acara JJW (Japan Jogja Weeks).

JJW ini adalah acara jejepangan yang berlangsung dari hari ini sampai tanggal 6 September 2015. Venue acara ini adalah gedung Grha Sabha Prmana. Saya yang sudah sangat kelaparan akhirnya memutuskan untuk membeli makanan di salah satu stand yang ada di halaman depan GSP. Saya memilih makan pempek. Makan pempek di acara jejepangan adalah bentuk nasionalisme di sore hari. Uopoooo...

Ada apa saja di acara JJW? Sebenarnya cukup banyak hal yang menarik disini. Contohnya kita bisa melihat ini:




Bahkan kita bisa selfie di depan artistik ala jepang yang merah dan megah ini:


Selain itu ada berbagai stand workshop seperti menulis kanji, membuat manga, atau membuat makanan Jepang:

Namun, dari sekian banyak hal yang disajikan dalam acara ini, ada satu hal yang amat sangat ter paling pol sekali menarik. Juara ! :




Ranger merah ! Akhirnya kita bertemu lagi ! Mari kita beraksi menyelamatkan dunia !


Pertemuan kembali dengan ranger merah adalah sebuah flashback yang kemudian bercengkerama dengan masa kecil, dimana kami berebut warna ranger. Saya tak pernah mau menjadi biru, hijau, apalagi pink. Bahkan ketika muncul ranger super warna silver, saya pun enggan untuk berganti jagoan. Entah mengapa, namun sepertinya karena merah selalu di tengah dan itu sangatlah keren !

Pertemuan dengan ranger merah ini juga membuat saya ingin menulis tentang memoria generasi 90-an. Sebenarnya apa itu generasi 90-an?

Sampai jumpa di #JIB4 !


Hari ini saya menonton kembali film Euro Trip. Ada yang sudah nonton film Euro Trip? Film bergenre komedi asal Amerika yang lumayan 18+ ini bisa dibilang sama menghiburnya seperti American Pie. Bahkan menurut saya Euro Trip digarap jauh lebih matang secara penceritaan. Jika American Pie seolah hanya menonjolkan unsur sex dan seksualitas sebagai komedi, Euro Trip justru mampu memparodikan lebih banyak hal, khususnya memparodikan berbagai budaya di Eropa. Kita akan dibuat terpingkal-pingkal menonton parodi dari Hooligan Manchester United, parodi di salah satu daerah kumuh pinggiran wilayah Bratislava, parodi tentang ketidakpahaman akan bahasa Itali yang berbuah petaka, dan terakhir parodi di gereja Roma, Itali.

Euro Trip bercerita tentang Scott yang backpacker-an ke Eropa demi bertemu seorang gadis Jerman bernama Mieke, sahabat pena yang ia kenal di dunia maya. Film ini sendiri rilis pada tahun 2004. Disini ada satu hal yang menarik. Ternyata di awal tahun 2000-an, memiliki satu teman luar negeri di internet adalah hal yang sangat istimewa, bahkan untuk orang Amerika !


Bagaimana dengan tahun 2015 ini? Saya rasa saat ini mempunyai teman dari luar negeri sudah bukan lagi hal yang istimewa. Apalagi jika pertemanan itu dilihat pada konteks pertemanan di facebook. Apa kamu punya teman facebook dari luar negeri? Saya rasa kebanyakan diantara kita pasti punya. Bukan hanya untuk mereka yang telah pandai berbahasa asing, tapi juga mereka yang sekedar paham bahasa asing karena pernah main PS 1 di masa kecil.

Yes, no, save, load, loading, easy, normal, hard. Paling tidak kita tahu makna dari kata-kata tersebut lah...

Bicara tentang bahasa, akhir-akhir ini kita sering mendengar pernyataan "Orang Indonesia makin banyak yang pandai berbahasa Inggris, tapi makin sedikit yang pandai berbahasa daerah". Pernyataan ini pun kerap mengundang perdebatan (alay) di grup-grup facebook, macam grup polyglot, grup english club, grup pecinta bahasa daerah, dsb.

