bagus panuntun

berubah!

Poster oprec KKN selalu berisi tentang pemandangan. Menjadi wajar jika kemudian imajinasi muda-mudi KKN dipenuhi oleh gunung atau pantai. Ketika kami telah tiba di lokasi, tak pelak muncul segala upaya untuk mewujudkan daya khayal ini: Mencerap sebanyak-banyaknya pemandangan Obi.

Tak ada yang salah dengan orang yang suka plesir. Plesir - sebagai upaya manusia untuk berpaling sejenak dari rutinitasnya yang banal -, adalah bukan sekedar human act (tindakan manusiawi) tetapi juga humanis act (tindakan memanusiakan manusia). Plesir bukan pelarian, karena plesir selalu diiringi niatan untuk kembali dan melanjutkan dunianya yang penuh tanggung jawab. Maka, di tengah masa KKN yang mulai penuh dengan program inilah, muncul satu kehendak untuk mencuri-curi waktu supaya diri ini bisa plesir.

Danan adalah teman pertama yang saya ajak untuk menjalankan rencana ini. Sebagai teman serumah, teman sekamar, sekaligus teman seranjang (sayang kami tidak homo) tentu cukup ilmiah jika dia adalah orang yang paling sering saya ajak diskusi. Ya, perihal apapun yang bisa kami lakukan selama berada di bumi KKN. Dan beginilah pillowtalk singkat kami malam tadi:

“Nan, jarene Bang Al yo nan, ningkene ono tempat apik nan (Al, kata Bang Al disini ada tempat bagus lho)”,

“Obi ki wis apik kabeh (Obi sudah bagus semua)”,

“Yo ora. Iki anti mainstream, soale udu ning Anggai udu ning Sambiki. Tur iki pantai pasir putih. (Bukan begitu. Ini beda karena bukan di Anggai bukan juga di Sambiki. Terus ini pantai pasir putih lho).”,

“Bajigur, ning Laiwui? (Di Laiwui?)”,

“Hudu... Ning Airmangga, kampung sebelah kae lho sing jarene mbien wis tau konflik karo Anggai (Bukan. Di Airmangga, kampung sebelah yang kabarnya pernah konflik dengan Anggai”,

“Hooh po, adoh ora e? (Beneran? Jauh kah?)”,

“Jarene bang Al sih paling 20 menit nganggo motor. Piye? Nyilih motore papa Haji ayo?(Kata Bang Al sih sekitar 20 menit pakai motor. Gimana? Kita pinjam motor Papa Haji) ”,

“Yo ayo, meh kapan? (Ayo, mau kapan?)”

“Sesok isuk lah, bar saur langsung cus mangkat ben biso ndelok sunrise. Piye? (Besok pagi setelah sahur langsung berangkat. Supaya bisa lihat sunrise) ”

“Sip, meh ngajak sopo wae? (Sip, mau ajak siapa saja?)”

“Wis dewe sik wae. Anggap wae iki survey sik sadurunge bareng-bareng. Tur lek ngajak liyane: siji kesuwen, loro ribet, telu akhire ora sido (Kita dulu saja. Anggap saja ini survey sebelum ajak yang lain. Lagian kalau kita ajak yang lain, pertama: lama, kedua: ribet, ketiga: akhirnya batal”,

“Mantap dah”,

Dan akhirnya Danan pun meminjam motor beat putih biru milik Papa Haji. Motor yang hampir tidak ada remnya ini – rem belakang kosong, rem depan tidak makan - akan jadi tunggangan kami menuju Tanjung Airmangga, Desa Airmangga.

-------------------------------------------------------------------------

Kami terbangun pukul 5 kurang seperempat. Beruntung kami tidak sedang berada di Jawa. Kalau di Jawa, kami sudah harus menjalani puasa tanpa nasi sahur sesuappun. Masih ada 15 menit untuk menyantap nasi ikang lodi – sejenis ikan pindang tapi kecil – yang sudah disiapkan mama haji di atas meja makan.

Saya tak sempat membasuh muka. Sesegera mungkin saya meneguk air putih 2 gelas lalu menyantap nasi ikang yang sudah dingin ini. Sahur ini hanya ada saya dan Danan. Mama papa haji sepertinya sudah melakukannya jam 3 tadi - usai ibadah marathon menonton serial India-Turki.

Waktu 15 menit sebelum Imsak berlalu dengan hening. Ruang makan sangat sunyi jika saja tak terdengar suara tang-ting dari tubrukan sendok-piring. Kami masih mengantuk sehingga sama-sama malas bicara. Baru setelah kami selesai makan dan menyentuh air kran untuk asah-asah, muncullah energi untuk mulai bersuara.

“Piye mas, sido ra? (Gimana mas, jadi nggak?)” tanya Danan,

“Pingin turu meneh sakjane. Mengko ono ngecat masjid barang karo cah IPMA (Aku pingin tidur lagi sebenarnya. Nanti juga masih ada agenda ngecat masjid sama mahasiswa Anggai)”,

“Njuk piye? (Jadi?)” tanyanya lagi,

“Yo tetep mangkat. Lek aku ngomong mending turu soale kowe yo mesti setuju,hehe... (Tetap berangkat. Kalau aku bilang mending tidur, kamu pasti setuju, hehe)”,

“Yo wis, tur mumpung ra udan (Ya sudahlah, mumpung tidak hujan juga)”,

Danan pun menuju ruang TV, mencari kunci motor yang biasanya papa taruh di atas almari kayu panjang. Sesuai dugaan, papa memang menaruhnya disitu.

Saya kembali masuk ke kamar, menyiapkan beberapa peralatan yang perlu dibawa. Sweeter biru saya pakai, kamera Nikon milik Gilang saya kalungkan, lalu handphone... Saya biarkan tergeletak di atas kasur. Buat apa hape wingki-wingki di tempat kosong signal.

Sesuai rencana yang telah disusun dengan matang, kami sudah keluar rumah sebelum pukul setengah 6. Saya cukup tercengang. Pukul setengah 6 disini ternyata mirip pukul 5 di Jawa. Langit masih gelap, binar bulan masih terang. Namun, gairah untuk tak melewatkan momentum matahari terbit membuat kami sepakat untuk tak menunda lagi pemberangkatan.

Motor beat biru putih pun saya starter. “Ngeeengg...” Ia masih bisa dihidupkan dengan starter tangan. Alhamdulillah...

