Poster oprec KKN selalu berisi tentang
pemandangan. Menjadi wajar jika kemudian imajinasi muda-mudi KKN dipenuhi oleh
gunung atau pantai. Ketika kami telah tiba di lokasi, tak pelak muncul segala
upaya untuk mewujudkan daya khayal ini: Mencerap sebanyak-banyaknya pemandangan
Obi.
Tak ada yang salah dengan orang
yang suka plesir. Plesir - sebagai upaya manusia untuk berpaling sejenak dari
rutinitasnya yang banal -, adalah bukan sekedar human act (tindakan manusiawi) tetapi juga humanis act (tindakan memanusiakan manusia). Plesir bukan pelarian, karena plesir selalu diiringi niatan
untuk kembali dan melanjutkan dunianya yang penuh tanggung jawab. Maka, di tengah
masa KKN yang mulai penuh dengan program inilah, muncul satu kehendak
untuk mencuri-curi waktu supaya diri ini bisa plesir.
Danan adalah teman pertama yang saya ajak untuk menjalankan rencana ini. Sebagai teman serumah, teman
sekamar, sekaligus teman seranjang (sayang kami tidak homo) tentu cukup ilmiah jika dia adalah orang
yang paling sering saya ajak diskusi. Ya, perihal apapun yang bisa kami lakukan
selama berada di bumi KKN. Dan beginilah pillowtalk singkat kami malam tadi:
“Nan, jarene Bang Al yo nan, ningkene ono tempat apik nan (Al, kata Bang Al disini ada tempat bagus lho)”,
“Obi ki wis apik kabeh (Obi sudah bagus semua)”,
“Yo ora. Iki anti mainstream, soale udu ning Anggai udu ning Sambiki.
Tur iki pantai pasir putih. (Bukan begitu. Ini beda karena bukan di Anggai bukan juga di Sambiki. Terus ini pantai pasir putih lho).”,
“Bajigur, ning Laiwui? (Di Laiwui?)”,
“Hudu... Ning Airmangga, kampung sebelah kae lho sing jarene mbien wis
tau konflik karo Anggai (Bukan. Di Airmangga, kampung sebelah yang kabarnya pernah konflik dengan Anggai”,
“Hooh po, adoh ora e? (Beneran? Jauh kah?)”,
“Jarene bang Al sih paling 20 menit nganggo motor. Piye? Nyilih motore
papa Haji ayo?(Kata Bang Al sih sekitar 20 menit pakai motor. Gimana? Kita pinjam motor Papa Haji) ”,
“Yo ayo, meh kapan? (Ayo, mau kapan?)”
“Sesok isuk lah, bar saur langsung cus mangkat ben biso ndelok sunrise.
Piye? (Besok pagi setelah sahur langsung berangkat. Supaya bisa lihat sunrise) ”
“Sip, meh ngajak sopo wae? (Sip, mau ajak siapa saja?)”
“Wis dewe sik wae. Anggap wae iki survey sik sadurunge bareng-bareng.
Tur lek ngajak liyane: siji kesuwen, loro ribet, telu akhire ora sido (Kita dulu saja. Anggap saja ini survey sebelum ajak yang lain. Lagian kalau kita ajak yang lain, pertama: lama, kedua: ribet, ketiga: akhirnya batal”,
“Mantap dah”,
Dan akhirnya Danan pun meminjam
motor beat putih biru milik Papa Haji. Motor yang hampir tidak ada remnya ini –
rem belakang kosong, rem depan tidak makan - akan jadi tunggangan kami menuju
Tanjung Airmangga, Desa Airmangga.
-------------------------------------------------------------------------
Kami terbangun pukul 5 kurang
seperempat. Beruntung kami tidak sedang berada di Jawa. Kalau di Jawa, kami
sudah harus menjalani puasa tanpa nasi sahur sesuappun. Masih ada 15 menit
untuk menyantap nasi ikang lodi – sejenis ikan pindang tapi kecil – yang sudah
disiapkan mama haji di atas meja makan.