Sebenarnya mana yang lebih penting, memahami bahasa daerah atau bahasa asing? Mari coba kita telusuri bagaimana jawaban-jawaban mereka yang pro pada salah satunya:

Mereka yang pro pada bahasa asing
Biasanya mereka adalah anak-anak remaja yang mulai berani ngobrol langsung dengan bule. Kebanyakan dari mereka suka sekali diskusi tentang iphone merek terbaru, tak mau kehabisan tiket film-film superhero holywood yang jumlahnya terus bertambah setiap bulan, dan suka mengaku hobi travelling, fotografi, dan naik gunung.

Bagi mereka belajar bahasa asing jauh lebih penting dibanding belajar bahasa daerah, mengapa? Karena kita telah memasuki zaman globalisasi, zaman dimana kita harus mau dan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Untuk dapat bersaing, kita harus mampu setidaknya menguasai bahasa internasional, yaitu bahasa Inggris. Bahasa daerah? Itu sudah kuno. Toh buat apa kita belajar bahasa daerah kalau akhirnya tidak digunakan juga dalam upaya bersaing dengan bangsa lain (baca: cari duit).

Mereka yang pro pada bahasa daerah
Biasanya mereka adalah guru mata pelajaran bahasa daerah.

-------------------------------------------------------

Menurut saya sendiri, sebenarnya banyak diantara kita yang sepakat bahwa yang terbaik adalah mempelajari dan menguasai keduanya. Banyak sekali alasan yang dapat dengan bijak memperkuat pernyataan ini. Dengan menguasai bahasa daerah, kita jelas bisa nguri-uri budaya leluhur. Sedangkan dengan menguasai bahasa asing, kita dapat menjalin relasi yang lebih luas dengan masyarakat dari berbagai belahan dunia, yang artinya kita juga mampu memperkenalkan berbagai good news from Indonesia. Benar memang, di era global ini kita dituntut untuk dapat bersaing dengan bangsa lain, tapi perlu diingat, hal yang lebih penting dari kompetisi adalah kolaborasi.

Namun, jika saya punya anak dan harus memilih bahasa mana dulu yang harus diajarkan pada anak saya, saya akan memilih mengajarkan bahasa daerah dulu. Akhir-akhir ini kita sering bertemu dengan orang tua yang sangat bangga anaknya yang masih SD sudah bisa berbahasa asing, sedangkan mereka justru tidak bisa menggunakan bahasa daerahnya sendiri dengan baik. Sebagai contoh, saat ini semakin sedikit anak kecil di Jawa yang bisa menggunakan bahasa ngoko, krama, dan krama inggil dengan benar. Hal ini cukup menyedihkan bagi saya.

Mengapa penting untuk mempelajari bahasa daerah? Menurut saya, seorang yang belajar bahasa daerah cenderung akan belajar bagaimana budaya dan cara pandang leluhurnya. Dengan belajar bahasa daerah, seorang secara tidak langsung juga akan belajar filosofi berpikir leluhurnya yang mana romantisme masa lampau cenderung ditampilkan dalam sisi positif. Perhatikan saja mereka yang bisa berbahasa Jawa dengan baik, setidaknya mereka juga akan tahu keagungan sejarah masa lampau dari daerah asal bahasa tersebut. Setidaknya orang yang mampu berbahasa jawa pasti sedikit tahu perihal tentang wayang, filosofi jawa, dan sejarah negerinya sendiri. Hal ini yang kemudian akan memacu mereka untuk mencintai buminya, mencintai tanah dimana mereka lahir dan tumbuh besar. Dengan didasari rasa bangga dan cinta itulah, maka akan timbul cita bagi tanahnya.