Semenjak berada di Anggai, saya menemukan bahwa 90 persen motor disini sudah tidak lagi dalam kondisi normal – kalau tidak mau disebut bodol. Setidaknya, ada 2 spek yang mencirikan spesifikasi motor à la Anggai: pertama, ia harus diselah. Kedua: ia hanya punya satu rem. Beruntung motor papa haji hanya punya spesifikasi yang kedua.

Saya dan Danan pun memulai perjalanan menuju Airmangga. Saya berada di depan, sedang Danan membonceng. Anggai masih sangat sepi. Belum ada hiruk pikuk sama sekali. Tak ada orang berolahraga, tak ada orang menyapu teras, tak ada orang membawa parang - menuju kebun. Yang ada hanya puluhan ekor kambing yang masih tidur di teras-teras rumah. Ah, tidak. Sial. Ternyata kambing-kambing ini juga tidur di tengah jalan. “Tin...tin...” saya memencet klakson berkali-kali supaya kambing-kambing ini menepi. “Tin...tin...tin”, jadah ! mereka terbangun tapi diam saja. Haduh...haduh... “Tin...tin...tin.......”, dengan terpaksa saya menekan rem depan. Jancuuuk......

Motor kami ngepot dan akhirnya kami tergelincir. Kambing-kambing itu bengong melihat kami tertindih motor papa haji.

“Asuuu... turu do sepenake dewe, diklakson ra gelem minggir. Bejo ki alon nan. Piye kowe rapopo? (Ini anjing tidur semaunya sendiri. Diklakson diam saja. Untung kita pelan nan. Kamu baik-baik saja?)”, tanya saya pada Danan sambil mengangkat motor yang terkapar.

“Wedhus taek, aku rapopo mas. Lah kowe piye? (Kambing bodoh. Aku baik-baik saja mas. Nah situ?)”, jawab Danan sambil mengibaskan debu jalan yang menempel di kaos merah “Jogja Atletik”-nya.

“Rapopo nan. Jempole tok lecet sithik. Bejo ra ono wong weruh... Wedhus goblook..wedhus goblok !! (Aman nan, cuma jempolnya lecet sedikit. Untung nggak ada orang lihat. Kambing bodoh !!) ”, dan sejurus kemudian saya geli sendiri mengingat kambing-kambing tadi. Mereka dengan lugunya hanya diam menatap saat kami hampir terjungkal.

Apa yang sudah diniatkan, harus tetap dilanjutkan. Unstoppable ! Kami pun sepakat melanjutkan perjalanan. Motor kami masih baik-baik saja. Setelah 3 menit beristirahat dan tuntas menertawakan kesialan, kami lanjut naik motor menuju Desa Sebelah.

Belum 10 menit kami berjalan, tiba-tiba motor yang kami tunggangi mati sendiri. “Brrmmmm...rmmm...rmm..jedd..”.

Suasana sunyi senyap. Langit masih gelap. Kami terhenti di jembatan perbatasan Anggai-Airmangga yang jauh dari pemukiman. Sialnya, jembatan ini kondang dengan mitologi paling horor yang ada di Anggai: Hantu Nenek Cuci Usus.

Kami terdiam. Danan berbisik ke telinga saya, “Taek”.

Hantu Nenek Cuci Usus adalah hantu yang sering menampakkan dirinya di sungai yang tepat berada di bawah jembatan kayu perbatasan Anggai-Airmangga. Konon, nenek berambut putih ini sering terlihat sedang membasuh usus yang ia keluarkan dari perutnya sendiri. Nenek ini tak segan menolehkan wajahnya ke warga yang sedang lewat. Sesekali ia menundukkan kepalanya seperti orang jawa memberi hormat. Sesekali ia juga tertawa memperlihatkan giginya yang hitam. Konon, nenek ini masih sering menampakkan dirinya karena dendam pada orang-orang yang dulu meracuninya. 16 tahun lalu, saat konflik horisontal antara pemeluk Agama Islam dan Protestan terjadi di Anggai – yang membuat Desa Anggai pecah menjadi Anggai-Airmangga,  nenek ini diracun oleh puluhan warga karena terkenal dengan ilmu sihirnya. Sampai hari ini, warga Anggai masih percaya bahwa nenek ini masih hidup. Ia tinggal di Airmangga, berbaur bersama warga – dengan wujud manusia biasa. Ketika membicarakan nenek ini, kaki kita dilarang menyentuh tanah atau nenek itu bisa mendengar pembicaraan kita. (Saya juga menulis ini sambil duduk jegang).

“Nan..nan, asu nan. Motore ra iso distater (Nan, nan, motornya nggak bisa distarter nan)”, kata saya pada Danan sambil memencet starter tangan berkali-kali. Ih, siapa yang bisa tenang di tengah jalan sepi, gelap, dan jauh dari pemukiman ini? Saya mengamati situasi di kanan kiri. Beruntung yang terlihat hanya rimbun pepohonan yang melambai.

“Jal diselah jal mas ! (Coba diselah mas !)”,

“Hooh hooh sek ! (Iya, iya sebentar !)”,

Puji Tuhan Gusti Allah, setelah mencoba nyelah beberapa kali, akhirnya motor pun bisa hidup kembali. Danan segera naik ke boncengan. Saya segera tancap gas. Berupaya segera menjauh dari tempat dedemit ini. Beruntung...kami tidak berjumpa dengan nenek. Haha..

Apa yang ingin kami capai, sepertinya akan segera terwujud. Kami telah sampai di bibir pemukiman Desa Airmangga. Airmangga terlihat bersih dan rapi. Tak ada sampah di kanan kiri jalan. Tak ada sampah mengambang di selokan. Semua rumah terlihat asri dengan bunga-bungaan yang ditanam di pekarangan. Selain terlihat lebih bersih dari Anggai dan Sambiki, ada satu hal lagi yang menjadi pembeda dari desa ini: Anjing ! Ya, jika jalanan Anggai-Sambiki dipenuhi oleh kambing, maka jalanan Airmangga dipenuhi oleh anjing. Mafhum, sebab 100 persen masyarakat disini adalah pemeluk agama Protestan.

Desa Airmangga


Asu kabeh !

Kami pun berjalan lurus terus kedepan. Kurang 1 kilometer dari bibir pemukiman, sudah ada pertigaan yang salah satu cabangnya menuju Tanjung Airmangga. Karena ini kunjungan pertama kami, kami pun tak tau arah mana yang benar. Kami memutuskan untuk bertanya pada warga. Beruntung, kami bertemu dengan beberapa anak kecil yang entah kenapa sudah bangun sepagi ini. Mereka menunjukkan bahwa kami musti belok kiri menuju jalan setapak dan berlanjut lurus sekitar 500 meter. Yeah, akhirnya sebentar lagi kami sampai.