Saya tak sempat membasuh muka.
Sesegera mungkin saya meneguk air putih 2 gelas lalu menyantap nasi ikang yang
sudah dingin ini. Sahur ini hanya ada saya dan Danan. Mama papa haji sepertinya
sudah melakukannya jam 3 tadi - usai ibadah marathon menonton serial India-Turki.
Waktu 15 menit sebelum Imsak
berlalu dengan hening. Ruang makan sangat sunyi jika saja tak
terdengar suara tang-ting dari tubrukan sendok-piring. Kami masih mengantuk
sehingga sama-sama malas bicara. Baru setelah kami selesai makan dan menyentuh
air kran untuk asah-asah, muncullah energi untuk mulai bersuara.
“Piye mas, sido ra? (Gimana mas, jadi nggak?)” tanya Danan,
“Pingin turu meneh sakjane. Mengko ono ngecat masjid barang karo cah
IPMA (Aku pingin tidur lagi sebenarnya. Nanti juga masih ada agenda ngecat masjid sama mahasiswa Anggai)”,
“Njuk piye? (Jadi?)” tanyanya lagi,
“Yo tetep mangkat. Lek aku ngomong mending turu soale kowe yo mesti
setuju,hehe... (Tetap berangkat. Kalau aku bilang mending tidur, kamu pasti setuju, hehe)”,
“Yo wis, tur mumpung ra udan (Ya sudahlah, mumpung tidak hujan juga)”,
Danan pun menuju ruang TV,
mencari kunci motor yang biasanya papa taruh di atas almari kayu panjang.
Sesuai dugaan, papa memang menaruhnya disitu.
Saya kembali masuk ke kamar,
menyiapkan beberapa peralatan yang perlu dibawa. Sweeter biru saya pakai,
kamera Nikon milik Gilang saya kalungkan, lalu handphone... Saya biarkan
tergeletak di atas kasur. Buat apa hape wingki-wingki di tempat kosong
signal.
Sesuai rencana yang telah disusun
dengan matang, kami sudah keluar rumah sebelum pukul setengah 6. Saya cukup tercengang. Pukul setengah 6 disini ternyata mirip pukul 5 di Jawa. Langit masih
gelap, binar bulan masih terang. Namun, gairah untuk tak melewatkan momentum
matahari terbit membuat kami sepakat untuk tak menunda lagi pemberangkatan.
Motor beat biru putih pun saya starter. “Ngeeengg...” Ia masih bisa dihidupkan dengan starter tangan. Alhamdulillah...
Semenjak
berada di Anggai, saya menemukan bahwa 90 persen motor disini sudah tidak lagi dalam kondisi normal – kalau tidak mau disebut bodol. Setidaknya, ada 2 spek yang
mencirikan spesifikasi motor à la Anggai: pertama, ia harus diselah. Kedua: ia
hanya punya satu rem. Beruntung motor papa haji hanya punya spesifikasi yang
kedua.
Saya dan Danan pun memulai
perjalanan menuju Airmangga. Saya berada di depan, sedang Danan membonceng. Anggai masih sangat sepi. Belum
ada hiruk pikuk sama sekali. Tak ada orang berolahraga, tak ada orang menyapu
teras, tak ada orang membawa parang - menuju kebun. Yang ada hanya puluhan ekor
kambing yang masih tidur di teras-teras rumah. Ah, tidak. Sial. Ternyata
kambing-kambing ini juga tidur di tengah jalan. “Tin...tin...” saya
memencet klakson berkali-kali supaya kambing-kambing ini menepi. “Tin...tin...tin”, jadah ! mereka terbangun tapi diam saja. Haduh...haduh... “Tin...tin...tin.......”, dengan terpaksa saya menekan
rem depan. Jancuuuk......