Disisi lain, belajar bahasa asing memang sepertinya terlihat sangat baik. Namun setelah saya perhatikan lebih lanjut, orang yang belajar bahasa asing cenderung akan mempelajari budaya populer dan kontemporer yang ada disaat itu juga. Contohnya begini, seorang yang belajar bahasa Inggris cenderung akan lebih belajar tentang budaya kontemporer di Inggris atau Amerika, katakanlah dibanding belajar tentang filosofinya atau kebesaran sejarahnya. Lihat saja mereka yang belajar bahasa Prancis, maka kebanyakan akan meniru budaya kontemporer Prancis yaitu fashionable. Jarang diantara mereka yang bisa berbahasa Prancis akan tahu tentang filosofi pemikir abad 18 macam Voltaire atau Montesquieu. Mereka yang belajar bahasa Jepang juga kemudian menjadi suka manga atau cosplay, dibanding tahu tentang haiku. 

Terakhir, bagi siapapun yang belajar bahasa asing, mau tak mau kita akhirnya akan belajar - bahkan sangat ter-influenced - budaya populer nan kontemporer dari negara asal bahasa tersebut. Budaya populer yang saat ini cenderung "hore" bahkan sering membuat seseorang menjadi minder terhadap tanahnya sendiri. Maka, sebaiknya jika kita belajar bahasa asing, belajarlah juga sejarah, sastra, dan filosofi dari negara asal bahasa tersebut. Niscaya, kita akan menjadi pembelajar yang tercerahkan, bukan pembelajar yang pikirannya terjajah.

Salam
Bagus Panuntun






Adakah yang sudah nonton DOES? Siapa yang tidak terinspirasi oleh tayangan yang tidak mungkin disiarkan di televisi nasional tersebut? Bagi yang belum tahu, DOES adalah singkatan dari Diary of Erix Soekamti, video yang diupload selama 30 hari berturut-turut yang menceritakan bagaimana keseharian seorang Erix Soekamti.

Selain para kamtis dapat mengenal Erix Soekamti secara lebih dalam, - bahkan saya merasa kalau saya sudah lama mengenal Erix dan kini menjadi teman akrabnya- di 30 video yang ia unggah di akun youtube pribadinya tersebut, banyak sekali ilmu dan pelajaran yang bisa kita dapat. Erix pernah bicara tentang strategi bisnis, tips membuat video, tips memilih kamera, dan sebagainya. Kita juga dapat menonton bagaimana Erix selalu terlihat semangat dan energik meskipun kesehariannya sangatlah padat. Dalam salah satu episode DOES, Erix pernah tidak tidur selama 68 jam demi memenuhi tugasnya untuk meeting, manggung, edit video, dan menemani keluarga untuk makan malam. Gila ! Dalam diary ini Erix memperlihatkan bahwa selama ada kemauan, maka banyak sekali hal yang seolah tidak mungkin, ternyata sangat sangat mungkin untuk dilakukan, dan sebenarnya memang kita ini mampu !

Wajib tonton dan subscribe: DOES VIDEO SERIES !

Sebenarnya saya ingin sekali bisa membuat catatan harian seperti Erix. Catatan harian yang menghibur, sekaligus mendidik. Namun apalah daya, saya belum punya kamera. Namun, 4 hari yang lalu saya mencoba meminjam kamera milik Rosyid, adik angkatan di FIB jurusan Sastra Arab. Kamera yang sedianya hendak saya pakai untuk shooting film "Valise", ternyata gagal dikarenakan kesibukan para crew dan aktor. Daripada kamera tidak terpakai, akhirnya saya mencoba membuat diary selama 2 hari berturut-turut, dan akhirnya jadilah 2 video ini, hahaha...

#VJIB1 HIFA STORE


#VJIB2 LUQMANUL'S KOST



Ternyata saya bisa ! Padahal awalnya saya hampir tak punya skill sama sekali dalam hal editing video. Bermodal pengin dan sedikit tutorial tentang aplikasi Vegas, akhirnya saya bisa memanfaatkan moment 2 hari mendapat pinjaman kamera bagus. Hehe..

Di episode ke-30 DOES, Erix berkata bahwa ia membuat video harian bukan demi popularitas, bukan demi mendapat hadiah macbook, tetapi untuk mengukur kapasitasnya sendiri, terutama bagaimana ia berusaha mewujudkan hal yang awalnya hanyalah angan-angan.