Tapi, belum 500 meter motor melaju, motor tiba-tiba mati kembali. Sial, motor ini mati dengan tersendat-sendat, yang artinya besar kemungkinan motor ini kehabisan bensin. Kami coba starter tangan, kami selah berkali-kali, tetap saja motor mati. Sampai kami memutuskan untuk mendorongnya saja sampai Tanjung Airmangga.

Tibalah kami di Tanjung Airmangga ! Tanjung yang masyhur akan kelembutan pasir putihnya dan biasa dikunjungi masyarakat Anggai untuk bersuka cita. Tanjung ini terletak di ujung timur desa Airmangga. Ujung, benar-benar ujung. Sehingga, tak ada lagi jalan yang terlihat di depan kami. Hanya tebing besar yang memisahkan daratan Airmangga dengan daratan di ujung lainnya.

Namun, setelah kami sampai dan sejenak mencoba mengatur kembali ritme nafas yang kelelahan, kami pun menyadari satu hal,

“Eh, nan... nan... Kok ora ono pasir putihe yo? Jarene Bang Al pasire putih ki? (Eh nan, kok nggak ada pasir putihnya ya? Kata Bang Al ada pasir putihnya tuh)”,

“Hooh yo. Opo pasire nangisor watu-watu iki yo? (Iya juga. Atau tertutup oleh batu-batu ini?)” jawab Danan sambil menunjuk batu-batu krikil yang sedang kami injak.

“Yo biso wae sih. Iki mah udu pantai pasir putih iki. Pantai berkrikil lek iki...(Bisa jadi. Ini sih bukan pantai pasir putih, ini pantai berkrikil)”, dan saya mencoba mengambil beberapa krikil berharap menemukan pasir putih di bawahnya.

“Heh, ra ono pasire i? (Lho, nggak ada pasirnya kok?)”, tanya saya lagi.

“Wis rapopo mas. Sing penting wis tekan. Apik kok pemandangane. Najan sunrise e ra orange, tapi suasane asik. Banyune tenang (Sudah nggak apa-apa mas. Yang penting bisa sampai. Bagus kok pemandangannya meskipun sunrise nya tidak kelihatan orange. Tapi suasana asyik, airnya tenang)”, ujar Danan.

Dan memang, meskipun kami tak mendapat pemandangan seperti yang kami harapkan, namun tetap saja perlu diakui bahwa Tanjung Airmangga punya pemandangan yang enak ditatap. Terlebih saat matahari mulai naik dan air laut mulai tampak warna birunya. Pemandangan di tanjung ini tampak menyegarkan.

Belum 10 menit kami berada disini dan mengambil beberapa foto sebagai bukti laporan kunjungan – pada teman, Danan sudah menyambung lagi pembicaraannya:


Pemandangan saat kami sampai. Ini sudah jam 6 lewat 10.



Begini Tanjung Airmangga saat sudah terang.

“Aku kok ra tenang yo najan pemandanganne apik. Iki lho motore (Aku kok nggak tenang ya meskipun pemandangannya bagus. Ini lho motornya)”, keluhnya.

“Hooh i, aku yo njuk rabiso menikmati iki. Tur jam 8 motore meh dinggo Papa Haji lo nan.... (Iya ya, aku juga nggak bisa menikmati pemandangannya. Motornya mau dipakai papa haji lho jam 8)”,

“Wah hooh yo. Piye? Bali sek wae po? (Wah iya ya. Jadi, gimana? Kita pulang saja?)”,

“Yo ayo... (Mari...)”,        

“Ndorong? (Kita dorong?)”,

“Yo piye meneh? (Mau gimana lagi?)”,

“Haa...haa... asuuuu....”,

Akhirnya setelah bersama menyerapah pagi yang jahat, kami sepakat untuk langsung pulang. Kali ini giliran Danan yang berada di depan: Memegang setang bukan menarik gas. Sedang saya di belakang: Mendorong motor bukan membonceng.

Kemudian belum 10 menit kami mendorong, kami harus terhenti lagi-lagi dengan terpaksa. Kali ini bukan karena kambing, bukan pula karena bensin.

Anjing !!! Kami dihadang 5 anjing yang tiba-tiba saling menyalak. 300 meter sebelum pemukiman warga. Di tepi tebing-tebing kapur yang ada di jalan setapak.

“Asuuu...”,

Entah bagaimana, anjing-anjing pekebun yang coklat hitam itu menggonggong berkali-kali dan makin mendekat pada kami. Saya dan Danan yang mungkin sama-sama belum pernah menyentuh anjing seumur hidup pun langsung gelagapan, tersara bara oleh rasa panik yang tak terhindarkan.

“Nan..nan, santai ojo melayu nan...”, bujuk saya. Padahal saya juga ingin lari.

“Wwuk !!!”, dan mereka kembali menyalak. Bukan "Guk" tapi "Wwuk !!!",

Sejenak 3 anjing lagi menyusul di belakangnya. Kali ini sepertinya anjing rumahan. 2 di antaranya berbulu putih dan menggemaskan.

Ada 8 anjing saudara-saudara ! Dan kami masih harus berjalan sekitar 300 meter untuk sampai di pemukiman warga.

Mereka semakin mendekat. Pelan-pelan akhirnya mereka tinggal 5 meter di depan kami. Saya mencoba mengambil batu, sambil ndredeg. Saya membayangkan mereka akan berlari, meloncat menerjang. Mereka menggonggong, mencabik-cabik sambil mencakar, sedang saya hanya bisa pasrah berteriak minta tolong sambil melindungi diri dengan dua tangan.

“HAYO ! WA !”, Danan yang berada di depan tiba-tiba mencoba menggertak mereka dengan menghentakkan kakinya ke tanah dan membungkukkan sedikit kepalanya.

Anjing-anjing itu sejenak terlihat ragu. Danan mengulangi gertakannya. "WAA !!" Mereka mundur selangkah lagi setiap kali Danan mengulangi gertakannya. Melihat gelagat ini, saya mulai meniru apa yang Danan lakukan. Hanya saja sambil menggenggam batu.

“HAYO ! HA !” tiru saya menghentakkan kaki ke tanah sambil mengacungkan kepel yang berisi batu sebesar apel. Anjing-anjing itu mundur. Menjauh dari kami.