Motor kami ngepot dan akhirnya kami tergelincir. Kambing-kambing itu bengong melihat kami tertindih motor papa haji.
Motor kami ngepot dan akhirnya kami tergelincir. Kambing-kambing itu bengong melihat kami tertindih motor papa haji.
“Asuuu... turu do sepenake dewe,
diklakson ra gelem minggir. Bejo ki alon nan. Piye kowe rapopo? (Ini anjing tidur semaunya sendiri. Diklakson diam saja. Untung kita pelan nan. Kamu baik-baik saja?)”, tanya saya pada
Danan sambil mengangkat motor yang terkapar.
“Wedhus taek, aku rapopo mas. Lah
kowe piye? (Kambing bodoh. Aku baik-baik saja mas. Nah situ?)”, jawab Danan sambil mengibaskan debu jalan yang menempel di kaos
merah “Jogja Atletik”-nya.
“Rapopo nan. Jempole tok lecet sithik.
Bejo ra ono wong weruh... Wedhus goblook..wedhus goblok !! (Aman nan, cuma jempolnya lecet sedikit. Untung nggak ada orang lihat. Kambing bodoh !!) ”, dan sejurus kemudian saya geli sendiri mengingat kambing-kambing tadi. Mereka dengan lugunya hanya diam menatap saat kami hampir terjungkal.
Apa yang sudah diniatkan, harus
tetap dilanjutkan. Unstoppable ! Kami pun sepakat melanjutkan perjalanan. Motor kami masih baik-baik saja. Setelah 3 menit
beristirahat dan tuntas menertawakan kesialan, kami lanjut naik motor
menuju Desa Sebelah.
Belum 10 menit kami berjalan,
tiba-tiba motor yang kami tunggangi mati sendiri. “Brrmmmm...rmmm...rmm..jedd..”.
Suasana sunyi senyap. Langit
masih gelap. Kami terhenti di jembatan perbatasan Anggai-Airmangga yang jauh
dari pemukiman. Sialnya, jembatan ini kondang dengan mitologi paling
horor yang ada di Anggai: Hantu Nenek Cuci Usus.
Kami terdiam. Danan berbisik ke
telinga saya, “Taek”.
Hantu Nenek Cuci Usus adalah
hantu yang sering menampakkan dirinya di sungai yang tepat berada di bawah
jembatan kayu perbatasan Anggai-Airmangga. Konon, nenek berambut putih ini
sering terlihat sedang membasuh usus yang ia keluarkan dari perutnya sendiri.
Nenek ini tak segan menolehkan wajahnya ke warga yang sedang lewat. Sesekali ia
menundukkan kepalanya seperti orang jawa memberi hormat. Sesekali ia juga
tertawa memperlihatkan giginya yang hitam. Konon, nenek ini masih sering
menampakkan dirinya karena dendam pada orang-orang yang dulu meracuninya. 16
tahun lalu, saat konflik horisontal antara pemeluk Agama Islam dan Protestan terjadi
di Anggai – yang membuat Desa Anggai pecah menjadi Anggai-Airmangga, nenek ini diracun oleh puluhan warga karena terkenal
dengan ilmu sihirnya. Sampai hari ini, warga Anggai masih percaya bahwa nenek
ini masih hidup. Ia tinggal di Airmangga, berbaur bersama warga
– dengan wujud manusia biasa. Ketika membicarakan nenek ini, kaki kita dilarang
menyentuh tanah atau nenek itu bisa mendengar pembicaraan kita. (Saya juga menulis ini
sambil duduk jegang).
“Nan..nan, asu nan. Motore ra iso
distater (Nan, nan, motornya nggak bisa distarter nan)”, kata saya pada Danan sambil memencet starter tangan berkali-kali. Ih,
siapa yang bisa tenang di tengah jalan sepi, gelap, dan jauh dari
pemukiman ini? Saya mengamati situasi di kanan kiri. Beruntung yang terlihat hanya rimbun pepohonan yang melambai.