Saya juga ingin mencobanya. Dikarenakan saya belum punya kamera, maka saya akan menuliskan diary itu di blog ini. Apakah saya bisa? Mari kita lihat !

Jika Erix punya DOES, maka saya punya JIB, Journal Intime de Bagus, je l'entame !
Kisah apa yang paling menginspirasi selama perjuangan Indonesia merebut kemerdekaan? Sebagian mungkin akan menjawab kisah anak ABG menculik Pak Karno ke Rengasdengklok untuk membujuk beliau agar cepat memerdekakan negara ini. Sebagian lain mungkin memilih kisah penyobekan warna biru pada bendera Belanda. Beruntung ya bendera Indonesia warnanya merah putih, kalau warnanya merah biru kan repot juga, monggo dipikir...

Kalau menurut saya sih, kisah yang paling menginspirasi dan sangat sangar adalah ketika Pak Karno masuk ke PETA (Pembela Tanah Air). Bukan hanya menjadi bagian di dalamnya, Pak Karno bahkan menjadi HRD untuk memilih pemuda-pemuda paling cerdas dan kuat agar bisa masuk dan mendapat latihan militer disana.

Akibat keputusannya tersebut, Pak Karno bukan hanya dihujat, bahkan ditinggalkan oleh banyak anak muda labil yang mengatakan bahwa Pak Karno adalah antek asing (kalau zaman sekarang, pasti dipanggil antek wahyudi). Konon, Pak Karno nggak hanya dihujat dan ditinggalkan, beliau bahkan diteror dan mendapat kiriman surat kaleng sampai berkali-kali.

Lebih-lebih, seorang Soekarno bahkan dikatakan tidak nasionalis ! Lalu, apa yang dilakukan Pak Karno?

Meskipun agak sedih juga, tapi beliau lanjut... woles... beliau yakin, anak-anak pilihan tersebut akan mendapat banyak ilmu, pengetahuan, dan sudut pandang baru dengan mendapat pendidikan dari Jepang, meskipun Jepang adalah musuh mereka sendiri.

Apa hasilnya? Hasilnya tentara-tentara jebolan PETA lah yang mampu membuat repot Jepang, yang mampu mengusir Belanda dan Sekutu di peristiwa 1949 di Jogja.

Kisah itu begitu menginspirasi dan menarik bagi saya. Dari kisah yang tertuliskan sederhana diatas, setidaknya ada pelajaran sederhana yang dapat kita ambil.

Orang sosialis boleh kok masuk perusahaan multinasional. Kumpulkan uang yang banyak, lalu bikin penerbitan buku kiri untuk anak usia dini. Boleh juga bikin panti asuhan atau sanggar belajar, lalu ajarkan pada anak-anak sesungguhnya tak ada aturan harus menjadi atheis untuk berjiwa sosialis.

Vive la Gauche !
Merdeka !

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ▼  2015 (42)
    • ▼  Desember (3)
      • #SAVEBONBIN #RENOVASIBUKANRELOKASI
      • Neo-Puputan Margarana dan [WASPADA] Borjuasi Lump...
      • SUPERBIA IN CULTURA
    • ►  Oktober (1)
      • NKRI (NEGARA KOPLO REPUBLIK INDONESIA) – Jilid 1
    • ►  September (8)
      • #JIB9 EDITING BEONG BERKEPALA NILA
      • #JIB8 MENTAL KORBAN
      • #JIB7 Balai Medis Ilmu Budaya
      • #JIB6 JADI !!!
      • #JIB5 Cooming Soon "Valise"
      • #JIB4 SEGERA ! CATATAN DARI KALIURANG
      • #JIB3 Jogja Japan Week
      • #JIB2 Belajar Bahasa Asing dan Bahasa Daerah
    • ►  Agustus (2)
      • JIB #1 JE L'ENTAME
      • Masuk PETA
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018