“Yes..yes..yes.. asune wedi...”, ujar Danan sambil nyengir.

“GRRRR !” gertak saya sambil memasang wajah seganas-ganasnya, segarang-garangnya. Seperti Legolas menggertak para Orc, seperti Bratasena  menghadapi Kurawa, seperti Wong Fei Hung di depan cecunguk genk laut utara. Anjing-anjing itu lalu mundur dan berlari. Dalam hati, mulut ini rasanya ingin berteriak: “WACHAAAAAA !!!”

------------------------------------------------------------------------------

Erix Soekamti dalam salah satu tayangan vlognya pernah berkata “Coba-coba saja, siapa tahu penemuan”. Hari ini sepertinya Danan berhasil membuktikan apa yang sudah Erix sampaikan. Dalam situasi terpojok, tanpa daya tanpa senjata, ia mencoba melawan dengan mengeluarkan gertakan. The Power of Kepepet. Tak disangka tak dinyana, ia justru berhasil menemukan fakta: Manusia lebih menyeramkan daripada anjing

Kami akhirnya mendorong motor Papa Haji sampai di Anggai. Sebelumnya, kami telah mencoba mencari penjual bensin di Desa Airmangga. Ada, memang. Ada dua. Tapi stok habis semua. Dengan terpaksa, kami pun mengerahkan segala tenaga. Memeras peluh keringat, untuk 1 jam mendorong yang penuh hina.

Tulisan ini panjang dan melelahkan. Tapi percayalah, perjalanan kami jauh lebih melelahkan. Sesampainya di rumah, kami langsung tertidur. Kami baru terjaga lagi pukul 10 dan segera bangkit menuju Masjid Anggai yang sedang dicat oleh anak-anak IPMA (Ikatan Pelajar Mahasiswa Anggai). Di Masjid, kami bertemu Bang Al Khadrin yang sudah mulai mengecat sejak jam 9 pagi tadi.

“Eh, telat Mas Bagus?”, tanya Bang Al.

“Iyo bang. Maaf, ketiduran gara-gara capek”,

“Capek baru apa kah?”,

“Tadi itu, saya dan Danang jadi pergi ke Airmangga. Tapi sampai disana bensin motor habis. Tarada yang jual bensin. Kosong ! Jadi torang harus dorong motor itu dari Airmangga sampai rumah lagi”,

“Astaga... jalang?”

“Iyo.. jalang sambil dorong satu jam”,

“Hahahaa.. mantap. Bagaimana, Tanjung Airmangga, bagus tarada?”

“Bagus e. Tapi mana, tarada pasir putih abang?”, tanya saya meyakinkan bahwa Bang Al bafoya (berbohong).

“Ada... tapi harus jalang ke balik tebing dulu”,

“Iyakah?? Iii.. tadi kami cuma sampai di depan tebing”,

“Berarti itu cuma sampai tempat parkir......”, tutup Bang Al.

29 Juni 2016


Di balik tebing ini lah ternyata Tanjung Air Mangga yang sesungguhnya. Ini cuma parkiran !
Sosok Danan

Hari ini hari Selasa. Tak terasa kami sudah seminggu berada di Anggai. Waktu terasa cepat juga disini, rasanya baru kemarin saya sampai di Anggai dan mengenal keluarga Papa Haji. Sekarang, setelah merepotkan mereka selama 7 hari, saya dan Danan pun menjadi semakin dekat dengan mama papa. Waktu berbuka puasa adalah anugrah karena di waktu inilah kami bisa berceloteh dengan puluh senda gurau yang multitopik. Papa dan Mama Haji adalah tipe orang yang suka sekali bercerita. Mereka akan bercerita perihal apa saja yang sedang terlintas di kepalanya. Mama Haji misalnya, Mama bercerita bahwa 3 bulan lalu mama hampir saja meregang nyawa saat terjadi musibah longsor di dalam lobang tambang. Mama yang kala itu sedang bekerja mencari batu rep – perempuan di Anggai biasa melakukan ini – bersama 2 perempuan lain harus tertimpa longsor di dalam lobang dan terjebak selama hampir setengah jam. 1 orang meninggal dalam musibah ini, sedang mama haji terluka parah. Ia koma dan dirawat seminggu di rumah sakit Laiwui.

Papa Haji juga suka bercerita. Seringkali ia menceritakan pengalamannya kala berada di tanah suci Mekkah.

“Di mekkah sana, papa sudah ketemu orang dari seluruh dunia. Orang Afrika, Cina, Inggris, Bangladesh. Mana saja ada. Kalau sudah bertemu dengan orang dari seluruh dunia disana, kita sudah tara bisa sombong. Semuanya mau yang badan besar, mau yang badan kecil, mau yang kulit hitam, mau yang kulit putih, semuanya sama-sama terlihat lemah dan mau mati. Ya tinggal Allah yang menentukan kita selamat atau tidak”, kata Papa menceritakan pengalaman spiritualnya saat tawaf. (Bahwa Haji akan menghilangkan arogansi manusia, ini persis seperti apa yang disampaikan Malcolm dalam film biografi Malcolm X yang diperankan Danzel Washington).

Selain betah bercerita, mama papa juga suka mengajari kami bahasa Galela. Tentu saya yang paling antusias dalam hal ini.

“Papa, kalau mandi bahasa Galela-nya apa papa?”

“Mahosi. Ngohito mahosi, saya mau mandi”.

“Kalau makan?”

“Odo. Kalau minum, udo. Ngohito odo, saya mau makan. Ngohito udo, saya mau minum”,

“Ngohito udo gopoa, papa (saya mau minum kelapa muda, papa)”,

“Lang, pete di kebung (besok petik di kebun)”,

“Saya, papa !”,

Setiap kosa kata baru yang saya dapat, ia tak boleh lalai untuk dicatat. Setidaknya, kita perlu menghafal kosa kata yang seringkali muncul dalam perbincangan sehari-hari.

Maidu = Tidur

Mahosi = Mandi

Madagi = Jalan

Liho = Pulang

Nao = Ikan

Bole = Pisang

Fofoki = Terong

Bahasa menurut Doktor Sudaryanto memiliki fungsi utama untuk memelihara kerja sama. Sepertinya teori dari mantan ketua jurusan Sastra Prancis UGM ini banyak benarnya juga. Kalau kita berada di Indonesia Timur - di Anggai, coba jangan ragu untuk mengatakan, satu saja bahasa Galela di depan para mama. Misalnya ketika seorang mama memanggil kita untuk makan.