“Jal diselah jal mas ! (Coba diselah mas !)”,
“Hooh hooh sek ! (Iya, iya sebentar !)”,
Puji Tuhan Gusti Allah, setelah mencoba nyelah beberapa kali, akhirnya motor pun bisa hidup
kembali. Danan segera naik ke boncengan. Saya segera tancap gas. Berupaya segera menjauh dari tempat dedemit ini. Beruntung...kami tidak berjumpa dengan nenek.
Haha..
Apa yang ingin kami capai,
sepertinya akan segera terwujud. Kami telah sampai di bibir pemukiman Desa
Airmangga. Airmangga terlihat bersih dan rapi. Tak ada sampah di kanan kiri
jalan. Tak ada sampah mengambang di selokan. Semua rumah terlihat asri dengan
bunga-bungaan yang ditanam di pekarangan. Selain terlihat lebih bersih dari
Anggai dan Sambiki, ada satu hal lagi yang menjadi pembeda dari desa ini:
Anjing ! Ya, jika jalanan Anggai-Sambiki dipenuhi oleh kambing, maka jalanan
Airmangga dipenuhi oleh anjing. Mafhum, sebab 100 persen masyarakat disini adalah
pemeluk agama Protestan.
Desa Airmangga |
Asu kabeh ! |
Kami pun berjalan lurus terus kedepan. Kurang 1 kilometer dari bibir pemukiman, sudah ada pertigaan yang salah
satu cabangnya menuju Tanjung Airmangga. Karena ini kunjungan pertama kami,
kami pun tak tau arah mana yang benar. Kami memutuskan untuk bertanya pada warga. Beruntung, kami bertemu
dengan beberapa anak kecil yang entah kenapa sudah bangun sepagi ini. Mereka
menunjukkan bahwa kami musti belok kiri menuju jalan setapak dan berlanjut lurus sekitar 500
meter. Yeah, akhirnya sebentar lagi kami sampai.
Tapi, belum 500 meter motor
melaju, motor tiba-tiba mati kembali. Sial, motor ini mati dengan tersendat-sendat, yang artinya besar kemungkinan motor ini kehabisan bensin. Kami coba starter tangan, kami selah berkali-kali, tetap saja motor mati. Sampai kami memutuskan untuk mendorongnya saja sampai Tanjung Airmangga.
Tibalah kami di Tanjung Airmangga
! Tanjung yang masyhur akan kelembutan pasir putihnya dan biasa dikunjungi
masyarakat Anggai untuk bersuka cita. Tanjung ini terletak di ujung timur desa
Airmangga. Ujung, benar-benar ujung. Sehingga, tak ada lagi jalan yang terlihat
di depan kami. Hanya tebing besar yang memisahkan daratan Airmangga dengan daratan
di ujung lainnya.
Namun, setelah kami sampai dan
sejenak mencoba mengatur kembali ritme nafas yang kelelahan, kami pun menyadari
satu hal,
“Eh, nan... nan... Kok ora ono
pasir putihe yo? Jarene Bang Al pasire putih ki? (Eh nan, kok nggak ada pasir putihnya ya? Kata Bang Al ada pasir putihnya tuh)”,
“Hooh yo. Opo pasire nangisor watu-watu iki yo? (Iya juga. Atau tertutup oleh batu-batu ini?)” jawab Danan sambil menunjuk batu-batu krikil yang sedang
kami injak.
“Yo biso wae sih. Iki mah udu
pantai pasir putih iki. Pantai berkrikil lek iki...(Bisa jadi. Ini sih bukan pantai pasir putih, ini pantai berkrikil)”, dan saya mencoba
mengambil beberapa krikil berharap menemukan pasir putih di bawahnya.
“Heh, ra ono pasire i? (Lho, nggak ada pasirnya kok?)”, tanya
saya lagi.
“Wis rapopo mas. Sing penting wis
tekan. Apik kok pemandangane. Najan sunrise e ra orange, tapi suasane asik.