“Bagus, mari makang dulu di rumah mama?”

“Boloka mama (Sudah mama)”

“Boloka (Beneran sudah) ???”

“Saya mama, boloka, punuka (Iya mama. Sudah, kenyang)”.

“Haa...haa... Su jadi orang Galela eeeee....”, teriak mama sambil terbahak lantang. Kalau para mama Maluku sedang tertawa, jangan harap keanggunan laksmi jelita terpancar dari wajahnya. Saat tertawa, kepala mereka akan maju 10 cm kedepan, mulut mereka akan terbuka lebar-lebar lalu langit-langit mulut mereka yang merah karena pinang akan terlihat dengan jelas, “Haaa..haaaa......”.

Tapi jangan salah, kalau mama sudah terbahak melihat kita berbahasa Galela, sudah pasti kedekatan emosional akan terjalin cepat. Tarada lagi Maluku yang keras, sekonyong-konyong mereka akan jadi Maluku yang ramah lagi jenaka.

Bahasa lokal... Tak perlu jauh-jauh menguasainya. Dengan menunjukkan kemauan belajar saja, maka keberadaan kita akan diakui oleh warga. Ini persis seperti kredo legendaris: Ngohito Ergo Sum, Aku Mau maka Aku Ada.

Dalam tempo seminggu ini, saya belajar bahasa Galela dengan siapa saja yang bisa saya ajak. Tentu, mama papa haji adalah duo mentor utama. Selain mereka, saya juga belajar pada Bang Rusdi, atau Abang-abang IPMA. Sesekali saya juga belajar bahasa dengan anak-anak SD, misalnya dengan As - anak Mama Nas - dan dengan Wilda - Anak Papa Sukri

“Ngohito majobo ko dahu (Saya mau pergi ke bawah)”,

“Ngohito tagi ka dara (Saya mau pergi ke darat)”,

“Ngohito tagi ko lao (Saya mau pergi ke laut)”.

"Ayo, tirukan kita kak Bagus......", seru mereka.

As, Wilda, dan Matsuyama
Sayangnya belajar bahasa Galela dengan anak-anak SD bukanlah cara yang ampuh dan efektif. Mereka tidak menguasai banyak kosa kata, bahkan untuk sekedar menjelaskan kata ganti kepemilikan (my, your, his, her, etc). Misalnya mereka tidak tahu kalau bahasa Galela 'kelapa milik saya' adalah 'ai igo' (my coconut).

Bahasa Galela seperti banyak bahasa daerah lainnya, punya akar permasalahan kontemporer yang sama: Ia semakin ditinggalkan generasi mudanya. Di Anggai, kita bisa dengan mudah mendengar percakapan bahasa Galela dari obrolan orang tua. Tapi anak SD bercakap Galela? Kosong....

Saya pikir ada bertimbun faktor yang jadi alasan mengapa bahasa Galela semakin ditinggalkan. Pertama, faktor dominasi budaya mayoritas, yaitu dominasi bahasa Indonesia. Hari ini, bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling sering mereka dengar, entah dari jagat nyata entah dari layar kaca. Bahkan, di lingkungan keluarga pun para orang tua lebih memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percapakan utama. Kedua faktor politik. Kebijakan pendidikan era kini semakin abai terhadap konten muatan lokal (Mulok). 2 faktor ini saja sudah menyiratkan bahwa generasi muda yang sekarang hampir tak mendapat kesempatan untuk belajar bahasa daerahnya baik di lingkungan formal maupun informal. Dan jika ada faktor ketiga, bahasa Galela bahkan bisa saja mengalami kepunahan: Galela tidak punya karya sastra, kamus, dan sistem aksara yang sudah dipustakakan. (Mari esok kita selidiki dulu!)

Ih, selalu timbul rasa sedih ketika menyadari bahasa daerah semakin ditinggalkan generasi mudanya. Saya pernah menulis ini di blog: Mereka yang belajar bahasa asing cenderung jadi tertarik pada budaya kontemporer , sedang mereka yang belajar bahasa daerah cenderung jadi tertarik pada budaya masa lampau (dari tempat asal bahasa tersebut). Ini memang sekadar asumsi berdasarkan pengamatan pribadi pada kebanyakan mahasiswa baru di kampus ilmu budaya: Maba (Mahasiswa baru) sastra Prancis sering mendadak jadi modis – bukan filosofis, maba Sastra Jepang sering mendadak jadi otaku – bukan zen, maba sastra inggris sering mendadak jadi Top 40 (Haha) – bukan sastrawi. Ya, kebanyakan dari mereka yang belajar bahasa asing akan lebih tertarik pada budaya kontemporer yang sedang hits di negara asal bahasa. Berbeda dengan maba sastra nusantara, alih-alih jadi metroseksual ala muda-mudi Jogja masa kini, kebanyakan dari mereka malah tiba-tiba jadi tertarik pada hal mistis, wayangis, kratonis. Mereka yang belajar bahasa daerah, cenderung jadi tertarik pada budaya lampau – dan budaya lampau lebih sering ditampilkan pada budata yang luhur. Itulah mengapa pada akhirnya generasi yang belajar bahasa daerah lah yang akan lebih paham - dan peduli - akan identitas bangsanya sendiri (mereka lebih berbudaya).

-----------------------------------------------------------------------

Suatu sore saat acara buka bersama tim Baraobira dengan masyarakat Anggai, seorang mama yang akrab dipanggil Mama Chuck Norris – karena tidak bisa diam -, mengajak saya belajar bahasa Galela,

“Bagus, kaka cantik, kalau orang Anggai bilang perempuang cantik itu: mi daloha. Coba tirukan ‘mi daloha...’ ”

“Mi Daloha mama !!!”

“Mantappp... Kalau laki-laki ganteng, itu wi daloha. Coba tirukan, ‘wi daloha....’ ”

“Wi dalo....ha..”,

“Haa..haa.. mantap bagus !. Kalau bagus mi daloha atau wi daloha?”

“Wi daloha mama...”,

“Bukang, Bagus mi daloha... haa..haa...”

“Ehe..ehe.. tarada mama, saya wi daloha”.

“Tapi ya Bagus, kalau disini orang ganteng sama cantik juga bisa dibilang birahi”

“Birahi mama? Iii.. itu tara baik kalau diucapkan di Jawa”

“Iyo...birahi, artinya cantik, atau ganteng. Sekarang mama tanya, kalau wi daloha artinya?”

“Laki-laki ganteng mama”,

“Mantappp.. Kalau mi daloha?”

“Perempuang cantik mama”,

“Mantappp.. Kalau mi birahi?”

“Perempuang birahi mama...”


NB: Jangan lupa belajar misuh.



28 Juni 2016
6 hari sudah kami menjalani masa KKN di Anggai. Setelah 5 hari pertama yang penuh dengan agenda baronda – srawung, jalan-jalan, observasi, tibalah juga hari Senin, hari dimana program kerja pertama kami akan dimulai. Satu-satunya program yang akan kami laksanakan hari ini adalah: program pemberantasan buta huruf atau kelas membaca.

Selidik demi selidik, cerita demi cerita, masih cukup banyak anak-anak Anggai yang belum bisa membaca sampai mereka duduk di kelas 5 atau 6 SD. Tentu hal ini jadi sebuah keprihatinan besar yang menguatkan sebuah asumsi: kualitas pendidikan di Indonesia Timur memang tidak sebaik kualitas pendidikan di Indonesia Barat.

Muncul sedikit rasa penasaran akan kebenaran informasi ini,

“Bang Rusdi, kalau anak kelas 5 SD belum bisa membaca, bagaimana mungkin dia bisa naik kelas?”, tanya saya pada Abang yang juga tokoh pendidikan dari Anggai ini.

“Ya bagaimana lagi, kalau dia tidak dinaikkan nanti dia malah tara mau sekolah” jawab Bang Rusdi.

“Iya juga ya”, tanggap saya singkat. Sebenarnya jika dipikir baik-baik, kebijakan untuk menghapuskan sistem ‘tinggal kelas’ di SD adalah sebuah kebijakan yang bagus. Di Finlandia juga tidak ada siswa sekolah dasar yang tidak naik kelas. Selama 6 tahun bersekolah, siswa-siswa Finlandia bahkan tidak dinilai dengan angka sedikitpun. Raport siswa disana berisi dengan narasi perkembangan siswa didik yang ditulis gurunya. Dengan kata lain, kedekatan emosional antara siswa dan guru adalah hal yang lebih diperhatikan dibanding kapasitas intelektual masing-masing individu.

Maka, pertanyaan yang penting dalam hal pendidikan sebenarnya bukan sekedar pertanyaan "Apakah guru sudah  bisa membuat anak jadi pintar?" tetapi juga “Apakah guru memiliki kedekatan emosional dengan muridnya?".

Terkait pertanyaan kedua jika diaktualisasikan dengan konteks pendidikan di Anggai, saya meragukan adanya kedekatan emosional tersebut setelah seorang guru pernah bercerita, “Kalau mengajar di Timur harus keras. Kalau tidak keras, siswa akan kurang ajar. Pukul kalau perlu pukul”.

Saya adalah orang yang tidak menyukai kekerasan fisik sekecil apapun. Waktu kecil, saya pernah sekali dipukul ayah karena nakal. Rasa takut saat melihatnya, rasa sakit saat menerimanya, dan rasa marah setelahnya masih terekam dengan sangat jelas sampai sekarang. Dipukul hanya perlu waktu 2 detik, melupakannya perlu mati dulu, atau amnesia. Apalagi jika dipukul orang tua - saya rasa guru juga.

-------------------------------------------------------------------

Pukul satu siang tim Baraobira telah berkumpul di rumah Mama Nas - mama piara Tabah dan Devina - untuk mengadakan rapat sub-unit. Kami memang telah sepakat untuk mengadakan rapat rutin 2 hari sekali dengan sistem rolling tempat, artinya lokasi rapat akan berpindah dari satu rumah keluarga piara ke rumah keluarga piara lain. Hal ini kami lakukan supaya kami bisa dekat dengan semua mama papa piara yang ada. Selain itu, kami sengaja memilih melakukan rapat di siang hari, kenapa? Karena malam hari adalah waktunya untuk mayeng atau bersosialisasi dengan pemuda-pemudi seumuran.

“Lha nek wengi dewe malah rapat, njuk kapan dolanne? Anggai ki lek awan sepi tur puanass jee (Nah kalau malam hari kita malah rapat, kapan mainnya? Kalau siang Anggai itu sepi dan panas lho)”.

Semua hadir di rapat sub-unit yang agendanya membahas program of the week dan menguliti persiapan kelas belajar membaca sore ini.

Seperti biasa, sebelum salam pembuka keluar dari mulut Kormasit maka perkumpulan 8 perempuan dan 5 lelaki ini akan menunaikan sebuah ritual rutinan: Pergunjingan Ramadhan.

“Hee, Umar piye e kabare? (Eh,Umar bagaimana kabarnya?)” tanya Baba mencoba membuka topik dengan menanyakan satu anggota tim yang belum sampai juga di Anggai.

“Masih sakit dia di Bacan. Kemarin waktu sakit tiba-tiba minta dicarikan kelapa muda... Waduh... susah...”, jawab Haviz sambil menyeringaikan tawa khasnya – tertawa tapi mingkem.

“Haahaa.... Astaghfirullah, ana kancane lara kok malah ngguyu (Astaghfirullah, teman sedang sakit malah kita tertawakan)”, balas Tabah lepas tertawa.

“Heh.. Sudah, ayo ndang mulai, kok malah menggunjing? Tapi kok enak yo?, hehehe..”, kata Kormasit Danan dan ia pun segera memulai rapatnya.

“Oke, kita mulai membahas kelas belajar membaca dulu karena program ini akan mulai dua jam lagi. Silahkan kepada penanggung jawab, Mas Bagus, untuk segera melaporkan persiapannya”, perintah Danan pada saya.

“Jadi untuk persiapannya, tadi saya dan Baba telah pergi ke dua masjid Anggai untuk mengumumkan jika sore ini akan ada kelas membaca untuk anak SD. Kami juga telah meminta izin kepada guru SD Inpres Anggai untuk meminjamkan satu kelasnya untuk kegiatan belajar nanti sore. Akan tetapi, sejujurnya saya belum memiliki gambaran mengenai berapa anak yang nanti sore akan ikut. Pun saya belum tahu apakah benar sebagian besar anak belum bisa membaca. Maka...sepertinya sore ini kita perlu banyak improve dan harus mampu membaca keadaan”.

Saya menghela nafas sejenak. Andaikan ada kopi di depan saya, pasti saya akan segera menyeruputnya. Tapi ini masih puasa.