Banyune tenang (Sudah nggak apa-apa mas. Yang penting bisa sampai. Bagus kok pemandangannya meskipun sunrise nya tidak kelihatan orange. Tapi suasana asyik, airnya tenang)”, ujar Danan.
Dan memang, meskipun
kami tak mendapat pemandangan seperti yang kami harapkan, namun tetap saja perlu diakui bahwa Tanjung Airmangga punya pemandangan yang enak ditatap. Terlebih saat
matahari mulai naik dan air laut mulai tampak warna birunya. Pemandangan di
tanjung ini tampak menyegarkan.
Belum 10 menit kami berada disini
dan mengambil beberapa foto sebagai bukti laporan kunjungan – pada teman,
Danan sudah menyambung lagi pembicaraannya:
Pemandangan saat kami sampai. Ini sudah jam 6 lewat 10. |
Begini Tanjung Airmangga saat sudah terang. |
“Aku kok ra tenang yo najan
pemandanganne apik. Iki lho motore (Aku kok nggak tenang ya meskipun pemandangannya bagus. Ini lho motornya)”, keluhnya.
“Hooh i, aku yo njuk rabiso
menikmati iki. Tur jam 8 motore meh dinggo Papa Haji lo nan.... (Iya ya, aku juga nggak bisa menikmati pemandangannya. Motornya mau dipakai papa haji lho jam 8)”,
“Wah hooh yo. Piye? Bali sek wae
po? (Wah iya ya. Jadi, gimana? Kita pulang saja?)”,
“Yo ayo... (Mari...)”,
“Ndorong? (Kita dorong?)”,
“Yo piye meneh? (Mau gimana lagi?)”,
“Haa...haa... asuuuu....”,
Akhirnya setelah bersama menyerapah pagi yang jahat, kami sepakat untuk langsung pulang. Kali ini giliran Danan yang berada di depan: Memegang setang bukan menarik gas. Sedang saya di belakang: Mendorong motor bukan membonceng.
Kemudian belum 10 menit kami
mendorong, kami harus terhenti lagi-lagi dengan terpaksa. Kali ini bukan
karena kambing, bukan pula karena bensin.
Anjing !!! Kami dihadang 5 anjing yang tiba-tiba saling menyalak. 300 meter sebelum pemukiman warga. Di tepi tebing-tebing kapur yang ada di jalan setapak.
Anjing !!! Kami dihadang 5 anjing yang tiba-tiba saling menyalak. 300 meter sebelum pemukiman warga. Di tepi tebing-tebing kapur yang ada di jalan setapak.
“Asuuu...”,
Entah bagaimana, anjing-anjing
pekebun yang coklat hitam itu menggonggong berkali-kali dan makin mendekat pada
kami. Saya dan Danan yang mungkin sama-sama belum pernah menyentuh anjing
seumur hidup pun langsung gelagapan, tersara bara oleh rasa panik yang tak
terhindarkan.
“Nan..nan, santai ojo melayu
nan...”, bujuk saya. Padahal saya juga ingin lari.
“Wwuk !!!”, dan mereka kembali
menyalak. Bukan "Guk" tapi "Wwuk !!!",
Sejenak 3 anjing lagi menyusul
di belakangnya. Kali ini sepertinya anjing rumahan. 2 di antaranya berbulu
putih dan menggemaskan.
Ada 8 anjing saudara-saudara ! Dan kami masih harus berjalan
sekitar 300 meter untuk sampai di pemukiman warga.
Mereka semakin mendekat.
Pelan-pelan akhirnya mereka tinggal 5 meter di depan kami. Saya mencoba mengambil batu,
sambil ndredeg. Saya membayangkan mereka akan berlari, meloncat menerjang. Mereka menggonggong, mencabik-cabik sambil mencakar,
sedang saya hanya bisa pasrah berteriak minta tolong sambil melindungi diri dengan dua
tangan.