“Jadi intinya begini, pertama acara untuk sore hari ini adalah perkenalan kakak mahasiswa dengan anak-anak. Kedua, kalau ada materi, maka materi yang akan diajarkan adalah tes kemampuan membaca dasar, jadi kita akan mengajari anak-anak untuk bernyanyi lagu ABCD dulu. Ketiga, baru itu yang saya siapkan. Seperti apa berjalannya kelas nanti tergantung pada kemampuan adaptasi kita. Untuk itu, mohon bantuan kepada teman-teman untuk bisa datang di kelas pertama sore hari ini”.

“Dresscode nanti sore apa mas? Perlu pakai almamater nggak?” tanya Tabah melanjutkan pembahasan.

“Hasyah, ra usah almamater-almamateran. Sak penak’e dewe-dewe wae. Yo nggowo kartu identitas wae rapopo (Tidak usah pakai almamater segala. Bebas pakai pakaian senyaman kalian saja. Bawa kartu identitas sudah cukup)”, jawab saya.

Tanpa berlarut-larut, rapat pun dilanjutkan dengan membahas program-program lain khususnya yang akan dilaksanakan minggu ini. “Ya, selain program pendidikan, minggu ini sepertinya kita akan disibukkan dengan persiapan perayaan lebaran....bla...bla..bla” terang kormasit Danan, dan rapat pun segera dikhatamkan.

-------------------------------------------------------------------

Sore ini saya memakai kaos oblong Baraobira dan seperti biasanya memilih pakai celana pendek. Saya berangkat ke tempat mengajar sambil membawa gitar. Pokok’e lek kelase garing, arek-arek dijak nyanyi wae, hha.

Muncul sedikit rasa was-was. Bagaimana kalau kelasnya sepi? Bagaimana kalau tidak ada yang datang? Bagaimana kalau anak-anaknya nakal dan tambeng? Bagaimana kalau kami membosankan?

Cih, rasa takut memang lebih sering muncul dari imaji yang tak berdasar. Sudah lah, laksanakan saja apa yang sudah direncanakan ! Kata Tan, "Seorang revolusioner bukanlah seorang pendiam dan penakut. Ia harus keluar dari ketakutan atas ketidakpercayaan kemampuan dirinya". 

Kami pun mulai masuk dan membersihkan kelas yang sebentar lagi akan dipakai. Satu dua tiga anak mulai berdatangan. Mereka datang dengan ragam modelnya masing-masing, ada yang memakai setelan Boy-Reva, ada yang memakai jersey sepakbola, ada juga yang datang dengan seragam merah hati lengkap. Perlahan-lahan jumlah mereka semakin banyak. Lagak-lagu mereka masih terlihat malu-malu, beberapa penasaran memandang kami dengan tajam lalu segera mlengos ketika kami balik memandang, beberapa ada yang melihat kami sambil cengar-cengir tidak jelas, beberapa ada yang hanya nginjen dari luar kelas.

“Wah, banyak mas yang datang”, bisik Haviz pada saya yang sedang duduk bersandar di tembok kelas.

“Iya viz, Alhamdulillah banyak. Kita suruh duduk melingkar dulu aja ya?”, jawab saya. Sepertinya telah terkumpul sekitar 50 anak di kelas ini. Ada anak yang masih kecil. Kecil sekali. Mungkin dia masih TK, atau barangkali malah belum sekolah. Raut wajahnya masih terlalu lugu, belum terpengaruh virus sinetron anak jalanan yang membuat seorang bocah mengalami fase peng-alay-an dini dan kehilangan keluguannya. Banyak juga anak yang terlihat sudah duduk di kelas 5 atau 6 SD. Mereka tampak lebih dewasa dan suka bergerombol.

“Selamat sore adik-adik... Adik-adik bisa duduk melingkar dulu ya...”, perintah saya dengan nada guru TK memberi instruksi. Anak-anak ini pun segera menuruti perintah. Ada yang aneh, pikir saya. Sepertinya anak-anak ini tidak terlampau liar seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Mereka justru terlihat malu-malu dan cenderung diam.

Setelah anak-anak mulai duduk melingkar, sekarang giliran kakak-kakak mahasiswa yang menyusul duduk di antara mereka. Saya duduk di samping Wahyu, anak kelas 6 SD putra sulung Papa Sukri, papa piara Resti dan Istin. Saya sudah mengenal bocah ini sejak beberapa hari lalu dengan percakapan singkat yang rasanya sulit dilupakan.

“Hey, Wahyu. Kata orang-orang kau pintar kah? Ranking berapa kau di kelas?”, tanya saya setelah mendengar dari Gilang bahwa katanya Wahyu adalah bocah yang cerdas.

“Ranking 2 saja” jawab bocah kelas 6 yang badannya kecil kurus dan pendek seperti anak kelas 2 SD ini.

“Eee, kenapa tara ranking satu?” tanya saya lagi menggoda.

Dan Wahyu menjawab “Tara tau itu guru, tara jelas memang dia”.

Haha.. Koplak arek iki !

Dan hari ini Wahyu kembali memperlihatkan kecerdasannya. Adalah saat moment perkenalan tiba dan satu persatu anak harus memperkenalkan dirinya kepada kakak-kakak mahasiswa. Anak-anak yang jumlahnya lebih dari 50 ini harus menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, hobi, dan cita-citanya masing-masing. Moment ini ternyata tidak berjalan dengan lancar seperti yang kami bayangkan. Beberapa anak malu saat mendapat giliran, beberapa tidak tau apa hobinya, beberapa enggan menyebutkan cita-citanya (padahal hanya berkisar pada guru, dokter, tentara, atau polisi).

Sejenak kemudian Wahyu mendadak mendekat dan berbisik di telinga kanan saya,

“Kak Bagus. Ini lama pasti. Tapi tarapa lah ya karena kelas pertama”, ujar Wahyu mengomentari moment perkenalan ini. Saya pun tidak bisa tidak kaget mendengar komentarnya ini. Dari pendapatnya yang singkat ini, saya melihat ia sudah bisa membaca konteks situasi yang ada di depan matanya. Ia paham bahwa perkenalan ini akan berlangsung lama karena ada lebih dari 50 anak yang harus memperkenalkan diri masing-masing, itupun dengan kondisi malu-malu. Tapi lebih dari itu, ia paham bahwa kita harus memaklumi momentum yang memakan waktu lama ini, kenapa? Karena ini masih pertemuan pertama ! Pasca komentarnya ini, saya langsung percaya kalau tingkat kecerdasan si Wahyu memang di atas rata-rata.