“HAYO ! WA !”, Danan yang berada
di depan tiba-tiba mencoba menggertak mereka dengan menghentakkan kakinya ke tanah dan
membungkukkan sedikit kepalanya.
Anjing-anjing itu sejenak terlihat ragu. Danan mengulangi gertakannya. "WAA !!" Mereka mundur selangkah lagi setiap kali Danan mengulangi gertakannya.
Melihat gelagat ini, saya mulai meniru apa yang Danan lakukan. Hanya saja
sambil menggenggam batu.
“HAYO ! HA !” tiru saya
menghentakkan kaki ke tanah sambil mengacungkan kepel yang berisi batu sebesar apel. Anjing-anjing itu mundur. Menjauh
dari kami.
“Yes..yes..yes.. asune wedi...”,
ujar Danan sambil nyengir.
“GRRRR !” gertak saya sambil
memasang wajah seganas-ganasnya, segarang-garangnya. Seperti Legolas menggertak
para Orc, seperti Bratasena menghadapi
Kurawa, seperti Wong Fei Hung di depan cecunguk genk laut utara. Anjing-anjing itu lalu mundur dan berlari. Dalam hati, mulut ini rasanya ingin berteriak: “WACHAAAAAA !!!”
------------------------------------------------------------------------------
Erix Soekamti dalam salah satu
tayangan vlognya pernah berkata “Coba-coba saja, siapa tahu penemuan”. Hari ini sepertinya Danan berhasil membuktikan apa yang sudah Erix sampaikan. Dalam situasi
terpojok, tanpa daya tanpa senjata, ia mencoba melawan dengan mengeluarkan gertakan. The Power of Kepepet. Tak disangka tak dinyana, ia justru berhasil menemukan fakta: Manusia lebih menyeramkan daripada anjing
Kami akhirnya mendorong motor
Papa Haji sampai di Anggai. Sebelumnya, kami telah mencoba mencari penjual
bensin di Desa Airmangga. Ada, memang. Ada dua. Tapi stok habis semua. Dengan
terpaksa, kami pun mengerahkan segala tenaga. Memeras peluh keringat, untuk 1 jam
mendorong yang penuh hina.
Tulisan ini panjang dan
melelahkan. Tapi percayalah, perjalanan kami jauh lebih melelahkan. Sesampainya di rumah, kami langsung tertidur. Kami baru terjaga lagi pukul 10 dan segera bangkit menuju Masjid Anggai yang
sedang dicat oleh anak-anak IPMA (Ikatan Pelajar Mahasiswa Anggai). Di Masjid,
kami bertemu Bang Al Khadrin yang sudah mulai mengecat sejak jam 9 pagi tadi.
“Eh, telat Mas Bagus?”, tanya
Bang Al.
“Iyo bang. Maaf, ketiduran
gara-gara capek”,
“Capek baru apa kah?”,
“Tadi itu, saya dan Danang jadi
pergi ke Airmangga. Tapi sampai disana bensin motor habis. Tarada yang jual
bensin. Kosong ! Jadi torang harus dorong motor itu dari Airmangga sampai rumah
lagi”,
“Astaga... jalang?”
“Iyo.. jalang sambil dorong satu
jam”,
“Hahahaa.. mantap. Bagaimana,
Tanjung Airmangga, bagus tarada?”
“Bagus e. Tapi mana, tarada pasir
putih abang?”, tanya saya meyakinkan bahwa Bang Al bafoya (berbohong).
“Ada... tapi harus jalang ke
balik tebing dulu”,
“Iyakah?? Iii.. tadi kami cuma sampai
di depan tebing”,
“Berarti itu cuma sampai tempat parkir......”, tutup Bang Al.
29 Juni 2016
Di balik tebing ini lah ternyata Tanjung Air Mangga yang sesungguhnya. Ini cuma parkiran ! |
Sosok Danan |