Sepakat? Atau saya saja yang berlebihan?

-------------------------------------------------------------------

Tak banyak yang ingin saya ceritakan dari kelas pertama ini. Kelas yang diikuti oleh 67 anak ini – yang tercatat di buku presensi – berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Setelah masing-masing anak dan mahasiswa berkenalan, mereka akhirnya dibagi menjadi 2 kelompok: kelompok anak kelas 1 sampai 3 SD dan kelompok anak kelas 4-6 SD.

Begitupun 13 mahasiswa dibagi menjadi 2 kelompok tutor, kelompok tutor pertama bertanggung jawab pada anak-anak kelas 1 sampai 3, kelompok tutor kedua bertanggung jawab pada anak-anak kelas 4 sampai 6. Kelas banyak diisi dengan bermain dan bernyanyi. Selain menyanyikan lagu alfabet ABCD, kami juga menggubah lirik lagu Madu dan Racun untuk dijadikan lagu belajar membaca:

MADU: M-A MA, D-U DU
KAKI: K-A KA, K-I KI
MATA: M-A MA, T-A TA
SAPI: S-A SA, P-I PI
Mari Belajar Membaca
Bersama Kak Baraobira

Sore ini saya mendapat jatah untuk menjadi tutor anak-anak kelas 1-3. Adalah Ariel, Melati, Ava, dan Aswita yang jadi murid pertama saya.

Ariel? Ariel ternyata adalah anak dari Papa Menko, papa piara Gilang dan Baba. Namanya sama dengan nama seorang vokalis, tapi Ariel yang ini sepertinya tidak punya bakat menjadi vokalis. Pertama, ia pendiam. Kedua, ia pemalu. Ketiga, suaranya tidak terdengar saat bernyanyi.  Ariel kelas 2 SD, dia sudah hafal membaca alfabet huruf A-O.

Melati, lebih pemalu dari Ariel. Baru masuk SD tahun ini, jadi belum bisa membaca huruf. Mau menyanyi lagu ABCD, tapi hanya sampai huruf C.

Ava, gadis berambut panjang dan hitam manis. Akan menjawab jika ditanya. Ia kelas 3 SD, sudah bisa membaca dengan baik.

Aswita, gadis cilik berkulit hitam, berambut keriting sebahu, sore ini memakai rok warna merah dan putih. Ia sangat interaktif. Suaranya serak-serak basah, lucu. Ia paling dominan di kelompok kecil ini, ia hafal huruf A-Z. Sudah paham ilmu mengeja dasar, N-A NA, N-U NU, NANU...

Karena ada Ariel dan Melati yang sangat pemalu, akhirnya saya tidak memfokuskan kelompok ini untuk belajar. Saya mencoba banyak bercerita saja dengan mereka, juga bertanya mana rumah mereka, siapa nama papa mamanya, atau suka warna apa. Sepertinya mereka butuh waktu untuk bisa nyaman belajar dengan kami.

Waktu pun tak terasa telah menunjukkan pukul setengah 6. Artinya, satu jam lagi kami akan berbuka puasa. Kelompok kecil kami bubarkan dan anak-anak kembali dikumpulkan untuk membaca doa penutup. Sebelum berdoa, kami meminta mereka untuk bernyanyi ABCD sekali lagi, suara mereka kali ini lebih lantang daripada saat pertama tadi. Semoga energi positif ini akan terus hidup sampai di hari akhir kami.

Selesai berdoa dan berfoto ria, kami melakukan evaluasi singkat selama 5 menit. Dari pertemuan pertama yang akhirnya kelar ini, setidaknya ada dua hal yang bisa kami simpulkan. Pertama, kemampuan membaca anak-anak di Anggai tidak separah yang awalnya kami bayangkan. Saya lihat sebagian besar kanak-kanak ini telah mengenal huruf dengan baik. Kalaupun mereka belum lancar membaca, toh sebenarnya bukan masalah besar kan seorang anak SD belum lancar membaca? Kedua, anak-anak tidak perlu diperintah dengan keras supaya menuruti perintah. Mungkin karena ini masih pertemuan pertama dan mereka masih malu-malu. Entah kalau besok.

Ah iya, satu hal lagi yang penting dicatat hari ini: Ada perasaan lega yang tak terkira saat program kerja pertama terlaksana. Kami yang dalam beberapa hari ini hanya klintang-klintung keliling kampung, akhirnya merasa berguna juga setelah terlaksananya program pertama.

“Kok rasane plong ya mbarang wis ana program (Rasanya lega ya setelah ada program)”, ujar Danan.

Kelas membaca ini akan diadakan tiap 2 hari sekali, hari Senin dan Rabu. Di hari Selasa dan Kamis, kami mengadakan kelas belajar bahasa Inggris untuk anak SMP dan SMA. Sedangkan di hari Jumat, anak-anak akan diajak ngaji di TPA.

Program pendidikan memang akan (dan perlu) mendapat porsi yang banyak.

27 Juni 2016





Su pada pulang, kaka baru ingat kalau tong belum ambil foto. Chii..




Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Arsip Blog

  • ►  2019 (17)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2018 (26)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
  • ▼  2016 (36)
    • ►  November (4)
    • ►  September (4)
    • ▼  Agustus (11)
      • Catatan Baraobira Hari-11, ENCANG-ENCING NYAK BABE...
      • Catatan Baraobira Hari-10, BAHAS BAHASA: NGOHITO E...
      • Catatan Baraobira Hari-9, PROGRAM PERTAMA: KELAS M...
      • Catatan Baraobira hari-8, TAMBANG EMAS ANGGAI
      • Catatan Baraobira Hari-7, PESAN DI BALIK ROMANTISM...
      • Catatan Baraobira Hari-6, MAMA PAPA PIARA
      • Catatan Baraobira Hari-5, MALAM PERKENALAN: MENYUL...
      • Catatan Baraobira Hari-4, SAMBUTAN OMPALA ANGGAI-S...
      • Catatan Baraobira Hari-3, TAHI KAMBING DI PULAU BACAN
      • Catatan Baraobira hari-2, TERIK KOTA TERNATE DAN G...
      • Catatan Baraobira hari-1, STMJ DAN PEMBERANGKATAN ...
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2015 (42)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (8)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2014 (68)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (10)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2013 (50)
    • ►  Desember (9)
    • ►  November (13)
    • ►  Oktober (15)
    • ►  September (7)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2012 (11)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)

Copyright © 2016 bagus panuntun. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018